Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GAGAL NAFAS


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Kritis

Disusun Oleh :
KELOMPOK 9
Dede Yusuf Khatami (0432950317011)
Ega Ogiyan Putri (0432950317020)
Ike Febriyanti (0432950317026)
Lu’lu’a Lanahdiayanna (0432950317033)
Mohammad Khobib (0432950317039)

JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S-1

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANI SALEH

BEKASI

2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah“ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
GAGAL NAFAS”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Penyusunan Makalah ini adalah untuk memenuhi penugasan keperawatan kritis
semester ganjil 2020/2021. Banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan
dukungan serta do’a kepada penulis dalam menyelesaikan Makalah ini. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dosen Keperawatan Kritis :


a. Ns. Ahmad Fauji, M.Kep.,Sp. Kep.M.B
b. Ns. Puji Astuti, M.Kep., Sp. Kep. M.B
c. Ns. Heppy Sulistiyowati, S.Kep
2. Orang tua kami yang telah membantu baik moral maupun materi
3. Rekan-rekan satu kelompok yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini 
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penulis
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki Makalah
ini. Akhir kata penulis berharap semoga Makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.

Bekasi, 09 September 2020


Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................2
1.3 Tujuan....................................................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus................................................................................................2
1.4 Manfaat..................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teori.......................................................................................................3
2.1.1 Pengertian Penyakit.................................................................................3
2.1.2 Klasifikasi………………………………………………………...………………....3
2.1.3 Etiologi………………………………………………………………………………4
2.1.4 Patofisiologi…………………………………..…………………………………….4
2.1.5 Manifestasi Klinis…………………………………………………………………5
2.1.6 Analisa Gas Darah……………………………………………………………….10
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang…………………………...……………………………19
2.1.8 Penanganan Medis Dan Keperawatan………………..………………………
20
2.1.9 Asuhan Keperawatan…………………………………………...……………….21
BAB III PENUTUP
4.1 Kesimpulan………...……………………………………………………………………….32
4.2 Saran……………………………………………………………………………………………32
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………27
DAFTAR TABEL……………………………………………………………………...iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Patofisiologi Gagal Napas Yang Mengarah Pada Terjadinya Masalah
Keperawatan…………...…………………………………………………..4
Tabel 2.2 Ringkasan Etiologi dan Patofisiologi Gagal Napas.......................................5
Tabel 2.3 5 Nilai Normal Gas Darah …………………...……………………………………..11
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal napas adalah ketidakmampuan alat pernapasan untuk
mempertahankan oksigenasi di dalam darah dengan atau tanpa penumpukan CO2.
Gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada paru, jantung, dinding dada, otot
pernapasan dan mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medulla oblongata.
Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal napas, disfungsi dari
jantung, sirkulasi paru, sirkulasi sistemik, transport oksigen hemoglobin dan
disfungsi kapiler sistemik mempunyai peran penting pada gagal napas. Penyebab
terpenting gagal napas adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi
jalan napas atas. Pusat pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan
medulla).
Kegagalan pernapasan merupakan salah satu penyebab meningkatnya
mortalitas dan morbiditas. Setiap tahunnya diperkirakan 1 juta orang dirawat di
ICU karena gagal nafas (Wunsch, et al, 2010). Di Amerika Serikat kejadian gagal
nafas meningkat dari 1.007.549 orang pada tahun 2001 menjadi 1.917.910 pada
tahun 2009 (Stefan, et al, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Franca et al (2011)
pada 12 ruangan ICU yang ada di Brazil didapatkan 843 orang (49%) di rawat di
ruangan ICU karena gagal nafas akut dan 141 orang menderita gagal nafas setelah
dirawat di ICU, dari total penderita gagal nafas akut tersebut sebanyak 475 orang
meninggal di ruangan ICU dan 56 orang meninggal setelah keluar dari ICU.
Dibutuhkan suatu penanganan khusus untuk mengatasi kegagalan pernapasan.
Salah satu penatalaksanaan untuk mengatasi gagal nafas adalah pemberian bantuan
pernafasan melalui ventilator yang berfungsi untuk membantu fungsi paru dalam
pemenuhan oksigen tubuh.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan gagal napas ?
2. Bagaimana etiologi dari gagal napas ?
3. Bagaimana patofisiologi dari gagal napas ?
4. Bagaimana klasifikasi dari gagal napas ?
5. Bagaimana menifestasi klinis dari gagal napas ?
6. Bagaimana konsep asuhan keperawatan dari gagal napas ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan analisis jurnal penelitian ini adalah agar penulis dapat
menambah wawasan dan pengetahuan, serta mampu menjelaskan tentang
penerapan asuhan keperawatan dengan masalah gagal napas.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan konsep dasar medis pada pasien dengan gagal napas mulai
dari definisi, etiologi, patofisiologis, klasifikasi, menifestasi dan
penatalaksanaan keperawatan dan medis .
2. Menganalisa data serta merumuskan diagnosa pada pasien dengan gagal
napas.
3. Menyusun rencana keperawatan sesuai dengan diagnose keperawatan dan
memperioritaskan sesuai dengan kebutuhan klien.
4. Membuat kesimpulan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
gagal napas.
1.4 Manfaat
1. Bagi penulis dapat memperluas wawasan dalam menganalisis sistem pernapasan
pada kasus gagal napas.
2. Bagi pembaca dapat mengetahui pengetahuan dan informasi mengenai sistem
pernapasan pada kasus gagal napas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori


