Anda di halaman 1dari 18

RESUME

TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN JIWA


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa I

Dosen Pengampu :

Ns. Eyet Hidayat, SPd, SKp. MKep, Sp.Kep.J.

Disusun Oleh :

Reza Romdona

NIM : CKR0180106

Kelas :

Keperawatan Reguler C

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN


Jl. Lkr. Bayuning No.2, Kadugede, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat 45561

2020
Trend dan Issue Keperawatan Jiwa

Pada saat ini masalah kesehatan jiwa menjadi masalah yang paling mengancam di dunia.
Setelah tahun 2000, dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era globalisasi, pada
tahun 2003 era dimulainya pasar bebas ASEAN dimana banyak tenaga professional keluar
dan masuk ke dalam negeri. Pada masa itu mulai terjadi suatu masa transisi/pergeseran pola
kehidupan masyarakat dimana pola kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi
masyarakat yang maju. Keadaan itu menyebabkan berbagai macam dampak pada aspek
kehidupan masyarakat khususnya aspek kesehatan baik yang berupa masalah urbanisaasi,
pencemaran, kecelakaan, banyak tindakan kekerasan, kenakalan remaja, penyalahgunaan
NAPZA, tauran, penggangguran, tindak penyaluran agresifitas atau anarkis, putus sekolah,
PHK, disamping meningkatnya angka kejadian penyakit klasik yang berhubungan dengan
infeksi, kurang gizi, dan kurangnya pemukiman sehat bagi penduduk. Pergeseran pola nilai
dalam keluarga dan umur harapan hidup yang meningkat juga menimbulkan masalah
kesehatan yang berkaitan dengan kelompok lanjut usia serta penyakit degeneratif.

Dengan banyaknya masalah-masalah yang ada dalam keperawatan jiwa yang kini kita
hadapi, maka kita perlu mengkaji ulang faktor yang mempengaruhi masalah-masalah
keperawatan jiwa

