Anda di halaman 1dari 33

UPAYA PEMUTUSAN RANTAI INFEKSI, PENCEGAHAN BAHAYA

FISIK, RADIASI, KIMIA, ERGONOMIK, DAN PSIKOSOSIAL DALAM


KESELAMATAN PASIEN DAN KESELAMATAN KERJA DALAM
KEPERAWATAN

Disusun Oleh:

Nova Sugianto (CKR0180103)

Pebbi Irmala (CKR0180105)

Reza Romdona (CKR0180106)

Rifa Khofifah (CKR0180107)

Sisca Damayanti (CKR0180108)

Siska Mustika (CKR0180109)

Kelas :

Keperawatan Reguler C

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN


Jl. Lingkar Bayuning No.2, Kadugede, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat 45561

2019

1
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Upaya
Pemutusan Rantai Infeksi, Pencegahan Bahaya Fisik, Radiasi, Kimia, Ergonomik, Dan
Psikososial Dalam Keselamatan Pasien dan Keselamatan Kerja Dalam Keperawatan”

Penulis menyadari sepenuhnya akan kekurangan dan keterbatasan dalam makalah


ini,maka dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati penulis mengharap kritik dan saran
yang membangun sehingga dapat melengkapi kesempurnaan makalah ini. Banyak pihak yang
telah turut memberikan motivasi dan bantuan serta bimbingan yang penulis terima selama
proses penulisan makalah ini..

Semoga Allah yang Maha Esa memberikan kekuatan dan melimpahkan segala rahmat
dan hidayah-Nya atas segala yang telah kita lakukan.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi
penulis khususnya maupun pembaca pada umumnya,amiin.

Kuningan, 9 Oktober 2019

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................... 5

2.1 Konsep Dasar Keselamatan Kerja dalam Keperawatan...............................................5

2.1.1 Sejarah Perkembangan K3…………………........................................................5

2.1.2 Pengertian K3.................................................................................................... 10

2.1.3 Subdisiplin/cabang keilmuan K3……………….…………....….......................14

2.1.4 Tujuan dan Komponen K3..................................................................................14

2.2 Resiko Bahaya Dalam K3................................................................................................16

2.2.1 Resiko Bahaya Fisik...........................................................................................17

2.2.2 Resiko Bahaya Radiasi.......................................................................................18

2.2.3 Resiko Bahaya Biologi.......................................................................................19

2.2.4 Resiko Bahaya Kimia.........................................................................................20

2.2.5 Resiko Bahaya Fisiologi/Ergonomi....................................................................21

2.2.6 Resiko Bahaya Psikologi/Psikososial..................................................................21

2.3 Hierarki Upaya Pengendalian Resiko Bahaya..............................................................22

2.4 Upaya Pengendalian Resiko Bahaya..............................................................................24

BAB III PENUTUP............................................................................................................... 29

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................29

3.2 Saran..................................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................30

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Keselamatan dan kesehatan kerja dewasa ini merupakan istilah yang yang
sangat populer. Bahkan di dalam dunia industri istilah tersebut lebih dikenal dengan
singkatan K3 yang artinya keselamatan, dan kesehatan kerja. Kecelakaan yang
umumnya mulai dijumpai seperti infeksi, bahaya fisik, kimia, radiasi, ergonomik dan
psikososial. Menurut Milyandra (2009) Istilah ‘keselamatan dan kesehatan kerja’,
dapat dipandang mempunyai dua sisi pengertian. Pengertian yang pertama
mengandung arti sebagai suatu pendekatan pendekatan ilmiah (scientific approach)
dan disisi lain mempunyai pengertian sebagai suatu terapan atau suatu program yang
mempunyai tujuan tertentu. Karena itu keselamatan dan kesehatan kerja dapat
digolongkan sebagai suatu ilmu terapan (applied science). Keselamatan dan
Kesehatan Kerja sebagai suatu program didasari pendekatan ilmiah dalam upaya
mencegah atau memperkecil terjadinya bahaya (hazard) dan risiko (risk) terjadinya
penyakit dan kecelakaan, maupun kerugian-kerugian lainya yang mungkin terjadi
dimulai dari infeksi, fisik, radiasi, kimia, ergonomik dan psikososial. Untuk itu
diperlukan tindakan pengendalian, yang bisa dimulai dari individu tersendiri. Jadi
dapat dikatakan bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu pendekatan
ilmiah dan praktis dalam mengatasi potensi bahaya dan risiko kesehatan dan
keselamatan yang mungkin terjadi.( Rijanto, 2010 ).

Terjadinya kecelakaan kerja tentu saja menjadikan masalah yang besar bagi
kelangsungan suatu usaha. Kerugian yang diderita tidak hanya berupa kerugian materi
yang cukup besar namun lebih dari itu adalah timbulnya korban jiwa yang tidak
sedikit jumlanya. Kehilangan sumber daya manusia ini merupakan kerugian yang
sangat besar karena manusia adalah satu-satunya sumber daya yang tidak dapat
digantikan oleh teknologi apapun. Setiap tahun di dunia terjadi 270 juta kecelakaan
kerja, 160 juta pekerja menderita penyakit akibat kerja, kematian 2.2 juta dan
kerugian finansial sebesar 1.25 triliun USD. Sedangkan di Indonesia menurut data PT.
Jamsostek (Persero) dalam periode 2002-2005 terjadi lebih dari 300 ribu kecelakaan
kerja, 5000 kematian, 500 cacat tetap dan konpensasi lebih dari Rp. 550 milyar.

1
Konpensasi ini adalah sebagian dari kerugian langsung dan 7.5 juta pekerja
sektor formal yang aktif sebagai peserta Jamsostek. Diperkirakan kerugian tidak
langsung dari seluruh sektor formal lebih dari Rp. 2 triliun, dimana sebagian besar
merupakan kerugian dunia usaha.(DK3N,2007). Melihat angka-angka tersebut tentu
saja bukan suatu hal yang membanggakan, akan tetapi hendaklah dapat menjadi
pemicu bagi dunia usaha dan kita semua untuk bersama-sama mencegah dan
mengendalikannya. Upaya pencegahan dan pengendalian bahaya kerja yang dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat dilakukan dengan
penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja.

Secara keilmuan K3, didefinisikan sebagai ilmu dan penerapan teknologi


tentang pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Dari aspek hukum K3
merupakan kumpulan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Melalui peraturan yang jelas dan
sanksi yang tegas, perlindungan K3 dapat ditegakkan, untuk itu diperlukan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang K3. Bahkan ditingkat internasionalpun
telah disepakati adanya konvensi-konvensi yang mengatur tentang K3 secara
universal sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik yang
dikeluarkan oleh organisasi dunia seperti ILO, WHO, maupun tingkat regional.
Ditinjau dari aspek ekonomis, dengan menerapkan K3, maka tingkat kecelakaan akan
menurun, sehingga kompensasi terhadap kecelakaan juga menurun, dan biaya tenaga
kerja dapat berkurang. Sejalan dengan itu, K3 yang efektif akan dapat meningkatkan
produktivitas kerja sehingga dapat meningkatkan hasil produksi. Hal ini pada
gilirannya kemudian dapat mendorong semua tempat kerja/industri maupun tempat-
tempat umum merasakan perlunya dan memiliki budaya K3 untuk diterapkan disetiap
tempat dan waktu, sehingga K3 menjadi salah satu budaya industrial.

