Anda di halaman 1dari 23

Referat

GAGAL NAFAS

Disusun oleh:

Indriani Putri Dewi, S.Ked 04087822022001


Muhammad Dodi Fakhirin, S.Ked 04084821921156
Monica Karina Walean, S.Ked 04054822022206

Pembimbing:
Dr. Nurmala Dewi Maharani, SpAn

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
GAGAL NAFAS

Oleh:

Indriani Putri Dewi, S.Ked 04087822022001


Muhammad Dodi Fakhirin, S.Ked 04084821921156
Monica Karina Walean, S.Ked 04054822022206

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
kepaniteraan klinik di Bagian/Departemen Anestesiologi dan Terapi Internsif
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Mohammad Hoesin Palembang periode 30 Maret 2020 – 15 April 2020.

Palembang, April 2020

dr. Nurmala Dewi Maharani, SpAn

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Gagal
Nafas” sebagai syarat untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
dr. Nurmala Dewi Maharani, SpAn selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan bimbingan dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak


terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan referat ini,
semoga bermanfaat.

Palembang, April 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………………………………………………………..…….i

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….…….......ii

KATA PENGANTAR…………………………………………………………...iii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..iv

BAB I PENDAHULUAN.................……………………………………………..1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...……………………………………………….3

BAB III KESIMPULAN...............…………………………………...…………18

BAB IV DAFTAR PUSTAKA……...


…………………………………………..19

BAB I
PENDAHULUAN

Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk


mempertahankan oksigenasi didalam darah dengan atau tanpa penumpukan CO2.
Apabila terjadi gagal nafas dengan waktu yang tersedia terbatas sehingga
memerlukan ketepatan dan kecepatan dalam bertindak. Untuk itu harus dapat
mengenal tanda-tanda dan gejala gagal nafas dan menanganinya dengan cepat.
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut
adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang memiliki struktural dan
fungsional paru yang normal sebelum penyakit muncul. Sedangkan gagal nafas
kronis adalah gagal nafas yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronis

iv
seperti bronkitis kronis, emfisema. Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia
dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap.
Keadaan gagal nafas dapat menyebabkan kematian dan dapat
meningkatkan angka morbiditas. Insiden rate pada gagal nafas berkisar 10-86
kasus per 100.000 penduduk.
Covid-19 merupakan infeksi virus corona terbaru, yang dimulai dari
Wuhan, CHINA dan menyebar hampir keseluruh dunia. Jumlah kasus positif virus
corona amat tinggi di China 81.620, di Amerika 245.373 kasus, di Italia 115.242
kasus, di Spanyol 112.065 kasus, di Jerman 84.794, adapun di Indonesia mencapai
2.273 kasus.
Penyakit infeksi virus corona menjadi penting karena menyebabkan
kematian. Penyakit ini ditandai dengan demam, batuk, nyeri tenggorokan, sesak
nafas, dan penyebab kematian terbesar adalah akibat gagal nafas.
Adanya antigen atau microorganisme dapat menyebabkan rangsangan
pada permukaan saluran nafas, rangsangan ini akan mengakibatkan produksi
mukus atau lendir meningkat. Pada keadaan normal, mukus akan menyebabkan
rangsangan pada cilia saluran nafas sehingga munculnya refleks batuk.

Antigen atau microorganisme akan terus masuk ke selular dan


menimbulkan rangsangan inflamasi menyebabkan pembengkakan, produksi
mukus meningkat, reflek batuk menjadi kurang dan terjadinya peningkatan mukus
di saluran nafas yang mengakibatkan kegagalan fungsi pertukaran gas dalam
bentuk kegagalan oksigenasi (hipoksemia) atau kegagalan dalam pengeluaran
CO2 (hiperkapnea, kegagalan ventilasi) atau merupakan kegagalan kedua fungsi
tersebut.
Referat ini bertujuan untuk membahas mengenai mekanisme patofisiologi
yang memicu terjadinya gagal nafas, manefistasi klinis, laboratorium penunjang,
diagnosis serta penangananya dengan cepat dan tepat.

v
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Gagal nafas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida. Ketidakmampuan itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan
untuk memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.
Kriteria kadar gas darah arteri untuk gagal respirasi tidak mutlak bisa
ditentukan dengan mengetahui PO2 kurang dari 60mmHg dan PCO2 diatas
50mmHg. Gagal nafas akut terjadi dalam berbagai gangguan baik pulmoner
maupun nonpulmoner.

