Anda di halaman 1dari 14

PENERIMAAN DAN SKRINING PASIEN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Keperawatan II

Dosen Pembimbing:

Madya Sulisno, S. Kep., M. Kes.

Oleh :

Ismaya Dwi Safitri 22020115120005

Fatia Zulfa 22020115120038

Putri Erlina Febrianti 22020115130092

Astri Artanti 22020115130111

Nikita Apriani 22020115140097


A15.2

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2018
A. Definisi Komunikasi Efektif
Komunikasi adalah bagian yang penting dalam kehidupan dan menyatu dengan
kehidupan kita. Setiap saat, manusia selalu berkomunikasi dan menggunakannya
dalam berinteraksi dengan manusia lain. Kata-kata yang diucapkan seseorang adalah
komunikasi, diamnya seseorang adalah komunikasi, tertawanya seseorang adalah
komunikasi, dan menangisnya seseorang adalah komunikasi. Dengan berkomunikasi,
kehidupan kita akan interaktif dan menjadi lebih dinamis (Anjaswarni, 2016).
Perawat merupakan salah satu ujung tombak dalam pemberian pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit. Hal ini menjadi sebuah tuntutan peran dan juga fungsi
perawat untuk memberikan sebuah pelayanan asuhan keperawatan yang berkualitas
untuk memenuhi kebutuhan pasien. Di dalam memberikan pelayanan keperawatan,
perawat dituntut untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi yang
baik sebagai awal dari terciptanya sebuah hubungan perawat dengan klien, karena
komunikasi merupakan sebuah proses yang sangat penting dalam hubungan antar
manusia (Arumsari, 2016).
Perawat yang memiliki kemampuan dan keterampilan baik dalam hal
berkomunikasi akan mudah menjalin hubungan dengan pasien maupun keluarga
(Liljeroos, Snellman, & Ekstedt, 2011). Komunikasi yang baik dan benar merupakan
poin penting yang harus dimiliki oleh setiap tenaga kesehatan, khususnya perawat.
Komunikasi dibutuhkan oleh perawat dalam memberikan pelayanan asuhan
keperawatan baik kepada pasien maupun keluarga. Kemampuan seperti ini penting
dan harus ditumbuhkembangkan oleh perawat, sehingga menjadi suatu kebiasaan
dalam setiap menjalankan tugasnya dalam memberikan pelayanan kesehatan di
Rumah Sakit (Arumsari, 2016).
Menurut Suryani (2014), komunikasi berperan dalam kesembuhan klien,
berhubungan dalam kolaborasi yang dilakukan perawat dengan tenaga kesehatan
lainnya, dan juga berpengaruh pada kepuasan klien dan keluarga. Hal tersebut
menjadikan komunikasi dibutuhkan di setiap bentuk pelayanan yang ada di Rumah
Sakit.
Komunikasi dalam aktivitas keperawatan adalah hal yang paling mendasar dan
menjadi alat kerja utama bagi setiap perawat untuk memberikan pelayanan/asuhan
keperawatan karena perawat secara terus-menerus selama 24 jam bersama pasien.
Dalam setiap aktivitasnya, perawat menggunakan komunikasi. Pengetahuan tentang
komunikasi dan komunikasi terapeutik sangat penting terkait dengan tugas-tugas
Anda dalam melakukan asuhan keperawatan dan dalam melakukan hubungan
profesional dengan tim kesehatan lainnya. Sebagai calon perawat, keterampilan dasar
yang penting harus Anda kuasai adalah komunikasi. Penguasaan tentang komunikasi
terapeutik dalam praktik keperawatan akan memungkinkan Anda melaksanakan
praktik keperawatan secara berkualitas (Anjaswarni, 2016).
Komunikasi keperawatan adalah penggambaran terjadinya interaksi antara
perawat dengan klien dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien. Sebagaimana
diketahui bahwa klien sering sekali menuntut pelayanan yang paripurna. Fakta
menunjukkan bahwa keterampilan teknis medis semata tidak cukup untuk memberi
pelayanan yang memuaskan klien, dibutuhkan komunikasi yang baik antara tenaga
kesehatan atau perawat dengan klien. (Darsini, 2016)
The American Nurses Association (ANA, 2010) menggambarkan komunikasi
efektif sebagai standar praktik keperawatan profesional. Kompetensi profesional
dalam praktek keperawatan tidak hanya psikomotor dan keterampilan diagnostik
klinis, tetapi juga kemampuan dalam keterampilan interpersonal dan komunikasi.
Perawat terdaftar diharapkan untuk berkomunikasi dalam berbagai format dan di
semua bidang praktek.
Berhasilnya suatu komunikasi adalah apabila kita mengetahui dan mempelajari
unsur-unsur yang terkandung dalam proses komunikasi. Unsur-unsur itu adalah
sumber (resource), pesan (message), saluran (channel/ media) dan penerima
(receiver/audience) (Rokhmah, 2017)
Komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana
dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan oleh
penerima pesan dan tidak ada hambatan untuk hal itu (Hardjana, 2003). Komunikasi
