Anda di halaman 1dari 54

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Konsep Caring

a. Pengertian Caring

Caring ialah bentuk suatu perilaku yang dapat menghadirkan

perasaan aman baik dalam segi fisik daan emosi terhadap manusia

lainnya secara tulus. Caring merupakan suatu bentuk dasar kesatuan

nilai-nilai yang kemanusian yang universal, gambaran dari caring ini

sendiri seperti molar ideal keperawatan mencakup keinginan dan

kesungguhan dalam merawat dan tindakan perawatan pasien (Watson,

2005 dalam Kusnanto, 2019).

Caring adalah sebuah fenomena yang universal yang dapat

berpengaruh pada cara berfikir manusia, memberikan perasaan, dan

memberikan sikap saat berinteraksi kepada orang lain. Memiki rasa

menghargai orang lain dan mempunyai perasaan memiliki serta

bertanggung jawab (Potter & Perry, 2009 dalam Kusnanto, 2019).

Caring adalah sebuah proses interpersonal yang penting dimana

mewajibkan perawat dalam melakukan aktivitas peran yang spesifik

melalui ekpresi emosi tertentu kepada pasien atau klien (Morrison &

Burnard, 2009 dalam Kusnanto, 2019). Caring berperan dalam membuat

perhatian, motivasi dan arahan untuk klien untuk melakukan sesuatu.


16

Dengan caring seorang perawat dapat mengetahu intervensi yang tempat

yang akan dilakukan terhadap klien dan perawatan selanjutnya.

Swanson, (1991) menyebutkan caring adalah “a nurturing way of

relating to valued other toward whom one feels a personal sense of

commitment and responsibility” yaitu bagiaman sesorang perawat bisa

merawat seseorang atau klien dengan selalu menghargai martabat orang

tersebut dengan komitmen dan tanggung jawab. Tindakan caring

meliputi bentuk komunikasi yang efektif dan terapeutik, selalu

beranggapan positif kepada orang lain, memberikan dukungan dan

memberikan suatu intervensi sesuai dengan harapan dan sesuai standar

(Jean Watson, 1985 dalam Kusnanto, 2019).

Menurut Madeline Leininger (1981), care merupakan intisari dari

keperawatan dan karakteristik yang dominan, yang tidak dapat

dipisahkan dalam keperawatan. Tidak akan ada cure tanpa caring, tetapi

dapat ada caring tanpa curing. Jeann Watson (1985) praktik caring

sebagai pusat keperawatan, caring sebagai dasar dalam kesatuan nilai

kemanusiaan yang universal, antara lain kebaikan, kepedulian, dan cinta

terhadap diri sendiri dan orang lain. Caring digambarkan sebagai moral

ideal keperawatan, yaitu keinginan dalam memberikan perawatan yang

tulus, kesungguhan untuk merawat, dan tindakan merawat (caring).

Tindakan caring meliputi komunikasi yang efektif dan tarapeutik, selalu

memberikan tanggapan yang positif pada orang lain, memberikan support


17

atau dukungan, juga memberikan intervensi sesuai harapan dan

berstandar.

Caring adalah sentral dalam praktik keperawatan karena caring

merupakan suatu cara pendekatan yang dinamis, dimana seorang perawat

profesional dalam bekerja harus lebih perhatian dan bertanggung jawab

kepada kliennya. Caring merupakan bagian inti yang penting terutama

dalam praktik keperawatan, seorang klien yang sedang dirawat dirumah

sakit sangat mengharapkan perhatian dan bantuan dari perawat yang

profesional, klien berharap perawat profesinal dapat memberikan

pelayanan yang cepat dan tepat, klien menginginkan penderitaanya

segera diselesaikan, dll.

The National League for Nursing (2007) and The American

Association of collegs of Nursing (2008) juga menyatakan bahwa caring

merupakan hal yang fundamen dalam keperawatan. Kompetensi yang

dimiliki seorang perawat dan perilaku caring, keduanya penting dalam

memberikan perawatan, agar pasien merasa aman dan nyaman selama

menjalani perawatan, dan caring penting untuk kualitas keperawatan

(rhodes, et al.,2011).

Konsep caring dapat dianggap sebagai konsep yang abstrak, dengan

demikian memupuk sikap caring pada mahasiswa keperawatan sangat

penting, caring tidak cukup untuk diajarkan namun lebih dari itu harus

ditanamkan melalui perilaku kesehatan, sehingga caring akan menjadi

pola perilaku mahasiswa keperawatan. Nilai – nilai yang diyakini harus


18

dimiliki oleh seorang perawat profesional, seperti kejujuran, ketulusan,

dan keikhlasan dalam memberikan pelayanan, keramahan, sopan santun

dan tanggung jawab, empati, harus ditanamkan pada calon perawat atau

pada mahasiswa yang sedang menempuh studi di pendidikan

keperawatan. Beberapa perguruan tinggi percaya bahwa caring

merupakan fenomena yang sangat komplek dan perlu dimodelkan dalam

pendidikan tinggi keperawatan sebagai bagian dari kurikulum (Begum &

Slavin 2012). Pendidikan keperawatan harus dapat memberikan model

yang terbaik terkait perilaku caring pada mahasiswanya, agar mahasiswa

dapat mengadopsi perilaku Caring tersebut dengan benar. Caring dalam

pendidikan keperawatan dan praktik keperawatan bukan merupakan

konsep baru, mahasiswa dapat belajar caring melalui permodelan

perilaku caring lingkungan tempat belajar (Fakultas) serta yang

dicontohkan oleh dosen-dosennya selama kegiatan pembelajaran. Selama

calon perawat professional menempuh studi, mengajarkan dan

menanamkan sikap dan perilaku caring sangat penting agar menjadi pola

hidup mereka supaya mereka dapat lebih percaya diri, lebih peduli pada

orang lain, selalu memberikan yang terbaik untuk orang lain.

Beberapa pengertian tentang Caring diatas, dapat disimpulkan

bahwa caring adalah sikap kepedulian perawat terhadap klien dalam

pemberian asuhan keperawatan dengan cara merawat klien dengan

kesungguhan hati, keikhlasan, penuh kasih sayang, baik melalui

komunikasi, pemberian dukungan, maupun tindakan secara langsung.


19

Caring merupakan ideal moral keperawatan yang dalam penerapannya

pada klien diperlukan pngembangan pengetahuan, keterampilan,

keahlian, empati, komunikasi, kompetisi klinik, keahlian klinik dan

ketrampilan interpersonal perawat, serta rasa tanggung jawab. Caring

juga merupakan dasar dalam melaksanakan praktik keperawatan

professional untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang

dapat memberikan kepuasan pada klien dan keluarga.

b. Perkembangan Teori Caring

1) Teori Caring menurut Leininger

Dalam pelayanan keperawatan Caring merupakan komponen

umum, sebagai seorang perawat profesional wajib memahami budaya

klien. Caring memiliki sifat yang personal, sehingga ungkapan caring

pada setiap klien berbeda-beda. Seperti klien yang memiliki suku

kutai berbeda dengan klien dengan suku jawa, perawat penting

mengetahui kultur klien dan ungkapan caring, dalam memenuhi

kebutuhan klien. Leininhger (1981) dalam Kusnanto, 2019,

menggambarkan caring sebagai kegiatan perawat profesional dan

membantu klien dalam nilai dan tujuan yang ingin dicapai.

Karakteristik caring dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :

a) Profesional caring, yaitu perwujudan dari kemampuan secara

kognitif. Sebagai perawat profesional dalam melakukan tindakan

harus berdasarkan ilmu, sikap dan keterampilan.


20

b) Scientific caring, yaitu segala keputusan dan tindakan dalam

memberikan asuhan keperawatan pada klien berdasarkan

pengetahuan yang dimiliki perawat.

c) Humanistic caring, yaitu proses pemberian bantuan pada klien

bersifat kreatif, intuitif atau kognitif dan berdasarkan pada filosofi,

fenomenologi, perasaan objektif maupun subjektif (Kusnanto,

2019)

2) Teori Caring menurut Watson

Menurut Jean Watson pada tahun 1970-an teori caring pada

manusia berkaitan dengan metafisik dan transpersonalnya. Watson

meyakini bahwa keperawatan lebih banyak menggunakan pendekatan

eksistensial – fenomologis untuk memadukan konsep kejiwaan dan

transendensi. Dasar teori watson adalah nilai dan penghormatannya

yang sangat mendalam terhadap keajaiban dan misteri kehidupan,

Waston mengakui adanya dimensi spiritual kehidupan dan keyakinan

terhadap kekuatan internal proses perawatan dan penyembuhan.

Sistem ini dipadukan dengan sepuluh faktor karaktif yang

mencangkup altruisme manusia, kepekaan terhadap diri dan orang

lain, mencintai serta percaya hidup dan kekuatan bathin orang lain dan

diri kita sendiri.

3) Teori Caring menurut Kristen M. Swanson

Teori caring Swanson masuk dalam level middle range theory,

mempelajari tentang seorang perawat yang dapat merawat klien


21

dengan tetap menghargai martabat klien tersebut dengan komitmen

dan tanggung jawab yang tinggi.

Fokus teori caring Swanson dalam the caring model

mengembangkan 5 (lima) proses dasar, yaitu knowing, beingwith,

doing for, enabling dan maintening belief. Penjabaran 5 (lima) proses

dasar ini bisa menjadi strategi untuk penerapan asuhan keperawatan

yang dimulai dengan pengkajian sampai dengan evaluasi keperawatan.

