Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN STEMI

(ST ELEVASI MIOKARD INFARK)

RSUD BHAKTI DHARMA HUSADA SURABAYA

MAKALAH INI DITULIS DALAM RANGKA MEMENUHI TUGAS SELAMA WFH

OLEH :

EKO PRASETYO WIBOWO, Amd. Kep

NIK. 813/337/436.8.7/1/2020

RUANG ICU

RSUD BHAKTI DHARMA HUSADA SURABAYA

2020
PERBEDAAN KEBERHASILAN TERAPI FIBRINOLITIK PADA
PENDERITA ST-ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (STEMI)
DENGAN DIABETES DAN TIDAK DIABETES BERDASARKAN
PENURUNAN ST-ELEVASI

Abstract

ST-elevation myocardial infarction (STEMI) adalah kondisi yang terjadi akibat rupturnya
plak aterosklerosis yang menyebabkan oklusi total pada arteri koroner. Salah satu tindakan
reperfusi yang dapat dilakukan pada pasien STEMI adalah pmberian fibrinolitik yang
sebaiknya diberikan dalam waktu <12 jam setelah munculnya nyeri dada. Keberhasilan terapi
fibrinolitik dapat dipengaruhi oleh beberapa hal salah satunya adalah pasien menderita
diabetes atau tidak. Tujuan penelitian ini adalah membedakan keberhasilan terapi fibrinolitik
pada penderita STEMI dengan diabetes dan tidak diabetes berdasarkan penurunan ST-elevasi.
Metode dalam penelitian ini analitik observasional dengan pendekatan cross sectional
prospective. Jumlah sampel 34 responden diambil dengan pendekatan consecutive sampling.
Pengukuran dilakukan dengan cara observasi langsung ke pasien dan mengobservasi catatan
rekam medis pasien STEMI dengan diabetes dan tidak diabetes di RSUD Bhakti Dharma
Husada Surabaya. Uji analisis yang digunakan untuk membedakan keberhasilan terapi
fibrinolitik pada penderita STEMI dengan diabetes dan tidak diabetes adalah uji Fisher. Hasil
analisis uji Fisher menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keberhasilan terapi fibrinolitik
yang signifikan pada pasien diabetes dan tidak diabetes (p<0.000), dimana keberhasilan
terapi fibrinolitik pada pasien diabetes (10%) lebih sedikit dibandingkan pada pasien yang
tidak diabetes (79%). Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan keberhasilan terapi
fibrinolitik yang signifikan pada pasien diabetes dan tidak diabetes, dimana dalam penelitian
ini keberhasilan terapi fibrinolitik ini kemungkinan juga dipengaruhi oleh waktu pemberian
fibrinolitik dan faktor resiko STEMI lain yang dialami oleh pasien seperti hipertensi,
obesitas, hiperlipidemia dan merokok.
Kata kunci: STEMI, terapi fibrinolitik, diabetes dan tidak diabetes, penurunan ST-elevasi

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab kematian yang utama. Banyak
pasien yang mangalami kematian akibat penyakit jantung. Penanganan yang salah dan kurang
cepat serta cermat adalah salah satu penyebab kematian.
Infark miokard akut merupakan penyebab kematian utama bagi laki-laki dan
perempuan di USA. Diperkirakan lebih dari 1 juta orang menderita infark miokard setiap
tahunnya dan lebih dari 600 orang meninggal akibat penyakit ini.
Masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang rendah membuat mereka salah untuk
pengambilan keputusan penangan utama. Sehingga menyebabkan keterlambatan untuk
ditangani. Hal ini yang sering menyebabkan kematian.
Berbagai penelitian standar terapi trombolitik secara besar-besaran telah
dipublikasikan untuk infark miokard akut (IMA) dengan harapan memperoleh hasil optimal
dalam reperfusi koroner maupun stabilisasi koroner setelah iskemia.