Telah terbukti bahwa upaya pencegahan jauh lebih baik daripada upaya pengobatan.
Untuk itu masyarakat luas perlu diberikan informasi tentang kesehatan jiwa beserta
permasalahan, pencegahan dan penanganannya. Upaya pelayanan kesehatan jiwa terhadap
masyarakat pada saat ini tidak mungkin dilaksanakan oleh petugas kesehatan saja, tetapi
perlu peran serta seluruh masyarakat dan keluarga klien untuk memfasilitasi peran aktif dari
kader kesehatan dalam upaya kesehatan jiwa.
Setiap tahun korban akibat gangguan jiwa selalu meningkat. Hal ini disebabkan oleh
beban hidup yang semakin lama semakin berat. Gangguan jiwa ini tidak hanya terjadi pada
kalangan bawah tetapi juga kalangan pejabat dan kalangan menengah ke atas. Pada saat ini
penyakit gangguan jiwa tidak hanya dialami oleh orang dewasa dan lansia tetapi juga oleh
anak-anak dan remaja. Seseorang yang terkena gangguan jiwa akan melakukan hal yang
seharusnya tidak dilakukan seperti menggunakan obat-obatan terlarang dan melakukan
bunuh diri.
Kasus bunuh diri sudah menjadi masalah besar di beberapa Negara di dunia seperti
Amerika Serikat, Jepang, Korea, Inggris dan lain-lainnya. Selain factor diatas penyebab
seseorang mengalami gangguan jiwa juga disebabkan oleh perkembangan otak ketika masih
janin yang menyebabkan penyakit skizofrenia. Oleh karena itu saat ini seluruh Negara di
dunia berusaha meningkatkan kesehatan jiwa warga negaranya. Begitu juga dengan
Indonesia yang berusaha meningkatkan pelayanan pada pasiennya dengan meningkatkan
pengetahuan tentang kesehatan jiwa.
A. Trend dan Issue Keperawatan Jiwa
Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang sedang
hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap
ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam
tatanan regional maupun global.
Ada beberapa trend penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat onset
terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di Indonesia banyak gangguan jiwa
terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang sekali melihat fenomena masalah sebelum
anak lahir. Perkembangan terkini menyimpulkan bahwa berbicara masalah kesehatan jiwa
harus dimulai dari masa konsepsi atau bahkan harus dimulai dari masa pranikah. Banyak
penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam kandungan dengan kesehatan
fisik dan mental seseorang di masa yang akan datang. Penelitian-penelitian berikut
membuktikan bahwa kesehatan mental seseorang dimulai pada masa konsepsi.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada pada
trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang leih tinggi untuk menderita
skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan bahwa lingkungan luar
yang terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan dapat meningkatkan risiko
menderita skizofrenia.
Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan neurokognitif, yang menyebutkan
bahwa pada penderita skizofrenia terjadi kelainan perkembangan neurokognitif sejak
dalam kandungan. Beberapa kelainan neurokognitif seperti berkurangnya kemampuan
dalam mempertahankan perhatian, membedakan suara rangsang yang berurutan, working
memory, dan fungsi-fungsi eksekusi sering dijumpai pada penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam kandungan dan dalam
kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan, misalnya, tekanan berat dalam
kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau terpengaruh zat-zat yang mempengaruhi fungsi
otak seperti narkoba. Kelainan neurokognitif yang telah berkembang ini menjadi dasar dari
gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi, kekacauan proses pikir, waham/delusi, perilaku
yang aneh dan gangguan emosi.
2. Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa
Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh jumlah penderita sakit
jiwa di provinsi lain dan Daerah Istimewa Yogyakarta terus meningkat. Penderita tidak lagi
didominasi masyarakat kelas bawah, kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah
ke atas juga tersentuh gangguan psikotik dan depresif.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan dokter di RSJ
menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial maupun usia. Ada
orang kaya yang mengalami tekanan hebat, setelah kehilangan semua harta bendanya
akibat kebakaran. Selain itu kasus neurosis pada anak dan remaja, juga menunjukkan
kecenderungan meningkat. Neurosis adalah bentuk gangguan kejiwaan yang
mengakibatkan penderitanya mengalami stress, kecemasan yang berlebihan, gangguan
tidur, dan keluhan penyakit fisik yang tidak jelas penyebabnya. Neurosis menyebabkan
merosotnya kinerja individu. Mereka yang sebelumnya rajin bekerja, rajin belajar menjadi
lesu, dan sifatnya menjadi emosional. Melihat kecenderungan penyakit jiwa pada anak dan
remaja kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan nonfisik. Trauma nonfisik bisa berbentuk
musibah, kehilangan orang tua, atau masalah keluarga.
Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik. Klien yang
menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang yang kerap
mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya dan
orang lain, seperti mengamuk.
3. Kecenderungan faktor penyebab gangguan jiwa
Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan salah satu
pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada
manusia. Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan
jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001)
menyataan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.
WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan
kesehatan jiwa.
Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan jiwa
memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang mengalami
gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena bunuh diri setiap
tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri dari para
penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya.
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak hal. Namun,
menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa (psikiatri) Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab gangguan
jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic. Penyebabnya antara lain berasal
dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria dan
lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-lain. Kedua, gangguan mental, emosional
atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah dalam pola pengasuhan (pattern of parenting)
hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik, dan
tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stressor
psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan antarpersonal dalam pekerjaan atau
sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor
keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain).
4. Kecenderungan situasi di era globalisasi
Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas sebagai ciri
globalisasi, akan berdampak pada semua faktor termasuk kesehatan. Perawat dituntut
mampu memberikan askep yang profesional dan dapat mempertanggung jawabkan secara
ilmiah. Perawat dituntut senantiasa mengembangkan ilmu dan teknologi di bidang
keperawatan khususnya keperawatan jiwa. Perawat jiwa dalam era global harus membekali
diri dengan bahasa internasional, kemampuan komunikasi dan pemanfaatan teknologi
komunikasi, skill yang tinggi dan jiwa entrepreneurship.
5. Perubahan Orientasi Sehat