Dengan demikian caring mempunyai peran besar dalam pelaksanaan

proses keperawatan.

Argumen merupakan bagian yang penting dalam kontribusinya

untuk teori keperawatan dimana klien dipandang sebagai manusia

yang utuh tidak terpisah-pisah. Hal yang menarik tentang pengertian

klien ini adalah bahwa Swanson selalu menempatkan peran perawat

dalam proses becoming tersebut, dimana perawat sebagai mitra dalam

membantu klien untuk mencapai kesejahteraannya (well being).

Struktur Caring Swanson

Gambar 2.1 Struktur Model Caring menurut swanson (1993) dalam,


(Kusnanto, 2019).
22

c. Dimensi Caring menurut K.M Swanson

Ada lima dimensi yang mendasari konsep caring, yaitu :

1) Maintening belief

Maintening belief adalah kepekaan diri seseorang terhadap harapan

yang diinginkan orang lain ataupunmembangun harapan. Indikator

yang terdapat pada kepekaan diri, yaitu :

a) Selalu punya rasa percaya diri yang tinggi.

b) Mempertahankan perilaku yang siap memberikan harapan.

c) Selalu berfikir realistis.

d) Selalu berada disisi klien dan siap memberikan bantuan.

Menumbuhkan keyakinan seseorang dalam melalui setiap

peristiwa hidup dan masa-masa transisi dalam hidupnya serta

menghadapi masa depan dengan penuh keyakinan, mempercayai

kemampuan orang lain, menimbulkan sikap optimis, membantu

menemukan arti atau mengambil hikmah dari setiap peristiwa, dan

selalu ada untuk orang lain dalam situasi apapun. Tujuannya adalah

untuk membantu orang lain supaya bisa menemukan arti dan

mempertahankan sikap yang penuh harap. Memelihara dan

mempertahankan keyakinan nilai hidup seseorang adalah dasar dari

caring dalam praktik keperawatan.


23

Subdimensi dari maintaining belief antara lain:

a) Believing in: perawat merespon apa yang dialami klien dan

mempercayai bahwa hal itu wajar dan dapat terjadi pada siapa saja

yang sedang mengalami masa transisi.

b) Offering a hope – filled attitude: memperlihatkan perilaku yang

peduli pada masalah yang terjadi pada klien dengan.

c) Maintaining realistic optimism: menjaga dan memperlihatkan sikap

optimisme perawat dan harapan terhadap apa yang dialami klien

secara realistis dan berusaha mempengaruhi klien untuk punya

sikap yang optimisme dan harapan yang sama.

d) Helping to find meaning: membantu klien menemukan arti dari

masalah yang dialami sehingga klien bisa secara perlahan

menerima bahwa siapa pun bisa mengalami hal yang sama dengan

klien.

e) Going the distance (menjaga jarak): semakin jauh

menjalin/menyelami hubungan dengan tetap menjaga hubungan

sebagai perawat-klien agar klien bisa percaya sepenuhnya pada

perawat dan bertanggung jawab serta Caring secara total oleh

perawat kepada klien. Sikap tubuh, kontak mata dan intonasi bicara

perawat.

2) Knowing (mengetahui)

Perawat harus mengetahui kondisi klien, memahami arti dari

suatu peristiwa dalam kehidupan, menghindari asumsi, fokus pada


24

klien, mencari isyarat, menilai secara cermat dan menarik. Efisiensi

dan efektivitas terapeutik caring ditingkatkan oleh pengetahuan secara

empiris, etika dan estetika yang berhubungan dengan masalah

kesehatan baik secara aktual dan potensial. Indikator knowing adalah:

a) Mengetahui kebutuhan dan harapan pasien

b) Manfaat perawatan dan kejelasan rencana perawatan.

c) Hindari persyaratan untuk bertindak, karena perawat peduli pasien.

d) Tidak hanya mengerti kebutuhan dan harapan tetapi fokus pada

merawat yang benar atau efisien dan berhasil guna atau efektif.

Knowing adalah berusaha agar mampu mengetahui dan paham

terhadap peristiwa yang mempunayi arti dalam kehidupan klien.

Mempertahankan kepercayaan merupakandasar dari Caring

keperawatan, knowing adalah memahami pengalaman hidup klien

dengan mengesampingkan asumsi perawat mengetahui kebutuhan

klien, menggali/menyelami informasi klien secara detail, sensitif

terhadap petunjuk verbal dan non verbal, fokus pada satu tujuan

keperawatan, serta mengikutsertakan orang yang memberi asuhan dan

orang yang diberi asuhan dan menyamakan persepsi antara perawat

danklien.

Subdimensi dari knowing antara lain :

a) Avoiding assumptions, menghindari asumsi-asumsi.

b) Assessing thoroughly, melakukan pengkajian menyeluruh meliputi

bio, psiko, sosial, spitual dan kultural.


25

c) Seeking clues, perawat menggali informasi secara mendalam.

d) Centering on the one cared for, perawat fokus pada klien dalam

memberikan asuhan keperawatan

e) Engaging the self of both, melibatkan diri sebagai perawat secara

utuh dan bekerja sama dengan klien dalam melakukanasuhan

keperawatan yang efektif.

f) Being with (Kehadiran)

Being with merupakan kehadiran dari perawat untuk pasien,

perawat tidak hanya hadir secara fisik saja, tetapi juga melakukan

komunikasi membicarakan kesiapan/ kesediaan untuk bisa

membantu serta berbagi perasaan dengan tidak membebani pasien.

Perawat juga hadir dengan berbagi perasaan tanpa beban dan secara

emosional bersama klien dengan maksud memberikan dukungan

kepada klien, memberikan kenyamanan, pemantauan dan

mengurangi intensitas perasaan yang tidak diinginkan.

Indikator saat merawat pasien adalah:

a. Kehadiran kontak dengan pasien

b. Menyampaikan kemampuan merawat

c. Berbagi perasaan

d. Tidak membebani pasien


26

Subdimensi dari being with, antara lain:

a) Non-burdening: Perawat melakukan kerja sama kepada klien

dengan tidak memaksakan kehendak kepada klien melaksanakan

tindakan keperawatan.

b) Convering availability: Memperlihatkan sikap perawat mau

membantu klien dan memfasilitasi klien dalam mencapai tahap

kesejahteraan /well being.

c) Enduring with : Perawat dan klien berkomitmen untuk

meningkatkan kesehatan klien.

d) Sharing feelings: Berbagi pengalaman bersama klien yang

berhubungan dengan usaha dalam meningkatkan kesehatan

klien.

3) Doing for (Melakukan)

Doing for berarti bekerja sama melakukan sesuatu tindakan yang

bisa dilakukan, mengantisipasi kebutuhan yang diperlukan,

kenyamanan, menjaga privasi dan martabat klien.

Subdimensi dari doing for antara lain:

a) Comforting ( memberikan kenyamanan)

Dalam memberikan intervensi keperawatan perawat harusbisa

memberi kenyamanan dan menjaga privasi klien.


27

b) Performing competently (menunjukkan ketrampilan)

Sebagai perawat profesional perawat dituntut tidak hanya bisa

berkomunikasi tapi juga harus bisa memperlihatkan kompetensi

maupun skill yang dimiliki seorang perawat yang profesional.

c) Preserving dignity (menjaga martabat klien)

Menjaga martabat klien sebagai individu atau memanusiakan

manusia.

d) Anticipating (mengantisipasi)

Selalu meminta izin ataupun persetujuan dari klien ataupu keluarga

dalam melakukan tindakan keperawatan.

e) Protecting (melindungi)

Menjaga hak-hak klien dalam memberikan asuhan keperawatan

dan tindakan medis.

f) Enabling (Memampukan)

Enabling adalah memampukan atau memberdayakan klien, perawat

memberikan informasi, menjelaskan memberi dukungan dengan

fokus masalah yang relevan, berfikir melalui masalah dan

menghasilkan alternatif pemecahan masalah agar klien mampu

melewati masa transisi dalam hidup yang belum pernah dialaminya

sehingga bisa mempercepat penyembuhan klien ataupun supaya

klien mampu melakukan tindakan yang tidak biasa dilakukannya.

memberikan umpan balik / feedback.


28

Subdimensi dari enabling antara lain:

(1) Validating (memvalidasi)

Memvalidasi semua tindakan yang telah dilakukan.

(2) Informing (memberikan informasi)

Menyampaikan informasi yang berhubungan dengan

peningkatan kesehatan klien dalam rangka memberdayakan

klien dan keluarga klien.

(3) Supporting (mendukung)

Memberi dukungan kepada klien untuk mencapai

kesejahteraan / well being sesuai kapasitas sebagai perawat.

(4) Feedback (memberikan umpan balik).

Memberikan feedback kepada klien atas usahanya mencapai

kesembuhan/well being.

(5) Helping patients to focus generate alternatives (membantu

klien untuk fokus dan membuat alternatif)

Membantu klien agar selalu fokus dan ikut dalam program

peningkatan kesehatannya baik tindakan keperawatan maupun

tindakan medis (Potter & Perry, 2005 dalam Kusnanto, 2019)

d. Komponen Caring menurut Swanson

Swanson (1991) dalam empirical development of a middle range

theory of caring mendeskripsikan 5 proses caring menjadi lebih praktis,

yaitu:
29

1) Kompenen mepertahankan keyakinan, mengaktualisasi diri untuk

membantu orang lain, mampu membantu dengan tulus, memberikan

ketenangan kepada klien dan memiliki sikap yang positif.

