DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
DOSEN PENGAMPU :
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat segala rahmat dan
karunia yang telah diberikan sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah
keperaatan kritis mengenai ”Issue dan aspek legal etik keperawatan kritis”. Walaupun ada
beberapa halaman yang mengganggu proses pembuatan makalah ini, namun penyusun dapat
mengatasinya dan tentunya atas campur tangan Tuhan Yang Maha Esa.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk menambah wawasan khususnya mengenai
Issue dan aspek legal etik keperawatan kritis untuk mahasiswa keperawatan. Metode yang
kami ambil dalam penyusun makalah ini adalah berdasarkan pengumpulan informasi dari
beberapa sumber yang sesuai dengan tema makalah ini, makalah ini khususnya untuk para
mahasiswa Keperawatan yang mencari informasi tentang Issue dan aspek legal etik
keperawatan kritis.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini serta kepada semua pembaca yang bisa mengambil ilmu dari
makalah ini. Makalah ini tidak terlepas dari berbagi kelemahan dan kekurangan, baik dalam
pemilihan kata maupun kekurangan dalam hal informasi. Kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan demi menyempurnakan makalah ini demi masa depan.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A. Kesimpulan..............................................................................................................23
B. Saran........................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kemajuan pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan berdampak besar
terhadap peningkatan mutu pelayanan keperawatan. Pelayanan keperawatan yang
dilaksanakan oleh tenaga profesional dalam melaksanakan tugasnya dapat bekerja secara
mandiri dan dapat pula bekerjasama dengan profesi lain.
Perawat dituntut untuk melaksanakan asuhan keperawatan untuk pasien atau klien
baik secara individu keluarga kelompok dan masyarakat dengan memandang manusia
secara biopsikososial spiritual yang komprehensif. Sebagai tenaga yang profesional, dalam
melaksanakan tugasnya diperlukan suatu sikap yang menjamin terlaksananya tugas
tersebut dengan baik dan bertanggung jawab secara moral.
Masalah merupakan suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dari segala segi
kehidupan. Tidak ada satupun benda ataupun subjek hidup yang bersih tanpa masalah,
namun ada yang tersembunyi namun ada juga yang lebih dominan oleh masalahnya.
Begitupun dalam keperawatan, terdapat beberapa isu yang bisa terjadi merupakan masalah
dalam praktik keperawatan kita. Baik merupakan perbuatan dari pihak yang tidak
bertanggungjawab, ataupun segala hal yang terjadi disebabkan oleh pertimbangan etis.
Keperawatan merupakan salah satu provinsi yang mempunyai bidang garapan pada
kesejahteraan manusia yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat
maupun yang sakit untuk dapat menjalankan fungsi hidup sehari-harinya. Salah satu yang
mengatur hubungan antara perawat pasien adalah etika. Istilah etika dan moral sering
digunakan secara bergantian.
Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standar dan prinsip-prinsip
yang menjadi penuntun dalam berperilaku serta membuat keputusan untuk melindungi
hak-hak manusia. Etika diperlukan oleh semua profesi termasuk juga keperawatan yang
mendasari prinsip-prinsip suatu profesi dan tercermin dalam standar praktek profesional.
(Doheny et all, 2017 )
Profesi keperawatan mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat yang berarti
masyarakat memberi kepercayaan kepada profesi keperawatan untuk memberikan
pelayanan yang dibutuhkan. Konsekuensi dari hal tersebut tentunya setiap keputusan dan
tindakan keperawatan harus mampu dipertanggungjawabkan dan di bertanggung gugat kan
1
dan setiap pengambilan keputusan tentunya tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan
ilmiah semata tetapi juga dengan mempertimbangkan etika.
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi
perilaku seseorang alat yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang
dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab moral. (Nila
Usmani, 2018).
Bioetik adalah studi tentang isu etika dalam pelayanan kesehatan (Hudak & Galo,
2019). Dalam pelaksanaannya etika keperawatan mengacu pada bioetik sebagaimana
tercantum dalam sumpah janji profesi keperawatan dan kode etik profesi keperawatan
B. RUMUSAN MASALAH
1. Issue terkait legal dan etik keperawatan kritis.
2. Pengertian dasar pengambilan keputusan etik (standar profesi, standar legal dan
kebijakan institusi).