yang efektif terjadi bila pendengar (penerima berita) menangkap dan
menginterpretasikan ide yang disampaikan dengan tepat seperti apa yang dimaksud
oleh pembicara (pengirim berita). Komunikasi dianggap efektif bila tepat waktu,
akurat, lengkap, tidak mendua arti (ambiguous), dan diterima oleh penerima
informasi yang bertujuan mengurangi kesalahan-kesalahan dan meningkatkan
keselamatan pasien.
Komunikasi yang buruk dapat membahayakan pasien. Komunikasi yang
rentan terjadi kesalahan adalah saat perintah lisan atau perintah melalui telepon,
komunikasi verbal, saat menyampaikan hasil pemeriksaan kritis yang harus
disampaikan lewat telpon. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan aksen dan dialek.
Pengucapan juga dapat menyulitkan penerima perintah untuk memahami perintah
yang diberikan. Misalnya, nama-nama obat yang rupa dan ucapannya mirip (look
alike, sound alike), seperti phenobarbital dan phentobarbital, serta lainnya. Untuk
melakukan komunikasi secara verbal atau melalui telpon dengan aman dilakukan hal-
hal sebagai berikut: pemesanaan obat atau permintaan obat secara verbal sebaiknya
dihindari; dalam keadaan darurat karena komunikasi secara tertulis atau komunikasi
elektronik tidak mungkin dilakukan maka harus ditetapkan panduannya meliputi
permintaan pemeriksaan, penerimaan hasil pemeriksaaan dalam keadaan darurat,
identifikasi dan penetapan nilai kritis, hasil pemeriksaaan diagnostik, serta kepada
siapa dan oleh siapa hasil pemeriksaaan kritis dilaporkan; prosedur menerima
perintah lisan atau lewat telpon meliputi penulisan secara lengkap permintaan atau
hasil pemeriksaaan oleh penerima informasi, penerima membaca kembali permintaan
atau hasil pemeriksaaan, dan pengirim memberi konfirmasi atas apa yang telah ditulis
secara akurat. Penggunaan singkatan-singkatan yang tidak ditetapkan oleh rumah
sakit sering kali menimbulkan kesalahan komunikasi dan dapat berakibat fatal. Oleh
karena itu, rumah sakit diminta memiliki daftar singkatan yang diperkenankan dan
dilarang. Gangguan komunikasi dapat terjadi saat dilakukan serah terima asuhan
pasien yang dapat berakibat kejadian yang tidak diharapkan (adverse event) atau
kejadian sentinel. Komunikasi yang baik dan terstandar baik dengan pasien, keluarga
pasien, dan pemberi layanan dapat memperbaiki secara signifikan proses asuhan
pasien (SNARS, 2017)
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Efektif
Terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mengupayakan proses
komunikasi yang efektif, yaitu antara lain (Rokhmah, 2017):
1. Sensitifitas kepada penerima komunikasi
Sensitivitas ini sangatlah penting dalam penentuan cara komunikasi serta
pemilihan media komunikasi. Hal-hal yang bersifat penting dan pribadi paling
baik dibicarakan secara langsung atau tatap muka, dan dengan demikian
mengurangi adanya kecanggungan serta kemungkinan adanya miskomunikasi.
2. Kesadaran dan pengertian terhadap makna simbolis
Hal ini menjadi penting dalam seseorang mengerti komunikasi yang disampaikan.
Komunikasi seringkali disampaikan secara non verbal atau lebih dikenal dengan
body language. Pengertian akan body language, yang bisa berbeda sesuai dengan
kultur, ini akan memberikan kelebihan dalam komunikasi.
3. Penentuan waktu yang tepat dan umpan balik
Hal ini sangatlah penting terutama dalam mengkomunikasikan keadaan yang
bersifat sensitif. Umpan balik menjadikan komunikasi lebih efektif karena dapat
memberikan kepastian mengenai sejauh mana komunikasi yang diadakan oleh
seseorang sumber (source) dapat diterima oleh komunikan (receiver).
4. Komunikasi tatap muka
Komunikasi semacam ini memungkinkan kita untuk melihat dengan baik lawan
bicara kita, melihat body language, melihat mimik lawan bicara, serta
menghilangkan panjangnya rantai komunikasi yang memungkinkan terjadinya
mis komunikasi.
5. Komunikasi efektif
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh
beberapa pihak, pasien, dokter, perawat maupun tenaga kesehatan lainnya. Dokter
dapat mengetahui dengan balk kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun
percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses
penyembuhan pasien selanjutnya.
C. Jenis Komunikasi Efektif
1. Komunikasi verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan bahasa.
Keuntungan komunikasi kebahasaan yang dijalin secara lisan, dengan cara tatap
muka memungkinkan tiap individu untuk berhubungan secara langsung. Jenis
komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di rumah
sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan
tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Katakata
adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan,
membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan
ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji
minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu
memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung. Komunikasi Verbal
yang efektif harus (Purba, 2003):
a. Jelas dan ringkas
Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin
sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil kemungkinan terjadinya
kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan
mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan
lebih mudah untuk dipahami. Ulang bagian yang penting dari pesan yang
disampaikan. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa, mengapa, bagaimana,
kapan, siapa dan dimana. Ringkas, dengan menggunakan kata-kata yang
mengekspresikan ide secara sederhana. Contoh: “Katakan pada saya dimana
rasa nyeri anda” lebih baik daripada “saya ingin anda menguraikan kepada
saya bagian yang anda rasakan tidak enak.”
b. Perbendaharaan Kata
Komunikasi tidak akan berhasil, jika pengirim pesan tidak mampu
menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan dalam
keperawatan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh perawat, klien dapat
menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari
informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang dimengerti klien.
Daripada mengatakan “Duduk, sementara saya akan mengauskultasi paru-paru
anda” akan lebih baik jika dikatakan “Duduklah sementara saya
mendengarkan paru-paru anda”.
c. Arti denotatif dan konotatif
Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang
digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide
yang terdapat dalam suatu kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu
kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan kata kritis
untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. Ketika berkomunikasi
dengan klien, perawat harus hati-hati memilih kata-kata sehingga tidak mudah
untuk disalah tafsirkan, terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan
terapi, terapi dan kondisi klien.
d. Selaan dan kesempatan berbicara
Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan
komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok
pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat sedang
menyembunyikan sesuatu terhadap klien. Perawat sebaiknya tidak berbicara
dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan perlu digunakan untuk
menekankan pada hal tertentu, memberi waktu kepada pendengar untuk
mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan
denganmemikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya,
menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan.
Perawat juga bisa menanyakan kepada pendengar apakah ia berbicara terlalu
lambat atau terlalu cepat dan perlu untuk diulang.
e. Waktu dan relevansi
Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan. Bila klien sedang
menangis kesakitan, tidak waktunya untuk menjelaskan resiko operasi.
Kendatipun pesan diucapkan secara jelas dan singkat, tetapi waktu tidak tepat
dapat menghalangi penerimaan pesan secara akurat. Oleh karena itu, perawat
harus peka terhadap ketepatan waktu untuk berkomunikasi. Begitu pula
komunikasi verbal akan lebih bermakna jika pesan yang disampaikan
berkaitan dengan minat dan kebutuhan klien.
f. Humor
Dugan (1989) mengatakan bahwa tertawa membantu pengurangi ketegangan
dan rasa sakit yang disebabkan oleh stres, dan meningkatkan keberhasilan
perawat dalam memberikan dukungan emosional terhadap klien. Sullivan dan
Deane (1988) melaporkan bahwa humor merangsang produksi catecholamines
dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi
terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi relaksasi pernapasan
dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau
menutupi ketidak mampuannya untuk berkomunikasi dengan klien.
2. Komunikasi nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang tidak menggunakan
bahasa lisan atau tulisan. Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa
menggunakan katakata. Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk
menyampaikan pesan kepada orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal
dan non-verbal yang disampaikan klien mulai dari saat pengkajian sampai
evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat non-verbal menambah arti terhadap