2.1.1 Pengertian Penyakit
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak cukup
masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung dan otak,
membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan baik.
Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat membuang
karbon dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida dalam darah
dapat membahayakan organ tubuh (National Heart, lung, 2011). Keadaan ini
disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah yang tidak adekuat
sehingga tidak dapat mempertahankan PH, PO2, dan PCO2, darah arteri
dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa atau disertai
hiperkapnia (Arifputera, 2014).
 Gagal napas akut adaIah gagal napas yang timbul pada klien yang parunya
normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan (onset)
penyakit timbul.
 Gagal napas kronis adalah gagal napas yang terjadi pada klien dengan
penyakit paru kronik seperti bronkhitis kronis. Emfisema dan penyakit
paru hitam (penyakit penambang batubara). Klien ini mengalami toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnea yang memburuk secara bertahap.
Setelah gagal napas akut, paru-paru biasanya kembali pada keadaan
awalnya. Pada gagal napas kronis struktur paru-paru mengalami kerusakan
yang permanen (irreversible).
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi gagal nafas Menurut Syarani (2017), gagal nafas dibagi
menjadi dua yaiitu gagal nafas tipe I dan gagal nafas tipe II.
1. Gagal nafas tipe I Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru untuk
mengoksigenasi darah, ditandai dengan PaO2 menurun dan PaCO2 normal
atau menurun. Gagal napas tipe I ini terjadi pada kelainan pulmoner dan
11 tidak disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme terjadinya
hipoksemia terutama terjadi akibat:
 Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah mengalir
ke bagian paru yang ventilasinya buruk atau rendah. Keadaan ini paling
sering. Contohnya adalah posisi (terlentang di tempat tidur), ARDS,
atelektasis, pneumonia, emboli paru, dysplasia bronkupulmonal.
 Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membrane alveolar
atau pembentukan cairan interstitial pada sambungan alveolar-kapiler.
Contohnya adalah edema paru, ARDS, pneumonia interstitial.
 Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area paru-
paru yang tidak pernah mengalami ventilasi. Contohnya adalah
malformasi arterio-vena paru, malformasi adenomatoid kongenital.
2. Gagal nafas tipe II Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk
mengeluarkan CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi
yang ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnia)
disertai dengan penurunan PH yang abnormal dan penurunan PaO2 atau
hipoksemia. Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi
karena kelainan ekstrapulmonal. Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan
12 ekstrapulmonal dapat disebabkan karena penekanan dorongan
pernapasan sentral atau gangguan pada respon ventilasi.
Menurut Black and Hawks (2014), pada pasien gagal nafas akut
diklasifikasikan menjadi dua yaitu gagal nafas hipoksemia dan gagal nafas
ventilasi atau hiperkapnia.
a. Gagal nafas hipoksemia
Gagal nafas hipoksemia dapat disebabkan masalah difusi seperti edema
paru, nyaris tenggelam, sindrom gawat nafas (akut) dewasa (adult/acute
respiratory distress syndrome), masalah lokal seperti pneumonia,
pendarahan rongga dada dan tumor paru.
b. Gagal nafas ventilasi atau hiperkapnia Gagal nafas ventilasi atau
hiperkapnia adalah ketika klien tidak dapat mendukung pertukaran gas
yang adekuat, menyebabkan kenaikan kadar PaCO2 yang berakibat pada
depresi susunan saraf pusat, ketidakmampuan neuromuscular untuk
mempertahankan pernafasan atau bebabn berlebih pada sistem pernafasan.
2.1.3 Etiologi
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal napas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat
pernapasan yang mengendalikan pernapasan, terletak di bawah batang otak
(pons dan medulla) sehingga pernapasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer
Akan mempengaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat
pernapasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak
terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernapasan. Penyakit pada
saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau
pertemuan neuromuscular yang terjadi pada pernapasan akan sangat
mempengaruhi ventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang menganggu ventilasi melalui penghambatan
ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakit paru yang
mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat
menyebabkan gagal napas.
4. Trauma
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan
perdarahan dari hidung dan mulut dapat mengarah pada obstruksi jalan
napas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan
fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin menyebabkan gagal napas.
Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal napas.
5. Penyakit akut paru
Pneumonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pneumonia kimiawi atau
pneumonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengiritasi dan materi
lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelectasis, embolisme paru
dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyebabkan gagal
 Penekanan pusat pernapasan  Kelainan obtruktif difus
napas.
 Kelainan neuramuskular  Kelainan restriktif difus
2.1.4 Patofisiologi
 Kelainan pleura dan dinding  Kelainan vaskular paru-paru

 Penekanan dorongan pernapasan sentral


 Gangguan pada respons ventilasi

 Hipoventilasi alveolar
 Ketidakseimbangan Rasio V/Q (ventilisi/ perfusi)

Ventilasi yang tidak


adekuat

Peningkatan kerja gas


Gangguan pertukaran  Hipoksemia
pernapasan
Ketidakefektifan
dan
pola  Hiperkapnea
hipoksemi secara
reversibel

Penurunan kemampuan batuk Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan,


efektif penggunaan otot bantu pernapasan

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas


Respons sistemis dan
psikologis

Keluhan sistemis, mual, intik zat  Kecemasanpsikososial,


Keluhan
gizi tidak ade kuat, malaise, serta  Ketidaktahuan/
kecemasan, ketidaktahuan,
kelemahan dan keletihan fisik pemenuhan informasi
prognosis

 Perubahan pemenuhan zat gizi kurang dari


kebutuhan
Tabel 2.1. Patofisiologi gagal napas yang mengarah pada terjadinya masalah keperawatan (Muttaqin,
Arif. 2012.Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika)

Etiologi Patofisologi
Pada Periode pascaoperatif
periode
pascaope Agen- agen farmakologi menekan pernapasan adanya penurunan metabolisme atau
ratif mengeksresi obat nyeri pada area thoraks dan abdomen mengganggu napas dalam dan
batuk

Penekan dorongan pernapasan sentral


Gangguan pada respons ventilasi

Penurunan/hilangnya control pernapasan


Penurunan pola pernapasan

Ketidaksesuaian dari ventilasi-perfusi

Gagal napas
Kelainan Kelainan neurologis primer
neurologi
s primer (sindrom Guillain-bare, miastenia gravis, kerusakan pada segmen servikal medulla
(ganggua spinalis, lesi, akut yang luas pada batang otak dalam multiple sclerosis, dan poliomiellitis)
n pada
respons Penekanan dorongan pernapasan sentral
vantilasi) Gangguan pada respons ventiasi

Penurunan/hilangnya control pernapasan

Ketiaksesuaian dari ventilasi-perfusi

Gagal napas
Trauma Trauma pada kepala dan thoraks

Cedera kepala, penurunan kesadaran, dan terjadi pendarahan dari hidung dan mulut
menyebabkan obstruksi jalan napas atas dan depresi pernapasan adanya tekanan
meningkat intrapleural akibat udara atau darah

Penekanan dorongan pernapasan sentral


Gangguan pada respons ventilasi

Penurunan /hilangnya control pernapasan


Penurunan kemampuan pengembangan paru

Ketidaksesuaian dari ventilasi-perfusi

Gagal napas
Penyakit Pneumonia
paru akut
Terjadi konsolidasi dan pengisian rongga alveoli dan eksudat