1.2 Rumusan masalah


1.2.1 Apa definisi dari STEMI.
1.2.2 Apa etiologi dari STEMI.
1.2.3 Apa manifestasi klinis dari STEMI.
1.2.4 Apa penatalaksanaan dari STEMI.
1.2.5 Bagaimana pathofisiologi dari STEMI.
1.2.6 BagaimanaWeb of Cause dari STEMI.
1.2.7 Bagaimana Askep pada STEMI.
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari STEMI.
1.3.2 Untuk mengetahui etiologi dari STEMI.
1.3.3 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari STEMI.
1.3.4 Untuk mengetahui penatalaksanaan dari STEMI.
1.3.5 Untuk mengetahui pathofisiologi dari STEMI.
1.3.6 Untuk mengetahui Web of Cause dari STEMI.
1.3.7 Untuk mengetahui Askep dari STEMI.

ii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum
pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2
dekade terakhir, sekita 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal
dalam tahun pertama setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI) merupakan
bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil,
IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya (Sudoyo, 2006).

2.2 Etiologi
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi
lipid.

2.3 Patofisiologi
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner
terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor
seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur,
rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology menunjukkan plak koroner
cendeeung mengalami rupture jika mempunyai vibrous cap yang tipis dan intinya kaya lipid
(lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus,
yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.

ii
Selanjutnya pada lokasi rupture plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin,
serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboksan A2 (vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi fungsinya,
reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang
larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fdibrinogen, dimana keduanya
adalah molekul multivalent yang dapat mengikat dua platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X diaktivasi mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang
kemudian menkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit)
kemudian akan mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin.
Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik.

ii
WOC

Aterosklerosis, thrombosis, kontraksi arteri koronaria

Penurunan aliran darah kejantung

Kekurangan oksigen dan nutrisi

Iskemik pada jaringan miokard

Nekrosis

Suplay dan kebutuhan oksigen kejantung tidak seimbang

Suplay oksigen ke Miokard menurun

Resiko
Metabolism anaerob penurunan
Seluler hipoksia
curah
jantung
Gangguan
Timbunan asam
pertukaran Nyeri
laktat meningkat Integritas membrane sel berubah
gas

Kelemaha Kontraktilitas turun


Kecemasan
n

Intoleransi
aktifitas COP turun Kegagalann pompa
jantung

Gangguan perfusi
jaringan Gagal jantung

Resiko kelebihan volume


cairan ekstravaskuler

ii
2.4 Manifestasi Klinis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesa secara
cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri
dada yang berasal dari jantung dibedakan apakah nyerinnya berasal dari koroner atau bukan.
Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor
risiko antara lain hipertensi, diabetes militus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit
jantung koroner pada keluarga.
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat
apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah dalam
jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Gejala ini merupakan
petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:
Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial.
Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti
ditusuk, rasa diperas, dan diplintir.
Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan.
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru,
diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu
ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes militus dan
usia lanjut.
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak
keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai
manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau hipotensi). Tanda fisis lain pada
disfungsi fentrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama
dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late
sistlik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial
friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca
STEMI.

ii
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial
yang berdampingan atau ≥1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung,
terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan
terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam
tatalaksana IMA, prinsip utama Penatalaksanaan adalah time is muscle.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit
sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan
keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan
EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat
kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12
sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi
segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk
mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evlolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil
menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak stabil atau non
STEMI. Pada bagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q
disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard miokard non
transmural jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T,
namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark
(mural/transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA
mural/nontransmural.

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien
STEMI namun tidak boleh menghambat implementasi terapi repefusi.
1. Petanda (Biomarker) Kerusakan Jantung

ii
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini
juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Pengingkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dala 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi
elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab cTn I. Enzim mini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-
14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
2. Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam.
Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada infark miokard, mencapai
puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Garis horizontal menunjukkan upper reference limit (URL) biomarker jantung pada
laboratorium kimia klinis. URL adalah nilai mempresentasikan 99th percentile kelompok
control tanpa STEMI.
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis polimorfonuklear yang dapat
terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat
mencapai 12.000-15.000/u1.