2) Komponen pengetahuan, memberikan pemahaman klinis tentang

kondisi dan situasi klien, melaksanakan setiap tindakan sesuai

peraturan dan menghindari terjadinya komplikasi.

3) Komponen kebersamaan, ada secara emosional dengan orang lain,

bisa berbagi secara tulus dengan klien dan membina kepercayaan

terhadap klien.

4) Komponen tindakan yang dilakukan, melakukan tindakan terapeutik

seperti membuat klien merasa nyaman, mengantisipasi bahaya dan

intervensi yang kompeten.

5) Komponen memungkinkan, melakukan informent consent pada setiap

tindakan, memberikan respon yang positif terhadap keluhan klien

(Monica, 2008 dalam Kusnanto, 2019).

e. Caring dalam Praktek Keperawatan

Caring merupakan hasil dari kultur, nilai – nilai, pengalaman dan

hubungan perawat dengan klien. Saat perawat berurusan dengan

kesehatan dan penyakit dalam praktiknya, maka kemampuan perawat

dalam pelayanan akan semakin berkembang. Sikap perawat dalam

praktik keperawatan yang berkaitan dengan Caring adalah dengan

kehadiran, sentuhan kasih sayang, selalu mendengarkan dan memahami

klien (Potter & Perry, 2009). Kehadiran adalah saat dimana perawat dan
30

klien bertemu yang menjadi sarana agar lebih dekat dan bisa

menyampaikan manfaat caring. Kehadiran perawat meliputi hadir secara

fisik, berkomunikasi dengan pengertian. Kehadiran juga merupakan

sesuatu yang ditawarkan perawat pada klien dengan maksud memberikan

dukungan, dorongan, menenangkan hati klien, mengurangi rasa cemas

dan takut klien karena situasi tertentu, serta selalu ada untuk klien (Potter

& Perry, 2009).

Sentuhan merupakan salah satu cara pendekatan yang menenangkan,

perawat bisa mendekatkan diri kepada klien agar bisa menunjukkan

perhatian dan memberi dukungan.Sentuhan Caring merupakan suatu

bentuk komunikasi non verbal yang bisa mempengaruhi kenyamanan dan

keamanan klien, meningkatkan harga diri klien, serta memperbaiki

orientasi tentang kenyataaan. Pengungkapan sentuhan harus berorientasi

pada tugas dan dapat dilakukan dengan cara memegang tangan klien,

memberikan pijatan pada punggung, menempatkan klien dengan hati-hati

dan ikut serta dalam pembicaraan (Potter & Perry, 2009).

Pembicaraan dengan klien harus benar – benar didengarkan oleh

perawat. Mendengarkan merupakan kunci dari hubungan perawat dengan

klien, karena dengan mendengarkan kisah/ keluhan klien akan membantu

klien mengurangi tekanan terhadap penyakitnya. Hubungan pelayanan

perawat dengan klien yaitu dengan membangun kepercayaan, membuka

topik pembicaraan, mendengarkan dan mengerti apa yang klien katakan.


31

Memahami klien adalah sebagai inti suatu proses yang digunakan

perawat dalam membuat keputusan klinis. Perawat yang membuat

keputusan klinis yang akurat dengan konteks pemahaman yang baik,

akan meningkatkan hasil kesehatan klien, klien akan mendapatkan

pelayanan pribadi, nyaman, dukungan, dan pemulihan.

f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Caring

Caring merupakan aplikasi dari proses keperawatan sebagai bentuk

kinerja yang ditampilkan oleh seorang perawat. Gibson, et.al (2006)

dalam Kusnanto (2019) mengemukakan 3 (tiga) faktor yang berpengaruh

terhadap kinerja individu meliputi faktor individu, psikologis dan

organisasi :

1) Faktor Individu

Variabel individu dikelompokkan pada subvariabel kemampuan dan

keterampilan, latar belakang dan demografis. Menurut Gibson, el.al

(2006), variable kemampuan dan keterampilan adalah faktor penting

yang bisa berpengaruh terhadap perilaku dan kinerja individu.

Kemampuan intelektual merupakan kapasitas individu mengerjakan

berbagai tugas dalam suatu kegiatan mental.

2) Faktor Psikologis

Variabel ini terdiri atas sub variable sikap, komitmen dan motivasi.

Faktor ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial,

pengalaman dan karakteristik demografis. Setiap orang cenderung

mengembangkan pola motivasi tertentu. Motivasi adalah kekuatan


32

yang dimiliki seseorang yang melahirkan intensitas dan ketekunan

yang dilakukan secara sukarela. Variabel psikologis bersifat komplek

dan sulit diukur.

3) Faktor Organisasi

Faktor organisasi yang bisa berpengaruh dalam perilaku caring

adalah, sumber daya manusia, kepemimpinan,imbalan, struktur dan

pekerjaan (Gibson, 2006). Kopelman(1986), variable imbalan akan

mempengaruhi variablemotivasi, yang pada akhirnya secara langsung

mempengaruhi kinerja individu.

g. Persepsi Klien Pada Caring

Menurut Williams (1997) dalam Potter dan Perry (2009) dalam

Kusnanto (2019) mengetahui kebiasaan perawat yang di rasakan klien

sebagai caring menegaskan apa yang klien harapkan dari pemberi

layanan. Menjadikan kehadiran yang menentramkan, mengenali individu

sebagai sesuatu yang unik, dan menjaga kebersamaan dan perhatian

penuh kepada klien merupakan sikap pelayanan yang dinilai klien.

Semua klien memiliki ciri khas, meskipun pemahaman akan sikap yang

dihubungkan klien dengan pelayanan membantu anda melakukan

pelayanan dalam praktik.

Menurut Attree (2001) dalam Potter dan Perry (2009) dalam

Kusnanto (2019), jika klien merasakan penyelenggara pelayanan

kesehatan bersikap sensitif, simpatik, merasa kasihan, dan tertarik

terhadap mereka sebagai individu, mereka biasanya menjadi rekan dalam


33

melakukan perencanaan keperawatan. Watson mengidentifikasi banyak

asumsi dan beberapa prinsip dasar dari transpersonal caring. Watson

mempercayai bahwa jiwa seseorang tidak dapat dibatasi oleh ruang dan

waktu.

Pada saat kita memulai praktik klinik, kita perlu mengetahui

mengenai penerimaan caring yang diterima oleh klien. Sebagai contoh,

jika kita datang ke pasien, kita memberi salam kepada klien,

memperkenalkan diri, memberi senyuman, mempertahankan kontak mata

saat interaksi, menyakan keluhan apa yang ada pada pasien, memeriksa

cairan intravena, memeriksa keadaan klinis pasien, memberi sentuhan,

mengevaluasi intervensi yang sudah dilakukan, dan memberikan salam

sebelum meninggalkan ruangan.

Hal ini akan mempersepsikan klien mengenai kepuasaan terhadap

pelayanan perawat. Perilaku caring merupakan suatu sikap, rasa peduli,

hormat dan menghargai orang lain, artinya menaruh perhatian yang lebih

terhadap klien dan bagaimana seseorang itu melakukan tindakan

(Kusnanto, 2019).

h. Manfaat Caring

Pemberian pelayanan keperawatan yang didasari atas perilaku

caring perawat, akan bisa meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Penerapan caring yang diintegrasikan dengan pengetahuan biofisikal dan

pengetahuan tentang perilaku manusia mampu meningkatkan kesehatan

individu dan memfasilitasi pemberian pelayanan kepada klien.


34

Kinerja perawat yang berdasarkan dengan perilaku caring akan

menjadi sangat penting dalam mempengaruhi kualitas pelayanan dan

kepuasan klien terutama di rumah sakit,dimana citra institusi ditentukan

oleh kualitas pelayanan yang nantinya akan mampu meningkatkan

kepuasan klien dan mutu pelayanan (Potter & Perry, 2009 dalam

Kusnanto, 2019). (Watson dalam Aligood &Tomey dalam Kusnanto,

2019) menambahkan bahwa caring yang dilakukan secara efektif bisa

mendorong kesehatan dan pertumbuhan individu.

Dari penelitian Wolf (2003) menemukan adanya hubungan yang

signifikan antara persepsi tentang perilaku caring perawat dengan

kepuasan klien terhadap pelayanan keperawatan. Demikian perilaku

caring yang ditampilkan oleh seorang perawat akan mempengaruhi

kepuasan klien. Perilaku caring yang dilakukan oleh perawat bukan saja

bisa meningkatkan kepuasan klien tapi juga bisa menghasilkan

keuntungan bagi rumah sakit. Godkin dan Godkin (2004) dalam

Kusnanto (2019), mengatakan bahwa perilaku caring mampu

memberikan manfaat secara finansial bagi industri pelayanan kesehatan.

i. Pengukuran Perilaku Caring

Perilaku caring bisa diukur dengan beberapa alat ukur (tools) yang

sudah dikembangkan oleh para peneliti yang membahas ilmu caring.

Beberapa penelitian tentang caring bersifat kuantitatif maupun kualitatif.