Penurunan jaringan efektif paru, kerusakan membrane alveolar-kapiler

Ketidaksesuaian dari ventilasi perfusi

Gagal napas
Status asmatikus

Peningkatan kerja pernapasan dan hipoksemia sesaat (reversible)

Ketidaksesuaian dari ventilasi perfusi

Gagal napas
Tabel 2.2. Ringkasan Etiologi dan Patofisiologi Gagal Napas (Muttaqin, Arif. 2012.Asuhan
Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika)

Etiologi Patofisiologi
Penyakit PPOM
paru
kronis Gangguan pergerakan udara ke dan dari luar paru

Peningkatan kerja pernapasan, hipoksemia sesaat (reversible)

Ketidaksesuaian dari ventilasi-perfusi


Gagal napas
Atelektasis

Kolapsnya alveoli

Gangguan dalam pertukaran gas secara permanen (irrversible)

Ketidaksesuaian dari perfusi

Gagal napas
Penyakit Efusi pleura, hempthoraks, dan pneumothoraks
pleura
Meningkatnya tekanan intrapleural akibat udara atau darah

Gangguan ventilasi

Ketidaksesuaian dari ventilasi-perfusi

Gagal napas
Takar Narkotika dalam dosis berlebih
dosis
Penekanan perut pernapasan

Gagal ventilasi

Ketidaksesuaian dari ventilasi-perfusi

Gagal napas
Penyakit Status asmatikus
akut paru
Peningkatan kerja pernapasan hipoksemia secara reversibel

Ketidaksesuaian dari ventilasi-perfusi

Gagal napas
Atelektasis

Kolapsnya alveoli
Gangguan dalam pertukaran gas secara irreversibel

Ketidaksesuaian dari ventilasi-perfusi

Gagal napas
Tabel 2.2. Ringkasan Etiologi dan Patofisiologi Gagal Napas (Muttaqin, Arif. 2012.Asuhan
Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika)

2.1.5 Manifestasi Klinis


Tanda
Gagal napas total
1. Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan
2. Pada gerakan napas spontan terlihat retraksi supra klavikula dan sela iga
serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
3. Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan

Gagal napas parsial

1. Terdengar suara napas tambahan gargling, snoring, growing, dan whizzing


2. Ada retraksi dada

Gejala

 Hiperkapnea yaitu penurunan kesadaran (PCO2)


 Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2
menurun)
2.1.6 Analisa Gas Darah
Gas Darah Arteri Gas darah arteri membantu kita dalam mendapatkan
informasi mengenai tiga proses fisiologis yang menjaga homeostasis pH,
yaitu: ventilasi alveolar, oksigenasi, keseimbangan asam basa, ketiga proses
ini saling berkaitan.
5 Nilai normal gas darah tertera pada tabel 1.

Arteri Vena
pH 7,35 – 7,45 7,32 – 7,43
PaO2 80 – 100 mmHg 10,6 – 13,3 kPa 25 – 40 mmHg
PaCO2 35-45 mmHg 4,7 – 6,0 kPa 41-50 mmHg
HCO3 22 – 26 mmol/L 23 -27 mmol/L
Base excess -2 s/d +2 mmol/L
Tabel 2.3. 5 Nilai Normal Gas Darah (Farhan Ali Rahman, Calcarina Fitriani Retno
Wisudarti, Bhirowo Yudo Pratomo. 2015. Aplikasi Klinis Analisis Gas Darah Pendekatan
Stewart pada Periode Perioperatif. Jurnal Komplikasi Anestesi. Volume 3 Nomor 1.
anestesi.fk.ugm.ac.id/jka.ugm/download-file-948305.pdf 

Keterangan: untuk mengubah tekanan menjadi kPa, satuan mmHg dibagi 5

Komposisi kimia ruang intrasel dan ekstrasel dikontrol dengan ketat


untuk memfasilitasi fungsi homeostasis. Termasuk di dalamnya konsentrasi ion
hidrogen dan ion hidroksil. Perubahan pada konsentrasi ion-ion tersebut
berhubungan dengan problem klinis yang signifikan. Deteksi, interpretasi, dan
terapi pada kelainan asam basa menjadi elemen inti dari terapi klinis.

Pendekatan tradisional tentang keseimbangan asam basa cenderung


terfokus pada metode interpretasi data laboratorium daripada pemahaman dasar
kimia dan biofisika. Pendekatan fisika dan kimia modern pada keseimbangan
asam basa secara signifikan meningkatkan pemahaman kita tentang masalah-
masalah tersebut dan menyederhanakan pendekatan klinis.

Abnormalitas asam basa sebaiknya dipandang sebagai akibat dari


perubahan biokimia lain pada lingkungan ekstraseluler. Perubahan konsentrasi
relatif ion hidrogen tidak begitu penting dibandingkan abnormalitas kimia yang
menjadi penyebabnya. Ion hidrogen [H+] dan hidroxil [OH–] merupakan hasil
disosiasi air yang konsentrasinya telah mengalami modulasi untuk
mempertahankan kenetralan elektrik tergantung pada konsentrasi lokal ion-ion
kuat, asam-asam lemah, dan karbondioksida (CO 2).10 Untuk melakukan
analisis gas darah arteri dikenal beberapa teknik, yaitu :

1. Pendekatan Henderson - Hasselbach


Henderson di tahun 1902 dilengkapi oleh Hasselbach di tahun 1916
menyampaikan bahwa untuk dapat mempertahankan kehidupannya, tubuh
manusia harus dapat menjaga rentang pH yang sempit untuk
mengoptimalkan fungsi sel. Tubuh manusia mempunyai sistem penyangga
(buffer system) dan mekanisme kompensasi untuk dapat menjaga pH antara
7,36 sampai dengan 7,44 pada orang dewasa. Untuk dapat memahami
perhitungan pH, perlu kiranya memahami persamaan Henderson -
Hasselbach berikut ini :
¿
pH = 6,1 + log HCO 3− 0,03 x PaCO 2 ¿

