Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Reza Romdona
NIM : CKR0180106
Kelas :
Keperawatan Reguler C
2020
Trend dan Issue Keperawatan Jiwa
Pada saat ini masalah kesehatan jiwa menjadi masalah yang paling mengancam di dunia.
Setelah tahun 2000, dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era globalisasi, pada
tahun 2003 era dimulainya pasar bebas ASEAN dimana banyak tenaga professional keluar
dan masuk ke dalam negeri. Pada masa itu mulai terjadi suatu masa transisi/pergeseran pola
kehidupan masyarakat dimana pola kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi
masyarakat yang maju. Keadaan itu menyebabkan berbagai macam dampak pada aspek
kehidupan masyarakat khususnya aspek kesehatan baik yang berupa masalah urbanisaasi,
pencemaran, kecelakaan, banyak tindakan kekerasan, kenakalan remaja, penyalahgunaan
NAPZA, tauran, penggangguran, tindak penyaluran agresifitas atau anarkis, putus sekolah,
PHK, disamping meningkatnya angka kejadian penyakit klasik yang berhubungan dengan
infeksi, kurang gizi, dan kurangnya pemukiman sehat bagi penduduk. Pergeseran pola nilai
dalam keluarga dan umur harapan hidup yang meningkat juga menimbulkan masalah
kesehatan yang berkaitan dengan kelompok lanjut usia serta penyakit degeneratif.
Dengan banyaknya masalah-masalah yang ada dalam keperawatan jiwa yang kini kita
hadapi, maka kita perlu mengkaji ulang faktor yang mempengaruhi masalah-masalah
keperawatan jiwa
Telah terbukti bahwa upaya pencegahan jauh lebih baik daripada upaya pengobatan.
Untuk itu masyarakat luas perlu diberikan informasi tentang kesehatan jiwa beserta
permasalahan, pencegahan dan penanganannya. Upaya pelayanan kesehatan jiwa terhadap
masyarakat pada saat ini tidak mungkin dilaksanakan oleh petugas kesehatan saja, tetapi
perlu peran serta seluruh masyarakat dan keluarga klien untuk memfasilitasi peran aktif dari
kader kesehatan dalam upaya kesehatan jiwa.
Setiap tahun korban akibat gangguan jiwa selalu meningkat. Hal ini disebabkan oleh
beban hidup yang semakin lama semakin berat. Gangguan jiwa ini tidak hanya terjadi pada
kalangan bawah tetapi juga kalangan pejabat dan kalangan menengah ke atas. Pada saat ini
penyakit gangguan jiwa tidak hanya dialami oleh orang dewasa dan lansia tetapi juga oleh
anak-anak dan remaja. Seseorang yang terkena gangguan jiwa akan melakukan hal yang
seharusnya tidak dilakukan seperti menggunakan obat-obatan terlarang dan melakukan
bunuh diri.
Kasus bunuh diri sudah menjadi masalah besar di beberapa Negara di dunia seperti
Amerika Serikat, Jepang, Korea, Inggris dan lain-lainnya. Selain factor diatas penyebab
seseorang mengalami gangguan jiwa juga disebabkan oleh perkembangan otak ketika masih
janin yang menyebabkan penyakit skizofrenia. Oleh karena itu saat ini seluruh Negara di
dunia berusaha meningkatkan kesehatan jiwa warga negaranya. Begitu juga dengan
Indonesia yang berusaha meningkatkan pelayanan pada pasiennya dengan meningkatkan
pengetahuan tentang kesehatan jiwa.
A. Trend dan Issue Keperawatan Jiwa
Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang sedang
hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap
ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam
tatanan regional maupun global.
Ada beberapa trend penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat onset
terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di Indonesia banyak gangguan jiwa
terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang sekali melihat fenomena masalah sebelum
anak lahir. Perkembangan terkini menyimpulkan bahwa berbicara masalah kesehatan jiwa
harus dimulai dari masa konsepsi atau bahkan harus dimulai dari masa pranikah. Banyak
penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam kandungan dengan kesehatan
fisik dan mental seseorang di masa yang akan datang. Penelitian-penelitian berikut
membuktikan bahwa kesehatan mental seseorang dimulai pada masa konsepsi.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada pada
trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang leih tinggi untuk menderita
skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan bahwa lingkungan luar
yang terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan dapat meningkatkan risiko
menderita skizofrenia.
Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan neurokognitif, yang menyebutkan
bahwa pada penderita skizofrenia terjadi kelainan perkembangan neurokognitif sejak
dalam kandungan. Beberapa kelainan neurokognitif seperti berkurangnya kemampuan
dalam mempertahankan perhatian, membedakan suara rangsang yang berurutan, working
memory, dan fungsi-fungsi eksekusi sering dijumpai pada penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam kandungan dan dalam
kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan, misalnya, tekanan berat dalam
kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau terpengaruh zat-zat yang mempengaruhi fungsi
otak seperti narkoba. Kelainan neurokognitif yang telah berkembang ini menjadi dasar dari
gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi, kekacauan proses pikir, waham/delusi, perilaku
yang aneh dan gangguan emosi.
2. Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa
Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh jumlah penderita sakit
jiwa di provinsi lain dan Daerah Istimewa Yogyakarta terus meningkat. Penderita tidak lagi
didominasi masyarakat kelas bawah, kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah
ke atas juga tersentuh gangguan psikotik dan depresif.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan dokter di RSJ
menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial maupun usia. Ada
orang kaya yang mengalami tekanan hebat, setelah kehilangan semua harta bendanya
akibat kebakaran. Selain itu kasus neurosis pada anak dan remaja, juga menunjukkan
kecenderungan meningkat. Neurosis adalah bentuk gangguan kejiwaan yang
mengakibatkan penderitanya mengalami stress, kecemasan yang berlebihan, gangguan
tidur, dan keluhan penyakit fisik yang tidak jelas penyebabnya. Neurosis menyebabkan
merosotnya kinerja individu. Mereka yang sebelumnya rajin bekerja, rajin belajar menjadi
lesu, dan sifatnya menjadi emosional. Melihat kecenderungan penyakit jiwa pada anak dan
remaja kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan nonfisik. Trauma nonfisik bisa berbentuk
musibah, kehilangan orang tua, atau masalah keluarga.
Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik. Klien yang
menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang yang kerap
mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya dan
orang lain, seperti mengamuk.
3. Kecenderungan faktor penyebab gangguan jiwa
Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan salah satu
pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada
manusia. Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan
jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001)
menyataan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.
WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan
kesehatan jiwa.
Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan jiwa
memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang mengalami
gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena bunuh diri setiap
tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri dari para
penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya.
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak hal. Namun,
menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa (psikiatri) Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab gangguan
jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic. Penyebabnya antara lain berasal
dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria dan
lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-lain. Kedua, gangguan mental, emosional
atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah dalam pola pengasuhan (pattern of parenting)
hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik, dan
tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stressor
psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan antarpersonal dalam pekerjaan atau
sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor
keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain).
4. Kecenderungan situasi di era globalisasi
Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas sebagai ciri
globalisasi, akan berdampak pada semua faktor termasuk kesehatan. Perawat dituntut
mampu memberikan askep yang profesional dan dapat mempertanggung jawabkan secara
ilmiah. Perawat dituntut senantiasa mengembangkan ilmu dan teknologi di bidang
keperawatan khususnya keperawatan jiwa. Perawat jiwa dalam era global harus membekali
diri dengan bahasa internasional, kemampuan komunikasi dan pemanfaatan teknologi
komunikasi, skill yang tinggi dan jiwa entrepreneurship.
5. Perubahan Orientasi Sehat
Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan termasuk
keperawatan adalah tersedianya alternatif pelayanan dan persaingan penyelenggaraan
pelayanan. (persaingan kualitas). Tenaga kesehatan (perawat “jiwa” ) harus mempunyai
standar global dalam memberikan pelayanan kesehatan, jika tidak ingin ketinggalan.
Fenomena masalah kesehatan jiwa, indicator kesehatan jiwa di masa mendatang bukan lagi
masalah klinis seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada konteks
kehidupan sosial. Fokus kesehatan jiwa bukan hanya menangani orang sakit, melainkan
pada peningkatan kualitas hidup. Jadi konsep kesehatan jiwa buka lagi sehat atau sakit,
tetapi kondisi optimal yang ideal dalam perilaku dan kemampuan fungsi social Paradigma
sehat Depkes, lebih menekankan upaya proaktif untuk pencegahan daripada menunggu di
RS, orientasi upaya kesehatan jiwa lebih pada pencegahan (preventif) dan promotif.
Penangan kesehatan jiwa bergeser dari hospital base menjad community base.
Empat Ciri Pembentuk Struktur Masyarakat Yang Sehat :
a. Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yg diperalat oleh
orang lain. Oleh karena itu seharusnya tidak ada yang diperalat/ memperalat diri
sendiri, dimana manusia itu menjadi pusat dari semua aktivitas ekonomi maupun
politik diturunkan pada tujuan perkembangan diri manusia.
b. Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya, merangsang
perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu membuat manusia untuk
mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni dan perilaku normatif kolektif.
c. Masyarakat terhindar dari sifat-sifat rakus, eksploitatif, pemilikan berlebihan,
narsisme, tidak mendapatkan kesempatan meraup keuntungan material tanpa batas.
Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensi-dimensi yang
dapat dipimpin dan diobservasi. Partisipasi aktif dan bertanggung jawab dalam kehidupan
masyarakat. Untuk mewujudkan struktur masyarakat sehat, kuncinya : Setiap orang harus
meningkatkan kualitas hidup yang dapat menjamin terciptanya kondisi sehat yang
sesungguhnya. Mandiri dan tidak bergantung pada orang lain merupakan orientasi
paradigma kesehatan jiwa
6. Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of disease“ (Michard &
Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi ”Public Health Policy” yang secara
tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit infeksi. Standar pengukuran untuk
kebutuhan kesehatan global secara tradisional adalah angka kematian akibat penyakit. Ini
telah menyebabkan gangguan jiwa seolah-olah bukan masalah. Dengan adanya indikator
baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Lfe Year) diketahuilah bahwa gangguan jiwa
merupakan masalah kesehatan utama secara internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik yang tidak menentu
menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan, situasi
ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan jiwa dalam kehidupan manusia
( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan seperti psikiater,
psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang memadai baik dari segi kuantitas.
Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar dengan kejadian
Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa ancaman
kematian atau kematian yang sebenarnya dan mereka yang cedera serta yang dalam
ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi berupa
rasa takut yang kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang
menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau.
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar rentang.
Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari. Pengalaman
katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang sedang terjadi),
pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun bencana alam, (gempa
dan bencana tsunami), sungguh mengerikan.
Ini akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan dan berusaha untuk
tidak mengalami stress yang sedemikian. Dalam kriteria klinik seperti yang disusun dalam
Diagnostic and Statical Manual Of Mental Disorder lll dan Lv serta Pedoman
Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa lll di Indonesia menyatakan, gejala yang
ditemukan pada mereka itu menggambarkan suatu yang stress yang terjadi berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian mereka menjadi manusia yang invalid dalam
kondisi kejiwaan dengan akibat dan resultante akhir penderita ini akan menjadi tidak
produktif. Padahal seperti diketahui ada diantara mereka yang berkali-kali telah mengalami
pengalaman katastropik yaitu saat daerah tersebut ada dalam kondisi berlangsungnya
Daerah Operasi Militer dan peristiwa-peristiwa sesudahnya. Kondisi itu memang amat
melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi juga kondisi kejadian masyarakat di daerah NAD.
Di kemudian hari, mereka menjadi manusia yang tanpa alasan selalu berusaha menghindar
terhadap kejadian yang mirip, terutama terhadap kekerasan yang sebernarnya tidak akan
terjadi. Mereka juga menjadi manusia yang selalu bermimpi menakutkan terjadi secara
berulang-ulang. Akibatnya, tidur yang seharusnya kan membuat restorasi terhadap kondisi
tubuh, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan
seakan berada dalam kondisi depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa
seakan-akan kejadian traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman, ilusi, halusinasi,
dan episode kilas balik dalam bentuk disosiatif.
Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies) mulai memahami bahwa
trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat individual. Trauma muncul
sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang
peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam konteks tsunami Aceh dan
bencana-bencana besar lainnya di Indonesia, kompleksitas sosial dan kultural sangat
penting mengingat bahwa masyarakat telah mengalami dan menjadi saksi berbagai macam
kekerasan sejak berlangsungnya operasi keamanan di daerah ini. Oleh karena itu,
pemahaman tentang trauma sebagai proses sosial dan sekaligus proses kejiwaan yang
bersifat personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar dari lingkaran ingatan
traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami yang mengalami bencana di
seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud sendiri pernah mengemukakan
bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan, karena direpresi itulah maka
trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam periode yang cukup lama. Guncangan
psikologis yang disebabkan oleh ingatan mengerikan tentang gelombang tsunami, tentang
mayat-mayat yang berserakan, dan tentang kehilangan banyak anggota keluarga sekaligus
berpotensi untuk membentuk ingatan yang traumatis.
Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian trauma, juga
menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut sebagai transference.
Istilah ini merujuk pada ‚“transfer“ pengalaman traumatis yang terjadi dari orang yang
secara fisik langsung mengalami peristiwa yang mengerikan kepada orang lain yang tak
secara langsung mengalaminya. Freud memberi contoh bahwa psikoanalis juga dapat
mengalami proses transference saat ia secara tak sadar melakukan identifikasi dengan
korban trauma tersebut. Dori Laub, psikiater yang terlibat dalam pembuatan Shoah,
mengatakan bahwa transference itu bisa terjadi saat psikoanalis, atau siapapun juga yang
melakukan wawancara dengan korban.
Hamid, A.Y.S. (2009). Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa (I); Jakarta. Buku
Kedokteran ECG.
Prasetyo, H. Nugroho, P. (2009). Tingkat Pengetahuan Mahasiswa dalam Merawat Pasien Jiwa
Penderita Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011.
http://faperta.ugm.ac.id/articles/kesehatan_jiwa.pdf