Watson (2009) dalam Kusnanto, (2019) menyatakan bahwa pengukuran

caring merupakan proses menurunkan subyektifitas, fenomena manusia


35

yang bersifat invisible (tidak terlihat) yang terkadang bersifat pribadi,

kebentuk yang lebih obyektif. Oleh sebab itu, penggunaan alat ukur

formal mampu mengurangi subyektifitas pengukuran perilaku caring.

Beberapa alat ukur formal yang digunakan untuk mengukur perilaku

caring perawat didasarkan pada persepsi pasien antara lain caring

behaviors assesment tool (digunakanoleh Cronin dan Harrison, 1988),

caring behavior checklist and client perception of caring (digunakan oleh

McDaniel, 1990), caring professional scale (digunakan oleh Swanson,

2000), caring assesment tools (digunakan oleh Duffy, 1992, 2001),

caring factor survey (digunakan oleh Nelson, Watson, danInovahelath,

2008).

1) Caring behaviors assesment tool (CBA)

Caring behaviors assesment tool (CBA) dikatakan sebagai salah

satu alat ukur pertama yang dikembangkan untuk mengkaji caring.

CBA disempurnakan didasari dari teori Watson dan memakai 10

faktor karatif. CBA terdiri dari 63 perilaku caring perawat yang

dikelompokkan menjadi 7 sub skala yang disesuaikan 10 faktor karatif

Watson. Tiga faktor karatif pertama dikelompokkan menjadi satu sub

skala. Enam faktor karatif lainnya mewakili semua aspek dari caring.

Alat ukur ini memakai skala Likert (5 poin) yang merefleksikan

derajat perilaku caring menurut persepsi pasien (Watson, 2009 dalam

Kusnanto, 2019).
36

Validitas dan reliabilitas alat ukur ini telah diuji oleh empat ahli

berdasarkan teori Watson. Cronin dan Harrison (1988 dalam Watson,

2009 dalam Kusnanto,2019) melakukan penelitian terhadap 22 pasien

infark miokard, kemudian Huggins et.al (1993 dalam Watson, 2009)

meneliti 288 pasien ruang emergensi. Mereka menggunakan Alpa

Cronbach pada 7 sub skala yang berkisar antara 0,66 sampai0.90.

Selain itu, Schultz, et.al. (1999 dalam Watson 2009) menggunakan

alat ukur ini dengan tes reliabilitas dengan kisaran 0.71 sampai 0,88

pada subskala, dan Alpa Cronbach 0.93 pada skala total.

2) Client Percepstion Of Caring (CPC) Dikembangkan Oleh Mcdaniel

(1990)

Client percepstion of caring (CPC) dikembangkan oleh McDaniel

(1990dalam Watson 2009) melaluidua jenis pengukuran. McDaniel

membedakan “caring for” dan “caring about”. CBC dirancang untuk

mengukur ada atau tidak perilaku caring (observasi). CPC adalah

kuesioner yang digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui respon

pasien terhadap perilaku caring perawat.

Dua alat ukur ini digunakan bersama-sama untuk melihat proses

caring. CBC terdiri dari 12 item perilaku caring. Alat ukur ini

membutuhkan seorang observer yang menilai interaksi perawat-pasien

selama 30 menit. Rentang nilai 0 (nol) sampai 12 (dua belas), nilai

paling tinggi menunjukkan ada perilaku caring yang ditampilkan.

CPC ditunjukkan kepada pasien setelah diobservasi. Alat ukur ini


37

terdiri dari 10 item dengan 6 rentang skala. Rentang skor 10 sampai

60, dimana skor tertinggi menunjukkan derajat perilaku caring yang

ditunjukkan yang dipersepsikan pasien bernilai tinggi, begitu juga

sebaliknya (McDaniel, 1990 dalam Watson, 2009).

Validitas CBC memakai Content Validity Index (CVI) yakni

sebesar 0,80. Reliabilitas CPC menggunakan konsistensi internal yaitu

alpa sebesar 0.81. reliabilitas CBC memakai pernyataan interater dan

dihasilkan nilai rentang 0,76 sampai 1,00, dimana 8 dari 12 item

adalah 0,90 atau di atas rata-rata (McDaniel, 1990 dalam Watson,

2009).

j. Instrumen Caring Swanson

NO PERNYATAAN YA TIDAK SCORE


Maintaining Belief
1. Perawat memperkenalkan diri pada
pasien
2. Perawat menemui pasien untuk
menawarkan bantuan (misalnya:
menghilangkan rasa sakit, memberi
kompres, dll)
3. Perawat membantu pasien
membangun hasil akhir yang
realistis/nyata
4. Perawat menunjukkan perhatian
kepada pasien (menanyakan
keadaan/keluhan yang dirasakan
saat menemui pasien)

Knowing
5. Perawat melibatkan keluarga pasien
38

atau orang yang dianggap berarti ke


dalam perawatan pasien
6. Perawat menjelaskan kepada pasien
dan keluarga, terutama mereka yang
bertanggung jawab
7. Perawat melakukan penilaian /
pengkajian tentang kondisi pasien
secara menyeluruh
8. Perawat menyanyakan apa yang
dirasakan pasien dan apa yang bisa
perawat lakukan untuk membantu
pasien
9. Perawat melakukan pendekatan
yang konsisten pada pasien
Being with
10. Perawat senantiasa mendampingi
pasien saat pasien membutuhkan
11. Perawat melakukan proses
keperawatan pada pasien dengan
kemampuan yang kompeten
12. Perawat suka mendengarkan
keluhan, perasaan, dan masukkan
dari pasien
13. Prawat menunjukkan sikap sabar
dalam melakukan proses
keperawatan pada pasien
14. Perawat memberikan kenyamanan
yang mendasar seprti ketenangan
(control suara), selimut yang
memadai dan tempat tidur yang
bersih
15. Perawat menyarankan kepada
pasien untuk memanggilnya apabila
pasien mengalami kesulitan /
39

menemui masalah
16. Perawat melakukan tindakan sesuai
profesional dalam penampilannya
sebagai perawat profesional
17. Perawat memberikan perawatan dan
pengobatan padapasien dengan
tepat waktu, sesuai SOP yang ada
18. Perawat menghormati hak-hak
pasien
19. Perawat membantu pasien
memberikan kesempatan untuk
memandirikan pasien dalam
mengatasi masalah
20. Perawat memberikan motivasi
pasien untuk berfikir positif tentang
kondisi sakitnya
21. Perawat selalu mendahulukan
kepentingan pasien
22. Perawat mengajarkan kepada pasien
cara untuk merawat diri sendiri
seiap kali memungkinkan

2. Konsep Self Behavior Msnejement

a. Pengertian Self Behavior Msnejement

Edelson (http://www.autism.org/selfmanage.html) mengungkapkan

“self management is a psychological term used to describe the process of

achieving personal autonomy”. Pada dasarnya self management adalah

sebuah terminologi psikologis untuk menggambarkan proses pencapaian


40

otonomi diri Self management dalam terminologi pendidikan, psikologi,

dan bisnis adalah metode, keterampilan dan strategi yang dapat dilakukan

oleh individu dalam mengarahkan secara efektif pencapaian tujuan

aktivitas yang mereka lakukan, termasuk di dalamnya goal setting,

planning, scheduling, task tracking, self-evaluation, self-intervention,

self-development. Selain itu self-management juga dikenal sebagai proses

eksekusi (pengambilan keputusan) (http://en.wikipedia.org/wiki/Self-

management).

Self management atau pengelolaan diri adalah suatu strategi

pengubahan perilaku yang dalam prosesnya konseli mengarahkan

perubahan perilakunya sendiri dengan suatu teknik atau kombinasi teknik

teurapetik (Cormier&Cormier, 1985: 519). Disiplin ilmu keperawatan,

merupakan pengetahuan ilmiah terdiri atas prinsip, teori, dan model

konseptual, serta temuan penelitian dari keperawatan dan disiplin terkait

(Parker, 2005 dalam Budiono, 2016). Model konseptual keperawatan

diharapkan dapat menjadi kerangka berfikir perawat, sehingga perawat

perlu memahami beberapa konsep ini sebagai kerangka konsep dalam

memberikan asuhan keperawatan dalam praktek keperawatan.

Pengembangan model konsep keperawatan perlu dikerjakan untuk

memajukan disiplin ilmu pengetahuan keperawatan. Antara model dan

teori ada suatu kesamaan dalam pengertian, namun sebenarnya berbeda

dalam beberapa hal diantaranya pada tingkat abstraknya.


41

Merriam& Caffarella (Knowles, 2003b:48) menyatakan bahwa

pengarahan diri merupakan upaya individu untuk melakukan

perencanaan,pemusatan perhatian, dan evaluasi terhadap aktivitas yang

dilakukan. Di dalamnya terdapat kekuatan psikologis yang memberi arah

pada individu untuk mengambil keputusan dan menentukan pilihannya

serta menetapkan cara-cara yang efektif dalam mencapai tujuannya.

Self-management merupakan salah satu model dalam cognitive-

behavior therapy. Self-management meliputi pemantauan diri (self-

monitoring), reinforcement yang positif (self-reward), kontrak atau

perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), dan penguasaan

terhadap ransangan (stimulus control) (Gunarsa, 1996:225-226).