Untuk dapat menjaga pH fisiologis, tubuh harus dapat


mempertahankan rasio optimal dari HCO3 - dan PaCO2, yaitu 20:1. Rasio ini
diatur paru-paru (PaCO2) dan ginjal (HCO3-). Gangguan asam basa berupa
penurunan nilai HCO3- berakibat meningkatnya ventilasi alveolar untuk
dapat menjaga rasio tersebut. Setiap perubahan pada keseimbangan asam
basa pada dasarnya dapat dikoreksi dengan sistem penyangga dan
kompensasi ginjal.
Namun, persamaan Henderson-Hasselbach ini tidak membahas
mekanisme perubahan pH akibat efek metabolik sejelas efek
respiratoriknya, karena secara in vivo kadar bikarbonat sangat tergantung
pada PaCO2 . Oleh sebab itu, muncul konsep standar bikarbonat dan
standard base excess (SBE) untuk menghitung efek metabolik terhadap
perubahan pH.
2. Pendekatan Peter Stewart
Peter Stewart di tahun 1983 menyampaikan 3 pendekatan fisiologi
asam basa berupa HCO3- (dalam konteks PaCO2), standard base excess
(SBE), dan strong ion difference (SID). Tiga pendekatan ini sudah ada sejak
20 tahun konsep Stewart mengenai SID mulai diperkenalkan, yang
didefinisikan sebagai perbedaan mutlak antara anion dan kation terdisosiasi
lengkap. Sesuai dengan prinsip netralitas elektrik, perbedaan ini
diseimbangkan oleh asam lemah dan CO2. SID didefinisikan dalam istilah
asam lemah dan CO2 yang kemudian disusun ulang sebagai SID efektif
(SIDe) yang identik dengan “buffer base”. Serupa dengan hal di atas, istilah
asli untuk konsentrasi asam lemah total (A TOT) sekarang didefinisikan
sebagai bentuk asam lemah terdisosiasi [A-] dan tak terdisosiasi [AH]. Hal
ini lebih dikenal dengan istilah anion gap (AG), dengan konsentrasi normal
dijaga oleh [A-]. Ketiga metode tersebut di atas digunakan untuk menilai
status asam basa pada sampel darah.

Abnormalitas Asam Basa

Nilai dari metode Stewart memungkinkan kita menggunakan model


sederhana untuk menerangkan kelainan asam basa, karena semua
abnormalitas dapat dijelaskan dalam terminologi dari SID, ATOT, dan Pa CO2.
Secara tradisional gangguan asam basa diidentifi kasikan karena gangguan
tekanan arterial CO2 (PaCO2) (misalkan pada asidosis atau alkalosis
respiratorik) dan gangguan metabolik.

1. Abnormalitas Asam Basa pada Sistem Respirasi


Asidosis respiratorik ditandai dengan peningkatan PaCO2 karena
gagal nafas, secara klinik terdapat tanda retensi CO 2 berupa sianosis,
vasodilatasi, dan narkosis. Alkalosis respiratorik terjadi jika ada penurunan
akut PaCO2 karena hiperventilasi dengan tanda dan gejala vasokonstriksi,
gangguan penglihatan, pusing dan hipokalsemia karena banyaknya CO2
terikat albumin. Kondisi terakhir disebabkan karena meningkatnya muatan
ke albumin pada kondisi alkalosis. Hipokalsemia akut ditandai parestesi
dan tetani.
Asidosis respiratorik secara cepat meningkatkan [H+] dengan
kompensasi terhadap hiperkarbia lambat, dan memerlukan peningkatan
[Cl] melalui ekskresi urin. Bersamaan dengan peningkatan bikarbonat,
menunjukkan tingginya muatan CO2 melebihi kompensasi. Tidak semua
asidosis respirasi berbahaya, pada perawatan intensif pasien dapat
dikondisikan “permissive hypercapnea” dan dapat ditoleransi.
2. Gangguan Metabolik Asam Basa
Abnormalitas metabolik asam basa disebabkan oleh perubahan SID,
ATOT atau keduanya. Peningkatan SID menyebabkan alkalemia dan
penurunan SID menyebabkan asidemia. Hal ini menyebabkan perubahan
total konsentrasi ion kuat, contohnya pada penurunan SID (lebih banyak
anion dibanding kation) yang menyebabkan asidosis akibat peningkatan
murni anion (hiperkloremia, laktatsemia) atau peningkatan volum
distribusi ion (asidosis dilusional).
Asidosis metabolik merupakan manifestasi klinik dari dua hal, yaitu:
gangguan dari asidosis itu sendiri dan gangguan dari penyebab
asidosisnya. Asidosis dihubungkan dengan perubahan pompa ion
transeluler dan peningkatan ion Ca, sehingga terjadi vasodilatasi, turunnya
fungsi otot (terutama miokardial), dan aritmia. Kurva disosiasi
oksihemoglobin bergeser ke kanan untuk meningkatkan oksigen ke
jaringan. Onset cepat asidosis metabolik mungkin dapat menggambarkan
manifestasi profound hypotension, kardiak aritmia, dan kematian. Asidosis
maligna dihubungkan dengan proses dasar sebelumnya dimana laktat
asidosis akibat syok lebih berbahaya dari asidosis hiperkloremik yang
diberikan NaCl berlebihan. Asidosis hiperkloremik prognosisnya lebih
baik daripada asidosis laktat.
Tubuh sangat hiperesponsif terhadap asidosis. Peningkatan ion [H+]
dalam LCS mengaktifk an pusat respirasi untuk stimulasi respirasi.
Ventilasi alveolar meningkat dan menurunkan isi CO 2 arterial dan
mengurangi total [H+] tubuh. Secara simultan terjadi penurunan
bicarbonat karena aktifi tas buff er dan penurunan total CO 2. Respon ini
menurunkan pH plasma dengan cepat pada asidosis metabolic
Alkalosis metabolik adalah kondisi yang jarang terjadi akibat kondisi
penyakit akut. Tanda dan gejala yang muncul adalah vasokontriksi luas,
nyeri kepala, tetani dan parestesi. Mekanisme kompensasi awal adalah
hipoventilasi yang dapat menunda weaning/lepas ventilator mekanik di
ruang perawatan intensif.
Contoh kasus, pada seorang pria dengan berat badan rata-rata 70 kg
memiliki total body water (TBW) 4 L, dan 2/3nya berada di ruang
intraselular. Lebih kurang 15 L berada di ekstraselular. [Na+] pada
kompartemen ini adalah 140 mEq/L, [Cl] = 100 mEq/L, [K] = 4 mEq/L.
Dengan mengabaikan [Mg], [Ca], ion kuat lainnya dan CO2 , maka SID
pada pasien ini SID = 44 mEq/L.
Faktor yang meningkatkan SID akan meningkatkan konsentrasi
kation kuat terhadap anion lemah dan membasakan larutan, dan
sebaliknya. Saat volum pada kompartemen ini tersekspansi 2 L seperti
yang terjadi pada pasien paska infus cepat dengan D5% dimana [Na] =
123, [K] = 3,5, dan [Cl] = 88, konsentrasi relatif kation terhadap anion
turun sehingga SID turun 38,5 mEq/L, maka sistem menjadi lebih asam
dan inilah yang dimaksud asidosis dilusional. Sebaliknya jika 2 L diambil
dari sistem dan total konsentrasi ion yang ada tidak berubah (misal pada
orang yang berkeringat profuse atau pada keadaan dehidrasi), maka
kompensasi yang terjadi [Na] naik menjadi 161, [K] = 4,6, [Cl] = 115, SID
= 50,6 inilah yang disebut alkalosis kontraksi.
Dalam cairan perioperatif, normal saline (NaCl 0,9%) berisi [Na] =
154 mEq/L dan [Cl] = 154 mEq/L dengan SID = 0 sering digunakan.
Sebagai contoh, pasien yang kehilangan 5 L ECF dan diberikan 5 L NaCl
sebagai gantinya, maka pada profi l elektrolit terjadi peningkatan [Na] =
141, penurunan [K] = 2,6, [Cl] = 118, SID turun sampai dengan 29 mEq/L,
ini merupakan dasar asidosis hiperkloremik.
Semua proses yang menaikkan volum air akan menghasilkan
asidosis dilusional. Proses yang mengakibatkan kehilangan Cl tanpa Na
akan mengakibatkan alkalosis metabolik, sedangkan alkalosis
hipokloremik terjadi karena peningkatan SID. Alkalosis juga dapat
disebabkan karena hilangnya ion Cl. Diare berat yang berhubungan dengan
hilangnya [Na] dan [K] akan menyebabkan asidosis metabolic.
Bentuk paling berbahaya asidosis metabolik adalah yang
berhubungan dengan:
a. Disoksia, dimana terjadi produksi laktat yang menurunkan SID dan
menyebabkan asidosis.
b. Pada KAD, dimana ß-hidroxybutirat dan acetoacetat yang diproduksi
menurunkan SID dan menyebabkan asidosis.
c. Pada chronic renal failure (CRF), dimana SO4 2- dan PO4 3- yang tidak
diekskresi menyebabkan asidosis.
Mekanisme asidosis tersebut sama dengan contoh sebelumnya. Jika
pasien dengan [Na] = 140 mEq/L, [Cl] = 109 mEq/L, dan [K] = 4 mEq/L,
dengan penambahan anion laktat [LA] = 10 meq/L, SID turun menjadi 34
mEq/L, dan sistem menjadi lebih asidemik.
Asam lemah total, albumin serum, dan PO4 juga mempengaruhi
status asam basa. Hiperfosfatemia dihubungkan dengan asidosis pada
CRF. Hipoalbuminemia sering terjadi pada praktek klinik.
Hipoalbuminemia menurunkan ATOT dan berhubungan dengan alkalosis
metabolik. Hubungan hipoalbumnemia dengan asam basa masih belum
banyak digali, metode Stewart yang dimodifikasi oleh Fencl dan Figge
menyebutkan bahwa albumin bermuatan negatif dan SID bermuatan
positif. Adanya hipoalbumin dapat mengaburkan asidosis seperti anion
yang tidak terukur saat menggunakan alat konvensional untuk mengitung
pH. Hiperalbuminemia pernah dijumpai pada kolera dihubungkan dengan
hemokonsentrasi yang menggambarkan asidosis.