2.2. Etiologi Gagal Nafas


Penyakit-penyakit ini dapat dikelompokkan berdasarkan kelainan primer
dan komponen individu dari sistem pernafasan (misalnya, SSP, sistem saraf tepi,
otot pernafasan, dinding dada, saluran udara, dan alveoli).1 Gagal pernafasan
disebabkan oleh ganggguan ventilasi dan gangguan difusi:
1) Ganggguan Ventilasi:
a. Neuromuskular:
Gangguan SSP (sistem saraf pusat) karena depresi dari dorongan
saraf untuk bernafas seperti dalam kasus overdosis narkotika dan obat
penenang. Berbagai gangguan farmakologis, struktural, dan metabolik
SSP ditandai oleh depresi dorongan saraf untuk bernafas. Ini dapat
menyebabkan hipoventilasi akut atau kronis dan hiperkapnia.
Contohnya termasuk tumor atau kelainan pembuluh darah yang
melibatkan batang otak, overdosis narkotika atau obat penenang, dan
gangguan metabolisme seperti miksedema atau alkalosis metabolik
kronis.1,2
Gangguan pada sistem saraf tepi: kelemahan otot pernafasan dan
dinding dada menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan

vi
tingkat ventilasi menit yang sesuai untuk laju produksi karbon
dioksida. Hipoksemia dan hiperkapnia bersamaan terjadi. Contohnya
termasuk sindrom Guillain-Barré, distrofi otot, myasthenia gravis,
kyphoscoliosis parah, dan obesitas yang tidak wajar.1, 2, 3
b. Deformitas dinding dada: Pneumothorax bilateral atau hipertensif
dan Pneumomediastinum post-traumatism.4
c. Obstruksi saluran nafas atas dan bawah: karena berbagai penyebab
seperti pada kasus eksaserbasi penyakit paru obstruktif kronik dan
asma bronkial berat akut. Obstruksi jalan nafas yang parah adalah
penyebab umum hiperkapnia akut dan kronis. Contoh gangguan jalan
nafas atas adalah epiglottitis akut dan tumor yang melibatkan trakea;
gangguan jalan nafas yang lebih rendah termasuk PPOK, asma, dan
cystic fibrosis.2, 3

2) Gangguan Difusi:
Abnormalitas alveoli yang menyebabkan gagal nafas tipe I
(hipoksemia) seperti pada kasus edema paru dan pneumonia berat.
Kelainan alveoli ditandai dengan pengisian alveolus difus, yang sering
menyebabkan Gagal nafas hipoksemia, meskipun hiperkapnia dapat
memperumit gambaran klinis. Contoh umum adalah edema paru
kardiogenik dan nonkardiogenik, pneumonia aspirasi, atau perdarahan
paru yang luas. Gangguan ini berhubungan dengan shunt intrapulmoner
dan peningkatan kerja pernafasan.1

vii
Gambar 2. Beberapa kemungkinan kelainan yang menyebabkan pada gagal
nafas.5
Penyebab umum gagal nafas tipe I (hipoksemia) meliputi: PPOK,
pneumonia, edema paru, fibrosis paru, asma, pneumotoraks, emboli paru,
hipertensi arteri pulmonalis, pneumoconiosis, penyakit paru-paru granulomatosa,
penyakit jantung bawaan sianotik, bronkiektasis, sindrom gangguan pernafasan
akut (ARDS), sindrom emboli lemak, kyphoscoliosis, kegemukan.1
Penyebab umum gagal nafas tipe II (hiperkapnia) meliputi: PPOK, asma
berat, overdosis obat, keracunan, myasthenia gravis, polineuropati, polio,
gangguan otot primer, porfiria, kordotomi serviks, cidera kepala dan leher rahim,
hipoventilasi alveolar primer, sindrom obesitas-hipoventilasi, edema paru, ARDS,
myxedema, tetanus.1