2.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST saat ini mengacu pada data-data dari evidence
based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun
konsesus dari para ahli sesuai pedoman (guideline).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi

ii
IMA. Terdapat beberapa pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu
dari ACC/AHA tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian perlu disesuaikan
dengan kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang
ada (khususnya di bidang kardiologi Intervensi).
 Tatalaksana Awal
1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum
yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian
besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel
mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari
separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada
pasien yang dicurigai STEMI antara lain:
 Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi.
Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis
dokter dan perawat yang terlatih.
 Melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama
transportasi ke Rumah Sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa di tanggulangi dengan cara
edukasi kepada masyarakat oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini.
Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedic di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan
kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia
saat ini pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien
STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter
(PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan
kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu
transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik
total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:

ii
JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memennuhi
syarat tetapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak EMS tiba.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien dibawa
ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital door-needle time harus dalam 30 menit
untuk pasien yang mempunyai indikasi fibrinolitik.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit dan pasien
dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon time harus dalam waktu
90 menit.

2. Tatalaksana di Ruang Emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat
terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
 Tatalaksana Umum
 Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.
Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam
pertama.
 Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat
diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG
juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan
NGT intravena. NGT intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau
edema paru.
 Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau
pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP
meningkat, paru bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena
dapat memicu efek hipotensi nitrat.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada

ii
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan
dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban
jantung.
 Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat
diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung
dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada
kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat
menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat
tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan
pemberian atropine 0,5 mgIV.
 Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis
75-162 mg.
 Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah
sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral
dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6
jam dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
 Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memeperpendek lamaoklusi koroner, meminimlakan derajat
disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.

ii
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-
to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-
to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.

2.7 Prognosis
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam bulan setelah
serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan
kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien yang
menderita serangan jantung secara teratur dan terus malakukan terapi jangka panjang dengan
obat-obatan seperti:
 ASPIRIN®
 clopidrogel
 statin (cholesterol lowering) drugs
 beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan melindungi otot
jantung)
 ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Kerusakan pada otot jantung tidak selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit dada yang
khas, biasanya berhubungan dengan serangan jantung. Bahkan jika penampilan karakteristik
EKG ST elevasi tidak dilihat, serangan jantung mengakibatkan kerusakan otot jantung,
sehingga cara terbaik untuk menangani serangan jantung adalah untuk mencegah mereka.
Tabel 2.7.1: Risk Score untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
 Faktor Risiko (Bobot)
Skor Risiko/Mortalitas 30 hari(%)
1. Usia 65-74 tahun (2 poin)
0 (0,8)
2. Usia > 75 tahun (3 poin)
1 (1,6)
3. Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin)
2 (2,2)
4. Tekanan darah sistolik < 100 mmHg (3 poin)
3 (4,4)
5. Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin)
4 (7,3)

ii
6. Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
5 (12,4)
7. Berat < 67 kg (1 poin)
6 (16,1)
8. Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
7 (23,4)
9. Waktu ke perfusi > 4 jam (1 poin)
8 (26,8)
10. Skor risiko = total poin ( 0-14 )
>8 (35,9)