Pengaturan Keseimbangan Asam-Basa


Konsentrasi ion [H+] ekstraselular diatur ketat di dalam tubuh.
Buffer adalah satu atau lebih dari dua larutan kimia yang berfungsi
mengurangi perubahan pH sebagai respon penambahan asam atau basa.
Sebagian besar buffer adalah asam lemah. Sumber utama asam di dalam
tubuh adalah CO2 yang menghasilkan [H+] sebanyak 12.500 mEq/ hari
dan dieksresi oleh paru. Secara kontras, hanya 20-70 mEq yang dibuang
(diekskresi) melalui ginjal setiap harinya. Asam volatil di-buffer oleh Hb.
Hb deoksigenasi adalah basa kuat dan peningkatan pH terjadi pada darah
vena jika Hb tidak mengikat ion hidrogen (dari hasil metabolisme
oksidatif). Darah vena mengandung 1,68 mmol/L ekstra CO 2 arterial,
dimana 65% sebagai HCO3 (H terikat Hb), 27% sebagai karbamino-Hb,
dan 8% terlarut.
CO2 dapat secara mudah masuk membran sel. Di dalam eritrosit CO2
bergabung dengan H2O dengan pengaruh karbonik anhidrase membentuk
H2CO3. Ion H terikat pada histidin residu pada deoksihemoglobin dan
bikarbonat secara aktif dipompa keluar dari sel. Cl masuk ke dalam sel
untuk menjaga netralitas larutan.
Kompensasi metabolik untuk asidosis respiratorik adalah
peningkatan SID dengan membuang Cl dari ruang ekstraselular,
transeluler inisial, kemudian melalui urin. Bersamaan dengan hal tersebut
terjadi peningkatan HCO3 yang sering disalah interpretasikan dengan
peningkatan PaCO2. [HCO3-] adalah variabel dependen yang meningkat
atau menurun dari PaCO2. Tingkat konversi CO2 ke HCO3 tergantung
aktivitas karbonik hidrase dan terjadi secara lambat.
Asam metabolik di-buff er dengan meningkatkan ventilasi alveolar
yang mengakibatkan alkalosis respirasi dan asam lemah ekstraselular.
Termasuk asam lemah disini adalah protein plasma, fosfat dan bikarbonat.
Sistem buff er bikarbonat merupakan buff er ekstraseluler. pKa bikarbonat
rendah (6,1), namun penting karena jumlahnya yang amat banyak dari CO 2
dalam tubuh. Gabungan CO2 dan H2O menghasilkan CO2 yang dibuang
melalui paru. Kompensasi ini hilang pada pasien dalam anestesi dan pasien
yang menggunakan ventilator mekanik.
Pengaruh ginjal adalah dengan renal menahan Na dan Cl, ginjal
membuang muatan Cl dengan menggunakan NH4+ yg merupakan kation
lemah untuk menjaga netralitas elektrik urin. Pada asidosis metabolik, Cl
dieksresi oleh ginjal. Pada alkalosis metabolik, terjadi retensi ion Cl serta
ekskresi ionNa dan K. Adanya bikarbonat dalam urin memerlukan respon
netralitas elektrik. Di dalam asidosis tubulus renal terjadi ketidakmampuan
untuk mengekskresi Cl sampai Na.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengamati satu asidosis
metabolik hiperkloremik dengan ketidaksesuaian kadar Cl di dalam urin
dimana SID urin adalah positif. Jika SID urin negatif maka proses bukan
terjadi di ginjal. Penyebab lain asidosis metabolik hiperkloremik adalah
gastrointestinal losses (misalkan diare, small bowel atau pancreatic
drainage), nutrisi parenteral, pemberian cairan salin berlebihan, dan
penggunaan inhibitor karbonik anhidrase inhibitor.