Dengan melaksanakan K3 akan terwujud perlindungan terhadap tenaga kerja


dari risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang dapat terjadi pada waktu
melakukan pekerjaan di tempat kerja. Dengan dilaksanakannya perlindungan K3,
diharapkan akan tercipta tempat kerja yang aman, nyaman, sehat dan tenaga kerja
yang produktif, sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas
perusahaan. Dengan demikian K3 sangat besar peranannya dalam upaya
meningkatkan produktivitas perusahaan, terutama dapat mencegah korban manusia.

2
1.2. Tujuan

a. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui tentang Konsep Dasar K3 dan Upaya individu
dalam pemutusan rantai infeksi, penegahan bahaya fisik, radiasi, kimia,
ergonomik dan psikososial.
b. Tujuan khusus
Dengan penyusunan makalah ini, mahasiswa diharapkan:
- Mampu memahami dan mngetahui tentang konsep dasar K3
- Mampu memahami dan mngetahui tentang Hazard dan Upaya individu dalam
pemutusan rantai infeksi, penegahan bahaya fisik, radiasi, kimia, ergonomik dan
psikososial.

3
4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Keselamatan Kerja dalam Keperawatan


2.1.1 Sejarah Perkembangan Keselamatan Kerja dalam Keperawatan
A. Zaman Pra-Sejarah
Pada zaman batu dan goa (Paleolithic dan Neolithic) dimana manusia yang
hidup pada zaman ini telah mulai membuat kapak dan tombak yang mudah
untuk digunakan serta tidak membahayakan bagi mereka saat digunakan.
Disain tombak dan kapak yang mereka buat umumnya mempunyai bentuk
yang lebh besar proporsinya pada mata kapak atau ujung ombak. Hal ini
adalah untuk menggunakan kapak atau tombak tersebut tidak memerlukan
tenaga yang besar karena dengan sedikit ayunan momentum yang dihasilkan
cukup besar. Disain yang mengecil pada pegangan dimaksudkan untuk tidak
membahayakan bagi pemakai saat mengayunkan kapak tersebut.
B. Zaman Bangsa Babylonia Dinasti Sumeria di Irak
Pada era ini masyarakat sudah mencoba membuat sarung kapak agar aman dan
tidak membahayakan bagi orang yang membawanya. Pada masa ini
masyarakat sudah mengenal berbagai macam peralatan yang digunakan untuk
membantu pekerjaan mereka. Dan semakin berkembang setelah ditemukannya
tembaga dan suasa sekitar 3000-2500 BC. Pada tahun 3400 BC masyarakat
sudah mengenal konstruksi dengan menggunakan batubata yang dibuat proses
pengeringan oleh sinar matahari. Pada era ini masyarakat sudah membangunan
saluran air dari batu sebagai fasilitas sanitasi. Pada tahun 2000 BC muncul
suatu peraturan “Hammurabi” yang menjadi dasar adanya kompensasi
asuransi bagi pekerja.
C. Zaman Mesir Kuno
Pada masa ini terutama pada masa berkuasanya Fir’aun banyak sekali
dilakukan pekerjaan-pekerjaan raksasa yang melibatkan banyak orang sebagai
tenaga kerja. Pada tahun 1500 BC khususnya pada masa Raja Ramses II
dilakukan pekerjaan pembangunan terusan dari Mediterania ke Laut Merah.
Disamping itu Raja Ramses II juga meminta para pekerja untuk membangun
“temple” Rameuseum. Untuk menjaga agar pekerjaannya lancar Raja Ramses
II menyediakan tabib serta pelayan untuk menjaga kesehatan para pekerjanya.

5
D. Zaman Yunani Kuno
Pada zaman romawi kuno tokoh yang paling terkenal adalah Hippocrates.
Hippocrates berhasil menemukan adanya penyakit tetanus pada awak kapal
yang ditumpanginya.
E. Zaman Romawi
Para ahli seperti Lecretius, Martial, dan Vritivius mulai memperkenalkan
adanya gangguan kesehatan yang diakibatkan karena adanya paparan bahan-
bahan toksik dari lingkungan kerja seperti timbal dan sulfur. Pada masa
pemerintahan Jendral Aleksander Yang Agung sudah dilakukan pelayanan
kesehatan bagi angkatan perang.
F. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan sudah diberlakukan pembayaran terhadap pekerja yang
mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan cacat atau meninggal.
Masyarakat pekerja sudah mengenal akan bahaya vapour di lingkungan kerja
sehingga disyaratkan bagi pekerja yang bekerja pada lingkungan yang
mengandung vapour harus menggunakan masker.
G. Abad Ke-16
Salah satu tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Phillipus Aureolus
Theophrastus Bombastus von Hoheinheim atau yang kemudian lebih dikenal
dengan sebutan Paracelsus mulai memperkenalkan penyakit-penyakit akibat
kerja terutama yang dialama oleh pekerja tambang. Pada era ini seorang ahli
yang bernama Agricola dalam bukunya De Re Metallica bahkan sudah mulai
melakukan upaya pengendalian bahaya timbal di pertambangan dengan
menerapkan prinsip ventilasi.
H. Abad ke-18
Pada masa ini ada seorang ahli bernama Bernardino Ramazzini (1664 – 1714)
dari Universitas Modena di Italia, menulis dalam bukunya yang terkenal :
Discourse on the diseases of workers, (buku klasik ini masih sering dijadikan
referensi oleh para ahli K3 sampai sekarang). Ramazzini melihat bahwa
dokter-dokter pada masa itu jarang yang melihat hubungan antara pekerjaan
dan penyakit, sehingga ada kalimat yang selalu diingat pada saat dia
mendiagnosa seseorang yaitu “ What is Your occupation ?”. Ramazzini
melihat bahwa ada dua faktor besar yang menyebabkan penyakit akibat kerja,
yaitu bahaya yang ada dalam bahan-bahan yang digunakan ketika bekerja dan