Pengaruh globalisasi terhadap perkembangan pelayanan kesehatan termasuk
keperawatan adalah tersedianya alternatif pelayanan dan persaingan penyelenggaraan
pelayanan. (persaingan kualitas). Tenaga kesehatan (perawat “jiwa” ) harus mempunyai
standar global dalam memberikan pelayanan kesehatan, jika tidak ingin ketinggalan.
Fenomena masalah kesehatan jiwa, indicator kesehatan jiwa di masa mendatang bukan lagi
masalah klinis seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada konteks
kehidupan sosial. Fokus kesehatan jiwa bukan hanya menangani orang sakit, melainkan
pada peningkatan kualitas hidup. Jadi konsep kesehatan jiwa buka lagi sehat atau sakit,
tetapi kondisi optimal yang ideal dalam perilaku dan kemampuan fungsi social Paradigma
sehat Depkes, lebih menekankan upaya proaktif untuk pencegahan daripada menunggu di
RS, orientasi upaya kesehatan jiwa lebih pada pencegahan (preventif) dan promotif.
Penangan kesehatan jiwa bergeser dari hospital base menjad community base.
Empat Ciri Pembentuk Struktur Masyarakat Yang Sehat :
a. Suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yg diperalat oleh
orang lain. Oleh karena itu seharusnya tidak ada yang diperalat/ memperalat diri
sendiri, dimana manusia itu menjadi pusat dari semua aktivitas ekonomi maupun
politik diturunkan pada tujuan perkembangan diri manusia.
b. Mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya, merangsang
perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, mampu membuat manusia untuk
mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni dan perilaku normatif kolektif.
c. Masyarakat terhindar dari sifat-sifat rakus, eksploitatif, pemilikan berlebihan,
narsisme, tidak mendapatkan kesempatan meraup keuntungan material tanpa batas.
Kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensi-dimensi yang
dapat dipimpin dan diobservasi. Partisipasi aktif dan bertanggung jawab dalam kehidupan
masyarakat. Untuk mewujudkan struktur masyarakat sehat, kuncinya : Setiap orang harus
meningkatkan kualitas hidup yang dapat menjamin terciptanya kondisi sehat yang
sesungguhnya. Mandiri dan tidak bergantung pada orang lain merupakan orientasi
paradigma kesehatan jiwa
6. Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of disease“ (Michard &
Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi ”Public Health Policy” yang secara
tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit infeksi. Standar pengukuran untuk
kebutuhan kesehatan global secara tradisional adalah angka kematian akibat penyakit. Ini
telah menyebabkan gangguan jiwa seolah-olah bukan masalah. Dengan adanya indikator
baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Lfe Year) diketahuilah bahwa gangguan jiwa
merupakan masalah kesehatan utama secara internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik yang tidak menentu
menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan, situasi
ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan jiwa dalam kehidupan manusia
( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan seperti psikiater,
psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang memadai baik dari segi kuantitas.
Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar dengan kejadian
Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa ancaman
kematian atau kematian yang sebenarnya dan mereka yang cedera serta yang dalam
ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi berupa
rasa takut yang kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang
menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau.
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar rentang.
Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari. Pengalaman
katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang sedang terjadi),
pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun bencana alam, (gempa
dan bencana tsunami), sungguh mengerikan.
Ini akan membuat mereka dalam keadaan stress berkepanjangan dan berusaha untuk
tidak mengalami stress yang sedemikian. Dalam kriteria klinik seperti yang disusun dalam
Diagnostic and Statical Manual Of Mental Disorder lll dan Lv serta Pedoman
Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa lll di Indonesia menyatakan, gejala yang
ditemukan pada mereka itu menggambarkan suatu yang stress yang terjadi berbulan-bulan,
bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian mereka menjadi manusia yang invalid dalam
kondisi kejiwaan dengan akibat dan resultante akhir penderita ini akan menjadi tidak
produktif. Padahal seperti diketahui ada diantara mereka yang berkali-kali telah mengalami
pengalaman katastropik yaitu saat daerah tersebut ada dalam kondisi berlangsungnya
Daerah Operasi Militer dan peristiwa-peristiwa sesudahnya. Kondisi itu memang amat
melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi juga kondisi kejadian masyarakat di daerah NAD.
Di kemudian hari, mereka menjadi manusia yang tanpa alasan selalu berusaha menghindar
terhadap kejadian yang mirip, terutama terhadap kekerasan yang sebernarnya tidak akan
terjadi. Mereka juga menjadi manusia yang selalu bermimpi menakutkan terjadi secara
berulang-ulang. Akibatnya, tidur yang seharusnya kan membuat restorasi terhadap kondisi
tubuh, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan
seakan berada dalam kondisi depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa
seakan-akan kejadian traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman, ilusi, halusinasi,
dan episode kilas balik dalam bentuk disosiatif.
Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies) mulai memahami bahwa
trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat individual. Trauma muncul
sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang
peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam konteks tsunami Aceh dan
bencana-bencana besar lainnya di Indonesia, kompleksitas sosial dan kultural sangat
penting mengingat bahwa masyarakat telah mengalami dan menjadi saksi berbagai macam
kekerasan sejak berlangsungnya operasi keamanan di daerah ini. Oleh karena itu,
pemahaman tentang trauma sebagai proses sosial dan sekaligus proses kejiwaan yang
bersifat personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar dari lingkaran ingatan
traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami yang mengalami bencana di
seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud sendiri pernah mengemukakan
bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan, karena direpresi itulah maka
trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam periode yang cukup lama. Guncangan
psikologis yang disebabkan oleh ingatan mengerikan tentang gelombang tsunami, tentang
mayat-mayat yang berserakan, dan tentang kehilangan banyak anggota keluarga sekaligus
berpotensi untuk membentuk ingatan yang traumatis.
Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian trauma, juga
menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut sebagai transference.
Istilah ini merujuk pada ‚“transfer“ pengalaman traumatis yang terjadi dari orang yang
secara fisik langsung mengalami peristiwa yang mengerikan kepada orang lain yang tak
secara langsung mengalaminya. Freud memberi contoh bahwa psikoanalis juga dapat
mengalami proses transference saat ia secara tak sadar melakukan identifikasi dengan
korban trauma tersebut. Dori Laub, psikiater yang terlibat dalam pembuatan Shoah,
mengatakan bahwa transference itu bisa terjadi saat psikoanalis, atau siapapun juga yang
melakukan wawancara dengan korban.