Masalah Asam Basa Perioperatif

Gangguan Asam Basa Paska Operatif dan Pada Kondisi Kritis di


Rawat Intensif

Pendekatan Stewart memberikan jawaban kepada pada intensivis


yang tidak puas dengan pendekatan asam basa tradisional. Pasien rawat
intensif dengan gangguan asam basa yang kompleks tidak mungkin diatasi
dengan satu model pendekatan. Gangguan tunggal pasien rawat intensif
adalah hipoalbuminemia yang menyebabkan alkalosis metabolik yang
dapat menutupi perubahan SID seperti asidosis laktat. Pasien dengan
ventilator jangka panjang dengan hiperkarbia karena hilangnya ion Cl pada
urin. Ventilator mekanik menaikkan hormon atripeptin (ANP) dan anti
diuretic hormon (ADH) yang meningkatkan TBW dan mengakibatkan
asidosis dilusional yang sering juga dikomplikasi gagal ginjal.

Pasien rawat intensif rentan terhadap perubahan SID dan air bebas,
nasogastric suctioning menyebabkan hilangnya Cl. Diare menyebabkan
hilangnya Cl dan K. Drain bedah dapat mengakibatkan terbuangnya cairan
dan elekrolit. Banyak antibiotik di rawat intensif seperti piperocilin
tazobactam dilarutkan dalam larutan kaya Na. Vankomisin dilarutkan
dalam D5% dalam jumlah besar. Lorazepam dilarutkan dalam
propilenglikol. Pemberian dalam jumlah besar mengakibatkan asidosis
metabolik. Continous Renal Replacement Therapy (CRRT) telah banyak
dipakai di rawat intensif untuk hemofi ltrasi dan hemodialisa (HD) pasien
dengan hemodinamik tidak stabil. CRRT mengatasi asidosis pada gagal
ginjal dengan membuang SID dan fosfat. Namun ada resiko alkalosis
metabolik karena hypoalbuminemia.

Loop diuretics mengakibatkan alkalosis kontraksi dan hipokloremik.


Terjadi banyak kekeliruan dalam penggunaan inhibitor anhidrase yang
meningkatkan kadar CO2 jaringan dan mengakibatkan asidosis respirasi
dan diuresis. Tidak ada terapi untuk metabolik hipoalbuminemia kecuali
penyembuhan penyakit primernya. Alkalosis kontraksi diterapi dengan
menghitung defi sit air bebas dengan formula12 : Defisit air bebas = 0,6 x
Berat Badan (kg) x ((Kadar Na pasien/140) - 1).

Alkalosis hipokloremik diterapi dengan mengkoreksi defi sit klorida


dengan infus NaCl. Pasien bedah saraf rentan terjadi gangguan asam basa.
Manitol untuk mengurangi tekanan intra kranial (TIK) dapat
mengakibatkan asidosis dilusional yang diikuti alkalosis kontraksi karena
efek diuresis. Jika diterapi dengan NaCl maka dapat terjadi asidosis
hiperkloremik. Diabetes insipidus adalah komplikasi cedera kepala berat
pada stadium terminal karena kerusakan pituitari atau hipotalamus.
Dengan tidak adanya ADH, urin tidak mampu membuat konsentrasi urin
normal, sehingga terjadi diuresis masif, yang diikuti alkalosis kontraksi.
Terapi keadaan ini adalah dengan desmopresin.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Gas Darah Arteri
Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk mengetahui apakah klien
mengalami asidosis metabolik, alkalosis metabolik, atau keduanya pada
klien ynag sudah lama mengalami gagal napas. Selain itu, pemeriksaan ini
juga sangat penting untuk mengetahui oksigenasi serta evaluasi kemajuan
terapi atau pengobatan yang diberikan terhadap klien.
d. Hipoksemia
Ringan : PaO2 < 80 mmHg
Sedang : PaO2 < 60 mmHg
Berat : PaO2 < 40 mmHg
e. Hiperkapnia
Ringan : PaCO2 45±60 mmHg
Sedang : PaCO2 60±70 mmHg
Berat : PaCO2 70±80 mmHg
2. Pemeriksaan Rontgen Dada
Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak
diketahui. Terdapat gambaran akumulasi udara/cairan, dapat terlihat
perpindahan letak mediastinum. Berdasarkan pada foto thoraks dan
fluroskopi akan banyak data yang diperoleh seperti terjadinya hiperinflasi,
pneumothoraks, efusi pleura, hidropneumothoraks, sembab paru, dan
tumor paru.
3. Pengukuran Fungsi Paru
Penggunaan spirometer dapat membuat kita mengetahui ada tidaknya
gangguan obstruksi dan restriksi paru. Nilai normal atau FEV >83%
prediksi. Ada obstruksi FEV <70% dan FEV/FVC lebih rendah dari nilai
normal. Jika FEV normal, tetapi FEV/FVC sama atau lebih besar dari nilai
normal, keadaan ini menunjukkan ada restriksi.
4. Elektrokardiogram (EKG)
Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada EKG yang ditandai dengan
perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III dan aVF, serta jantung
yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia dan aritmia jantung
sering dijumpai pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
5. Pemeriksaan Sputum
Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau, dan kekentalan. Jika perlu
lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman penyebab. Jika dijumpai
garis-garis darah pada sputum (blood streaked), kemungkinan disebabkan
oleh bronkhitis, bronkhiektasis, pneumonia, TB paru, dan keganasan.
Sputum yang berwarna merah jambu dan berbuih (pink frothy),
kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk sputum yang mengandung
banyak sekali darah (grossy bloody), lebih sering merupakan tanda dari TB
paru atau adanya keganasan paru.
2.1.8 Penanganan Medis Dan Keperawatan
1. Terapi oksigen pemberian oksigen kecepatan rendah : masker venture atau
nasal prong
2. Ventilator mekanik dengan tekanan jalan napas positif kontinu (CPAP)
atau PEEP
3. Inhalasi nebulizer
4. Fisioterapi dada
5. Pemantauan hemodinamik/jantung
6. Pengobatan bronkodilator steroid
7. Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan
2.1.9 Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian Primer
1. Airway
a. Peningkatan sekresi pernapasan
b. Bunyi napas terdengar bunyi crackles, ronkhi, dan wheezing
2. Breathing
a. Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu,
adanya retraksi
b. Menggunakan otot bantu pernapasan
c. Kesulitan bernapas : diaphoresis dan sianosis
3. Circulation
a. Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakit kepala
c. Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk
d. Papil edema
e. Penurunan haluaran urin
4. Disability
Perhatikan bagaimana tingkat kesadarn klien, dengan penilaian GCS,
dengan memperhatikan reflex pupil, diameter pupil.
5. Eksposure
Penampilan umum klien seperti apa, apakah adanya udem, pucat,
tampak lemah, adanya perlukaan atau adanya kelainan yang didapat
secara objektif.