2.3. Patofisiologi Gagal Nafas


Tindakan respirasi melibatkan tiga proses berikut: (1) Transfer oksigen
melintasi alveolus; (2) Transportasi oksigen ke jaringan; (3) Pembuangan karbon
dioksida dari darah ke dalam alveolus dan kemudian ke lingkungan. Gagal nafas

viii
dapat terjadi karena tidak berfungsinya salah satu dari proses ini. Gagal nafas
dapat timbul dari kelainan pada salah satu komponen sistem pernafasan, termasuk
saluran udara, alveoli, sistem saraf pusat (SSP), sistem saraf tepi, otot pernafasan,
dan dinding dada. Pasien yang mengalami hipoperfusi sekunder akibat
kardiogenik, hipovolemik, atau syok septik sering disertai gagal nafas. 1
Mekanisme fisiologis utama gagal nafas adalah:
1) Hipoventilasi: di mana PaCO2 dan PaO2 dan gradien PO2 alveolar-arteri
normal. Contoh kondisi ini adalah depresi SSP karena obat-obatan.
2) V/P mismatch: ini adalah penyebab paling umum dari hipoksemia.
Pemberian 100% O2 menghilangkan hipoksemia.
3) Shunt: di mana terdapat hipoksemia persisten meskipun inhalasi O2
100%. Dalam kasus shunt, darah terdeoksigenasi (darah vena campuran)
memotong alveoli tanpa diberi oksigenasi dan bercampur dengan darah
teroksigenasi yang telah mengalir melalui alveoli berventilasi, dan ini
menyebabkan hipoksemia seperti pada kasus edema paru (kardiogenik
atau nonkardiogenik), pneumonia dan atelektasis.3
Ventilatory capacity adalah ventilasi spontan maksimal yang dapat
dipertahankan tanpa menyebabkan kelelahan otot pernafasan. Ventilatory demand
adalah ventilasi menit spontan yang menghasilkan PaCO2 yang stabil. Biasanya,
ventilatory capacity sangat melebihi ventilatory demand. Gagal nafas dapat
disebabkan oleh penurunan ventilatory capacity atau peningkatan ventilatory
demand atau keduanya. Ventilatory capacity dapat dikurangi dengan proses
penyakit yang melibatkan komponen fungsional sistem pernafasan dan
pengontrolnya. Ventilatory demand diperbesar oleh peningkatan ventilasi dalam
hitungan menit dan/atau peningkatan kerja nafas.1

2.4. Patofisiologi COVID-19


Coronavirus hanya bisa bereplikasi melalui sel host-nya. Saat SARS-CoV-
2 masuk ke dalam tubuh, virus masuk dan menempel ke sel host. Setelah berhasil
masuk selanjutnya translasi replikasi gen dari RNA genom virus. Virus
melakukan replikasi dan transkripsi dimana sintesis virus RNA melalui translasi
dan perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap selanjutnya adalah perakitan

ix
dan rilis virus. Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas
kemudian bereplikasi di sel epitel saluran napas atas. Setelah itu menyebar ke
saluran napas bawah.9
Pada COVID-19, ditemukan bahwa target sel SARS-CoV-2 berada di
saluran napas bawah. Virus SARS-CoV-2 menggunakan ACE-2 sebagai
reseptor, sama dengan pada SARS-CoV. Sekuens dari RBD (Reseptor-binding
domain) termasuk RBM (receptor-binding motif) pada SARS-CoV-2 kontak
langsung dengan enzim ACE 2 (angiotensin-converting enzyme 2). ACE-2 dapat
ditemukan pada mukosa oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung, usus halus,
usus besar, kulit, timus, sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel
alveolar paru, sel enterosit usus halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot polos.
Hasil residu pada SARS-CoV-2 RBM (Gln493) berinteraksi dengan ACE 2 pada
manusia, konsisten dengan kapasitas SARS-CoV-2 untuk infeksi sel manusia.
Pada penelitian 41 pasien pertama pneumonia COVID-19 di Wuhan, didapatkan
peningkatan IL1β, IFNγ, IP10, dan MCP1, dan kemungkinan mengaktifkan
respon sel T-helper-1 (Th1).2 Selain itu, infeksi SARS-CoV-2 juga menginisiasi
peningkatan sekresi sitokin T-helper-2 (seperti IL4 dan IL10) yang berperan
dalam menekan inflamasi.9