7. Meningkatknya Post Traumatic Syndrome Disorder


Trauma yang katastropik, yaitu trauma di luar rentang pengalaman trauma yang umum
di alami manusia dlm kejadian sehari-hari. Mengakibatkan keadaan stress berkepanjangan
dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang demikian. Mereka menjdi manusia yang
invalid dlam kondisi kejiwaan dengan akibat akhir menjadi tidak produktif. Trauma bukan
semata2 gejala kejiwaan yang bersifat individual, trauma muncul sebagai akibat saling
keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang
eksistensi kejiwaan.

8. Meningkatnya Masalah Psikososial


Lingkup masalah kesehatan jiwa, sangat luas dan kompeks juga saling berhubungan
dengan segala aspek kehidupan manusia. Mengacu pada undang-undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan dan Ilmu Kedokteran Jiwa (psychitri), secara garis besar masalah
kesehatan jiwa digolongkan menjadi :
a. Masalah perkembangan manusia yang harmonis dan peningkatan kualitas, hidup
yaitu masalah kejiwaan yang berkait dengan makna dan nilai-nilai kehidupan
manusia, misalnya:
o Masalah kesehatan jiwa yang berkaitan dengan lifecycle kehidupan manusia,
mulai dari persiapan pranikah, anak dalam kandungan, balita, anak, remaja,
dewasa, usia lanjut.
o Dampak dari menderita penyakit menahun yang menimbulkan disabilitas.
o Pemukiman yang sehat.
o Pemindahan tempat tinggal.
b. Masalah Psikososial yaitu masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai aikbat
terjadinya perubahan sosial, misalnya :
o Psikotik gelandangan (seseorang yang berkeliaran di tempat umum dan
diperkirakan menderita gangguan jiwa psikotik dan dianggap mengganggu
ketertiban/keamanan lingkungan).
o Pemasungan penderita gangguan jiwa.
o Masalah anak jalanan.
o Masalah anak remaja (tawuran, kenakalan).
o Penyalahgunaan Narkotika dan psikotropika.
c. Masalah seksual (penyimpangan seksual, pelecehan seksual, dan lain-lain).
o Tindak kekerasaan sosial (kemiskinan, penelataran tidak diberi nafkah, korban
kekerasaan pada anak dan lain-lain).
o Stress pascatrauma (ansietas, gangguan emosional, berulangkali merasakan
kembali suatu pengalaman traumatik, bencana alam, ledakan, kekerasaan,
penyerangan/penganiyaan secara fisik atau seksual, termasuk pemerkosaan,
terorisme dan lain-lain).
o Pengungsi/imigrasi (masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat
terjadinya suatu perubahan sosial, seperti cemas, depresi, stress pascatrauma,
dan lain-lain.
d. Masalah usia lanjut yang terisolasi (penelataran, penyalahgunaan fisik, gangguan
psikologis, gangguan penyesuaian diri terhadap perubahan, perubahan minat,
gangguan tidur, kecemasan, depresi, gangguan pada daya ingat, dll).
e. Masalah kesehatan tenaga kerja ditempat kerja (kesehatan jiwa tenaga kerja,
penurunan produktivitas, stress di tempat kerja, dan lain-lain).