Pengkajian Sekunder (Doengoes, 2000)


1. Sistem kardiovaskuler
Tanda : takikardia, irama ireguler, terdapat bunyi jantung S3, S4/irama
gallop dan murmur, Hamman’s sign (bunyi udara beriringan dengan
denyut jantung menandakan udara di mediastinum), hipertensi atau
hipotensi.
2. Sistem pernapasan
Gejala : riwayat trauma dada, penyakit paru kronis, inflamasi paru,
keganasan, batuk
Tanda : takipnea, peningkatan kerja pernapasan, penggunaan otot
asesori, penurunan bunyi napas, penurunan fremitus vokal, perkusi :
hipersonan di atas area berisi udara (pneumotorak), dullnes di area
berisi cairan (hemotorak); perkusi : pergerakkan dada tidak seimbang,
reduksi ekskursi thorak.
3. Sistem integumen
Sianosis, pucat, krepitasi subkutan, gangguan mental, cemas, gelisah,
bingung, stupor
4. Sistem muskuloskeletal
Edema pada ekstremitas atas dan bawah, kekuatan otot dari 2-4
5. Sistem endokrin
Terdapat pembesaran kelenjar tiroid
6. Sistem gastrointestinal
Adanya mual atau muntah, kadang disertai konstipasi
7. Sistem neurologi
Sakit kepala
8. Sistem urologi
Penurunan haluaran urin
9. Sistem reproduksi
Tidak ada masalah pada reproduksi. Tidak ada gangguan pada
Rahim/serviks
10. Sistem indera
 Penglihatan : penglihatan buram, diplopia, dengan atau tanpa
kebutaan tiba-tiba
 Pendengaran : telinga berdengung
 Penciuman : tidak ada masalah dalam penciuman
 Pengecap : tidak ada masalah dalam pengecap
 Peraba : tidak ada masalah dalam peraba, sensasi terhadap
panas/dingin tajam/tumpul baik
11. Sistem abdomen
Biasanya kondisi disertai atau tanpa demam
12. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat napas dalam, dapat
menjalar ke leher, bahu dan abdomen, serangan tiba-tiba saat batuk
Tanda : melindungi bagian nyeri, perilaku distraksi, ekspresi meringis
13. Keamanan
Gejala : riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat
radiasi/kemoterapi
14. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riawayat faktor resiko keluarga dengan tuberculosis
b. Analisa Data

No. Data Etiologi Masalah

1. Ds : Disfungsi Bersihan jalan


 Klien mengeluh sulit bicara neuromuskuler napas tidak efektif
 Klien mengeluh sesak napas, napas lambat
 Klien mengeluh sulit bernapas pada saat
berbaring
Do :
 Klien tampak gelisah
 Terdengar suara napas Mengi
 Bunyi napas menurun
 Frekuensi napas berubah
2. Ds : Hambatan upaya Gangguan
 Klien mengeluh lelah napas (mis. penyapihan
 Klien merasa khawatir mesinnya rusak Kelemahan otot ventilator

 Klien mengeluh gelisah pernapasan)

Do :
 Warna kulit pucat
 Klien berkeringat seluruh tubuh
 Kesadaran menurun
 Ekspresi wajah klien terlihat ketakutan
3. Ds : Ketidakseimbangan Gangguan
 Klien mengatakan pusing ventilasi-perfusi pertukaran gas
 Klien mengatakan penglihatan kabur
 Klien mengeluh sesak npas, napas lambat
Do :
 PCO2 meningkat
 PO2 menurun
 Klien tampak berkeringat seluruh tubuh
 Napas cuping hidung
 Klien tampak gelisah
4. Ds : Kelelahan otot Gangguan ventilasi
 Klien mengeluh sesak, napas lambat pernapasan spontan
Do :
 Klien tampak gelisah
 Pernapasan takikardia 110/menit
5. Ds: Depresi pusat Pola napas tidak
 Klien mengeluh sesak, napas lambat pernapasan, cedera efektif
 Klien mengeluh sulit bernapas pada saat pada medulla
berbaring spinalis, posisi
Do : tubuh yang
 Pernapasan cuping hidun menghambat

 Pola napas bradipnea ekspansi paru


 Diameter thoraks anterior-posterior
meningkat
6. Ds : Ketidakmampuan Risiko aspirasi
 Klien mengeluh sulit bernapas koordinasi
 Klien mengeluh sulit bicara menghisap,
Do : menelan, dan