2.5. Klasifikasi Gagal Nafas


Untuk pengukuran langsung dari parameter metabolik ini, dokter harus
mengandalkan nilai gas darah arteri/blood gas analysis (BGA). Gagal pernafasan
diklasifikasikan menurut kelainan gas darah menjadi hiperkapnia (tipe I) dan
hipoksemia (tipe II). Dalam banyak kasus, gagalan nafas hiperkapnia dan
hipoksemia sering terjadi bersamaan. Entah bisa akut atau kronis. Gangguan yang
awalnya menyebabkan hipoksemia mungkin rumit oleh kegagalan pompa
pernafasan dan hiperkapnia. Sebaliknya, penyakit yang menyebabkan kegagalan
pompa pernafasan sering dipersulit oleh hipoksemia akibat proses parenkim paru
sekunder (misalnya, pneumonia atau atelektasis) atau kelainan vaskular (misalnya,
emboli pulmonal).3,6

x
Gambar 3. Klasifikasi Gagal nafas.6

1) Gagal nafas tipe I (Hipoksemia)


Gagal pernafasan tipe I (hipoksemia) memiliki PaO2<60 mmHg
dengan PaCO2 normal atau subnormal. Ini adalah bentuk paling umum
dari Gagal nafas, dan dapat dikaitkan dengan hampir semua penyakit akut
paru-paru. Pada tipe ini, pertukaran gas terganggu pada tingkat membran
aveolo-kapiler. Umumnya melibatkan pengisian cairan atau kolapsnya unit
alveolar. Beberapa contoh gagal pernafasan tipe I adalah edema paru
kardiogenik atau nonkardiogenik, pneumonia, dan perdarahan paru.1
Mekanisme patofisiologis yang menyebabkan hipoksemia diamati
dalam berbagai macam penyakit adalah V/Q mismatch dan shunt. Dua
mekanisme ini menyebabkan pelebaran gradien PO2 alveolar-arteri, yang
normalnya kurang dari 15 mmHg. Mereka dapat dibedakan dengan
menilai respons terhadap suplementasi oksigen atau menghitung fraksi
shunt setelah menghirup oksigen 100%. Pada sebagian besar pasien
dengan gagal nafas hipoksemia, 2 mekanisme ini muncul bersamaan.1
a. V/Q Mismatch
V/Q mismatch adalah penyebab paling umum dari hipoksemia.
Unit alveolar dapat bervariasi dari V/Q-rendah ke V/Q-tinggi di
hadapan proses penyakit. Unit V/Q-rendah berkontribusi terhadap
hipoksemia dan hiperkapnia, sedangkan unit V/Q-tinggi membuang
ventilasi tetapi tidak mempengaruhi pertukaran gas kecuali
kelainannya cukup parah.1

xi
Rasio V/Q-rendah dapat terjadi baik dari penurunan ventilasi
sekunder ke saluran nafas atau penyakit paru interstitial atau dari
perfusi berlebihan di hadapan ventilasi normal. Perfusi berlebihan
dapat terjadi dalam kasus emboli paru, di mana darah dialihkan ke unit
yang berventilasi normal dari daerah paru-paru yang mengalami
obstruksi aliran darah sekunder akibat emboli.
Pemberian oksigen 100% dapat mengeliminasi semua unit
V/Q-rendah, sehingga mengarah ke perbaikan hipoksemia.
Hipoksemia meningkatkan ventilasi menit dengan stimulasi
kemoreseptor, tetapi PaCO2 umumnya tidak terpengaruh.1