9. Trend Bunuh Diri pada Anak dan Remaja


Bunuh diri merupakan masalah psikologis dunia yang sangat mengancam Sejak tahun
1958, dari 100.000 penduduk Jepang 25 orang diantaranya meninggal akibat bunuh diri.
Sedangkan untuk negara Austria, Denmark, dan Inggris, rata-rata 25 orang. Urutan pertama
diduduki Jerman dengan angka 37 orang per 100.000 penduduk. Di Amerika tiap 24 menit
seorang meninggal akibat bunuh diri. Jumlah usaha bunuh diri yang sebenarnya 10 kali
lebih besar dari angka tersebut, tetapi cepat tertolong. Kini yang mengkhawatirkan trend
bunuh diri mulai tampak meningkat terjadi pada anak-anak dan remaja.
Di Benua Asia, Jepang dan Korea termasuk Negara yang sering diberitakan bahwa
warganya melakukan bunuh diri. Di Jepang, harakiri (menikam atau merobek perut sendiri)
sering dilakukan bawahan untuk melindungi nama baik atasannya. Sebagai contoh,
sekretaris pribadi mantan Perdana Menteri Takeshita melakukan bunuh diri, ketika skandal
suap perusahaan Recruits Cosmos terbongkar pada tahun 1984 atau yang paling terkenal
kasus bunuh dirinya sopir pribadi mantan Perdana menteri Tanaka, ketika skandal suap
Lockheed terbongkar. Sang sopir menusuk perutnya, demi menjaga kehormatan
pimpinannya.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa satu
juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau terjadi dalam seiap 40 detiknya. Bunuh
diri juga termasuk satu dari tiga penyebab utama kematian pada usia 15-34 tahun, selain
faktor kecelakaan.

10. Masalah Napza dan HIV/AIDS


Gangguan penggunaan zat adiktif ini sangat berkaitan dan merupakan dampak dari
pembangunan serta teknologi dari suatu negara yang semakin maju. Hal terpenting yang
mendukung merebaknya NAPZA di negara kita adalah perangkat hukum yang lemah
bahkan terkadang oknum aparat hukum seringkali menjadi backing, ditambah dengan
keragu-raguan penentuan hukuman bagi pengedar dan pemakai, sehingga dampaknya
SDM Indonesia kalah dengan Malaysia yang lebih bertindak tegas terhadap pengedar dan
pemakai NAPZA. Kondisi ini akan semakin menigkat untuk masa yang akan datang
khususnya dalam era globalisasi. Dalam era globalisasi tersebut terdapat gerakan yang
sangat besar yang disebut dengan istilah “Gerakan Kafirisasi“. Bila beberapa dekade yang
lalu kita mengenal istilah zionisme, maka dengan ini sejalan dengan globalisasi kita
berhadapan dengan dengan ideologi kafirisasi yang disebut dengan Neozionisme, sebuah
ideologi yang ingin menciptakan tatanan dunia global yang sekuler dan terlepas sama
sekali dari ajaran agama yang mereka anggap sebagai kepalsuan, racun, dan dogmatis
fundamentalis.
Gerakan konspirasi mereka telah membuat carut marut dan tercabiknya wajah kaum
beragama, utamanya umat muslim, mereka menuduh umat islam sebagai fundamentalis,
ekstrimis, dan tiran. Bahkan Hungtington (Misionaris Yahudi) pernah mengatakan :
“Musuh Barat terbesar setelah Rusia hancur adalah Islam“. Salah satu program mereka
adalah menghancurkan islam melalui penghancuran generasi mudanya dengan cara
menebarkan narkotik dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
Sekarang para imperalis dan konspirasi Yahudi telah memanfaatkan energi yang tersimpan
dalam generasi negeri ini (1,3 juta orang pemuda) yang berusia 15-25 tahun melalui
NAPZA (Narkotik dan Zat Adikif lainnya) dan telah membunuh 30 orang perbulannya.
Masalah lainnya muncul seiring dengan merebaknya pemakaian NAPZA. Menjelang
tahun 2008 pertumbuhan HIV AIDS di dunia dapat mencapai 4 orang permenit. Ini
merupakan ancaman hilangnya kehidupan dan runtuhnya peradaban.
Kita semua, khususnya tim kesehatan harus merasa terpanggil menyelamatkan generasi
penerus bangsa dari cangkraman NAPZA (Narkotika, Alkohol, psikotropika, dan Zat
Adiktif lainnya). Perawat merupakan komponen terbesar dari seluruh tim kesehatan, maka
upaya-upaya pengcegahan dan penatalaksanaan keperawatan menjadi hal yang sangat
penting karena perawat senantiasa berada di sisi klien dalam rentang waktu yang lama di
banding tim kesehatan lainnya. Melalui forum presentasi orientasi keperawatan jiwa kami
berusaha memaparkan suatu topic dengan tema Asuhan Keperawatan pada Pengguna
NAPZA.