Selanjutnya dinyatakan bahwa self-instructional merupakan teknik

kognitif yang mempunyai peranan penting atau sebagai penyokong

terhadap self-management. “Cognitive theory suggests that some

problems in self-management may be caused by faulty constructs or

other cognitions about the world or people around us, or of ourselves”

(Yates, 1985:63). Selfinstructional atau menginstruksi diri sendiri pada

hakikatnya adalah bentuk restrukturisasi aspek kognitif. Urgensi dari hal

tersebut terungkap bahwa pernyataan terhadap diri sendiri sama

pengaruhnya dengan pernyataan yang dibuat orang lain terhadap dirinya

(Meichenbaum; dalam Gunarsa, 1996:228).

Program manajemen diri adalah upaya sekaligus dukungan yang

dilakukan tenaga kesehatan untuk meningkatkan kemampuan tertentu


42

dan dapat mengelola kesehatan dirinya termasuk program pengkajian

kesehatan diri, mengetahui masalah kesehatan diri, menentukan tujuan

dan pemecahan masalah (Lorig dan Holman,2003).

Dukungan manajemen diri merupakan bagian terpenting dalam

pelayanan keperawatan yang berfokus pada pasien. Manajemen diri

merupakan dukungan yang diberikan kepada pasien terutama dengan

kondisi kronis yang bertujuan untuk meningkatkan self efficacy sehingga

memungkinkan mereka mengelola kesehatannya dalam kehidupan

sehari-hari. Manajemen diri juga juga bagaimana meningkatkan

kontribusi dari lingkungan sekitar untuk berperan aktif dalam perawatan

kesehatan pasien.

b. Aspek Self Manajmen

Self-management merupakan serangkaian teknis untuk mengubah

perilaku, pikiran, dan perasaan. Aspek-aspek yang dapat dikelompokkan

ke dalam prosedur self-management menurut Yates (1985:4) adalah:

1. Management by antecedent: pengontrolan reaksi terhadap sebab-sebab

atau pikiran dan perasaan yang memunculkan respon.

2. Management by consequence: pengontrolan reaksi terhadap tujuan

perilaku, pikiran, dan perasaan yang ingin dicapai.

3. Cognitive techniques: pengubahan pikiran, perilaku dan perasaan.

Dirumuskan dalam cara mengenal, mengeliminasi dan mengganti apa-

apa yang terefleksi pada antecedents dan consequence.

4. Affective techniques: pengubahan emosi secara langsung


43

c. Unsur Self Menejemen

1. Empati, patient centered care. Semua professional pemberi asuhan

harus memberi perhatian dan kontribusinya untuk memenuhi

kebutuhan pasien.

2. Melibatkan seluruh tim kesehatan dalam perencanaan, pengelolaan

pasien dan monitoring.

3. Merencanakan kunjungan ke pasien dengan berfocus pada pencegahan

dan manajemen pengelolaan daripada pelayanan akut.

4. Melibatkan pasien dalam penentuan tujuan

5. Memberikan pendidikan dan ketrampilan yang sesuai dengan

kebutuhan pasien dengan menggunakan media yang sesuai dengan

budaya pasien.

6. Membuat rujukan ke komunitas, seperti program untuk mengikuti

latihan tertentu di puskesmas.

7. Tindak lanjut rutin dengan monitoring, bisa melalui sarana

telekomunikasi untuk mendukung dalam upaya menjaga perilaku

sehat.

d. Sumber Daya Dalam Self Manajemen

1. Interaksi perawat-pasien

Manajemen diri lebih dari sekedar pendidikan kesehatan yang

diberikan kepada pasien. manajemen diri lebih kepada meningkatkan

self efficacy pasien sehingga pasien dapat mandiri dan lebih

meningkatkan kualitas hidupnya. Manajemen diri lebih mengajarkan


44

untuk memecahkan masalah pasien untuk mengatasi segala kondisi

yang dialami. Perawat lebih berperan dalam meningkatkan

kepercayaan diri pasien untuk dapat berkualitas.

2. Perawat dengan tenaga kesehatan yang lain

Manajemen diri merupakan dukungan yang berpusat pada pasien.

dalam hal ini perawat mengkoordinasikan dengan tenaga kesehatan

lain seperti dokter, ahli gizi, therapist yang terlibat dalam

penyembuhan pasien. Perawat mengkaji kebutuhan pasien dan

merencanakan tindakan yang tepat untuk penyelesaian. Perawat

berkoordiasi dengan tenaga kesehatan yang lain sesuai dengan

kebutuhan pasien untuk bisa menjadi coaching. Perawat memastikan

bahwa terjadi kolaborasi yang sinergis untuk pengelolaan masalah

kesehatan pasien. Membantu pasien untuk membuat pilihan yang baik

dan emmpertahankan perilaku yang sehat emmbutuhkan hubungan

kolaboratif yang solid antar tim kesehatan, serta pasien dan keluarga.

Perawat melakukan monitor secara regular.

e. Program Manajemen Diri :

1. Manajemen perawatan

Pasien dilibatkan dalam pengelolaan penyakitnya, termasuk di

dalamnya minum obat, mengikuti diet tertentu, dan juga menggunakan

alat tertentu seperti injeksi insulin. Pasien diajarkan untuk ketrampilan

pemecahan masalah, implementasi solusi dan evaluasi hasil.


45

2. Manajemen gaya hidup

Individu diajarkan untuk melakukan perubahan dan penciptaan

perilaku hidup baru yang bermakna. Individu dengan kondisi kronis

harus membuat keputusan untuk merubah gaya hidup nya sehari-hari.

Pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang cukup tepat.

Individu juga diajarkan untuk menemukan dan memanfaatkan sumber

daya yang ada dengan mamanfaatkan penyedia layanan kesehatan.

Pasien berperan aktif dengan penyedia layanan yang ada di

masyarakat dengan rutin memeriksakan kondisi dan melaporkan

apabila terjadi perubahan kondisi.

3. Manajemen emosional

Individu akan menghadapi permasalahan emosional karena memiliki

kondisi kronis yang akan mengubah pandangan seseorang tentang

masa depan. Emosi seperti marah, takut, frustrasi, dna depresi

biasanya dialami oelh seseorang dengan penyakit kronis. Individu

diajarkan untuk mengelola psikologis yang lebih adaptif.

f. Self Care and Manajemen diri

Self care dan manajemen diri merupakan dua hal yang sama-sama

meingkatkan kemampuan pasien dalam program peningkatan kesehatan.

Self care lebih menitikberatkan kepada pasien dan keluarga untuk

mendukung intervensi kesehatan dan bertanggung jawab dalam

pemenuhan kebutuhan perawatan (Wilkinson dan Whitehead, 2009).


46

Manajemen diri difokuskan pada keterlibatan semua sumber daya

yang ada disekitar pasien sehingga pasien lebih pecaya diri dan

meningkatkan perilaku dalam mengelola gejala, perawatan dan

perubahan gaya hidup. Manajemen diri dapat bersifat untuk promosi

kesehatan terkait penyakit akut atau kronis (wagner et al, 2002; lorig dan

Holman, 2003; Wilkinson dan whitehead, 2009). Manajemen diri

mengacu pada sistem kesehatan untuk memfasilitasi kemampuan

individu dalam mengelola penyakitnya. Proses manajemen diri termasuk

didalamnya pematauan kondisi kesehatan dan menerapkan strategi untuk

pengelolaan perawatan, obat-obatan dan implikasi penyakit kronis

( thorne, 2003).

g. Manfaat Self Menejemen

1. Membantu individu untuk dapat mengelola diri baik pikiran, perasaan

dan perbuatan sehingga dapat berkembang secara optimal.

2. Dengan melibatkan individu secara aktif maka akan menimbulkan

perasaan bebas dari kontrol orang lain.

3. Dengan meletakkan tanggung jawab perubahan sepenuhnya kepada

individu maka dia akan menganggap bahwa perubahan yang terjadi

karena usahanya sendiri dan lebih tahan lama

4. Individu dapat semakin mampu untuk menjalani hidup yang diarahkan

sendiri dan tidak tergantung lagi pada konselor untuk berurusan

dengan masalah mereka.

3. Teori Keperawatan Menurut Callista Roy


47

a. Biografi Sister Callista Roy

Menurut Sudarta (2015) Sister Calista Roy dilahirkan di Los

Angeles, 14 Oktober 1939 sebagai anak kedua dari keluarga Fabien Roy.

Di usianya yang ke 14, ia mulai bekerja di rumah sakit umum sebagai

petugas pantry, lalu menjadi pekarya, dan akhirnya sebagai tenaga

perawat. Kemudian ia bergabung dengan Sisters of Saint Joseph of

Carondelet. Ia mendapat gelar Bachelor of Arts bidang keperawatan dari

Mount St. Mary’s College, Los Angeles tahun 1963. Disusul dengan

Master di bidang perawatan pediatric dari university of California, Los

Angeles di tahun 1966. Selain itu juga memperoleh gelar Master dan

PhD bidang Sosiologi pada 1973 dan 1977.