b. Shunt
Shunt didefinisikan sebagai persistensi hipoksemia walaupun
100% inhalasi oksigen. Darah yang terdeoksigenasi (darah vena
campuran) memotong alveoli berventilasi dan bercampur dengan darah
teroksigenasi yang telah mengalir melalui alveoli berventilasi,
akibatnya mengarah pada pengurangan kadar darah arteri. Shunt
dihitung dengan persamaan berikut:
QS / QT = (CCO2 - CaO2) / CCO2 - CvO2)
di mana QS / QT adalah fraksi shunt, CCO2 adalah konten
oksigen kapiler (dihitung dari PAO2 ideal), CaO2 adalah konten
oksigen arteri (berasal dari PaO2 dengan menggunakan kurva disosiasi
oksigen), dan CvO2 adalah konten oksigen vena campuran
(diasumsikan atau diukur dengan mengambil darah vena campuran
dari kateter arteri pulmonalis).1
Shunt anatomi ada di paru-paru normal karena sirkulasi
bronkial dan thebesian, yang merupakan 2-3% dari shunt. Shunt
kanan-ke-kiri yang normal dapat terjadi dari defek septum atrium,
defek septum ventrikel, paten ductus arteriosus, atau malformasi
arteriovenosa di paru-paru. Shunt sebagai penyebab hipoksemia
diamati terutama pada pneumonia, atelektasis, dan edema paru parah
yang berasal dari jantung atau non-kardiak. Hiperkapnia umumnya

xii
tidak berkembang kecuali pintasannya berlebihan (>60%).
Dibandingkan dengan V/Q mismatch, hipoksemia yang disebabkan
oleh shunt sulit untuk diperbaiki dengan cara pemberian oksigen.1

2) Gagal nafas tipe II (Hiperkapnia)


Gagal nafas tipe II (hiperkapnia) memiliki PaCO2>50 mmHg.
Hipoksemia sering terjadi, dan ini disebabkan oleh kegagalan pompa
pernafasan.3 Hipoksemia sering terjadi pada pasien dengan gagal nafas
hiperkaplatik yang menghirup udara kamar. PH tergantung pada tingkat
bikarbonat, yang pada gilirannya, tergantung pada durasi hiperkapnia.
Etiologi umumnya adalah overdosis obat, penyakit neuromuskuler,
kelainan dinding dada, dan gangguan jalan nafas yang parah, misalnya,
asma dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).1
Pada tingkat konstan produksi karbon dioksida, PaCO2 ditentukan
oleh tingkat ventilasi alveolar sesuai dengan persamaan berikut
(pernyataan kembali persamaan yang diberikan di atas untuk ventilasi
alveolar):
PaCO2 = VCO2 × K / VA
di mana K adalah sebuah konstanta (0.863). Hubungan antara
PaCO2 dan ventilasi alveolar adalah hiperbolik. Ketika ventilasi berkurang
di bawah 4-6 L/menit, PaCO2 naik secara drastis. Penurunan ventilasi
alveolar dapat disebabkan oleh pengurangan ventilasi keseluruhan (menit)
atau peningkatan proporsi ventilasi ruang mati. Pengurangan ventilasi
menit diatur terutama dalam pengaturan gangguan neuromuskuler dan
depresi SSP. Pada gagal nafas hiperkapnea murni, hipoksemia mudah
diperbaiki dengan terapi oksigen.1
Hipoventilasi merupakan penyebab gagal nafas yang tidak biasa
dan biasanya terjadi akibat depresi SSP dari obat atau penyakit
neuromuskuler yang memengaruhi otot pernafasan. Hipoventilasi ditandai
oleh hiperkapnia dan hipoksemia. Hipoventilasi dapat dibedakan dari
penyebab hipoksemia lainnya dengan adanya gradien PO2 alveolar-arteri
normal.1

xiii
Menurut onset, perjalanan, dan durasinya, gagal nafas diklasifikasikan
sebagai gagal nafas akut atau kronis. Meskipun gagal nafas akut ditandai dengan
gangguan yang mengancam jiwa dalam gas darah arteri (BGA) dan status asam-
basa, manifestasi dari gagal pernafasan kronis kurang dramatis dan mungkin tidak
semudah yang terlihat.3,1
Gagal pernafasan hiperkapnia akut berkembang selama beberapa menit
hingga beberapa jam sehingga pH kurang dari 7,3. Gagal pernafasan kronis
berkembang selama beberapa hari atau lebih, memungkinkan waktu untuk
kompensasi ginjal dan peningkatan konsentrasi bikarbonat. Oleh karena itu, pH
biasanya hanya sedikit menurun. Perbedaan antara gagal nafas hipoksemia akut
dan kronis tidak dapat dengan mudah dibuat berdasarkan gas darah arteri (BGA).
Tanda klinis hipoksemia kronis, seperti polisitemia atau cor pulmonale,
menunjukkan adanya gangguan yang sudah berlangsung lama.1