11. Pattern Of Parenting dalam Keperawata Jiwa


Dengan banyaknya bunuh diri dan depresi pada anak, maka saat ini pola asuh keluarga
menjadi sorotan. Pola aush yang baik adalah pola asuh dimana orang tua menerapkan
kehangatan tinggi yang disertai dengan kontrol yang tinggi. Kehangatan adalah bagaimana
orang tua menjadi teman curhat, teman bermain, teman yang menyenangkan bagi anak
terutama saat rekreasi, belajar, dan berkomunikasi. Adakalanya kehangatan diwujudkan
dengan mendekap, mencium, menggendong atau mengajak anak menjalajahi alam sambil
belajar. Kehangatan adalah upaya-upaya yang dilakukan orang tua agar anak dekat dan
berani bicara pada orang tuanya pada saat anak mendapatkan masalah. Orang tua menjadi
teman dalam express feeling anak sehingga anak menjadi sehat jiwanya.
Kontrol yang tinggi adalah bagaimana anak dilatih mandiri dan mengenal disiplin di
rumahnya. Kemandirian ini menjadi hal yang sangat penting dalam kesehatan jiwa. Anak
mandiri terbiasa menyelesaikan masalahnya, ia akan memiliki self confidence yang cukup.
Contoh kontrol yang diterapkan orang tua adalah kapan anak harus bangun pagi, kapan
belajar, kapan anak berlatih memakai kaos kaki sendiri, makan sendiri dan berpakaian
secara mandiri. Orang tua juga melatih anak bertanggung jawab mengerjakan tugas-tugas
di rumah seperi mencuci, menyiram bunga, dan sebagainya.
Tipe pola asuh :
 Autoriatif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol yang tinggi dan
kehangatan tinggi.
 Otoriter : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol tinggi kehangatan
rendah.
 Permisif : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol rendah
kehangatan tinggi.
 Neglected : Bila orang tua menerapkan pola asuh dengan kontrol rendah
kehangatan rendah.