6
adanya gerakan-gerakan janggal yang dilakukan oleh para pekerja ketika
bekerja (ergonomic factors)
I. Era Revolusi Industri
Pada era ini hal-hal yang turut mempengaruhi perkembangan K3 adalah :
-Penggantian tenaga hewan dengan mesin-mesin seperti mesin uap yang baru
ditemukan sebagai sumber energi.
-Penggunaan mesin-mesin yang menggantikan tenaga manusia
-Pengenalan metode-metode baru dalam pengolahan bahan baku (khususnya
bidang industri kimia dan logam).
-Pengorganisasian pekerjaan dalam cakupan yang lebih besar berkembangnya
industri yang ditopang oleh penggunaan mesin-mesin baru.
-Perkembangan teknologi ini menyebabkan mulai muncul penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan pemajanan karbon dari bahan-bahan sisa
pembakaran
J. Era Industrialisasi
Sejak era revolusi industri di ata samapai dengan pertengahan abad 20
maka penggnaan teknologi semakin berkembang sehingga K3 juga mengikuti
perkembangan ini. Perkembangan pembuatan alat pelindung diri, safety
devices. dan interlock dan alat-alat pengaman lainnya juga turut berkembang.
K. Era Manajemen dn Manajemen K3
Perkembangan era manajemen modern dimulai sejak tahun 1950-an
hingga sekaran. Perkembangan ini dimulai dengan teori Heinrich (1941) yang
meneliti penyebabpenyebab kecelakaan bahwa umumnya (85%) terjadi karena
faktor manusia (unsafe act) dan faktor kondisi kerja yang tidak aman (unsafe
condition). Pada era ini berkembang system automasi pada pekerjaan untuk
mengatasi masalah sulitnya melakukan perbaikan terhadap faktor manusia.
Namun system otomasi menimbulkan masalah-masalah manusiawi yang
akhirnya berdampak kepada kelancaran pekerjaan karena adanya blok-blok
pekerjaan dan tidak terintegrasinya masing-masing unit pekerjaan. Sejalan
dengan itu Frank Bird dari International Loss Control Institute (ILCI) pada
tahun 1972 mengemukakan teori Loss Causation Model yang menyatakan
bahwa factor manajemen merupakan latar belakang penyebab yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan. Berdasarkan perkembangan tersebut
serta adanya kasus kecelakaan di Bhopal tahun 1984, akhirnya pada akhir abad

7
20 berkembanglah suatu konsep keterpaduan system manajemen K3 yang
berorientasi pada koordinasi dan efisiensi penggunaan sumber daya.
Keterpaduan semua unit-unit kerja seperti safety, health dan masalah
lingkungan dalam suatu system manajemen juga menuntut adanya kualitas
yang terjamin baik dari aspek input proses dan output. Hal ini ditunjukkan
dengan munculnya standar-standar internasional seperti ISO 9000, ISO 14000
dan ISO 18000.
L. Era Mendatang
Perkembangan K3 pada masa yang akan datang tidak hanya
difokuskan pada permasalahan K3 yang ada sebatas di lingkungan industri dan
pekerja. Perkembangan K3 mulai menyentuh aspek-aspek yang sifatnya
publik atau untuk masyarakat luas. Penerapan aspek-aspek K3 mulai
menyentuh segala sektor aktifitas kehidupan dan lebih bertujuan untuk
menjaga harkat dan martabat manusia serta penerapan hak asazi manusia demi
terwujudnya kualitas hidup yang tinggi. Upaya ini tentu saja lebih bayak
berorientasi kepada aspek perilaku manusia yang merupakan perwujudan
aspek-aspek K3.
M. Sejarah Perkembangan K3 di Indonesia
Seperti halnya dengan perkembangan K3 dinegara-negara maju
lainnya. Perkembangan K3 di Indonesia tidak diketahui secara pasti kapan
tepatnya. Kemajuan-kemajuan yang dicapai di eropa sangat dirasakan sejak
timbulnya revolusi industri, nemun perkembangan K3 sesungguhnya baru
dirasakan (terjadi) bebrapa tahun setelah Negara kita merdeka yaitu pada saat
munculnya Undang-Undang Kerja dan Undang-Undang Kecelakaan,
meskipun permulaannya belum berlaku, namun telah memuat pokok-pokok
tentang K3.
Selanjutnya oleh Departemen Perburuhan pada tahun 1967 didirikan
lembaga Kesehatan Buruh yang kemudian pada tahun 1965 berubah menjadi
Lembaga Keselamatan dan Kesehatan Buruh.
Pada tahun 1966 didirikan Lembaga igiene Perusahaan dan Kesehatan
Kerja di Departemen Tenaga Kerja, dan Dinas Higiene Perusahaan/Sanitasi
umum dan Dinas Kesehatan Tenaga Kerja di Departemen Kesehatan.
Disamping itu juga tumbuh organisasi swasta yaitu Yayasan Higiene
Perusahaan yang berkedudukan di Surabaya. Untuk selanjutnya organisasi

8
Hiperkes (Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja) yang ada dipemerintah
dari tahun-ketahun selalu mengalami perubahan-perubahan dengan nama
sebagai berikut:
1. Pada tahun 1969 berubah menjadi Lembaga Nasional Higiene Perusahaan
dan Kesehatan Kerja
2. Pada tahun 1978 berubah menjadi pusat Higiene Perusahaan, Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (Hiperkes).
3. Pada tahun 1983 berubah lagi menjadi Pusat Higiene Perusahaan dan
Kesehatan Kerja
4. Pada tahun 1988 berubah menjadi pusat Pelayanan Ergonomi, Kesehatan
dan Keselamatan Kerja.
5. Pada tahun 1993 berubah lagi menjadi Pusat Higiene Perusahaan, Kesehatan
dan Keselamatan Kerja.
Jadi jelas bahwa perkembangan K3 di Indonesia berjalan bersama-
sama dengan pengembangan kesehatan kerja yaitu selain melalui institusi,
juga dilakukan melalui upaya-upaya penerbitas buku-buku, majalah, leaflet
K3, spanduk-spanduk, poster dan disebabarluaskan ke Seluruh Indonesia.
Kegiatan lain adalah seminar K3, konvensi, lokakarya, bimbingan terapan K3
diadakan secara berkala dan terus menerus.
Organisasi K3 adalah Asosiasi Hiperkes dan Keselamatan Kerja
(AHKKI) yang memiliki cabang diseluruh Provinsi Wilayah NKRI dengan
pusat di Jakarta.
Program pndidikan keahlian K3 dilaksanakan baik dalam bentuk mata
kuliah pendidikan formal yang diberikan pada beberapa jurusan di Perguruan
Tinggi, juga diberikan dalam bentuk In formasl berupa kursus-kursus keahlian
K3. dan salah satu keahlian yang berkembang di tahun 2004 adalah HIMU =
Higiene Industri Muda.
Dari segi peraturan perundang-uandang yang berlaku, yaitu
perundangan yang menyangkut K3 yang terdapat dalam Undang-Undang No.1
tahun 1970, Peraturan Menteri dan Surat edaran telah banyak diterbitkan.

9
2.1.2 Pengertian K3
Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) adalah ilmu terapan yang bersifat
multi disiplin, bidang yang terkait dengan kesehatan, keselamatan,
dan kesejahteraan manusia yang bekerja di sebuah institusi maupun lokasi proyek.
Menurut America Society of safety and Engineering (ASSE) K3 diartikan sebagai
bidang kegiatan yang ditujukan untuk mencegah semua jenis kecelakaan yang ada
kaitannya dengan lingkungan dan situasi kerja.