Sister Calista Roy mengembangkan model adaptasi dalam

keperawatan pada tahun 1964. Model ini banyak digenakan sebagai

falsafah dasar dan model konsep dalam pendidikan keperawatan. Model

adaptasi Roy adalah system model yang esensial dalam keperawatan

(Asmadi, 2008).

b. Asumsi Dasar Model Adaptasi Callista Roy

Menurut Asmadi (2008) adapun asumsi-asumsi dasar yang dianut

dalam model adaptasi Roy, antara lain :

1) Individu adalah makhluk bio-psiko-sosial yang merupakan suatu

kesatuan yang utuh. Seseorang dikatakan sehat jika ia mampu

berfungsi untuk memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, dan

sosialnya.
48

2) Setiap orang selau menggunakan koping, baik yang bersifat positif

maupun negatif, untuk dapat beradaptasi. Kemampuan adaptasi

seseorang dipengaruhi tiga komponen, yaitu penyebab utama

perubahan kondisi dan situasi, keyakinan, dan pengalaman dalam

beradaptasi.

3) Setiap individu berespons terhadap kebutuhan fisiologis, kebutuhan

akan konsep diri yang positif, kemampuan untuk hidup mandiri atau

kemandirian, serta kemampuan melakukan peran danfungsi secara

optimal guna memelihara integritas diri. Kebutuhan fisiologis,

menurut roy, meliputi oksigenasi dan sirkulasi, keseimbangan cairan

dan elektrolit, makana, tidur dan istirahat, pengaturan suhu dan

hormone, dan fungsi tambahan. Kebutuhan konsep diri yan positif

berfokus pada persepsi diri yang meliputi kepribadian, norma, etika,

dan keyakinan sesoerang. Kemandirian lebih difokuskan pada

kebutuhan dan kemampuan melakukan interaksi sosial, termasuk

kebutuhan akan dukungan orang lain. Peran dan fungsi optimal lebih

difokuskan pada perilaku individu dalam menjalankan peran dan

fungsi yang diembannya.

4) Individu selalu berada dalam rentang sehat-sakit yang berhubungan

erat dengan keefektifan koping yang dilakukan guna mempertahan

kan kemampuan adaptasi.

Selain itu, asumsi dasar model adaptasi Roy menurut Sudarta (2015),

yaitu sebagai berikut:


49

1) Manusia adalah keseluruhan dari biopsikologi dan social yang terus-

menerus berinteraksi dengan lingkungan.

2) Manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi

perubahan-perubahan biopsikososial.

3) Setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas

kemampuan untuk beradaptasi. Pada dasarnya manusia memberikan

respon terhadap semua rangsangan baik positif maupun negatif.

4) Kemampuan adaptasi manusia berbeda-beda antara satu dengan yang

lainya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan

maka ia mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik

positif maupun negatif.

5) Sehat dan sakit merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dari

kehidupan manusia.

c. Sistem Adaptasi Callista Roy

Sistem adalah suatu kesatuan yang dihubungkan karena fungsinya

sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling

ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya.Tingkat atau kemampuan

adaptasi seseorang ditentukan oleh tiga hal, yaitu Input, control dan out-

put, dengan penjelasan sebagai berikut :

1) Input

Roy mengidentifikasi bahwa input sebagi stimulus, merupakan

kesatuan informasi, bahan-bahan atau energy dari lingkungan yang


50

dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan

stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual (Sudarta, 2015).

a) Stimulus fokal adalah stimulus internal atau eksternal menghadapi

system manusia yang efeknya lebih segera (Alligot & Tomey,

2010).

b) Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami

seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi

situasi dan dapat diobservasi, diukur dan secara bersamaan.

(Sudarta, 2015) di mana stimulus kontekstual merupakan semua

factor lingkungan yang hadir kepada seseorang dari dalam tetapi

bukan pusat dari atensi dan energy seseorang (Alligot & Tomey,

2010).

c) Stimulus residual adalah factor lingkungan dalam tanpa system

manusia yang mempengaruhi dalam situasi arus yang tidak jelas

(Alligot & Tomey, 2010). Stimulus residual yaitu ciri-ciri

tambahan yang ada dan relevan dengan situasi yang ada tetapu

sukar untuk diobservasi meliputi kepercayaan, sikap, sifat individu

berkembang sesuai pengalaman yang lalu hal ini member proses

belajar untuk toleransi (Sudarta, 2015). Contohnya adalah

keyakinan, sikap dan sifat individu yang berkembang sesuai

dengan pengalaman masa lalu (Asmadi, 2008).

2) Kontrol
51

Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme

koping yang digunakan, dibagi menjadi :

a) Subsistem regulator

Subsystem regulator merupakan renspons system kimiawi,

saraf atau endokrin, otak dan medulla spinalis yang diteruskan

sebagai prilaku atau respons (Asmadi, 2008). Subsystem regulator

mempunyai komponen-komponen : input-proses dan output. Input

stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter regulator

system adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom adalah

respon neural atau endokrin. Refleks otonom adalah respon neural

dan brain system dan spinal cord yang diteruskan sebagai prilaku

output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis yang dapat

dinilai sebagai prilaku regulator subsitem (Sudarta, 2015).

b) Subsistem kognator

Mekanisme kognator berhubungan dengan fungsi otak dalam

memproses informasi, penilaian dan emosi (Asmadi, 2008).

Stimulus untuk subsistem kognator dapat ekstenal maupun internal.

Prilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus

umpan balik untuk kognator subsistem. Kognator control proses

berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi,

penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan

dewngan proses internal dalam memolih atensi, mencatat dan

mengingat, belajar berkolerasi dengan proses imitasi,


52

reinfoecement (penguatan) dan insight (pengertian yang

mendalam). Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan

adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian atau

analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari

keringanan, mempergunakan penilaian dan kasih sayang (Sudarta,

2015).

3) Output

Output dari suatu system adaptasi adalah prilaku yang dapat

diamati, diukur, atau dapat dikemukakan secara subjektif. Output

pada system ini dapat berupa respons adaptif ataupun respons

maladaptif (Asmadi, 2008). Output dari suatu system adalah prilaku

yang dapat diamati, diukur atau secara subjektif dapat dilaporkan baik

berasal dari dalam maupun diluar. Prilaku ini merupakan umpan balik

untuk sitem. Roy mengkategorikan output sebagi respon yang tidak

maladaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan integritas

seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan

dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan

keunggulan. Sedangkan respon yang mal adaptif perilaku yang tidak

mendukung tujuan ini. Roy telah menggunakan bentuk mekanisme

koping untuk menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai adaptif

system. Beberapa mekanisme koping diwariskan atau diturunkan

secara genetik (misal sel darah putih) sebagai sitem pertahan terhadap

bakteri yang menyerang tubuh (Sudarta, 2015).


53

d. Objek Utama dalam Keperawatan Callista Roy

Menurut Sudarta (2015) menjelaskan bahwa menurut Roy terdapat

empat objek utama dalam ilmu keperawatan, yaitu :

1) Manusia (individu yang mendapatkan asuhan keprawatan) Menurut

Roy manusia bersifat holistic, yang mempunyai system adaptif.

Sebagai system yang adaptif, manusia dijelaskan sebagai

keseluruahan dengan bagian-bagian fungsi sebagai kesatuan dari

beberapa tujuan. Sistem manusia meliputi orang-orang sebagai

individu atau dalam kelompok, termasuk keluarga, organisasi,

komunitas dan sosial sebagai sebuah keseluruhan (Alligot & Tomey,

2010). Roy mengatakan bahwa penerima jasa asuhan keperawatan

individu, keluarga, kelompok komunitas atau sosial. Masing-masing

dilakukan oleh perawat sebagai sitem adaptasi yang holistik dan

terbuka. Sistem terbuka tersebut berdampak terhadap perubahan

yang konstan terhadap informasi, kejadian, energi antara sistem dan

lingkungan dicirikan oleh perubahan internal dan eksternal. Dengan

perubahan tersebut individu harus mempertahankan integritas

dirinya, dimana setiap individu secara kontinyu berdaptasi

(Nursalam, 2016).

Roy mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sitem

adaptif. Sebagai sistem adaptif, manusia dapat digambarkan secara

holistic sebagai satu kesatuan yang mempunyai input, control, out

put dan prosees umpan balik. Proses kontrol adalah mekanisme


54

koping yang dimanifestasikan dengan cara-cara adaptasi. Lebih

spesifik manusia didefinisikan sebagai sebuah sistem adaptif dengan

aktivitas kognator dan regulator untuk mempertahankan adaptasi

dalam empat cara-cara adaptasi yaitu : fungsi fisiologis, konsep diri,

fungsi peran dan interdependensi. Dalam model adaptasi

keperawatan, manusia dijelaskan sebagai suatu system yang hidup,

terbuka dan adaftif yang dapat mengalami kekuatan dan zat dengan

perubahan lingkungan. Sebagai system adaftif manusia dapat

digambarkan dalam istilah karakteristik system, jadi manusia dilihat

sebagai satu-kesatuan yang saling berhubungan antara unit

fungsional secara keseluruhan atau beberapa unit fungsional untuk

beberapa tujuan. Input pada manusia sebagai suatu sitem adaptasi

adalah dengan menerima masukan dari lingkungan luar dan

lingkungan dalam diri individu itu sendiri. Input atau stimulus

termasuk variable standar yang berlawanan yang umpan baliknya

dapat dibandingkan. Variabel standar ini adalah stimulus internal

yang mempunyai tingkat adaptasi dan mewakili dari rentang

stimulus manusia yang dapat ditoleransi dengan usaha-usaha yang

biasa dilakukan. Proses kontrol manusia sebagai suatu system

adaptasi adalah mekanisme koping. Dua mekanisme koping yang

telah diidentifikasi yaitu: subsistem regulator dan subsistem

kognator. Regulator dan kognator digambarkan sebagai aksi dalam

hubungannya terhadap empat efektor atau cara-cara adaptasi yaitu:


55

fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependen

(Sudarta, 2015).