3. Prinsip etik dalam keperaatan kritis.
4. Isu kontemporer dalam keperawatan kritis (inform consent, isu end of life, keputusan
resusitasi).
C. TUJUAN
1. Mengetahui issue terkait legal dan etik keperawatan kritis.
2. Mengetahui Pengertian dasar pengambilan keputusan etik (standar profesi, standar legal
dan kebijakan institusi).
3. Mengetahui Prinsip etik dalam keperaatan kritis.
4. Mengetahui Isu kontemporer dalam keperawatan kritis (inform consent, isu end of life,
keputusan resusitasi).
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Konsep Etik
a) Sebagai aturan dasar terhadap hubungan perawat dengan perawat, pasien, dan
anggota tenaga kesehatan lainnya.
b) Sebagai standar dasar untuk mengeluarkan perawat jika terdapat perawat yang
melakukan pelanggaran berkaitan kode etik dan untuk membantu perawat
yang tertuduh suatu permasalahan secara tidak adil.
c) Sebagai dasar pengembangan kurikulum pendidikan keperawatan dan untuk
mengorientasikan lulusan keperawatan dalam memasuki jajaran praktik
keperawatan profesional.
d) Membantu masyarakat dalam memahami perilaku keperawatan profesional
3
e) Status pekerjaan sebagai seorang perawat rumah sakit ataupun bagian dari staf
paramedik tidak membuat perawat bisa menghindari tanggung jawab dan
kewajiban mematuhi hukum dalam setiap tindakan/pelayanan keperawatan
yang dilakukan. Kumpulan hukum/peraturan keperawatan yang telah
dikembangkan dikenal sebagai standar pelayanan keperawatan. Standar
pelayanan keperawatan ditentukan dengan pengambilan keputusan atas
tindakan profesional yang paling tepat dilakukan untuk mengatasi masalah
yang ada.
4
Apabila terdapat konflik diantara berbagai tanggungjawab, maka diperlukan
penentuan prioritas sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
f) Veracity (kebenaran, kejujuran) prinsip ini berkaitan dengan kewajiban
perawat untuk mengatakan suatu kebenaran, tidak berbohong atau menipu
orang lain. Kejujuran adalah landasan untuk “informed concent” yang baik.
Perawat harus dapat menyingkap semua informasi yang diperlukan oleh
pasien maupun keluarganya sebelum mereka membuat keputusan.
g) Confidenciality ( kerahasiahan ) prinsip ini berkaitan dengan penghargaan
perawat terhadap semua informasi tentang pasien/klien yang dirawatnya.
Pasien/klien harus dapat menerima bahwa informasi yang diberikan kepada
tenaga profesional kesehatan akan dihargai dan tidak disampaikan/
diberbagikan kepada pihak lain secara tidak tepat. Perlu dipahami bahwa
berbagi informasi tentang pasien/klien dengan anggota kesehatan lain yang
ikut merawat pasien tersebut bukan merupakan pembeberan rahasia selama
informasi tersebut relevan dengan kasus yang ditangani.
h) Accountability ( akuntabilitas ) dalam menerapkan prinsip etik, apakah
keputusan ini mencegah konsekwensi bahaya, apakah tindakan ini bermanfaat,
apakah keputusan ini adil, karena dalam pelayanan kesehatan petugas dalam
hal ini dokter dan perawat tidak boleh membeda-bedakan.
2. Konsep legal
1. Pengertian Legal
Aspek aturan Keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup
wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk hak
dan kewajibannya yang diatur dalam undang-undang keperawatan.Keterkaitan
dengan legal formal dalam memberikan pelayanan keperawatan kritis. Keterkaitan
dengan kebijakan yang memberikan jaminan hukum terhadap pelayanan
keperawatan kritis, seperti: UU Kes, PERMENKES dan peraturan lainnya.