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
a. Data Demografi/ identitas
Nama, umur, alamat
b. Keluhan Utama
Rasa tertimpa beban berat pada dada kiri.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Datang ke RS dengan keluhan nyeri dada juga dirasakan sangat nyeri seperti rasa
terbakar dan ditindih benda berat. Keluhan dirasakan menjalar ke lengan kiri tetapi keluhan
agak berkurang jika OS istirahat.
paru Vesikuler +/+, jantung : Bunyi SI-S2 reguler, cardiomegali (-), bising sistolik
(-), dari pemeriksaan penunjang EKG didapatkan ST elevasi : V1 – V5 , ST depresed : II, III,
AVF, V6
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu memiliki penyakit riwayat penyakit hipertensi.
Keadaan Umum
Suhu : 36,5ºC
Nadi : 88x/menit
Tekanan Darah: 120/80 mmHg
RR : 30x/menit

ii
Breathing
Gejala : napas pendek
Pemeriksaan fisik :
Tanda : dispnea, inspirasi mengi, takipnea, pernapasan dangkal.
Blood
Gejala : penyakit jantung congenital
Tanda : takikardia, disritmia, edema.
Brain
Gejala : nyeri pada dada anterior (sedang sampai berat/tajam) diperberat oleh inspirasi
Tanda : Gelisah
Gejala: kelelahan, kelemahan.
Tanda : takikardia, penurunan tekanan darah, dispnea dengan aktivitas
Terapi
Terapi yang diberikan untuk pasien ini berupa O2 3 – 4 liter/menit, posisi ½ duduk, diit
jantung I, infus D 5% Lini 16 tetes/menit, Captopril 3 x 6.25 mg (ACE inhibitor), Aspilet 2 x
80 mg (anti platelet), ranitidin 2 x 150 mg (antagonis reseptor H2), Inj, ISDN diberikan
secara sub lingual bila dada terasa nyeri (Vasodilator).
3.2 Analisa Data
3.2 Analisa Data

ii
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS: Vaskularisasi terganggu, Nyeri akut
Klien mengeluh nyeri Aliran darah ke arteri
pada bagian anterior, koronari terganggu,
diperberat oleh inspirasi, Iskemia,
gerakan menelan. As Laktat,
DO: Nyeri akut
Gelisah, pucat
DS: Kontraktilitas jantung Resiko penurunan
Disritmia menurun, curah jantung
DO: Gagal jantung,
riwayat penyakit jantung Penurunan CO
konginetal
DS: Rupture dalam pembuluh Perfusi perifer tidak
Pasien mengeluh lemah darah, efektif
karena hipoksia Obstruksi pembuluh darah,
DO: Aliran darah ke jaringan
Pasien terlihat lemah dan terganggu,
pucat karena O2 jaringan Perubahan perfusi jaringan
menurun.
DS: Perubahan perfusi jaringan Pola nafas tidak
Klien mengeluh sesak, O2 dalam darah menurun, efektif
nafas pendek. Kongesti pulmonalis,
DO: Sesak nafas,
dispnea, inspirasi mengi, Ketidakefektifan pola nafas
takipnea, pernapasan
dangkal.
DS: Perubahan perfusi jarigan, Intoleransi aktivitas
Pasien mengeluh lemah O2 dalam darah menurun,
DO: Hipoksia,
Pasien terlihat lemah Kelemahan,
karena hipoksia Intoleransi aktivitas

3.3Diagnosa dan Intervensi


1. Nyeri akut (SDKI D.0077)
Kriteria hasil: Mengidentifikasi metode yang dapat menghilangkan nyeri,melaporkan nyeri
hilang atau terkontrol.
Intervensi :
Intervensi Rasional
Kolaboratif 1. Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan

ii
Berikan obat-obatan sesuai indikasi: respon inflamasi.
1. Agen non steroid, mis: 2. Untuk menurunkan demam dan
indometasin(indocin);, ASA(aspirin) meningkatkan kenyamanan.
2. Antipiretik mis: ASA/asetaminofen 3. Diberikan untuk gejala yang lebih berat.
(tylenol) 4. Memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk
3. Steroid menurunkan beban kerja jantung dan
4. Oksigen 3-4 liter/menit menurunkan ketidaknyamanan karena
iskemia.
Mandiri 1. Mengetahui lokasi dan derajat nyeri. Pada
1. Selidiki keluhan nyeri dada, iskemia miokardium nyeri dapat
memperhatikan awitan, faktor memburuk dengan inspirasi dalam, gerakan
pemberat atau penurun atau berbaring dan hilang dengan duduk
tegak atau membungkuk.
2. Memberikan lingkungan yang tenang dan
tidakan kenyamanan. Mislanya merubah
posisi, menggunakan kompres hangat, dan
menggosok punggung
Tindakan ini dapat meningkatkan
kenyamanan fisik dan emosional pasien.