2) Keperawatan

Keperawatan adalah bentuk pelayanan professional berupa

pemenuhan kebutuhan dasar dan diberikan kepada individu baik

sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis dan

social agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal. Bentuk

pemenuhan kebutuhan dasar dapat berupa meningkatkan

kemampuan yang ada pada individu, mencegah, memperbaiki, dan

melakukan rehabilitasi dari suatu keadaan yang dipersepsikan sakit

oleh individu (Alligood & Tomey, 2006 dalam Nursalam, 2016).

Roy mendefinisikan bahwa tujuan keperawatan adalah meningkat

kan respons adaptasi berhubungan dengan empat mode respon

adaptasi. Perubahan internal dan eksternal dan stimulus input

tergantung dari kondisi koping individu. Kondisi koping seseorang

atau keadaan koping seseorang merupakan tingkat adaptasi

seseorang.

Tingkat adaptasi seseorang akan ditentukan oleh stimulus fokal,

kontekstual, dan residual. Fokal adalah suatu respons yang diberikan

secar langsung terhadap ancaman/input yang masuk. Penggunaan

fokal pada umumnya tergantung tingkat perubahan yang berdampak

pada seseorang. Stimulus kontekstual adalah semua stimulus

lainseseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi


56

situasi dan dapat diobservasi, diukur, dan secara subjektif

disampaikan oleh individu. Stimulus residual adalah

karakteristi/riwayat dari seseorang yang ada dan timbul relevan

dengan situasi yang dihadapi tetapi sulit diukur secara objektif

(Sudarta, 2015).

3) Konsep Sehat

Roy memandang kesehatan merupakan sebuah kelanjutan dari

meninggal dan kesehatan yang ekstrim yang buruk ke level tertinggi

dan puncak dari kesehatan (Alligot & Tommy, 2010). Dia

menekankan bahwa sehat merupakan suatu keadaan dan proses

dalam upaya dan menjadikan dirinya secara terintegrasi secara

keseluruhan, fisik, mental dan social. Itegritas adaptasi individu

dimanifestasikan oleh kemampuan individu untuk memenuhi tujuan

memper tahankan dan reproduksi (Nursalam, 2016). Sakit adalah

suatu kondisi ketidak mampuan individu untuk beradaptasi terhadap

rangsangan yang berasal dari dalm dan dari luar individu. Kondisi

sehat dan sakit sangat individual dipersepsikan oleh individu.

Kemampuan seseorang dalam beradaptasi (koping) tergantung dari

latar belakang individu tersebut dalam mengartikan dan

mempersepsikan sehat-sakit, misalnya tingkat pendidikan, pekerja

an, usia, budaya, dan lain-lain (Sudarta, 2015).

4) Konsep lingkungan
57

Stimulus dari individu dan stimulus sekitarnya merupakan

unsure penting dalam lingkungan. Roy mendifinisikan lingkungan

sebagai semua kondisi yang berasal dari internal dan ekternal, yang

mempengaruhi dan berakibat terhadap perkembangan dari perilaku

seseorang dan kelompok (Nursalam, 2016). Lingkungan eksternal

dapat berupa fisik, kimiawi, ataupun psikologis yang diterima.

individu dan dipersepsikan sebagai suatu ancaman. Sedangkan

lingkungan internal adalah keadaan proses mental dalam tubuh

individu (berupa pengalaman, kemampuan emosional, kepribadian)

dan proses stressor biologis (sel maupun molekul) yang berasal dari

tubuh individu. Manifestasi yang tampak akan tercermin dari prilaku

individu sebagai respons. Dengan pemahaman yang baik tentang

lingkungan akan membantu perawat dalam meningkatkan adaptasi

dalam merubah dan mengirangi resiko akibat dari lingkungan sekitar

(Sudarta, 2015).

e. Fungsi model Callista Roy

Empat fungsi model yang dikembangkan oleh roy terdiri dari :

1) Fisiologis

Menurut Nursalam (2016) secara fisiologis dapat dilihat dari

beberapa hal berikut :


58

a) Oksigenasi: menggambarkan pola penggunaan oksigen

berhubungan dengan respirasi dan sirkulasi.

b) Nutrisi: menggambarkan pola penggunaan nutrient untuk

memperbaiki kondisi tubuh dan perkembangan.

c) Eliminasi: menggambarkan pola eliminasi.

d) Aktivitas dan istirahat: menggambarkan pola aktivitas, latihan,

istirahat dan tidur.

e) Integritas kulit: menggambarkan pola fisiologis kulit.

f) Rasa/senses:menggambarkan fungsi sensori perceptual

berhubungan dengan panca indra.

g) Cairan dan elektrolit: menggambarkan pola fisiologis penggunaan

cairan dan elektrolit.

h) Fungsi neurologis: menggambarkan pola kontrol neurologis,

pengaturan dan intelektual.

i) Fungsi endokrin: menggambarkan pola kontrol dan pengaturan

termasuk respons stress dan system reproduksi.

2) Konsep diri (psikis)

Konsep diri adalah pengetahuan individu tentang diri. Konsep

diri adalah citra subjektif dari diri dan pencampuran yang kompleks

dari perasaan, sikap dan persepsi bawah sadar maupun sadar

Komponen konsep diri antara lain identitas, citra tubuh, harga diri,
59

dan peran diri (Potter dan Perry, 2005). Konsep diri didefinisikan

sebagai semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang membuat

seseorang mengetahui tentang dirinya dan mempengaruhi

hubungannya dengan orang lain. Konsep diri seseorang tidak

terbentuk waktu lahir melainkan harus dipelajari (Murwani, 2009).

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan

pendirian individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1991,

dalam Murwani, 2009). Konsep diri seseorang tidak terbentuk waktu

lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil dari pengalaman unik seseorang

dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat. Berdasarkan pendapat

di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa konsep diri adalah

pengetahuan individu tentang dirinya.

Model konsep ini mengidentifikasi pola nilai, kepercayaaan dan

emosi yang berhubungan dengan ide diri sendiri. Perhatian ditujukan

pada kenyataan keadaan diri sendiri tentang fisik, individual, dan

moral-etik (Sudarta, 2015). Menurut Potter dan Perry (2005)

komponen konsep diri antara lain:

a) Identitas

Identitas mencakup rasa internal tentang individualitas, keutuhan

dan konsistensi dari seseorang sepanjang waktu dan dalam

berbagai situasi. Identitas menunjukkan menjadi lain dan terpisah


60

dari orang lain, namun menjadi diri yang utuh dan unik. Ciri-ciri

identitas diri:

(1) Memahami diri sendiri sebagai organisme yang utuh, berbeda,

dan terpisah dari orang lain.

(2) Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian masyarakat.

(3) Mengakui jenis kelamin sendiri.

(4) Menyadari hubungan masa lalu, sekarang dan masa yang akan

datang.

(5) Memandang berbagai aspek dalam dirinya sebagai suatu

keserasian dan keselarasan.

(6) Mempunyai tujuan hidup yang bernilai dan dapat

direalisasikan.

b) Citra tubuh

Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik

secara internal maupun eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan

dan sikap yang ditujukan pada tubuh.

c) Harga diri

Harga diri adalah rasa tentang nilai nilai diri. Rasa ini adalah suatu

evaluasi dimana seseorang membuat atau memper tahankan diri.

Orang perlu merasa berharga dalam hidupnya dan hal ini

merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Harga diri dapat

diperoleh melalui orang lain dan diri sendiri. Aspek utama harga
61

diri adalah dicintai, disayangi, dikasihi, orang lain dan mendapat

penghargaan dari orang lain.

d) Peran diri

Peran mencakup harapan atau standar perilaku yang telah diterima

oleh keluarga, komunitas dan kultur. Peran adalah perilaku yang

didasarkan pada pola yang ditetapkan melalui sosialisasi.

3) Fungsi peran (Sosial)

Peran mencakup harapan atau standar perilaku yang telah diterima

oleh keluarga, komunitas dan kultur. Peran adalah perilaku yang

didasarkan pada pola yang ditetapkan melalui sosialisasi (Potter dan

Perry, 2005). Fungsi peran mengidentifikasi tentang pola interaksi

social seseorang berhubungan dengan orang lain akibat dari peran

ganda yang dijalankannya (Nursalam, 2016).