2. Maksud dan Tujuan
a) Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang
sesuai dengan hukum
b) Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lain
c) Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri
5
d) Membantu mempertahankan standard praktik keperawatan dengan meletakkan
posisi perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum.
e) Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang, perawat berwenang
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang ditujukan untuk
penyelamatan jiwa.
3. Penerapan legal dalam area keperawatan kritis
Aspek legal Keperawatan pada kewenangan formalnya adalah izin yang
memberikan kewenangan kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi
perawat yaitu Surat Tanda Registrasi (STR) bila bekerja di dalam suatu
institusi.Kewenangan itu, hanya diberikan kepada mereka yang memiliki
kemampuan, namunmemiliki kemampuan tidak berarti memiliki kewenangan.
Seperti juga kemampuan yang didapat secara berjenjang, kewenangan yang
diberikan juga berjenjang.Kompetensi dalam keperawatan berarti kemampuan
khusus perawat dalam bidang tertentu yang memiliki tingkat minimal yang harus
dilampaui.Dalam profesi kesehatan hanya kewenangan yang bersifat umum saja
yang diatur oleh Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di
bidang kesehatan dan kedokteran. Sementara itu, kewenangan yang bersifat khusus
dalam arti tindakan kedokteran atau kesehatan tertentu diserahkan kepada profesi
masing-masing.
6
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, memberikan
informasi, meminta persetujuan tindakan yang dilakukan, melakukan catatan
perawatan dengan baik
d) Larangan perawat dilarang menjalankan praktik selain yang tercantum dalam
izin dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi.
Sanksi: sesuai dengan kebijakan pimpinan rumah sakit.
e) Hak dan Kewajiban Perawat
Aspek Legal Keperawatan juga meliputu Kewajiban dan hak Perawat :
Kewajiban setiap perawat wajib mempunyai Sertifikat kompetensi, Surat
Tanda Registrasi, Surat ijin Praktek (SIP), Memperbaharui sertifikat
kompetensi. Menghormati hak pasien dan merujuk kasus yang tidak dapat
ditanganiMenyimpan rahasia pasien sesuai dengan aturan undang-undang
keperawatan. Wajib memberikan informasi kepada pasien sesuai dengan
kewenangan. Meminta persetujuan setiap tindakan yg akan dilakukan perawat
sesuai dgn kondisi pasien baik secara tertulis. Mencatat semua tindakan
keperawatan secara akurat sesuai peraturan dan SOP yang berlaku. Memakai
standar profesi dan kode etik perawat Indonesia dalam melaksanakan praktik.
Meningkatkan pengetahuan berdasarkan IPTEK. Melakukan pertolongan
darurat yang mengancam jiwa sesuai dengan kewenangan. Melaksanakan
program pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Mentaati semua peraturan perundang-undangan. Menjaga hubungan kerja
yang baik antara sesama perawat maupun dengan anggota tim kesehatan
lainnya. Hak-Hak Perawat hak mengendalikan praktik keperawatan sesuai
yang diatur oleh hukum. Hak mendapat upah yang layak. Hak bekerja di
lingkungan yang baik. Hak terhadap pengembangan profesional. Hak
menyusun standar praktik dan pendidikan keperawatan.
7
B. PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIK DALAM KEPERAWATAN KRITIS
1. Teleologi
Teleologi ( berasal dari bahasa yunani, dari kata telos berarti akhir ). Istilah
Teleologi atau Utilitarianisme sering digunakan saling bergantian. Teleologi
merupakan suatu dokrin yang menjelaskan fenomena berdasarkan akibat yang
dihasilkan atau konsekuensi yang dapat terjadi. Pendekatan ini sering di sebut
dengan ungkapan the end justifies the means atau makna dari suatu tindakan
ditentukan oleh hasil akhir yang terjadi. Teori ini menekankan pada pencapaian
hasil akhir yang terjadi, pencapaian hasil dengan kebaikan maksimal dan
ketidakbaikan sekecil mungkin bagi manusia (Kell, 1987). Teori teleologi atau
utilitarianisme dapat di bedakan menjadi rule utilitarianisme dan act utilitarianisme.