pesan verbal. Perawat yang mendektesi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan
asuhan keperawatan. Komunikasi non-verbal teramati pada (Purba, 2003):
a. Metakomunikasi
Komunikasi tidak hanya tergantung pada pesan tetapi juga pada hubungan
antara pembicara dengan lawan bicaranya. Metakomunikasi adalah suatu
komentar terhadap isi pembicaraan dan sifat hubungan antara yang berbicara,
yaitu pesan di dalam pesan yang menyampaikan sikap dan perasaan pengirim
terhadap pendengar. Contoh: tersenyum ketika sedang marah.
b. Penampilan Personal
Penampilan seseorang merupakan salah satu hal pertama yang diperhatikan
selama komunikasi interpersonal. Kesan pertama timbul dalam 20 detik
sampai 4 menit pertama. Delapan puluh empat persen dari kesan terhadap
seserang berdasarkan penampilannya (Lalli Ascosi, 1990 dalam Potter dan
Perry, 1993). Bentuk fisik, cara berpakaian dan berhias menunjukkan
kepribadian, status sosial, pekrjaan, agama, budaya dan konsep diri. Perawat
yang memperhatikan penampilan dirinya dapat menimbulkan citra diri dan
profesional yang positif. Penampilan fisik perawat mempengaruhi persepsi
klien terhadap pelayanan/asuhan keperawatan yang diterima, karena tiap klien
mempunyai citra bagaimana seharusnya penampilan seorang perawat.
Walaupun penampilan tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan perawat,
tetapi mungkin akan lebih sulit bagi perawat untuk membina rasa percaya
terhadap klien jika perawat tidak memenuhi citra klien.
c. Intonasi (Nada Suara)
Nada suara pembicara mempunyai dampak yang besar terhadap arti pesan
yang dikirimkan, karena emosi seseorang dapat secara langsung
mempengaruhi nada suaranya. Perawat harus menyadari emosinya ketika
sedang berinteraksi dengan klien, karena maksud untuk menyamakan rsa
tertarik yang tulus terhadap klien dapat terhalangi oleh nada suara perawat.
d. Ekspresi wajah
Hasil suatu penelitian menunjukkan enam keadaan emosi utama yang tampak
melalui ekspresi wajah: terkejut, takut, marah, jijik, bahagia dan sedih.
Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar penting dalam menentukan
pendapat
e. interpesonal.
Kontak mata sangat penting dalam komunikasi interpersonal. Orang yang
mempertahankan kontak mata selama pembicaraan diekspresikan sebagai
orang yang dapat dipercaya, dan memungkinkan untuk menjadi pengamat
yang baik. Perawat sebaiknya tidak memandang ke bawah ketika sedang
berbicara dengan klien, oleh karena itu ketika berbicara sebaiknya duduk
sehingga perawat tidak tampak dominan jika kontak mata dengan klien
dilakukan dalam keadaan sejajar.
f. Sikap tubuh dan langkah
Sikap tubuh dan langkah menggambarkan sikap; emos, konsep diri dan
keadaan fisik. Perawat dapat mengumpilkan informasi yang bermanfaat
dengan mengamati sikap tubuh dan langkah klien. Langkah dapat dipengaruhi
oleh faktor fisik seperti rasa sakit, obat, atau fraktur.
g. Sentuhan
Kasih sayang, dukungan emosional, dan perhatian disampaikan melalui
sentuhan. Sentuhan merupakan bagian yang penting dalam hubungan perawat-
klien, namun harus mnemperhatikan norma sosial. Ketika membrikan asuhan
keperawatan, perawat menyentuh klien, seperti ketika memandikan,
melakukan pemeriksaan fisik, atau membantu memakaikan pakaian. Perlu
disadari bahwa keadaan sakit membuat klien tergantung kepada perawat untuk
melakukan kontak interpersonal sehingga sulit untuk menghindarkan
sentuhan. Bradley & Edinburg (1982) dan Wilson & Kneisl (1992)
menyatakan bahwa walaupun sentuhan banyak bermanfaat ketika membantu
klien, tetapi perlu diperhatikan apakah penggunaan sentuhan dapat dimengerti
dan diterima oleh klien, sehingga harus dilakukan dengan kepekaan dan hati-
hati.
D. Hambatan dalam Komunikasi Efektif
Hambatan dalam melakukan komunikasi efektif menurut penelittian Arumsari,
Emaliyawati, Sriati, 2017 sebagai berikut:
1. Konflik Peran
Perawat tidak enak dan menjadi malas saat berkomunikasi dengan
keluarga pasien dikarenakan keluarga pasien terkadang bersikap jutekDilema
komunikasi yang dirasakan oleh perawat tidak hanya terkait sikap yang
ditunjukkan oleh keluarga pasien saat berhadapan dengan mereka saja melainkan
juga kondisi psikologis dan fisik mereka seperti ketika mereka sedang lelah atau
saat sedang ada masalah pribadi terkadang perawat sering melupakan
penampilannya saat berkomunikasi dengan keluarga pasien. Hal tersebut tentunya
dapat menjadi penghambat perawat dalam berkomunikasi dengan keluarga pasien.
Beberapa informan menyatakan adanya kondisi dimana terkadang mereka sering