4) Interdependent

Interdependent mengidentifikasi pola nilai-nilai manusia,

kehangatan, cinta dan memiliki. Proses tersebut terjadi melalui

hubungan interpersonal terhadap individu maupun kelompok

(Sudarta, 2015). Hubungan interdependent meliputi kemauan dan

kemampuan untuk memberi kepada yang lain dan menerima dari

aspek-aspek mereka yang memberikan, seperti cinta, respek, nilai,

pengasuhan, pengetahuan, kemampuan-kemampuan, komitmen-

komitmen yang memiliki materi, waktu dan bakat (Alligot &

Tommy, 2010).
62

Gambar 2.1 Model Konsep Adaptasi Menurut Callista Roy

B. Penelitian Terkait

Beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki variabel yang relatif sama

dengan penelitian ini, telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti :

1. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Juwariyah dan Joyo. Tahun

2014, bertempat di Poli VCT RSUD. Gambiran Kota Kediri dengan judul

“HUBUNGAN PERILAKU CARING PERAWAT DENGAN TINGKAT

KEPUASAN DI POLI VCT RSUD GAMBIRAN KOTA KEDIRI

BERDASARKAN TEORI WATSON”. Dalam Penelitian ini menggunakan

metode penelitian korelatif dengan pendekatan cross sectional studi. Sampel

dalam penelitian ini sebanyak 50 orang dengan menggunakan teknik

sampling accidental sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan kuesioner yang telah diuji coba dan dianalisa dengan

menggunakan Spearman Rho. Variabel yang independen dalam penelitian

ini adalah perilaku caring perawat dan variabel dependennya adalah


63

kepuasan pasien. Berdasarkan hasil uji statistik spearman rho menunjukkan

bahwa ada hubungan antara perilaku caring perawat dengan kepuasan

pasien HIV/ AIDS yang berobat di Poli VCT RSUD Gambiran Kediri

dengan nilai signifikansi p-value=0,000.

2. Penelitian sebelumnya oleh Ilkafah dan Harniahtahun 2017, dengan judul

penelitian “PERILAKU CARING PERAWAT DENGAN KEPUASAN

PASIEN DIRUANG RAWAT INAPPRIVATE CARE CENTRERSUP DR

WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR”. Penelitian ini peneliti

menggunakan penelitian survey analitik dengan pendekatan cross sectional

study. Populasi dalam penelitian iniadalah semua pasien yang dirawat di

Ruang Rawat Inap Private Care CentreRSUP Dr Wahidin Sudirohusodo

Makassar tahun 2015 dengan rata-rata per bulan sebanyak ± 358 orang.

Sampel yang diambil dilakukan secara acak (probability sampling) yaitu

dengan teknik acak sederhana (simple random sampling) dengan mengambil

sampel yang mewakili masing-masing ruang rawat inap dengan kriteria

inklusi: pasien yang sudah dinyatakan sudah boleh pulang dan sudah

dirawat lebih dari 3 hari. Variable independent dalam penelitian ini adalah

perilaku caring sedangkan variable dependent adalah kepuasan pasien.

Pengukuran perilaku caring, diukur dengan kuesioner skala Likert sebanyak

50 pertanyaan dengan kriteria baik dan kurang dengan hasil dari uji validitas

perilaku caring didapatkan nilai terendah 0,710 dan nilai tertinggi 0,970

sehingga dapat dikatakan semua item pertanyaan untuk perilaku caring

perawat valid. Berdasarkan hasil uji statistik Fisher Exact Test diperoleh
64

nilai p=0,006, hal ini berarti nilai p <.(0,05). Hal ini berarti ada hubungan

perilaku caring perawat dengan kepuasan pasien di Ruang Rawat Inap

Private Care Centre RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah, Dkk (2019) tentang

“PERILAKU CARING PERAWAT BERDASARKAN TEORI JEAN

WATSON DI RUANG RAWAT INAP” penelitian ini di lakukan di Ruang

Rawat Inap RSAU DR. M.Salamun Bandung. Jenis penelitian kuantitatif

dengan pendekatan survey deskriptif. Sampel yang digunakan adalah Pasien

rawat inap minimal lama rawat 3 hari dengan teknik total sampling yaitu

142 orang. Pengumpulan data menggunakan dataprimer dengan instrumen

penelitian yaitu kuesioner Behaviors Assessment Caring dari sepuluh

carative faktor Jean Watson. Analisis data berupa distribusi frekuensi. Hasil

penelitian tentang perilaku caring perawat 52,1% yaitu cukup, Pemenuhan

kebutuhan manusia 73,2%, Sistem Nilai Humanistik Altruistik 43,7%,

Keyakinan dan harapan klien 47,9%, Kepekaan terhadap diri sendiri dan

orang lain 50,0%, Hubungan membantu rasa percaya 48,6%,penerima

ungkapan positif dan negatif 51,4%, Metode pemecahan masalah 47,2%,

Proses pengajaran interpersonal 45,1%, Lingkungan psikologis 60,6%

perilaku caring perawat cukup dan Kekuatan eksistensial fenomenologis

klien menilai 44,4% perilaku caring perawat yaitu baik.

C. Kerangka Teori
65

Kerangka teori ialah alur logika yang disusun secara sistematis meliputi

seperangkat konsep, definisi dan proporsi atau bagian. Kerangka teori

merupakan kerangka hipotesi yang memperlihatkan keterangan situasi masalah

atau faktor – faktor yang memiliki hubungan dengan situasi masalah yang

diteliti (Sugiyono, 2011; Lapau, 2012)

Kebutuhan Dasar Manusia:


Perilaku Caring :
1.Manusia sebagai Makhluk
Caring ialah bentuk suatu perilaku Holisti k : Manusia sebagai
yang dapat menghadirkan makhluk holistik merupakan
perasaan aman baik dalam segi makhluk yang utuh atau
fisik daan emosi terhadap manusia paduan dari unsur biologis,
lainnya secara tulus. (Watson, 2005 psikologis, sosial dan spiritual
dalam Kusnanto, 2019).)
2. Manusia sebagai Sistem
:Manusia sebagai sistem terdiri
atas sistem adaptif, personal,
Dimensi Caring menurut K.M interpersonal, dan sosial.
Swanson : Sistem adaptif merupakan
1.Maintening belief
proses perubahan individu
2.Knowing (mengetahui)
3.Being with (Kehadiran) sebagai respons terhadap
(Kusnanto, 2019) perubahan lingkungan yang
dapat mempengaruhi integritas
atau keutuhan (Kasiati dan
Rosmalayati, 2016)

Caring dalam Praktek Keperawatan:


Caring merupakan hasil dari kultur,
nilai – nilai, pengalaman dan Kebutuhan dasar Abraham
hubungan perawat dengan klien. Saat Maslow :
perawat berurusan dengan kesehatan 1. Kebutuhan Fisiologis
dan penyakit dalam praktiknya, maka 2. Kebutuhan rasa aman dan
kemampuan perawat dalam pelayanan nyaman
akan semakin berkembang. Sikap 3. Kebutuhan rasa cinta dan
perawat dalam praktik keperawatan kasih sayang
yang berkaitan dengan Caring adalah 4. Kebutuhan harga diri
dengan kehadiran, sentuhan kasih 5. Kebutuhan aktualisasi diri
sayang, selalu mendengarkan dan
memahami klien (Potter & Perry, 2009
dalam Kusnanto, 2019).

Kebutuhan dasar Fisiologis :

Kebutuhan fisiologis, merupakan kebutuhan paling


dasar dan memiliki prioritas tertinggi dalam
kebutuhan Maslow. Kebutuhan fisiologis merupakan
hal yang mutlak harus terpenuhioleh manusia untuk
bertahan hidup. Kebutuhan tersebut terdiri dari
pemenuhan oksigen dan pertukaran gas, kebutuhan
cairan (minuman), nutrisi (makanan), eliminasi,
istirahat dan tidur, aktivitas, keseimbangan suhu
tubuh, dan kebutuhan seksual (Kasiati dan
rosmalawati, 2016)
66

Skema. 2.1 Kerangka Teori dimodifikasi oleh (McDaniel, 1990 dalam Watson,

2009)

D. Kerangka Konsep Penelitian


67

Kerangka konsep penelitian merupakan pengembangan dari hasil tinjauan

pustaka, keranka teori dan masalah penelitian yang telah dirumuskan.

Kerangka konsep penelitian dijelaskan sebagai gambaran kaitan antara konsep

yang satu dengan konsep yang lainnya atau berupa hubungan dari variabel satu

dengan yang lain dari masalah yang akan di teliti.

Konsep merupakan bentuk abstaraksi dari suatu pengertian, oleh karena itu

konsep tidak dapat diukur dan tidak dapat diperhatikan secra langsung. Konsep

dapat di lihat dan di ukur dengan cara menjabarkannya dalam bentuk variabel -

variabel (Notoatmojo, 2012). Kerangka konsep penelitian dalam penelitian ini

sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Prilaku Caring Kebutuhan Dasar Fisiologis

Skema. 2.2. Kerangka Konsep

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara yang berlandaskan pada

pertanyaan peneliti. Hipotesis ini disusun berdasarkan bentuk hubungan antara

dua variabel yaitu variabel terikat dan variabel bebas. Hipotesis harus

berbentuk spesifik, konkret, dan observable (Notoatmodjo, 2012). Berdasarkan

latar belakang , perumusan masalah serta kerangka konsep yang telah di buat,

maka hipotesis penelitian ini adalah :

1. Hipotesis Nol , yaitu :


68

H0 : Tidak ada hubungan antara perilaku caring perawat terhadap kebutuhan

dasar fisiologis pasien di RSUD A.M Parikesit Tenggarong Seberang.

2. Hipotesis Alternatif, yaitu :

Ha : Ada hubungan antara perilaku caring perawat terhadap kebutuhan dasar

fisiologis pasien di RSUD A.M Parikesit Tenggarong Seberang.

Anda mungkin juga menyukai