Rule utilitarianisme berprinsip bahwa manfaat atau nilai suatu tindakan bergantung
pada sejauh mana tindakan tersebut memberikan kebaikan atau kebahagiaan pada
manusia.
2. Deontologi (formalisme)
Deontologi berasal dari bahasa yunani, deon, yang berarti tugas. Berprinsip pada
aksi atau tindakan. Menurut Kant benar atau salah bukan di tentukan oleh hail akhir
atau konsekuensi dari suatu tindakan, melainkan oleh nilai moralnya. Dalam
konteks ini, perhatian di fokuskan pada tindakan melakukan tanggung jawab moral
yang dapat memberikan penentu apakah tindakan tersebut secara moral benar atau
8
salah Sescara lebih luas teori deotologi di kembangkan menjadi lima prinsip
penting yaitu kemurahan hati, keadilan, otonomi, kejujuran dan ketaatan.
a) Kemurahan Hati Ini dari kemurahan hati (beneficence) adalah tanggung jawab
untuk melakukan kebaikan yang menguntungkan klien dan menghindari
perbuatan yang merugikan atau membahayakan klien.
d) Kejujuran Prinsip kejujuran atau veracity menurut veatch dan fry (1987)
menyatakan hal yang sebenarnya dan tidak bohong. Jujur merupakan
dasarterbinanya hubungan saling percaya antar perawatdan klien
Banyak faktor yang berpengaruh kepada individu dan kelompok dalam pengambilan
keputusan, antara lain:
a. Faktor Internal
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal termasuk kondisi dan lingkungan waktu. Suatu nilai yang
berpengaruh pada semua aspek dalam pengambilan keputusan adalah pernyataan
masalah, bagaimana evaluasi itu dapat dilaksanakan. Nilai ditentukan oleh salah
satu kultural, sosial, latar belakang, filosofi, sosial dan kultural.
9
Selain faktor di atas ada juga faktor yang lain yaitu dalam membuat
keputusan etik, seseorang harus berpikir secara rasional, bukan emosional. Faktor-
faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan Faktor-faktor ini antara lain :
faktor agama, sosial, ilmu pengetahuan/teknologi, legislasi/keputusan juridis,
dana/keuangan, pekerjaan/posisi pasien maupun perawat, kode etik keperawatan
dan hak-hak pasien.
1. Unsur utama yang terlibat dalam pembuatan keputusan dan tindakan moral dalam
praktik keperawatan.
Karangka
pembuatan Keputusan
kepeutusan dan tindakan
10
2) Mencari alternatif. Bila suatu jalur tindakah yang sedang berlaku mendapat
tantangan, pengambilan keputusan yang efektif mulai mencari alternatif.
Individu mempertimbangkan secara matang-matang Tujuan-tujuannya serta
nilai-nilai yang relevan dengan suatu keputusan.
4) Menjadi terikat. Pada tahap ini pilihan terakhir sudah dibuat dan pengambilan
keputusan menjadi terikat kepada suatu jalur tindakan baru. Pengambilan
keputusan efektif menelaah kembali segala informasi yang telah terkumpul
sebelum mengambil suatu keputusan terakhir.
Model – model pengambilan keputusan etik keperawatan dimana metode ini dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah etika keperawatan yang berkaitan dengan
asuhan keperawatan klien.
1) Identifikasi masalah. Ini berarti klasifikasi masalah di lihat dari nilai dan
konflik hati nurani. Perawat juga harus mengkaji keterlibatannya pada masalh
etika yang timbul dan mengkaji parameter waktu untuk proses pembuatan
keputusan
11
terlibat dalam pembuatan keputusan, perawat kemudian membuat lapotran
tertulis kisah dari konflk yang terjadi.
6) Tahap akhir adalah melakukan tindakan dan mengkaji keputusan dan hasil.
1) Mengenali dengan tajam masalah yang terjadi, apa intinya, apa sumbernya,
mengenali hakikat masalah.
4) Berdasarkan analisis yang telah d buat, mencari kejelasan konsep etika yang
relavan untuk penyelesaian masalah dengan mengemukakan konsep filsafat
yang mendasari etika maupun konsep sosial budaya yang menentukan ukuran
yang di terima.