melupakan penampilan mereka di depan keluarga pasien.
2. Faktor Demografi Keluarga
Ada 3 hal yang mempengaruhi komunikasi yaitu
a. Usia
Usia menjadi salah satu faktor demografi keluarga yang mempengaruhi
komunikasi. Hal ini dikarenakan cara kita berkomunikasi dengan orang lain
tentunya disesuaikan dengan faktor demografi orang tersebut salah satunya
adalah usia. Dalam hal ini kita sebagai perawat harus bisa menyesuaikan dan
menempatkan diri dengan adanya perbedaan usia antara perawat dengan
keluarga pasien baik itu kepada yang lebih muda, sebaya, maupun kepada
yang lebih tua.
b. Pendidikan
Selain usia, status pendidikan juga sangat mempengaruhi komunikasi yang
ada. Adanya perbedaan tingkat pendidikan seseorang menjadikan setiap
individu memiliki pemahaman yang berbeda dalam mencerna informasi yang
diberikan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh 9 orang dari 10 informan
bahwa mereka mengalami kesulitan saat berkomunikasi dengan keluarga
pasien yang memiliki status pendidikan menengah ke bawah.
c. Ekonomi
Salah satu status sosial yang dapat mempengaruhi komunikasi yang ada
adalah ekonomi. Hal ini dikarenakan dibutuhkan banyak pemikiran dan
pertimbangan apabila menyangkut tentang pembiayaan mengingat hal ini
merupakan sesuatu yang sensitif bagi keluarga pasien
3. Kesalahpahaman
Keragaman budaya dan bahasa sering kali menjadi hambatan seseorang
dalam berkomunikasi. Hal ini dikarenakan setiap daerah memiliki perbedaan
budaya dan bahasa yang tentunya akan berpengaruh dalam komunikasi antar
individu.
a. Budaya
Budaya setiap orang berbeda tergantung daerahnya masing-masing. Setiap
daerah memiliki karakteristiknya masingmasing yang dapat mempengaruhi
komunikasi yang ada antar individu. Adanya perbedaan budaya yang
dirasakan oleh separuh dari informan dapat menimbulkan kesalahpahaman
saat mereka berkomunikasi dengan keluarga pasien.
b. Bahasa
Setiap daerah bahkan setiap negara memiliki bahasanya masing-masing.
Adanya perbedaan bahasa dapat mempengaruhi komunikasi yang ada.
Beberapa informan menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi dengan keluarga pasien khususnya yang menggunakan bahasa
asing seperti bahasa Inggris
4. Kondisi Psikologis Keluarga
Kesulitan terkait pemberian informasi klinis yang dialami oleh perawat
umumnya adalah karena keluarga masih denial atau belum bisa menerima
mengenai penurunan kondisi pasien.
E. Upaya Meningkatkan Komunikasi Efektif
1. Pelatihan
Pelatihan Model pelatihan komunikasi SAGE dan THYME, sangat efektif
karena memberikan pembinaan, dan pelatihan kepada perawat yang
menghargai pasien serta fokus pada penyelesaian masalah pasien itu sendiri.
Menggunakan pelatihan model komunikasi SAGE & THYME telah
memungkinkan perawat memiliki rasa percaya diri yang baik menghadapi
setiap pasien yang mengalami deprasi, kecemasan, kekwatiran terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh pasien. Pelatihan ini diberikan untuk
meningkatkan keterampilan komunikasi dasar di akhir perawatan dan
kemajuan hidup perencanaan perawatatan pasien. Kualitas pelatihan
dievaluasi secara konsisten dan sangat positif bagi perawat dalam rangka
meningkatkan keterampilan komunikasi perawat kepada pasien dalam
komunikasi terapeutik yang mampu memberikan pengaruh yang baik terhadap
psikologi pasien untuk proses kesembuhannya.
2. Panduan keterampilan komunikasi yang peka terhadap budaya.
Penelitian oleh Mora, et al, (2015) dalam Paju dan Dwiantoro
(2018) menyebutkan bahwa pelatihan dengan menggunakan panduan
keterampilan komunikasi yang peka terhadap budaya dapat meningkatkan
komunikasi keterampilan perawat dan dapat meningkatkan kepuasan
klien. Perawat yang dilatih menggunakan pedoman keterampilan
komunikasi perawat Gadjah Mada lebih baik dan menunjukkan
komunikasi yang lebih sensitif dengan klien dibandingkan dengan
kelompok yang tidak terlatih. seperti yang dinilai oleh pengamat dan klien
simulasi dalam pemeriksaan klinis terstruktur objektif (OSCE).Pelatihan
dengan menggunakan panduan keterampilan komunikasi yang peka
terhadap budaya dapat meningkatkan kemampuan komunikasi perawat
dan dapat meningkatkan kepuasan klien.
3. Program komunikasi terapeutik terencana
Penelitian Younis et al (2015) dalam Paju dan Dwiantoro (2018)
yakni bahwa, perawat anak-anak memiliki peningkatan yang signifikan
dalam pengetahuan dan keterampilan mereka mengenai komunikasi
terapeutik dengan anak-anak mereka yang dirawat di rumah sakit setelah
menggunakan program komunikasi terapeutik yang direncanakan.
4. Mini workshop