Pengertian K3 menurut undang-undang No.1 tahun 1970 (1) adalah upaya dan
pemikiran dalam menjamin keutuhan dan kesempurnaan jasmani dan rohani
manusia pada umumnya dan pekerja pada khususnya serta hasil karya budaya 12
dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila

Menurut Undang-Undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960, BAB I


pasal 2, Kesehatan kerja adalah suatu kondisi kesehatan yang bertujuan agar
masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik
jasmani, rohani, maupun sosial, dengan usaha pencegahan dan pengobatan
terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan dan
lingkungan kerja maupun penyakit umum. Selain pendapat diatas, ada beberapa
ahli yang mendefinisikan tentang kesehatan yaitu Parkins (1938) mendefinisikan
bahwa kesehatan adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk dan
fungsi tubuh dan berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya. Hal yang
sama diutarakan oleh sedangkan Pepkin’s (1978)menguraikan bahwa sehat adalah
suatu keadaan keseimbangan yang dinamis antara bentuk tubuh dan fungsi yang
dapat mengadakan penyesuaian, sehingga dapat mengatasi gangguan dari luar.
Sedangkan menurut White (1977) menjelaskan bahwa sehat adalah suatu keadaan
dimana seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan apapun atau
tidak ada tanda – tanda suatu penyakit dan kelainan.Kondisi kesehatan pekerja
haruslah menjadi perhatain karena pekerja adalah penggerak atau aset perusahaan
konstruksi. Jadi kondisi fisik harus maksimal dan sehat agar tidak mengganggu
proses kerja seperti pernyataan ILO/WHO (1995) bahwa kesehatan kerja adalah
suatu upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat kesejahtaraan
fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jabatan,
pencegahan penyimpangan kesehatan diantara pekerja yang disebabkan oleh
11kondisi pekerjaan, perlindungan pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat

10
faktor yang merugikan kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam
suatu lingkungan kerja yang diadaptasikan dengan kapabilitas fisiologi dan
psikologi; dan diringkaskan sebagai adaptasi pekerjaan kepada manusia dan
setiap manusia kepada jabatannya.Suma’mur (1976) memberikan definisi
kesehatan kerja sebagai : “Spesialisasidalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta
prakteknya yang bertujuan agar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat
kesehatan setinggi- tingginya, baik fisik atau mental maupun sosial dengan
kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta
terhadap penyakit-penyakit umum”.Kesehatan kerja adalah suatu kondisi
kesehatan yang bertujuan agar masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan
setinggi-tingginya, baik jasmani, rohani, maupun sosial, dengan usaha
pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja maupun penyakit umum.
Kesehatan dalam ruang lingkup kesehatan, keselamatan, dan keamanan kerja
tidak hanya diartikan sebagai suatu keadaan bebas dari penyakit. Menurut
Undang-Undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960, Bab I pasal 2, keadaan
sehat diartikan sebagai kesempurnaan keadaan jasmani, rohani, dan
kemasyarakatan (Slamet, 2012). Mia (2011) menyatakan bahwa kesehatan kerja
disamping mempelajari faktorfaktor pada pekerjaan yang dapat mengakibatkan
manusia menderita penyakit akibat kerja (occupational disease) maupun penyakit
yang berhubungan dengan pekerjaannya (work-related disease) juga berupaya
untuk mengembangkan berbagai cara atau pendekatan untuk pencegahannya,
bahkan berupaya juga dalam meningkatkan kesehatan (health promotion) pada
manusia pekerja tersebut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Keselamatan dan Kesehatan Kerja


adalah suatu kondisi kerja yang terbebas dari ancaman bahaya yang mengganggu
proses aktivitas dan mengakibatkan terjadinya cedera, penyakit, kerusakan harta
benda, serta gangguan lingkungan. OHSAS 18001:2007 mendefinisikan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai kondisi dan faktor yang
mempengaruhi atau akan mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja
(termasuk pekerja kontrak dan kontraktor), tamu atau orang lain di tempat kerja.
Dari definisi keselamatan dan kesehatan kerja di atas serta definisi Keselamatan
dan Kesehatan Kerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan OHSAS dapat

11
disimpulkan bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu program yang
menjamin keselamatan dan kesehatan pegawai di tempat kerjaMangkunegara
(2002) menyatakan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai
suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik
jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusiapada umumnya,
hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan
pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya
dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat
kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja tidak dapat dipisahkan dengan proses
produksi baik jasa maupun industri .Keselamatan dan Kesehatan Kerja
merupakan satu upaya pelindungan yang diajukan kepada semua potensi yang
dapat menimbulkan bahaya. Hal tersebut bertujuan agar tenaga kerja dan orang
lain yang ada di tempat kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat serta semua
sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien (Suma’mur, 2006).
Menurut Ridley (1983) yang dikutip oleh Boby Shiantosia (2000), mengartikan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang
sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat
dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut. Sama halnya dengan
Jackson (1999), menjelaskan bahwa Kesehatan dan Keselamatan Kerja
menunjukkan kepada kondisikondisi fisiologis-fisikal dan psikologis tenaga kerja
yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan.
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan instrumen yang memproteksi
pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan ma-syarakat sekitar dari bahaya
akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib
dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan
menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak
boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus
dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan
yang berlimpah pada masa yang akan datang (Prasetyo, 2009).Keselamatan dan
kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan mengungkapkan kelemahan yang
memungkinkan terjadinya kecelakaan

12
Secara umum keselamatan kerja dapat dikatakan sebagai ilmu dan
penerapannya yang berkaitan dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses
pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungan kerja serta cara melakukan
pekerjaan guna menjamin keselamatan tenaga kerja dan aset perusahaan agar
terhindar dari kecelakaan dan kerugian lainnya. Keselamatan kerja juga meliputi
penyediaan APD, perawatan mesin dan pengaturan jam kerja yang manusiawi.

Dalam K3 juga dikenal istilah Kesehatan Kerja, yaitu : suatu ilmu yang
penerapannya untuk meningkatkan kulitas hidup tenaga kerja melalui
peningkatan kesehatan, pencegahan Penyakit Akibat Kerja meliputi pemeriksaan
kesehatan, pengobatan dan pemberian makan dan minum bergizi.

Istilah lainnya adalah Ergonomy yang merupakan keilmuan dan aplikasinya


dalam hal sistem dan desain kerja, keserasian manusia dan pekerjaannya,
pencegahan kelelahan guna tercapainya pelakasanaan pekerjaan secara baik.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah sarana utama untuk mencegah


kecelakaan kerja, baik kecelakaan yang mengakibatkan kerugian yang bersifat
langsung ataupun tidak langsung. Adapun kecelakaan yang bersifat langsung
dapat berupa luka ringan (memar, lecet, pendarahan ringan dan lain-lain) ataupun
luka berat (luka tebuka, putus jari, pendarahan berat dan lain-lain) dan kematian
sedangkan kerugian yang bersifat tidak langsung dapat berupa kerusakan mesin,
proses produksi terhenti, kerusakan pada lingkungan dan biaya yang cukup besar
yang harus dikeluarkan perusahaan akibat dari kecelakaan kerja.