12
maka pilihan tersebut dikatakan sah (valid) secara etis tindakan yang
dilakukan menggunakan proses yang sistematis.
Tahap :
Mengkaji situasi
13
Melaksanakan rencana
Mengevaluasi hasil
f. Membuat keputusan
g. Memberi keputusan
14
i. Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan
menggunakan informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan
berikutnya.
Model Curti :
d. Identifikasi semua kemungkinan pilihan dan hasil dari npilihan itu e. Aplikasi
teori, prinsip dan peran etik yang relevan
e. Memecahkan dilema
f. Melaksanakan keputusan.
15
Yaitu keharusan untuk berbuat baik kepada pasien, setiap tindakan medis dan
keperawatan harus ditujukan untuk kebaikan pasien. Berarti melakukan yang baik
yaitu mengimplementasikan tindakan yang menguntungkan pasien dan keluarga.
d. Justice (perlakuan adil)
Yaitu sikap dan tindakan medis dan keperawatan harus bersifat adil, dokter dan
perawat harus menggunakan rasa keadilan apabila akan melakukan tindakan kepada
pasien.
e. Fidelity (setia, menepati janji)
Berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimiliki oleh seseorang.
Kesetiaan berkaitan dengan kewajiban untuk selalu setia pada kesepakatan dan
tanggung jawab yang telah di buat. Setiap tenaga keperawatan mempunyai tanggung
jawab asuhan keperawatan kepada individu, pemberi kerja, pemerintah dan
masyarakat. Apabila terdapat konflik diantara berbagai tanggung jawab, maka
diperlukan penentuan situasi dan kondisi yang ada.
f. Veracity (kebenaran, kejujuran)
Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk mengatakan suatu kebenaran,
tidak bohong atau menipu orang lain. Kejujuran adalah landasan untuk “ informed
informed concent” yang baik. Perawat harus dapat menyingkap semua informasi
yang diperlukan oleh pasien maupun keluarganya sebelum mereka membuat
keputusan.
g. Confidenciality (kerahasiahan)
Prinsip ini berkaitan dengan penghargaan perawat terhadap semua informasi tentang
pasien/klien yang dirawatnya. Pasien/klien harus dapat menerima bahwa informasi
yang diberikan kepada tenaga profesional kesehatan akan di hargai dan tidak
disampaikan/ diberbagikan kepada pihak lain secara tidak tepat. Perlu dipahami
bahwa berbagai informasi tentang pasien dengan anggota kesehatan lain yang ikut
merawat pasien tersebut bukan merupakan pembeberan rahasia selama informasi
tersebut relevan dengan kasus yang ditangani.
h. Accountability (akuntabilitas)
Dalam menerapkan prinsip etik, apakah keputusan ini mencegah konsekuensi bahaya,
apakah tindakan ini bermanfaat, apakah keputusan ini adil, karena dalam pelayanan
kesehatan petugas dalam hal ini dokter dan perawat tidak boleh membeda-bedakan
pasien dari status sosialnya, tetapi melihat dari penting atau tidaknya pemberian
tindakan tersebut pada pasien.
16
Hak-hak pasien haruslah dihargai dan dilindungi, hak-hak tersebut menyangkut
kehidupan, kebahagiaan, kebebasan, privasi, self determination, perlakuan adil dan
integritas diri. Dilema moral masih mungkin terjadi apabila prinsip moral otonomi
dihadapkan dengan prinsip moral lainnya, atau apabila prinsip beneficence
dihadapkan dengan non maleficence, minsalnya apabila keinginan pasien ternyata
bertentangan dengan beneficence atau non maleficence, atau bisa saja apabila suatu
tindakan mengandung beneficence dan non maleficence terjadi secara bersamaan
seperti “Rule of Double Effect (RDE)” yaitu apabila suatu tindakan untuk
memberikan kenyamanan berdasarkan prinsip beneficence tetapi sekaligus memiliki
yaitu apabila suatu tindakan untuk memberikan kenyamanan berdasarkan prinsip
beneficence tetapi sekaligus memiliki resiko terjadinya perburukanresiko terjadinya
perburukan sehingga berlawan dengan prinsip non mal sehingga berlawan dengan
prinsip non maleficence.eficence.