2. Resiko terhadap penurunan curah jantung (SDKI D.0011)


Kriteria hasil: Menurunkan episode dispnea, angina dan disritmia. Mengidentifikassi perilaku
untuk menurunkan beban kerja jantung.
Intervensi :
Intervensi Rasional
Mandiri 1. Takikardia dan disritmia dapat terjadi
1. Pantau irama dan frekuensi jantung saat jantung berupaya untuk
1. Auskultasi bunyi jantung. meningkatkan curahnya berespon
Perhatikan jarak / tonus jantung, terhadap demam. Hipoksia, dan
murmur, gallop S3 dan S4. asidosis karena iskemia.
2. Dorong tirah baring dalam posisi 2. Memberikan deteksi dini dari
semi fowler terjadinya komplikasi misalnya GJK,
2. Berikan tindakan kenyamanan tamponade jantung.
misalnya perubahan posisi dan 3. Menurunkan beban kerja jantung,
gosokan punggung, dan aktivitas memaksimalkan curah jantung
hiburan dalam toleransi jantung 4. Meningkatkan relaksasi dan
3. Dorong penggunaan teknik menejemen mengarahkan kembali perhatian
stress misalnya latihan pernapasan dan Perilaku ini dapat mengontrol
bimbingan imajinasi ansietas, meningkatkan relaksasi dan
4. Evaluasi keluhan lelah, dispnea, menurunkan kerja jantung
palpitasi, nyeri dada kontinyu. 5. Manifestasi klinis dari GJK yang
Perhatikan adanya bunyi napas dapat menyertai endokarditis atau
adventisius, demam miokarditis

ii
Kolaboratif 1. Meningkatkan keseterdian oksigen
1. Berikan oksigen komplemen untuk fungsi miokard dan
2. Berikan obat – obatan sesuai dengan menurunkan efek metabolism
indikasi misalnya digitalis, diuretik anaerob,yang terjadi sebagai akibat
3. Antibiotic/ anti microbial IV dari hipoksia dan asidosis.
4. Bantu dalam periokardiosintesis darurat 2. Dapat diberikan untuk meningkatkan
5. Siapkan pasien untuk pembedahan bila kontraktilitas miokard dan
diindikasikan menurunkan beban kerja jantung pada
adanya GJK ( miocarditis)
3. Diberikan untuk mengatasi pathogen
yang teridentifikasi, mencegah
kerusakan jantung lebih lanjut.
4. prosedur dapat dilakuan di tempat
tidur untuk menurunkan tekanan
cairan di sekitar jantung.
5. Penggantian katup mungkin
diperlukan untuk memperbaiki curah
jantung

3. perfusi perifer tidak efektif (SDKI D.0009)


Kriteria hasil: mempertahankan atau mendemonstrasikan perfusi jaringan adekuat secara
individual misalnya mental normal, tanda vital stabil, kulit hangat dan kering, nadi
perifer`ada atau kuat, masukan/ haluaran seimbang.
Intervensi:
Intervensi Rasional
Mandiri
1. Evaluasi status mental. Perhatikan 1. Indicator yang menunjukkan
terjadinya hemiparalisis, afasia, embolisasi sistemik pada otak.
kejang, muntah, peningkatan TD.
2. Selidiki nyeri dada, dispnea tiba-tiba 2. Emboli arteri, mempengaruhi jantung
yang disertai dengan takipnea, nyeri dan / atau organ vital lain, dapat terjadi
pleuritik, sianosis, pucat sebagai akibat dari penyakit katup,
3. Tingkatkan tirah baring dengan tepat dan/ atau disritmia kronis
4. Dorong latihan aktif/ bantu dengan 3. Dapat mencegah pembentukan atau
rentang gerak sesuai toleransi. migrasi emboli pada pasien
endokarditis. Tirah baring lama,
membawa resikonya sendiri tentang
terjadinya fenomena tromboembolic.