13
2.1.3 Subdisiplin/Cabang Keilmuan Keselamatan Kerja dlam Keperawatan

Menurut Joint Committee of OHS dari ILO dan WHO bahwa subkeilmuan
besar dari K3 adalah :

a. Kesehatan Kerja (occupational Health) : kedokteran kerja, toksikologi industri,


epid, kesehatan kerja, promosi kesehatan kerja

b. Keselamatan Kerja (safety) : savety enginering, risk management, public


safetu dll

Sub disiplin ilmu dari K3 yang menggunakan kedua keilmuan besar tersebut
adalah ergonomi dan ilmu perilaku.

Praktek K3 (keselamatan kesehatan kerja) meliputi pencegahan, pemberian


sanksi, dan kompensasi, juga penyembuhan luka dan perawatan untuk pekerja dan
menyediakan perawatan kesehatan dan cuti sakit. K3 terkait dengan ilmu kesehatan
kerja, teknik keselamatan, teknik industri, kimia, fisika kesehatan, psikologi
organisasi dan industri, ergonomika, dan psikologi kesehatan kerja.

2.1.4 Tujuan dan Komponen Keselmatan Kerja dalam Keperawatan

Tujuan K3 adalah untuk mengamankan sistem kerja dan menjaga well


being pekerja agar kegiatan pekerjaan dapat berlangsung dengan baik, memelihara
kesehatan dan keselamatan lingkungan kerja. K3 juga melindungi rekan kerja,
keluarga pekerja, konsumen, dan orang lain yang juga mungkin terpengaruh
kondisi lingkungan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kenerja, menjamin
kesehatan dan keselamatan orang lain dalam lingkungan kerja, mengamankan
sumber polutan, menyehatkan lingkungan kerja dan mengefisienkan kegiatan

Kesehatan dan keselamatan kerja cukup penting bagi moral, legalitas, dan
finansial. Semua organisasi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pekerja
dan orang lain yang terlibat tetap berada dalam kondisi aman sepanjang waktu.

Komponen K3 yang perlu diperhatikan, yaitu: Karakteristik


pekerjaan/kegiatan (jenis, ruang lingkup, lamanya kegiatan, tingkat kegiatan),
pengorganisasian dan manajemen pekerjaan, bahan dan alat yang digunakan
melaksanakan kegiatan, karakteristik manusia yang melaksanakan kegiatan.

14
Dalam K3 ada tiga norma yang selalu harus dipahami, yaitu :

1. Aturan berkaitan dengan keselamatan dan kesehtan kerja


2. Di terapkan untuk melindungi tenaga kerja
3. Resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Sasaran dari K3 adalah :

1. Menjamin keselamatan operator dan orang lain


2. Menjamin penggunaan peralatan aman dioperasikan
3. menjamin proses produksi aman dan lancar.

Tapi dalam pelaksaannya banyak ditemui habatan dalam penerapan K3 dalam


dunia pekerja, hal ini terjadi karena beberapa faktor yaitu :

Dari sisi masyarakat pekerja

 Tuntutan pekerja masih pada kebutuhan dasar (upah dan tunjangan


kesehatan/kesejahtraan)
 K3 belum menjadi tuntutan pekerja

Dari sisi pengusaha

 Pengusaha lebih menekankan penghematan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi


untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. dan K3 dipandang sebagai beban
dalam hal biaya operasional tambahan

Metode yang ada dalam keilmuan K3 ada 4:

1. Identifikasi bahaya
2. Analisis
3. Evaluasi
4. Pengendalian

15
2.2. Resiko Bahaya dalam Keselamatan Kerja dalam Keperawatan

Dalam sebuah pekerjaan dimanapun itu tidak akan terlepas dari suatu hal yang
disebut bahaya/ resiko yang ditimbulkan dari pekerjaan tersebut. Terutama
sebagai seorang tenaga medis yang dituntut agar selalu melakukan pengendalian
akan resiko apa saja yang mungkin terjadi, seperti penggunaan APD dalam
melakukan tindakan terhadap pasien.

Resiko bahaya di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor biologi, fisik,
kimia, fisiologi/ergonomi dan psikologi dapat menyebabkan penyakit dan
kecelakaan akibat kerja bagi pekerja, pengunjung, pasien dan masyarakat
disekitar lingkungan rumah sakit. Pekerja rumah sakit memiliki resiko kerja yang
lebih tinggi dibanding pekerja industri lain sehingga resiko bahaya tersebut harus
dikendalikan.

Salah satu upaya pengendalian adalah dengan melakukan sosialisasi


kepada seluruh pekerja rumah sakit tentang resiko bahaya tersebut sehingga
seluruh pekerja mampu mengenal resiko bahaya tersebut. Dengan mengenal
resiko bahaya diharapkan pekerja mampu mengidentifikasi resiko bahaya yang
ada disatuan kerjanya dan mengetahui upaya pengendalian resiko bahaya yang
sudah dilakukan oleh rumah sakit sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
pekerja terhadap sistem pengendalian resiko bahaya yang sudah dilakukan.

Resiko bahaya di rumah sakit tidak semuanya akan nampak kalau kita
tidak dapat mengenalinya, terutama resiko bahaya biologi, karena keberadaan
micro organisme patogen tidaklah nampak seperti resiko bahaya fisik atau kimia.
Akan tetapi dampak dari resiko bahaya biologi di rumah sakit jika tidak
dikendalikan, maka dapat berdampak serius baik terhadap kesehatan maupun
terhadap keselamatan pekerja dan pengunjung serta masyarakat disekitar rumah
sakit.

16
Secara umum resiko bahaya di rumah sakit dapat dikelompokkan dalam 5
kelompok sebagai berikut;

2.2.1 Resiko Bahaya Fisik

Resiko bahaya fisik dikelompokkan lagi dalam 7 resiko bahaya fisik antara lain:

1) Resiko bahaya mekanik


Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
a. Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya tertusuk,
terpotong, tergores, dan lain-lain. Resiko bahaya ini termasuk salah satu yang
paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum suntik /
jarum jahit bekas pasien. Resiko bahaya ini sebenarnya bukan hanya resiko
bahaya fisik karena dimungkinkan jarum bekas yang menusuk tersebut
terkontaminasi dengan kuman dari pasien. Mengingat bahaya akibat tertular
penyakit tersebut cukup besar, maka harus ada prosedur tindak lanjut paska
tertusuk jarum yang akan dibahas dibagian lain dalam pelatihan ini.
b. Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita ketahui di
rumah sakit banyak digunakan kereta dorong untuk mengangkut pasien dan
barang-barang logistik. Resiko yang dapat muncul adalah pasien jatuh dari
brankart/ tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta dorong, dan lain-lain.
c. Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. Resiko ini dapat terjadi dimana
saja meskiput kejadiannya tidak terlalu sering. Hal-hal yang perlu diperhatikan
terutama di ruang perawatan anak dan ruang perawatan jiwa. Pastikan tidak
ada pintu, jendela atau fasilitas lain yang memiliki resiko untuk
terjepit/tenggelam tersebut.
d. Resiko jatuh dari ketinggian yang sama; terpeleset, tersandung, dan lain-
lain. Resiko ini terutama pada lantai-lantai yang miring baik di koridor, ramp
atau batas lantai dengan halaman. Pastikan area yang beresiko licin sudah
ditandai dan jika perlu pasanglah handriil atau pemasangan alat lantai anti
licin serta rambu peringatan “awas licin”.
e. Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko ini pada ruang perawatan anak dan
jiwa. Selain itu perlu diperhatikan pada pekerjaan konstruksi bangunan atau
pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi. Jika pekerjaan dilakukan
pada ketinggian lebih dari 2 meter sebaiknya pekerja tersebut menggunakan

17
abuk keselamatan. Pada ruang perawatan anak dan jiwa yang terletak di lantai
atas pastikan jendela yang ada sudah terpasang teralis pengaman dan anak-
anak selalu dalam pengawasan orang dewasa saat bermain.