17
berbeda, dan reaksi tubuh terhadap respon pengobatan juga berbeda. Fungsi-fungsi
dari informed consent adalah untuk melindungi dan meningkatkan otonomi pasien,
melindungi pasien, mencegah tindakan manipulative dan pemaksaan, meningkatkan
sifat mawas diri dari tim medis, dan meningkatkan pengambilan keputusan rasional.
Informed consent juga tidak dibutuhkan pada keadaan pasien kritis atau
darurat yang membutuhkan tindakan medis secara cepat dan tepat sesuai
kemampuan tenaga medis dan peralatan medis yang tersedia. Dalam situasi seperti
ini dokter memutuskan sendiri untuk melakukan yang terbaik demi kepentingan
terbaik pasien, dan hal ini dilakukan atas dasar prinsip beneficentia (Griese Orville
N, 1987).
18
dan martabat kepada pasien yang sekarat, dan untuk mendukung orang lain
dalam melakukannya.
b. Hak untuk mengetahui dan memilih.
Semua orang yang menerima perawatan kesehatan berhak untuk diberitahu
tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan mereka. Mereka memiliki hak
untuk menerima atau menolak pengobatan dalam memperpanjang hidup.
Pemberi perawatan memiliki kewajiban etika dan hukum untuk mengakui dan
menghormati pilihan- pilihan sesuai dengan pedoman.
c. Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup.
Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk memberikan pengobatan
yang terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan utama perawatan untuk
mengakomodasi kenyamanan dan martabat, maka menahan atau menarik
intervensi untuk mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan dalam
kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat.
d. Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan.
Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerja sama untuk
membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisa dalam pengambilan
keputusan, dengan mempertimbangkan keinginan pasien.
e. Transparansi dan akuntabilitas.
Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan, dan untuk
memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses pengambilan
keputusan dan hasilnya harus dijelaskan kepada para pasien dan akurat
didokumentasikan.
f. Perawatan non diskriminatif.
Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif dan harus
bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan dengan kondisi medis, nilai-
nilai dan keinginan pasien.
g. Hak dan kewajiban tenaga kesehatan.
Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan yang tidak
rasional, khususnya pengobatan yang tidak bermanfaat bagi pasien. Pasien
memiliki hak untuk menerima perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan
memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengobatan yang sesuai dengan
norma-norma profesional dan standar hukum.
h. Perbaikan terus-menerus.
19
Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam memperbaiki
intervensi yang diberikan pada standar perawatan end of life baik kepada pasien
maupun kepada keluarga.
3. Keputusan Resusitasi
Keputusan tentang Resusitasi Jantung Paru (RJP) sangat rumit dan sering
dibuat dalam hitungan detik oleh tenaga medis tanpa mengetahui apakah pasien
memiliki advanced directives atau tidak. Advance directives adalah dokumen yang
sah secara hukum, yang ditulis sebelum pasien menderita penyakit yang bersifat
incapacitating. Petunjuk yang ada di advanced directives dapat membebastugaskan
tenaga medis dalam hal mengambil keputusan, atau dengan kata lain merupakan
pernyataan tentang keinginan pasien mengenai tindakan medis apa yang sebaiknya
dilakukan atau tidak dilakukan pada keadaan incompeciency.
Beberapa penelitian menunjukan pemberian RJP sering bertentangan dengan
keinginan pasien, padahal setiap keputusan harus dibuat dengan prinsip-prinsip etik
dan referensi ilmiah yang ada (AHA, 2018). Pedoman yang ada saat ini
mengindikasikan agar tindakan RJP dapat mengembalikan kehidupan ketika henti
jantung terjadi karena berbagai sebab kelainan jantung yang ada. Undang-undang
secara tidak langsung menyatakan persetujuan dilakukannya tindakan RJP sebagai
penanganan kegawatdaruratan serta respon standar terhadap henti jantung. Padahal
RJP bukan tindakan tepat terhadap kematian yang terjadi akibat usia lanjut,
penderita dimensia berat, dan mungkin sedang mengalami kemunduran fisik
sebelum henti jantung, penderita dengan kanker, HIV/AIDS.