12. Masalah Ekonomi dan Kemiskinan


Pengangguran lebih dari 40 juta orang telah menyebabkan rakyat Indonesia semakin
terpuruk. Daya beli lemah, pendidikan rendah, lingkungan buruk, kurang gizi, mudah
terigitasi, kekebalan menurun dan infrastruktur yang masih rendahmenyebabkan
banyaknya rakyat Indonesia yang mengalami gangguan jiwa. Masalah ekonomi merupaka
masalah yang paling dominant menjadi pencetus gangguan jiwa di Indonesia. Hal ini bisa
dibuktikan bahwa saat terjadi kenaikan BBM selalu dsertai dengan peningkatan dua kali
lipat angka gangguan jiwa. Hal ini diperparah dengan biaya sekolah yang mahal, biaya
pengobatan tak terjangkau dan penggusuran yang kerap terjadi.
B. Trend dalam Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri
Sejarah Keperawatan mental psikiatri muncul sebagai sebuah profesi pada awal abad
ke-19. Kemudian sejak tahun 1940 keperawatan mental psikiatri mulai berkembang pesat,
tetapi pelayanan masih terpusat di Rumah Sakit (Antai Otong, 1994). Hal ini terjadi sejalan
dengan program deinstitusionalisasi. Deinstitusionalisasi adalah suatu program
pembebasan klien gangguan jiwa kronik dari institusi rumah sakit dan mengembalikan
mereka ke lingkungan rehabilitas di masyarakat (Lefley, 1996). Angka kejadian gangguan
jiwa dapat diminimalkan dengan menggunakan cara-cara preventif seperti menemukan
kasus-kasus secara dini, diagnosa dini da intervensi krisis (Gerald Kaplan dikutip oleh
Antai Otong, 1994).
C. Trend Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri Globalisasi
Leininger (1973) mengemukakan 3 kunci utama dalam proses tersebut : pengalaman
dan pendidikan perawat, peran, dan fungsi perawat serta hubungan perawat dengan profesi
lain di komunitas. Reformasi dalam pekayanan kesehatan ini te;ah menuntut perawat untuk
merendefenisi perannya. Intervensi keperawatan yang menekankan pada aspek pencegahan
dan promosi kesehatan sudah saatnya mengembangkan “community based care” (Lefley,
1996).
Kurangnya dukungan tenaga, biaya, dan fasilitas yang tersedia menantang perawat
mental psikiatri dan profesi lain untuk memaksimalkan sumber-sumber yang tersedia dan
mengembangkan inovasi-inovasi baru dalam memenuhi kebuuhan masyarakat (Antai
Otong, 1994). Sehubungan dengan hal itu, adalah penting untuk mengembangkan
pendidikan keperawatan (Suhaemi, 1997), terutama keperawatan mental psikiatri yang
bekerja di rumah sakit jiwa maupun di komunitas paling rendah pada level universitas
(Jintana, 2002).
D. Issue Pelayanan Keperawatan Mental Psikiatri
1. Stuart Sundeen (1998) mengemukakan bahwa hasil riset Keperawatan Jiwa masih
sangat kurang.
2. Perawat psikiatri yang ada kurang siap menghadapi pasar bebas karena pendidikan yang
rendah dan belum adanya licence untuk praktek yang bisa diakui secara Internasional.
3. Perbedaan peran perawat jiwa berdasarkan pendidikan dan pengalaman sering kali tidak
jelas dalam “Position Description,” job responsibility dan system reward di dakam
pelayanan keperawatan dimana mereka bekerja (Stuart Sudeen, 1998).
4. Di negara lain pun mempunyai kecenderungan yang sama, hasil penelitian di Ireland
menunjukkan bahwa mahasiswa mempunyai persepsi yang salah tentang peran perawat
psikiatri (Wells, 2000).
E. Upaya Profesi Keperawatan Mental Psikiatri di Indonesia
Dalam menghadapi trend dan issue yang berkembang, profesi keperawatan mental
psikiatri di Indonesia telah melakukan berbagai upaya seperti membuat standar praktek
keperawatan jiwa di rumah sakit, membuat model prakek keperawatan professional
(MPKP) di rumah sakit jiwa, dan mengadakan berbagai pelatihan seperti pelatihan asuhan
keperawatan jiwa dan pelatihan “clinical instructur” bagi perawat mental psikiatri. Akan
tetapi, mungkin masih banyak yang masih perlu dibenahi dan ditingkatkan agar mampu
menghadapi segala tantangan di masa depan.
Berikut ini adalah beberapa hal yang harus menjadi perhatian profesi keperawatan
mental psikiatri dalam menghadapi trend dan issue pelayanan keperawatan mental psikiatri
di era globalisasi :
1. Fokus pelayanan keperawatan jiwa sudah saatnya berbasis pada komunitas (community
based care) yang memberi penekanan pada preventif dan promotif.
2. Meningkatkan penelitian tentang keperawatan mental psikiatri, terutama keperawatan
jiwa klinik.
3. Seharusnya ada “licence” bagi perawat yang bekerja di pelayanan.
4. Estin (1999), menekankan bahwa untuk membina trust dan hubungan terapeutik dengan
klien dan untuk mencegah penundaan dalam mendiagnosa kebutuhan klien, perawat
perlu memahami budaya, nilai-nilai, kepercayaan, dan sikap klien terhadap penyakitnya.
Tidak Punya Biaya Menyekolahkan Anak, Ibu Rumah Tangga Bunuh Diri
Bekasi, Kompas - Suwarni (34), ibu rumah tangga yang tengah hamil empat bulan,
menenggak racun cair serangga yang menewaskannya di kamar mandi rumah
kontrakannya di Kampung Pinggir Rawa RT 03 RW 03, Bekasi Jaya, Bekasi Timur, Senin
(2/8) malam.
Ibu dua anak ini ditemukan dalam keadaan tewas oleh suaminya, Supriyono (36), dan
warga yang mendobrak pintu kamar mandi yang terkunci dari dalam. Suwarni sudah tak
bernyawa tatkala ditemukan.
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa masalah ekonomi merupakan salah satu
masalah yang paling sering menyebabkan gangguan jiwa di Indonesia. Himpitan ekonomi
yang semakin besar dikarenakan penghasilan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dapat menjadi salah satu pencetus untuk seseorang bunuh diri. Saat ini masalah