2.2.2 Resiko bahaya radiasi


Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:
a. Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel yang
mampu menghasilkan ion langsung atau tidak langsung. Contoh di rumah
sakit: di unit radiodiagnostik, radiotherapi dan kedokteran nuklir.
b. Bahaya radiasi non pengion adalah Radiasi elektromagnetik dengan energi
yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau radiasi
gelombang mikro.
Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan untuk pekerja radiasi,
peserta didik, pengunjung dan pasien hamil. Pekerja radiasi harus sudah
mendapatkan informasi tentang resiko bahaya radiasi dan cara pengendaliannya.
Selain APD yang baik, monitoring tingkat paparan radiasi dan kepatuhan petugas
dalam pengendalian bahaya radiasi merupakan hal yang penting. Sebagai indikator
tingkat paparan, semua pekerja radiasi harus memakai personal dosimetri untuk
mengukur tingkat paparan radiasi yang sudah diterima sehingga dapat dipantau
dan tingkat paparan tidak boleh melebihi ambang batas yang diijinkan. Untuk
pengunjung dan pasien hamil hendaknya setiap ruang pemerikasaan atau therapy
radiasi terpasang rambu peringatan “Awas bahaya radiasi, bila hamil harus
melapor kepada petugas”.
c. Resiko bahaya akibat kebisingan adalah kebisingan akibat alat kerja atau
lingkungan kerja yang melebihi ambang batas tertentu. Resiko ini mungkin
berada di ruang boiler, generator listrik, dan peralatan yang menggunakan alat-
alat cukup besar dimana tingkat kebisingannya tidak dipantau dan
dikendalikan. Berdasar peraturan menteri kesehatan RI no 1204 tahun 2004
tentang pengendalian lingkungan fisik di rumah sakit, seluruh area pelayanan
pasien harus dipantau dan dikendalikan tingkat kebisingannya minimal 3 bulan
sekali.
Di rumah sakit pemantauan ini sudah dilakukan oleh ISLRS dan hasil temuan
yang tidak memenuhi persyaratan di analisa dan dikendalikan bersama IPSRS dan
Unit K3 serta dilaporkan kepada Manajemen rumah sakit.

18
d. Resiko bahaya akibat pencahayaan adalah pencahayaan pada lingkungan
kerja yang kurang atau berlebih. Tingkat pencahayaan diseluruh area rumah
sakit juga telah dipantau dan dilaporkan seperti resiko bahaya kebisingan
tersebut. Hal yang harus diperhatikan adalah jika terjadi kerusakan lampu,
pastikan lampu pengganti setara tingkat pencahayaannya dengan lampu
sebelumnya, sehingga tidak terjadi perubahan dalam tingkat pencahayaan pada
area tersebut.
e. Resiko bahaya listrik adalah bahaya dari konsleting listrik dan kesetrum arus
listrik. Pengendalian yang telah dilakukan adalah melakukan preventif
maintenance seluruh peralatan elektrik yang dilakukan oleh IPSRS. Kalibrasi
peralatan medis dan penggantian peralatan yang telah out off date. Untuk
mencegah bahaya kebakaran akibat peralatan listrik yang dibawa peserta didik
dan keluarga pasien dilakukan sosialisasi kepada seluruh peserta didik pada
saat orientasi dan untuk keluarga pasien informasi diberikan pada saat pasien
masuk rumah sakit khususnya pasien rawat inap.
f. Resiko bahaya akibat iklim kerja adalah berupa suhu ruangan dan tingkat
kelembaban. Jika suhu dan kelembaban di rumah sakit tidak dikendalikan
dapat mempengaruhi lingkungan kerja dan kualitas hasil kerja. Pemantauan
secara berkala telah dilakukan oleh ISLRS dan jika ditemukan kondisi tidak
memenuhi peresyaratan akan dilakukan pengendalian oleh IPSRS, PPI, Unit
K3RS dan ISLRS yang dipimpin oleh Direktur Umum dan Operasional.
g. Resiko bahaya akibat getaran adalah resiko yang tidak banyak ditemukan di
rumah sakit tetapi mungkin masih ada terutama pada kedokteran gigi yang
menggunakan bor dengan motor listrik dan pada bagian housekeeping / rumah
tangga yang menggunakan mesin pemotong rumput (bagian taman).

2.2.3 Resiko Bahaya Biologi


a. Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini di
rumah sakit sudah dikendalikan oleh bagian Petugas Pemantau Infeksi Rumah
Sakit (PPIRS) berkoordinasi dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi Lingkungan
RS (ISLRS) dan Satuan kerja pemberi pelayanan langsung kepada pasien.
b. Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko ini
dikendalikan oleh ISLRS dan harus didukung dengan housekeeping yang baik
dari seluruh karyawan dan penghuni rumah sakit.

19
2.2.4 Resiko Bahaya Kimia
Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang meliputi:
a. Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi
lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai, desinfeksi
peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
b. Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci
permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-lain.
c. Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan
peralatan lainnya.
d. Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
e. Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan
pasien.
f. Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan
penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen, nitrit
oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
g. Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi
dengan seluruh satuan kerja. Hal-hal yang perludiperhatikan adalah
pengadaan B3, penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking,
pemanfaatan dan pembuangan limbahnya.
h. Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Indonesia. Penyedia B3 wajib menyertakan Lembar Data
Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet / MSDS), petugas yang
mengelola harus sudah mendapatkan pelatihan pengelolaan B3, serta
mempunyai prosedur penanganan tumpahan B3.
i. Penyimpanan B3 harus terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan
diatas palet atau didalam lemari B3, memiliki daftar B3 yang disimpan,
tersedia MSDS, safety shower, APD sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk
menangani tumpahan B3 serta tersedia prosedur penanganan Kecelakaan
Kerja akibat B3.
j. Pelabelan dan pengemasan ulang harus dilakukan oleh satruan kerja yang
kompeten untuk memjamin kualitas B3 dan keakuratan serta standar
pelabelan. Dilarang melakukan pelabelan tanpa kewenangan yang diberikan
oleh pimpinan rumah sakit.

20
k. Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke
lingkungan serta kondisi kesehatan pekerja. Pekerja pengelola B3 harus
memiliki pelatihan teknis pengelolaan B3, jika belum harus segera diusulkan
sesuai prosedur yang berlaku.
l. Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor
yang akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3
padat harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS
B3), untuk selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.

2.2.5 Resiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi


Resiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit berupa
kegiatan: angkat dan angkut, posisi duduk, ketidak sesuaian antara peralatan kerja dan
ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan melalui sosialisasi secara berkala oleh
Unit K3.