Penelitian oleh Anita, ( 2016 ) dalam Paju dan Dwiantoro (2018)


yakni dengan mini workshop yang dikoordinir oleh Kepala
Ruanganmemberikan arahan tentang bagaimana komunikasi terapeutik,
apa yang harus dilakukan dari fase pra interaksi sampai dengan fase
terminasi kepada perawat yang ditunjuk. Setelah diberi pengarahan
(treatment), peneliti dan partisipan mengimplementasikan rencana
tindakan dengan harapan adanya peningkatan. Peneliti kembali menilai
kemampuan komunikasi perawat tersebut, lalu dinilai dengan ya dan tidak.
Setelah perawat selesai mengimplementasikan, peneliti mengadakan
wawancara tentang kendala atau kesulitan yang dihadapi ketika
melakukan komunikasi terapeutik. Kebanyakan dari perawat mengalami
kesulitan dalam fase orientasi, yaitu ketika memperkenalkan diri. Peneliti
mencoba menggali lagi kesulitan yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA

Anjaswarni,T. (2016). (edisi pertama). Komunikasi dalam keperawatan. Jakarta: Pusdik SDM
Kesehatan.

Arumsari,D,P. Emaliyawati,E. Sriati, A. (2016). Hambatan komunikasi efektif perawat dengan


keluarga pasien dalam perspektif perawat. Jurnal pendidikan keperawatan Indonesia.
2(2):104-114.

Darsini. (2016). Hubungan komunikasi perawat dengan tingkat kepuasan pasien yang dirawat di
ruang kana rumah sakit gatoel. NurseLine Journal. 1(1): 55-61.

Purba,J,M. (2003). Komunikasi Dalam Keperawatan. Diakses pada 30 Oktober 2018, dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-jenny.pdf

Rokhmah,N,A. Anggorowati. (2017). Komunikasi efektif dalam praktek kolaborasi interprofesi


sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan. Journal of Health Studies. 1(1): 65-71.
Arumsari, Emaliyawati, Sriati. 2017. Hambatan komunikasi efektif perawat dengan keluarga
pasien dalam perspektif perawat. Diakses pada 1 November 2018, dari

Anda mungkin juga menyukai