4. Meningkatkan sirkulasi perifer dan


aliran balik vena karenanya
menurunkan resiko pembentukan
thrombus.

ii
Kolaborasi Heparin dapat digunakan secara
Berikan antikoagulan, contoh heparin, profilaksis bila pasien memerlukan
warfarin (coumadin) tirah baring lama, mengalami sepsis
atau GJK, dan/atau sebelum/sesudah
bedah penggantian katup.
Catatan : Heparin kontraindikasi pada
perikarditis dan tamponade jantung.
Coumadin adalah obat pilihan untuk
terapi setelah penggantian katup
jangka panjang, atau adanya thrombus
perifer.

4. Pola nafas tidak efektif (SDKI D.0005)


Kriteria Hasil: mempertahankan pola nafas efektif bebas sianosis, dan tanda lain dari
hipoksia.
Intervensi:
Intervensi Rasional
Mandiri: 1. Kecepatan dan upaya mungkin
1. Evaluasi frekuensi pernafasan dan meningkat karena nyeri, takut, demam,
kedalaman. Contoh adanya dispnea, penurunan volume sirkulasi, hipoksia
penggunaan otot bantu nafas,
atau diatensi gaster.
pelebaran nasal. 2. Sianosis bibir, kuku, atau daun telinga
2. Lihat kulit dan membran mukosa untuk menunjukkan kondisi hipoksia atau
adanya sianosis. komplikasi paru
3. Tinggikan kepala tempat tidur letakkan
3. Merangsang fungsi pernafasan /
pada posisi duduk tinggi atau ekspansi paru. Efektif pada
semifowler. pencegahan dan perbaikan kongesti
paru.
Kolaborasi: Meningkatkan pengiriman oksigen ke
Berikan tambahan oksigen dengan kanul paru untuk kebutuhan sirkulasi khususnya
atau masker, sesuai indikasi pada adanya gangguan ventilasi

5. Intoleransi aktivitas (SDKI D.0056)


Kriteria hasil: menunjukkan toleransi aktivitas, menunjukkan pemahaman tentang
pembatasan terapeutik yang diperlukan.
Intervensi:
Intervensi Rasional

ii
Mandiri 1. Miokarditis menyebabkan inflamasi
1. Kaji respon pasien terhadap dan kemungkinan kerusakan sel-sel
aktivitas. Perhatikan adanya dan miokardial, sebagai akibat GJK.
perubahan dalam keluhan Penurunan pengisian dan curah
kelemahan, keletihan, dan dispnea jantung dapat menyebabkan
berkenaan dengan aktivitas pengumpulan cairan dalam kantung
2. Pantau frekuensi dan irama jantung, perikardial bila ada perikarditis.
tekanan darah, dan frekuensi Akhirnya endikarditis dapat terjadi
pernapasan sebelum dan sesudah dengan disfungsi katup, secara
aktivitas dan selam di perlukan negatif mempengaruhi curah
3. Mempertahankan tirah baring selama jantung
periode demam dan sesuai indikasi. 2. Membantu derajad dekompensasi
4. Membantu klien dalam latihan jantung and pulmonal penurunan
progresif bertahap sesegera mungkin TD, takikardia, disritmia, takipnea
untuk turun dari tempat tidur, adalah indikasi intoleransi jantung
mencatat respon tanda vital dan terhadap aktivitas.
toleransi pasien pada peningkatan 3. Demam meningkatkan kebutuhan
aktivitas dan konsumsi oksigen, karenanya
5. Evaluasi respon emosional meningkatkan beban kerja jantung,
dan menurunkan toleransi aktivitas
4. Pada saat terjadi inflamasi klien
mungkin dapat melakukan aktivitas
yang diinginkan, kecuali kerusakan
miokard permanen.
5. Ansietas akan terjadi karena proses
inflamasi dan nyeri yang di
timbulkan. Dikungan diperlukan
untuk mengatasi frustasi terhadap
hospitalisasi.
Kolaborasi
Berikan oksigen suplemen Peningkatan ketersediaan oksigen
mengimbangi peningkatan konsumsi
oksigen yang terjadi dengan
aktivitas.