Menurut prinsip etik. Perbedaan etik dan norma budaya harus
dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang beneficence, non-
malficence, autonomy, dan justice dapat diterima di seluruh budaya, namun prioritas
prinsip-prinsip tersebut bervariasi antara kebudayaan yang berbeda. Di asia,
keputusan kelompok yang mendominasi yang diambil. Maka resusitasi adalah
paduan usaha antara data ilmiah dan nilai-nilai sosial, sedangkan pada saat yang
sama juga terdapat upaya mempertahankan otonomi budaya, sehingga dokter harus
memainkan peranan penting dalam mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah
dan keinginan pasien.
Menurut prinsip beneficence. RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsi-
fungsinya serta meringankan rasa sakit dan penderitaan. Jarang sekali pasien
20
bertahan hidup setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul disebabkan
oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah
dilakukan RJP sangat buruk bila henti jantung terjadi karena gagal ginjal, kanker,
atau AIDS. Dibatasinya tindakan RJP telah meningkatkan derajat harapan hidup
pasien sebesar 10,5% setelah tindakan RJP, meskipun 7-10% lainnya ditunda untuk
dilakukan RJP. Usia bukan kontraindikasi tindakan RJP, walaupun dikatakan proses
penuaan berkaitan dengan akumulasi berbagai kelemahan dan penyakit, dengan
terdapatnya perawatan jangka panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi
salah satu perkiraan hasil RJP yang buruk (Hilberman, 1997).
Menurut prinsip non-maleficence. Tingkat kerusakan otak berkaitan dengan
tindakan RJP bervariasi antara 10-83%. Banyak pasien dengan disabilitas berat yang
diikuti dengan kerusakan otak berada dalam kondisi yang sama dengan kematian.
RJP menjadi berbahaya dan bersifat merusak ketika risiko kerusakan otak relative
tinggi. Oleh karena gangguan aliran darah ke otak atau ke jantung dapat
menyebabkan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan hanya berhasil jika dilakukan
tepat waktu.
Menurut prinsip otonomi. Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan
disebagian besar negara dihormati secara legal, namun hal itu membutuhkan
kemampuan komunikasi seorang pasien untuk dapat menyetujui atau menolak
tindakan medis termasuk RJP. Informed consent mensyaratkan bahwa pasien dapat
menerima dan memahami informasi yang akurat tentang kondisi mereka dan
prognosis, jenis tindakan medis yang diusulkan, tindakan alternatif lainnya, risiko
dan manfaat dari tindakan medis tersebut. Jika dalam keadaan darurat, dengan waktu
terbatas, keputusan yang terbaik adalah memberikan perawatan medis yang standar.
Pasien biasanya tidak memiliki rencana tentang apa yang terjadi pada akhir
kehidupannya, banyak yang tidak ingin menyiapkan advanced directives, surat
wasiat, atau mendiskusikan RJP. Sehingga pemahaman tentang RJP samar-samar,
dan masyarakat umumnya berharap banyak tentang kemungkinan bertahan hidup.
Beberapa pasien mungkin akan menolak dilakukan RJP karena mengetahui adanya
defisit sensorik berat yang timbul setelah serangan jantung.
Menurut prinsip kesia-siaan (principle of futility). Jika pada keadaan tertentu
keuntungan yang didapat dari RJP ternyata tidak adekuat atau tidak sesuai harapan.
Jika resusitasi adalah sia-sia maka setiap kerugian yang terjadi akan membawa
sesuatu yang tidak menguntungkan, sehingga melakukan tindakan tanpa tujuan
21
berguna tidaklah efektif. American Heart Association (AHA) mengatakan bahwa
RJP adalah sia-sia jika tidak ada yang selamat seperti yang dilaporkan pada sebuah
penelitian yang didesain dengan baik, dan dibuat untuk mempertimbangkan bahwa
tindakan RJP tidak sia-sia. Ini mendukung tidak dilakukannya RJP pada situasi-
situasi yang akan membawa lebih banyak kerugian daripada keuntungan.