ganguan jiwa semakin meningkat. Beban hidup yang semakin berat, diperkirakan menjadi
salah satu penyebab bertambahnya klien gangguan jiwa. Terutama karena meningkatnya
harga-harga semua bahan pokok, BBM dan adanya era globalisasi.
Pada kasus diatas, klien yang bunuh diri tersebut, penyebabnya adalah karena gangguan
sosial atau lingkungan yang berupa stressor psikososial yaitu masalah keuangan. Gangguan
jiwa saat ini tidak hanya mengenai orang-orang yang merupakan kalangan kelas bawah,
tapi sekarang gangguan jiwa dapat menyerang baik itu orang kalangan bawah, menengah
maupun kelas atas. Jika seseorang tidak dapat beradaptasi dengan baik dalam lingkungan
dan tidak dapat berusaha menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya maka seseorang
akan cenderung untuk mengalami gangguan jiwa. Dari berbagai penyebab itulah maka satu
demi satu akan muncul tindakan-tindakan yang dapat dikatakan sebagai suatu
penyelewengan atau pengingkaran diri akan kondisi atau kenyataan yang ada. Pasien
cenderung tidak mampu menerima kondisi yang ada sehingga muncul suatu keinginan
untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab tersebut. Dan dalam kasus ini pun
cenderung akhir dari segala pengingkaran diri pasien adalah dengan melakukan bunuh diri.
Bunuh diri merupakan salah satu tindakan yang menjadi trend issue dalam keperawatan
jiwa. Tanpa dibatasi umur, status ekonomi, tingkat pendidikan bahkan beban kerja yang
dipikul bunuh diri menjadi suatu alternatif terakhir dalam menyelesaikan masalah yang
dianggap berat untuk dihadapi. Pola pikir inilah yang seharusnya menjadi pusat garapan
perawat-perawat jiwa untuk meluruskan kembali persepsi yang berkembang di masyarakat
mengenai tindakan bunuh diri. Hal ini berguna untuk rehabilitasi pasien yang pernah
mencoba untuk melakukan tindakan tersebut dan juga untuk pencegahan terjadinya
tindakan ini yang semakin marak. Segala tindakan pencegahan dan rehabilitasi ini tentu
akan terlaksana dengan dukungan dari segala pihak baik pemerintah maupun bidang
kesehatan lainnya.
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa masalah ekonomi merupakan salah satu
masalah yang paling sering menyebabkan gangguan jiwa di Indonesia. Himpitan ekonomi
yang semakin besar dikarenakan penghasilan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dapat menjadi salah satu pencetus untuk seseorang bunuh diri. Saat ini masalah
ganguan jiwa semakin meningkat. Beban hidup yang semakin berat, diperkirakan menjadi
salah satu penyebab bertambahnya klien gangguan jiwa. Terutama karena meningkatnya
harga-harga semua bahan pokok, BBM dan adanya era globalisasi.
Pada kasus diatas, klien yang bunuh diri tersebut, penyebabnya adalah karena gangguan
sosial atau lingkungan yang berupa stressor psikososial yaitu masalah keuangan. Gangguan
jiwa saat ini tidak hanya mengenai orang-orang yang merupakan kalangan kelas bawah,
tapi sekarang gangguan jiwa dapat menyerang baik itu orang kalangan bawah, menengah
maupun kelas atas. Jika seseorang tidak dapat beradaptasi dengan baik dalam lingkungan
dan tidak dapat berusaha menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya maka seseorang
akan cenderung untuk mengalami gangguan jiwa.
Dari berbagai penyebab itulah maka satu demi satu akan muncul tindakan-tindakan
yang dapat dikatakan sebagai suatu penyelewengan atau pengingkaran diri akan kondisi
atau kenyataan yang ada. Pasien cenderung tidak mampu menerima kondisi yang ada
sehingga muncul suatu keinginan untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab
tersebut. Dan dalam kasus ini pun cenderung akhir dari segala pengingkaran diri pasien
adalah dengan melakukan bunuh diri. Bunuh diri merupakan salah satu tindakan yang
menjadi trend issue dalam keperawatan jiwa. Tanpa dibatasi umur, status ekonomi, tingkat
pendidikan bahkan beban kerja yang dipikul bunuh diri menjadi suatu alternatif terakhir
dalam menyelesaikan masalah yang dianggap berat untuk dihadapi. Pola pikir inilah yang
seharusnya menjadi pusat garapan perawat-perawat jiwa untuk meluruskan kembali
persepsi yang berkembang di masyarakat mengenai tindakan bunuh diri. Hal ini berguna
untuk rehabilitasi pasien yang pernah mencoba untuk melakukan tindakan tersebut dan
juga untuk pencegahan terjadinya tindakan ini yang semakin marak. Segala tindakan
pencegahan dan rehabilitasi ini tentu akan terlaksana dengan dukungan dari segala pihak
baik pemerintah maupun bidang kesehatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ah, Yusuf. (2015). Buku Ajar Kesehatan Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan : Salemba Medika.
Kaplan, A.I, Sadock B.J. (1998). Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat (I); Jakarta. Widya Medika.

Hamid, A.Y.S. (2009). Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa (I); Jakarta. Buku

Kedokteran ECG.

Prasetyo, H. Nugroho, P. (2009). Tingkat Pengetahuan Mahasiswa dalam Merawat Pasien Jiwa

pada Praktek Klinik Keperawatan Jiwa. Soedirman. 4 (1), 15-19.

Novita, M.(2012). Peran Perawat Dalam Meningkatkan Kemampuan Bersosialisasi Pada

Penderita Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2011.

Diakses pada tanggal 18 Maret 2020 dari http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31490

Anonim. Kesehatan Jiwa. Diakses pada tanggal 18 Maret 2020 dari

http://faperta.ugm.ac.id/articles/kesehatan_jiwa.pdf

Anda mungkin juga menyukai