6. deficit pengetahuan (SDKI D.0111)


Kriteria hasil : menyatakan pemahaman tentang proses inflamasi, kebutuhan pengobatan dan
kemungkinan komplikasi.
Intervensi
Intervensi Rasional

ii
Mandiri
1. Jelaskan efek inflamasi pada jantung, 1. Untuk bertanggung jawab terhadap
ajarkan untuk memperhatikan gejala kesehatan sendiri, pasien perlu
sehubungan dengan komplikasi / memahami penyebab khusus,
berulangnya dan gejala yang pengobatan, dan efek jangka
dilaporkan dengan segera pada panjang yang diharapkan dari
pemberi perawatan misalny demam, kondisi inflamasi, sesuai dengan
nyeri, peningkatan berat badan, tanda/gejala yang menunjukkan
peningkatan toleransi terhadap kekambuhan/komplikasi
aktifitas. 2. Untuk bertanggung jawab terhadap
2. Anjurkan pasien/orang terdekat kesehatan sendiri, pasien perlu
tentang dosis, tujuan dan efek memahami penyebab khusus,
samping obat: kebutuhan pengobatan, dan efek jangka
diet/pertimbangan khusus: aktivitas panjang yang diharapkan dari
yang diizinkan/dibatasi kondisi inflamasi, sesuai dengan
3. Kaji ulang perlunya antibiotic jangka tanda/gejala yang menunjukkan
panjang/terapi antimikrobial kekambuhan/komplikasi
4. Tekankan pentingnya evaluasi 2. Perawatan di rumah sakit lama /
perawatan medis teratur. Anjurkan pemberian antibiotic IV /
pasien membuat perjanjian. antimicrobial perlu sampai kultur
darah negative / hasil darah lain
menunjukkan tak ada infeksi.
3. Pemahaman alasan untuk
pengawasan medis dan rencana
untuk/penerimaan tanggung jawab
3.4 Evaluasi

Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam
pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau
intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada pasien
dengan myocarditis (Doenges, 1999) adalah :
 Nyeri hilang atau terkontrol
 Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
 Suplai oksigen adekuat.
 Mengidentifikasi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
 Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regimen pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Jakarta


arpenito ( 2000),Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktek Klinis,Ed.6,EGC, Jakarta
Doenges at al ( 2000 ),Rencana Asuhan Keperawatan,Ed.3,EGC,Jakarta

ii
Price & Wilson (1995),Patofisiologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,Ed,4,EGC Jakarta
Soeparman & Waspadi(1990),Ilmu Penyakir Dalam,BP FKUI,Jakarta
Boedi Warsono;Diagnostik dan Pengobatan Penyakit Jantung: Lektor Madya Fakultas
kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. 1984,hal 93-100.
Elliott M.Antman,Eugene Braunwald;Acute Myocardial Infarction;Harrison’s Principles of
Medicine 15th edition,2005,page 1-17.
Lily Ismudiati Rilantono,dkk.;Buku Ajar Kardiologi;Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia,2004,hal 173-181.
Pramonohadi Prabowo;Penyakit Jantung Koroner,Lab/UPF Ilmu Penyakit Jantung;FK Unair
RSUD dr.Soetomo,Surabaya,1994,hal 33-36.
Prof.dr.H.M.Sjaifoellah Noer,dkk.;Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

ii

Anda mungkin juga menyukai