2.6. Diagnosis Gagal Nafas


Diagnosis gagal napas dimulai jika ada gejala klinik yang muncul. Gejala
klinis pada gagal napas terdiri dari tanda kompensasi pernapasan yaitu takipneu,
penggunaan otot pernapasan tambahan, restriksi intrakostal, suprasternal dan
supraklavikular. Gejala peningkatan tonus simpatis seperti takikardi, hipertensi
dan berkeringat. Gejala hipoksia yaitu perubahan status mental misalnya bingung
atau koma, bradikardi dan hipotensi. Gejala desaturasi hemoglobin yaitu sianosis.8
Kriteria gejala klinis dan tanda-tanda gawat nafas ditandai dengan
perubahan pola pernafasan dari normal antara lain sebagai berikut8
a. Penurunan frekuensi pernafasan (Bradipneu) atau meningkat
(Takipneu).
b. Adanya retraksi dinding dada
c. Sesak nafas / dyspneu
d. Sianosis (kebiruan), diakibatkan rendahnya kadar oksigen dalam darah.
e. Penggunaan otot bantu pernafasan
f. Gerakan dinding asimetris
g. Pernafsan paradoksal

xiv
h. Retraksi dinding dada
i. Suara nafas menurun atau hilang atau didapatkan suara tambahan
seperti stridor, rhonki, atau wheezing.

Untuk membedakan penyebab dari gagal nafas dapat diketahui dari


gejala gagal nafas antara lain :8
Tabel 1. Manifestasi Klinis Hiperkapnia dan Hipoksemia8

Hipoksemia Hiperkapnia

Ansietas Somnolen
Takikardia Letargi
Takipneu Koma
Diaforesis Sakit kepala
Aritmia Edema papil
Perubahan Status Mental Asteriks
Bingung Agitasi
Sianosis Tremor
Kejang Bicara kacau
Asidosis Laktat

Dalam mementukan kondisi gagal nafas, indikator penting yang perlu


diketahui antara lain Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernafasan , N 16-
20x/mnt. Jika frekuensi pernafasan > 35 kali/ mnt maka akan menimbulkan
kelelahan otot pernafasan yang pada akhirnya mengantarkan pada gagal nafas,
sehingga membutuhkan bantuan ventilator. Indikator yang kedua adalah Kapasitas
Vital menggunakan spirometer, Jika hasilnya kurang dari 10-20 ml/kg maka hal
tersebut merupakan tanda gagal nafas.8

Untuk menunjang diagnosis pada kasus gagal nafas dapat dilakukan


pemeriksaan penunjang antara lain dengan pengukuran gas darah pada arteri,
pengukuran saturasi oksigen menggunakan pulse oxymeter, dan pengukuran PaO 2

xv
dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk
mengetahui apakah ada anemia, yang dapat menyebabkan hipoksia jaringan.
Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis underlying disease
(penyakit yang mendasarinya).8

2.7. Penatalaksanaan Gagal Nafas


Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care
area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana
segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia.
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat
oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta
menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas
tersebut.7
Prioritas dalam penanganan gagal nafas berbeda-beda tergantung dari
etiologinya, tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien,
yaitu menangani sebab gagal nafas dan bersamaan dengan itu memastikan ada
ventilasi yang memadai dan jalan nafas yang bebas.7
a. Perbaiki jalan napas (Air Way)

Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan


hipereksistensi kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi
jalan napas, apabila masih belum menolong maka mulut dibuka dan
mandibula didorong ke depan (triple airway maneuver) atau dengan
menggunakan manuver head tilt-chin lift), biasanya berhasil untuk
mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan
mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada
obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan
lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa
orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.7

b. Terapi oksigen

xvi
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya
oksigen yang diberikan tergantung dari mekanisme hipoksemia, tipe
alat pemberi oksigen tergantung pada jumlah oksigen yang
diperlukan, potensi efek samping oksigen, dan ventilasi semenit
pasien.7
Cara pemberian oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem arus
rendah dan sistem arus tinggi:
Alat Oksigen Kateter Nasal 1-6 L/menit
Arus Rendah Konsentrasi : 24-44%
Kanula Nasal 1-6 L/menit
Konsentrasi : 24-44%
Simple Mask 6-8 L/menit
Konsentrasi : 40-60%
Alat Oksigen Mask + Rebreathing 6-8 L/menit
Arus Tinggi Konsetrasi : 60-80%
AMBU BAG 10 L/menit
Konsentrasi : 100%
Bag Mask + Jackson 10 L/menit
L/menit Konsentrasi : 100%
Rees

Pemberian terapi oksigen harus memenuhi kriteria 4 tepat 1


waspada yaitu tepat indikasi, tepat dosis, tepat cara pemberian,
tepat waktu pemberian, dan wasapada terhadap efek samping.7

c. Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas
dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke
hidung (mouth to nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup
baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi menggunakan ventilator,
seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB (Intermittent Positive
Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui mouth
piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator.

xvii
Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative yang
ditimbulkan akan menggerakkan ventilator dan memberikan
bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur.7
d. Terapi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan
ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh
ventilator. Biasanya diperlukan obat-obatan seperti sedative,
narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak berontak dan
parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.7
e. Terapi farmakologi
- Bronkodilator.
Mempengaruhi langsung pada kontraksi otot polos bronkus.
Merupakan terapi utama untuk pnyakit paru obstruktif atau
pada penyakit dengan peningkatan resistensi jalan napas seperti
edema paru, ARDS, atau pneumonia.7
- Agonis B adrenergik / simpatomimetik
Memilik efek agonis terhadap reseptor beta drenergik pada otot
polos bronkus sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi.
golongan ini memiliki efek samping antara lain tremor,
takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Lebih efektif
digunakan dalam bentuk inhalasi sehinga dosis yang lebih besar
dan efek kerjanya lebih lama.7
- Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung
pada derajat tonus parasimpatis intrisik. Obat-obatan ini kurang
berperan pada asma, dimana obstruksi jalan nafas berkaitan
dengan inflamasi, dibandingkan dengan bronkitis kronik
dimana tonus parasimpatis lebih berperan.7
Pada gagal nafas, antikolinergik harus diberikan bersamaan
dengan agonis beta adrenergik. Contoh dari antikolinergik
adalah Ipatropium Bromida, tersedia dalam bentuk MDI
(metered dose-inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek

xviii
samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi
urine.7

- Teofilin
Mekanisme kerja melalui inhibisi kerja fosfodieterase pada
AMP siklik, translokasi kalsium, antagonis adenosin, dan
stimulasi reseptor beta-adrenergik, dan aktifitas anti-inflamasi.
Efek samping meliputi takikardia, mual, dan muntah.
Komplikasi terparah antara lain aritmia jantung, hipokalemia,
perubahan status mental, dan kejang.7
- Kortikosteroid
f. Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan.
Tindakan terapi untuk memulihkan kondisi pasien gagal napas:7
- Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak
menghambat saluran napas.
- Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret.

- Latihan napas, jika kondisi pasien sudah membaik

2.8. Komplikasi dan Prognosis Gagal Nafas


Gagal nafas merupakan suatu kondisi kegawatan yang dapat mengancam
jiwa. Komplikasi gagal nafas dapat mempengaruhi organ-organ vital terutama
otak dan jaringan karena tidak adekuatnya oksigenasi. Oleh karena itu penanganan
yang cepat dan tepat pada kegawatan nafas sangat diperlukan.
Prognosis dari gagal nafas sangat ditentukan oleh faktor penyebab gagal
nafas, penyakit primer, berat dan lamanya gagal nafas, kecepatan penanganan,
serta komplikasi yang terjadi. Hasil akhir pada pasien gagal napas sangat
tergantung dari etiologi/penyakit yang mendasarinya, serta penanganan yang cepat
dan adekuat. Jika penyakit tersebut diterapi dengan benar maka hasilnya akan
baik. Jika gagal napas berkembang dengan perlahan maka dapat timbul hipertensi
pulmoner, hal ini akan lebih memperberat keadaan hipoksemi. Adanya penyakit