2.2.6 Resiko Bahaya Psikologi/ / Psikososial


Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidak harmonisan
hubungan antar manusia didalam rumah sakit, baik sesama pekerja, pekerja dengan
pelanggan, maupun pekerja dengan pimpinan.

21
2.3. HIERARKI UPAYA PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA

Resiko-resiko bahaya tersebut semua dapat kita kendalikan melalui 5


hierarchy sebagai berikut;
a. Eliminasi
Hirarki teratas yaitu eliminasi/menghilangkan bahaya dilakukan pada saat
desain, tujuannya adalah untuk menghilangkan kemungkinan kesalahan manusia
dalam menjalankan suatu sistem karena adanya kekurangan pada desain.
Penghilangan bahaya merupakan metode yang paling efektif sehingga tidak hanya
mengandalkan prilaku pekerja dalam menghindari resiko, namun demikian,
penghapusan benar-benar terhadap bahaya tidak selalu praktis dan ekonomis.
Contohnya: resiko bahaya kimia akibat proses reuse hollow fiber HD dapat di
eliminasi ketika hollow fiber tidak perlu reuse lagi atau single use.
b. Substitusi
Metode pengendalian ini bertujuan untuk mengganti bahan, proses, operasi
ataupun peralatan dari yang berbahaya menjadi lebih tidak berbahaya. Dengan
pengendalian ini menurunkan bahaya dan resiko minimal melalui disain sistem
ataupun desain ulang. Beberapa contoh aplikasi substitusi misalnya: Sistem
otomatisasi pada mesin untuk mengurangi interaksi mesin-mesin berbahaya dengan
operator, menggunakan bahan pembersih kimia yang kurang berbahaya, mengurangi
kecepatan, kekuatan serta arus listrik, mengganti bahan baku padat yang
menimbulkan debu menjadi bahan yang cair atau basah.
c. Rekayasa / Enginering.
Pengendalian ini dilakukan bertujuan untuk memisahkan bahaya dengan
pekerja serta untuk mencegah terjadinya kesalahan manusia. Pengendalian ini
terpasang dalam suatu unit sistem mesin atau peralatan.
Contoh-contoh implementasi metode ini misal adalah sistem tekanan negatif pada
ruang perawatan air borne dissease, penggunaan laminar airflow, pemasangan shield
/sekat Pb pada pesawat fluoroscopy (X-Ray), dan lain-lain.
d. Administratif
Kontrol administratif ditujukan pengendalian dari sisi orang yang akan
melakukan pekerjaan. Dengan dikendalikan metode kerja diharapkan orang akan
mematuhi, memiliki kemampuan dan keahlian cukup untuk menyelesaikan pekerjaan
secara aman. Jenis pengendalian ini antara lain seleksi karyawan, adanya standar

22
operasional Prosedur (SOP), pelatihan, pengawasan, modifikasi perilaku, jadwal
kerja, rotasi kerja, pemeliharaan, manajemen perubahan, jadwal istirahat, dan lain-
lain.
e. Alat pelindung diri (APD)
Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri merupakan merupakan hal yang
paling tidak efektif dalam pengendalian bahaya. APD hanya dipergunakan oleh
pekerja yang akan berhadapan langsung dengan resiko bahaya dengan memperhatikan
jarak dan waktu kontak dengan resiko bahaya tersebut. Semakin jauh dengan resiko
bahaya maka resiko yang didapat semakin kecil, begitu juga semakin singkat kontak
dengan resiko bahaya resiko yang didapat juga semakin kecil.
Penggunaan beberapa APD kadang memiliki dampak negatif pada pekerja
seperti kurang leluasa dalam bekerja, keterbatasan komunikasi dengan pekerja lain,
alergi terhadap APD tertentu, dan lain-lain. Beberpa pekeerja yang kurang faham
terhadap dampak resiko bahaya dari pekerjaan yang dilakukan kadang kepatuhan
dalam penggunaan APD juga menjadi rendah. APD reuse memerlukan perawatan dan
penyimpanan yang baik sehingga kualitas perlindungan dari APD tersebut tetap
optimal.

Hierarki pengendalian resiko bahaya tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Hierarki pengendalian resiko bahaya.

23
2.4. UPAYA PENGENDALIAN RESIKO BAHAYA

Setelah kita ketahui jenis-jenis resiko bahaya di rumah sakit, ternyata seluruh
resiko bahaya tersebut terdapat di rumah sakit. Beberapa contoh sistem pengendalian
resiko bahaya yang telah dilakukan di rumah sakit adalah sebagai berikut:

2.4.1. Resiko bahaya fisik

 Mekanik : resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum


dan terpeleset atau menabrak dinding / pintu kaca. Pengendalian yang sudah
dilakukan antara lain: penggunaan safety box limbah tajam, kebijakan dilarang
menutup kembali jarum bekas, pemasangan keramik anti licin pada koridor
dan lantai yang miring, pemasangan rambu “awas licin”, pemasangan kaca
film dan stiker pada dinding / pintu kaca agar lebih kelihatan, kebijakan
penggunaan sabuk keselamatan pada pekerjaan yang dilakukan pada
ketinggian lebih dari 2 meter, dan lain-lain.

2.4.2. Resiko bahaya radiasi

 Resiko ini terdapat di ruang radiologi, radio therapi, kedokteran nuklir, ruang
cath lab dan beberapa kamar operasi yang memiliki fluoroskopi / x-ray.
Pengendalian yang sudah dilakukan antara lain: pemasangan rambu peringatan
bahaya radiasi, pelatihan proteksi bahaya radiasi, penyediaan APD radiasi,
pengecekan tingkat paparan radiasi secara berkala dan pemantauan paparan
radiasi pada petugas radiasi dengan personal dosimetri pada patugas radiasi.

2.4.3. Resiko bahaya kebisingan

 Terdapat pada ruang boiler, generator listrik dan ruang chiller. Pengendalian
yang telah dilakukan antara lain: substitusi peralatan dengan alat-alat baru
dengan ambang kebisingan yang lebih rendah, penggunaan pelindung telinga
dan pemantauan tingkat kebisingan secara berkala oleh Instalasi Sanitasi
Lingkungan Rumah Sakit (ISLRS).

2.4.4. Resiko bahaya pencahayaan

24
 Resiko bahaya ini terutama di satuan kerja dengan pekerjaan teliti seperti di
kamar operasi dan laboratorium. Pengendalian yang sudah dilakukan adalah
pemantauan tingkat pencahayaan secara berkala oleh ISLRS dan hasil
pemantauan dilaporkan ke Direktur, Teknik dan Unit K3 untuk tindak lanjut
ruangan yang tingkat pencahayaannya tidak memenuhi persyaratan.