Isu Do Not Resuscitation (DNR). DNR secara umum berarti bahwa pasien
tidak akan menerima tindakan RJP pada saat terjadi cardiac arrest. DNR merupakan
salah satu keputusan yang paling sulit yang menimbulkan dilemma etik yang
menyangkut perawat, dokter, dan tenaga kesehatan lain yang terlibat. Perintah ini
dibuat dalam keadaan sebelum sakit atau sadar penuh. Terdapat pro-kontra perihal
DNR, dimana bebrapa pertimbangan yang digunakan kelompok pro terhadap DNR
adalah pertimbangan legal dan etis. Pertimbangan legal, misalnya rekomendasi
American Heart Association (AHA), menyatakan bahwa RJP tidak diindikasikan
kepada semua pasien. Pasien dengan kondisi terminal, penyakit yang tidak
reversible, dan penyakit dengan prognosis kematian hamper dapat dipastikan, tidak
perlu dilakukan RJP (Sa’id & Maryam, 2015).
Pelaksanaan DNR kerapkali terjadi pada pasien yang ditempatkan di ICU.
Pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan
otak yang mengalami kegagalan jantung paru atau organ multiple lain atau dalam
tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dimasukan dalam kriteria
yang tidak perlu mendapat resusitasi (DNR). Hal ini dilakukan dengan alasan
kenyamanan pasien (patient first).
22
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu perawatan yang
menghadapi secara rinci dengan manusia yang bertanggung jawab atas masalah yang
mengancam jiwa.Perawat kritis adalah perawat profesional yang resmi yang
bertanggung jawab untuk memastikan pasien dengan sakit kritis dan keluarga-
keluarga mereka menerima kepedulian optimal (American Association of Critical-
Care Nurses). Banyak sekali isu-isu yang terkait dengan aspek legal khususnya dalam
keperawatan kritis dan gawat darurat. Isu-isu tersebut terdiri dari isu yang berkaitan
dengan kelalaian perawat maupun isu yang terkait bantuan hidup pada pasien.
Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang perawat kritis untuk selalu
menjalankan peran serta fungsinya dan melakukan tindakan sesuai dengan standar
keperawatan dan lebih memahami ataupun meningkatkan pengetahuannya terkait isu
yang berkaitan dengan aspek legal khususnya pada ranah keperawatan kritis maupun
keperawatan gawat darurat sehingga perawat kritis dapat menghindari timbulnya
permasalahan hukum yang rentan sekali terjadi di dunia kesehatan ini.
B. Saran
Diharapkan kepada mahasiswa Keperawatan yang nantinya sebagai tenaga
kesehatan di masyarakat dapat mengetahui Trend dan Isu Keperawatan dan dapat
memberikan pengetahuan tersebut kepada masyarakat luas.
23
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association (AHA). 2000. Part 2: Ethical Aspects of CPR and ECC. Journal
of American Heart Association Circulation.
Basbeth, Ferral. 2009. Analisis Etik Terkait Resusitasi Jantung Paru. Jurnal Majelis
Kedokteran Indonesia Volume 59.
Dionisius. 2009. Penegakan Otonomi Pasien Melalui Persetujuan Tindakan Medis (Informed
Consent). Jurnal Biomedik Volume 1 Nomor 1. Hal 29-40.
Griese Orville N. 1987. Catholic Identity in Health Care : Principles and Practice,
Massachusetts. USA.
Hegner, Barbara R.2003. Nursing Assistant: a Nursing Proses Approach. Jakarta: EGC
Hilberman M, Kutner J, Parsons D, Murphy DJ. 1997. Marginally effective medical care :
ethical analysis of issues in cardiopulmonary resuscitation. Journal of Medical Ethic.
Suhaeni, Mimin Emi. Etika Keperawatan Aplikasi Pada Praktik. Jakarta: EGC
24