 Sputum berlebih bernapas

 Wajah klien tampak gelisah


 Kesadaran menurun
Tabel 2.4. Analisa Data (Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017.Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia)

c. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
2. Gangguan penyapihan ventilator
3. Gangguan pertukaran gas
4. Gangguan ventilasi spontan
5. Pola napas tidak efektif
6. Risiko aspirasi

d. Intervensi Keperawatan

No./tgl Diagnose Rencana Tindakan


Keperawatan
1. Bersihan jalan 1. Latihan batuk efektif
napas tidak efektif Observasi :
b.d disfungsi  Identifikasi kemampuan batuk
neuromuskuler  Monitor adanya retensi sputum
Terapeutik :
 Atur posisi semi-Fowler atau Fowler
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
 Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selaa 4 detik,
ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut
dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
 Anjurkan mengulangi Tarik napas dalam hingga 3 kali
 Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah Tarik napas
dalam yang ke-3
2. Manajemen jalan napas
Observasi :
 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, wheezing,
ronkhi kering)
Terapeutik :
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi :
 Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
3. Pemantauan respirasi
Observasi :
 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne Stokes, Biot, ataksik)
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
Terapeutik :
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
2. Gangguan 1. Penyapihan ventilasi mekanik
penyapihan Observasi :
ventilator  Monitor tanda-tanda kelelahan otot pernapasan (mis.
Kenaikan PaCO2 mendadak, napas cepat dan dangkal,
gerakan dinding abdomen paradox), hipoksemia, dan
hipoksia jaringan saat penyapihan
Terapeutik :
 Lakukan uji coba penyapihan (30-120 menit dengan napas
spontan yang dibantu ventilator)
 Hindari pemberian sedasi farmakologis selama percobaan
penyapihan
 Berikan dukungan psikologis
Edukasi :
 Ajarkan cara pengontrolan napas sat penyapihan
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian obat yang meningkatkan kepatenan
jalan napas dan pertukaran gas
2. Pemantauan respirasi
Observasi :
 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne Stokes, Biot, ataksik)
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
Terapeutik :
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
3. Gangguan 1. Pemantauan respirasi
pertukaran gas b.d Observasi :
ketidakseimbanga  Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
n ventilasi-perfusi hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne Stokes, Biot, ataksik)
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
Terapeutik :
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
2. Terapi oksigen
Observasi :
 Monitor kecepatan aliran oksigen
 Monitor posisi alat terapi oksigen
 Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastikan fraksi
yang diberikan cukup
 Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. Oksimetri, analisa
gas darah), jika perlu
 Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan atelektasis
 Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
Terapeutik :
 Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
 Berikan oksigen tambahan, jika perlu
Edukasi :
 Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen di
rumah
Kolaborasi :
 Kolaborasi penentun dosis oksigen
 Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur
4. Gangguan 1. Dukungan ventilasi
ventilasi spontan Observasi :
b.d kelelahan otot  Identifikasi adanya kelelahan otot bantu napas
pernapasan  Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status
pernapasan
 Monitor status respirasi dan oksigenasi (mis. Frekuensi dan
kedalaman napas, penggunaan otot bantu napas tambahan,
saturasi oksigen)
Terapeutik :
 Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan (mis. nasal kanul,
masker wajah, masker rebreathing atau non rebreathing)
 Gunakan bag-valve, jika perlu
Edukasi :
 Ajarkan melakukan teknik relaksasi napas dalam
2. Pemantauan respirasi
Observasi :
 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne Stokes, Biot, ataksik)
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
Terapeutik :
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
5. Pola napas tidak 1. Manajemen jalan napas
efektif b.d posisi Obsevasi :
tubuh yang  Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
menghambat Terapeutik:
ekspansi paru  Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi :
 Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
2. Pemantauan respirasi
Observasi :
 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne Stokes, Biot, ataksik)
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
Terapeutik :
 Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
6. Risiko aspirasi 1. Manajemen jalan napas
Obsevasi :
 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Terapeutik:
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan
chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi :
 Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
2. Pencegahan aspirasi
Observasi :
 Monitor tingkat kesadaran, batuk, muntah dan
kemampuan menelan
 Monitor status pernapasan
 Monitor bunyi napas, terutama setelah makan/minum
Terapeutik
 Posisikan semi fowler (30-45 derajat) 30 menit
sebelum memberi asupan oral
 Pertahankan posisi semi fowler (30-45 derajat) pada
pasien tidak sadar
 Pertahankan kepatenan jalan napas (mis. Teknik head
tilt chin lift, jaw thrust, in line)
 Lakukan penghisapan jalan napas, jika produksi secret
meningkat
 Sediakan suction di ruangan
 Ajarkan strategi mencegah aspirasi
Tabel 2.5. Intervensi Keperawatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018.Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia)

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak cukup masuk dari
paru-paru ke dalam darah . Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru
tidak dapat membuang karbon dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida
dalam darah dapat membahayakan organ tubuh (National Heart, lung, 2011).
Keadaan ini disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah yang tidak
adekuat sehingga tidak dapat mempertahankan PH, PO2, dan PCO2, darah arteri
dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa atau disertai hiperkapnia
(Arifputera, 2014).
4.2 Saran
Dihimbau untuk seluruh masyarakat Indonesia agar menjaga kesehatan dan
kebersihan, baik terhadap diri sendiri ataupun lingkungannya agar tidak terkena
penyakit gagal npas. Apabila sudah terkena penyakit gagal napas harus cepat diobati
agar tidak bertambahnya jumlah angka kesakitan dan kematian. Masyarakat harus
mudah tanggap dalam mencegah gagal napas.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Maghfiroh, 2015. “Laporan Pendahuluan Pada Pasien Dengan Gagal Nafas Di
Intensive Care Unit (ICU) RSUP DR. Kariadi Semarang”. Laporan Pendahuluan
Pada Pasien Dengan Gagal Nafas. Fakultas Kedokteran. Jurusan Ilmu Keperawatan.
Universitas Diponegoro, Semarang
Hellena Deli, Muhammad Zafrullah Arifin, Sari Fatimah. 2017. Perbandingan
Pengukuran Status Sedasi Richmon Agitation Sedation Scale (Rass) Dan Ramsay
Sedation Scale (Rss) Pada Pasien Gagal Nafas Terhadap Lama Weaning ventilator
Digicu Rsupdr.Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Riset Kesehatan. Volume 6 (1). 32-
39. http://ejournal.poltekkes-smg.ac.id/ojs/index.php/jrk.
Farhan Ali Rahman, Calcarina Fitriani Retno Wisudarti, Bhirowo Yudo Pratomo. 2015.
Aplikasi Klinis Analisis Gas Darah Pendekatan Stewart pada Periode Perioperatif.
Jurnal Komplikasi Anestesi. Volume 3 Nomor 1.
http://anestesi.fk.ugm.ac.id/jka.ugm/download-file-948305.pdf.

Anda mungkin juga menyukai