xix
ginjal dan infeksi paru akan memperburuk prognosis. Terkadang transplantasi
paru diperlukan.8

xx
Bagan Gagal Nafas

Virus SARS-CoV-2 masuk


dan menempel pada sel host

Sekuens dari RBD termasuk RBM pada SARS-


CoV-2 konntak langsung dengan enzim ACE 2
Gangguan ventilasi:
Ggn. Neuromuskular
Depresi SSP karena obat
Virus bereplikasi di epitel saluran nafas atas &
Deformitas dinding dada
Obstruksi saluran nafas
menyebar ke saluran nafas bawah

Timbul respon imun bawaan dan spesifik

Memperngaruhi
otot-otot pernapasan
Kerusakan jaringan paru Inflamasi di paru

Hipoventilasi Kerusakan alveolar Kerusakan ↑ Sekresi sitokin


alveolar difus & akumulasi kapiler paru T-helper-2
cairan di alveolus (seperti IL4 dan
IL10)
Kebocoran
Gangguan Difusi proterin plasma
PCO2 ↑ (transfer O2 di dinding kapiler
alveolus terganggu) menebal
Retensi
PCO2 Hipoksemia darah arteri Transportasi O2 ke
jaringan terganggu

Ventilatory
capacity ↓ Hipoksia Jaringan

Hipoksia jaringan paru Sianosis Hipoksia Otak

Kerja nafas ↑ ↑ Tekanan


Intrakranaial

Ventilatory Retraksi
demand ↑ dinding dada Agitasi, gelisah,
kesadaran ↓

Gagal nafas

xxi
BAB III
KESIMPULAN

Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan mempertahankan


suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai
dengan kebutuhan normal. Gagal nafas diklasifikasikan menjadi gagal nafas
hipoksemia (tipe I) dan hiperkapnia (tipe II), dan berdasarkan waktu (akut dan
kronik). Penyebab dari gagal nafas dapat berupa kelainan pada otak, susunan
neuromuskular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler.
Diagnosa selain berdasarkan gejala klinis juga diperlukan pemeriksaan
penunjang seperti analisis gas darah, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan
mendukung penyakit penyerta, foto thoraks, echocardiography, dan EKG.
Penatalaksanaan pada kasus gagal nafas bertujuan untuk membuat oksigenasi
arteri adekuat serta menghilangkan underlying disease.

xxii
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaynar, A. M., Sat S., Michael R. P. 2018. Respiratory Failure, (online),


(https://emedicine.medscape.com/article/167981-overview#showall)
2. Patel S, Sharma S. 2019. Physiology, Respiratory Acidosis. StatPearls
Publishing; Treasure Island (FL).
3. Shebl E, Burns B. 2019. Respiratory Failure. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing, (online),
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526127/)
4. Forte P., M. Mazzone, G. Portale, C. Falcone, F. Mancini, & N. G. Silveri.
2006. Approach to Respiratory Failure in Emergency Department.
European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 10: 135-
151.
5. Schraufnagel, Dean E. 2010. Breathing in America: Diseases, Progress,
and Hope. American Thoracic Society.
6. Grippi, M. A., In Elias, J. A., In Fishman, J., In Kotloff, R. M., In Pack, A.
I., In Senior, R. M., & In Siegel, M. D. 2015. Fishman's Pulmonary
Diseases and Disorders, 5th Ed. USA: McGraw-Hill Education.
7. Rochwerg, Bram, et al. "Official ERS/ATS clinical practice guidelines:
noninvasive ventilation for acute respiratory failure." European
Respiratory Journal 50.2 (2017): 1602426.
8. Ulaynah, Ana. 2009. Terapi Oksigen. Dalam: Aru W. Sudoyo (ed.) . Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. pp. 161-
165.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2020. Pneumonia COVID-
19: Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.

xxiii

Anda mungkin juga menyukai