25
2.4.5. Resiko bahaya listrik

 Resiko bahaya listrik terdiri dari konsleting dan kesetrum. Pengendalian yang
telah dilakukan adalah adanya kebijakan penggunaan peralatan listrik harus
memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan harus dipasang oleh bagian
IPSRS atau orang yang kompeten. Peralatan elektronik di RSUP dr Sardjito
secara berkala dilakukan maintenance oleh bagian IPSRS dan seluruh
peralatan yang layak pakai akan diberikan label layak pakai berupa stiker
warna hijau, sedangkan yang tidak layak pakai akan diberikan stiker merah
dan peralatan tersebut ditarik oleh bagian IPSRS. Selain itu unit K3 dan
IPSRS secara berkala melakukan sosialisasi ke seluruh satuan kerja tentang
perilaku aman dalam menggunakan listrik di rumah sakit.

2.4.6. Resiko bahaya akibat iklim kerja

 Resiko ini meliputi kondisi temperatur dan kelembaban ruang kerja.


Pemantauan temperatur dan kelembaban dilakukan oleh ISLRS. Acuan dari
standar temperatur dan kelembaban mengacu pada keputusan menteri
kesehatan RI no 1402 tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan
rumah sakit.
Masalah yang sering muncul adalah temperatur melebihi standar seperti di
Instalasi Binatu dan ruang produksi gizi, karena belum memungkinkan untuk
distandarkan pengendalian yang dilakukan dengan pemberian minum yang
cukup. Masalah kelembaban yang tinggi beresiko terjadinya kolonisasi kuman
patogen sehingga meningkatkan angka infeksi baik bagi pasien maupun bagi
pekerja. Pengendalian secara teknis telah dilakukan akan tetapi pada musim
tertentu kadang tidak memenuhi persyaratan. Upaya yang dilakukan untuk
menghambat kolonisasi kuman terutama pada ruang perawatan pasien, ICU
dan kamar operasi harus dilakukan desinfeksi ruangan lebih sering dan
pemantauan angka kuman secara berkala.

2.4.7. Resiko bahaya akibat getaran

26
 Resiko bahaya getaran tidak terlalu signifikan. Dari telaah yang telah
dilakukan unit K3, resiko bahaya getaran ditemukan di bagian taman akibat
dari mesin pemotong rumput dan di klinik gigi akibat dari mesin bor gigi,
tetapi tingkat getaran pada ke 2 lokasi tersebut masih dalam batas yang
diijinkan.

2.4.8. Resiko bahaya biologi

 Resiko bahaya biologi yang paling banyak adalah akibat kuman patogen dari
pasien yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh, dropet dan udara.
Pengendalian resiko ini telah dilakukan oleh Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) akan tetapi termasuk dalam area pemantauan Unit
K3. Resiko air borne dissease dikendalikan dengan rekayasa ruangan tekanan
negatif beserta peraturan administratif dan APD. Resiko penularan melalui
droplet dikendalikan dengan menyediakan masker bagi petugas, pengantar
pasien dan pasien yang batuk, serta sosialisasi etika batuk oleh PPI. Resiko
blood borne dissease dikendalikasn dengan penggunaan alat-alat single
use beserta persturan administratif dan APD. Selain itu untuk mencegah pe
nularan penyakit blood borne dissease khususnya Hepatitis B dilakukan
Imunisasi Hepatitis B dengan perioritas pada karyawan dengan kadar titer anti
HBs < 0,2 u/L terutama yang bekerja pada tindakan invasif terhadap pasien.
Selain itu juga telah dilakukan penanganan paska pajanan infeksi khususnya
pada HIV dan Hepatitis B. Bila pekerja atau peserta didik mengalami
kecelakaan kerja berupa tertusuk jarum bekas pasien atau terkena percikan
darah dan cairan tubuh pada mukosa (mata, mulut) atau terkena pada luka,
maka wajib melaporkan kepada penanggung jawab ruangan pada saat itu dan
setelah melakukan pertolongan pertama harus segera periksa ke IGD agar
dilakukan telaah dan tindak lanjut paska pajanan sesuai prosedur untuk
mengurangi resiko tertular.

2.4.9. Resiko bahaya kimia

 Resiko ini terutama terhadap bahan kimia golongan berbahaya dan beracun
(B3). Pengendalian yang telah dilakukan adalah dengan identifikasi bahan-

27
bahan B3, pelabelan standar, penyimpanan standar, penyiapan MSDS,
penyiapan P3K, APD dan safety shower serta pelatihan teknis bagi petugas
pengelola B3. Rekayasa juga dilakukan dengan penggunaan Laminary Airflow
pada pengelolaan obat dan B3 lainnya.

2.4.10. Resiko bahaya ergonomi

 Resiko ini banyak terjadi pada pekerjaan angkat dan angkut baik pasien
maupun barang. Sosialisasi cara mengangkat dan mengangkut yang benar
selalu dilakukan. Selain itu dalam pemilihan sarana dan prasarana rumah sakit
juga harus mempertimbangkan faktor ergonomi tersebut terutama peralatan
yang dibeli dari negara lain yang secara fisik terdapat perbedaan ukuran
badan.

2.4.11. Resiko bahaya psikologi

 Resiko psikologi teidak terlalu kelihatan akan tetapi selalu ada meskipun
kadarnya tidak terlalu mencolok. Upaya yang dilakukan antara lain dengan
mengadakan pertemuan antar satuan kerja, antar staff dan pimpinan dan pada
acara-acara bersama seperti saat ulang tahun RS dan lain-lain yang bertujuan
agar terjalun komunikasi yang baik sehingga secara psikologi menjadi lebih
akrab denganharapan resiko bahaya psikologi dapat ditekan seminimal
mungkin.

28
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dengan melaksanakan K3 akan terwujud perlindungan terhadap tenaga kerja


dari risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang dapat terjadi pada waktu
melakukan pekerjaan di tempat kerja. Dengan dilaksanakannya perlindungan K3,
diharapkan akan tercipta tempat kerja yang aman, nyaman, sehat dan tenaga kerja
yang produktif, sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas
perusahaan. K3 sangat besar peranannya dalam upaya meningkatkan produktivitas
perusahaan, ataupun di rumah sakit, terutama dapat mencegah korban manusia.

Dengan demikian untuk mewujudkan K3 perlu dilaksanakan dengan


perencanaan dan pertimbangan yang tepat, dan salah satu kunci keberhasilannya
terletak pada peran serta pekerja sendiri baik sebagai subyek maupun obyek
perlindungan dimaksud dengan memperhatikan banyaknya risiko yang diperoleh.

3.2 SARAN

Jagalah keselamatan anda dalam kondisi yang aman dan patuhilah pada
peraturan rambu lalu lintas agar tidak terjadi kecelakaan dan mengurangi risiko
kecelakaan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit
dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. – Jakarta : Departemen, Kesehatan RI. Cetakan
kedua, 2008.

Keputusan Menteri Kesehatan RI no 1204 tahun 2004, tentang Persyaratan Kesehatan


Lingkungan Rumah Sakit.

Keputusan Menteri Kesehatan Ri no 1087 tahun 2010 tentang Standar Kesehatan dan
Keselamatan Kerja Rumah Sakit.

Undang-undang No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

https://www.academia.edu/7921817/Kesehatan_Keselamatan_Kerja_dan_Fisioterapi

30

Anda mungkin juga menyukai