DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
Jesica (201440121)
Nuryanti (201440124)
DOSEN PENGAMPU :
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat segala rahmat dan karunia yang telah
diberikan sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah keperaatan kritis mengenai ”Issue
dan aspek legal etik keperawatan kritis”. Walaupun ada beberapa halaman yang mengganggu proses
pembuatan makalah ini, namun penyusun dapat mengatasinya dan tentunya atas campur tangan Tuhan
Yang Maha Esa.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk menambah wawasan khususnya mengenai Issue dan aspek
legal etik keperawatan kritis untuk mahasiswa keperawatan. Metode yang kami ambil dalam penyusun
makalah ini adalah berdasarkan pengumpulan informasi dari beberapa sumber yang sesuai dengan tema
makalah ini, makalah ini khususnya untuk para mahasiswa Keperawatan yang mencari informasi
tentang Issue dan aspek legal etik keperawatan kritis.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini serta kepada semua pembaca yang bisa mengambil ilmu dari makalah ini. Makalah ini
tidak terlepas dari berbagi kelemahan dan kekurangan, baik dalam pemilihan kata maupun kekurangan
dalam hal informasi. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi menyempurnakan
makalah ini demi masa depan.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
C. Tujuan....................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan............................................................................................................
B. Saran......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kemajuan pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan berdampak besar terhadap peningkatan mutu
pelayanan keperawatan. Pelayanan keperawatan yang dilaksanakan oleh tenaga profesional dalam
melaksanakan tugasnya dapat bekerja secara mandiri dan dapat pula bekerjasama dengan profesi lain.
Perawat dituntut untuk melaksanakan asuhan keperawatan untuk pasien atau klien baik secara individu
keluarga kelompok dan masyarakat dengan memandang manusia secara biopsikososial spiritual yang
komprehensif. Sebagai tenaga yang profesional, dalam melaksanakan tugasnya diperlukan suatu sikap
yang menjamin terlaksananya tugas tersebut dengan baik dan bertanggung jawab secara moral.
Masalah merupakan suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dari segala segi kehidupan. Tidak ada
satupun benda ataupun subjek hidup yang bersih tanpa masalah, namun ada yang tersembunyi namun
ada juga yang lebih dominan oleh masalahnya. Begitupun dalam keperawatan, terdapat beberapa isu
yang bisa terjadi merupakan masalah dalam praktik keperawatan kita. Baik merupakan perbuatan dari
pihak yang tidak bertanggungjawab, ataupun segala hal yang terjadi disebabkan oleh pertimbangan etis.
Keperawatan merupakan salah satu provinsi yang mempunyai bidang garapan pada kesejahteraan
manusia yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat maupun yang sakit untuk dapat
menjalankan fungsi hidup sehari-harinya. Salah satu yang mengatur hubungan antara perawat pasien
adalah etika. Istilah etika dan moral sering digunakan secara bergantian.
Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standar dan prinsip-prinsip yang menjadi
penuntun dalam berperilaku serta membuat keputusan untuk melindungi hak-hak manusia. Etika
diperlukan oleh semua profesi termasuk juga keperawatan yang mendasari prinsip-prinsip suatu profesi
dan tercermin dalam standar praktek profesional. (Doheny et all, 1982)
Profesi keperawatan mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat yang berarti masyarakat memberi
kepercayaan kepada profesi keperawatan untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Konsekuensi
dari hal tersebut tentunya setiap keputusan dan tindakan keperawatan harus mampu
dipertanggungjawabkan dan di bertanggung gugat kan dan setiap pengambilan keputusan tentunya
tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan ilmiah semata tetapi juga dengan mempertimbangkan
etika.
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perilaku seseorang alat
yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu
kewajiban dan tanggung jawab moral. (Nila Usmani, 2001). Bioetik adalah studi tentang isu etika
dalam pelayanan kesehatan (Hudak & Galo, 1997). Dalam pelaksanaannya etika keperawatan mengacu
pada bioetik sebagaimanatercantum dalam sumpah janji profesi keperawatan dan kode etik profesi
keperawatan
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
1. Konsep Etik
Merupakan salah satu spesialisasi di bidang keperawatan yang menangani respon manusia
terhadap masalah yang mengancam hidup. Perawat ruang intensif/kritis harus memberikan
pelayanan keperawatan yang mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal
keperawatan yang mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal kesehatan. Perawat
ruang kritis harus bekerja sesuai dengan aturan yang ada (standar rumah sakit/standar pelayanan
maupun asuhan keperawatan). Etik ditujukan untuk mengukur perilaku yang diharapkan dari
manusia sehingga jika manusia tersebut merupakan suatu kelompok tertentu atau profesi
tertentu seperti profesi keperawatan, maka aturannya merupakan suatu kesepakatan dari
kelompok tersebut yang disebut kode etik.
1) Maksud dan Tujuan Aspek Etik dalam keperawatan kritis
Secara umum, tujuan kode etik keperawatan adalah sebagai berikut (kozier, Erb. 1990):
a) Sebagai aturan dasar terhadap hubungan perawat dengan perawat, pasien, dan
anggota tenaga kesehatan lainnya.
b) Sebagai standar dasar untuk mengeluarkan perawat jika terdapat perawat yang
melakukan pelanggaran berkaitan kode etik dan untuk membantu perawat yang
tertuduh suatu permasalahan secara tidak adil.
c) Sebagai dasar pengembangan kurikulum pendidikan keperawatan dan untuk
mengorientasikan lulusan keperawatan dalam memasuki jajaran praktik
keperawatan profesional.
d) Membantu masyarakat dalam memahami perilaku keperawatan profesional
e) Status pekerjaan sebagai seorang perawat rumah sakit ataupun bagian dari staf
paramedik tidak membuat perawat bisa menghindari tanggung jawab dan
kewajiban mematuhi hukum dalam setiap tindakan/pelayanan keperawatan yang
dilakukan. Kumpulan hukum/peraturan keperawatan yang telah dikembangkan
dikenal sebagai standar pelayanan keperawatan.
2) Penerapan pengetahuan etik di area keperawatan kritis
Terdapat delapan asas etik dalam keperawatan yaitu:
a) Autonomi (otonomy) yaitu menghormati keputusan pasien untuk menentukan
nasibnya, dalam hal ini setiap keputusan medis ataupun keperawatan harus
memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat. Dengan mengikuti
prinsip autonomi berarti menghargai pasien untuk mengambil keputusan sendiri
berdasarkan keunikan individu secara holistic
b) Non maleficence (tidak merugikan) yaitu keharusan untuk menghindari berbuat
yang merugikan pasien, setiap tindakan medis dan keperawatan tidak boleh
memperburuk keadaan pasien. Berarti tindakan yang dilakukan tidak
menyebabkan bahaya bagi pasien, bahaya disini dapat berarti dengan sengaja
membahayakan, resiko membahayakan dan bahaya yang tidak disengaja.
c) Beneficence ( kemurahan hati) yaitu keharusan untuk berbuat baik kepada
pasien, setiap tindakan medis dan keperawatan harus ditujukan untuk kebaikan
pasien. Berarti melakukan yang baik yaitu mengimplementasikan tindakan yang
menguntungkan pasien dan keluarga.
d) Justice (perlakuan adil) yaitu sikap dan tindakan medis dan keperawatan harus
bersifat adil, dokter dan perawat harus menggunakan rasa keadilan apabila akan
melakukan tindakan kepada pasien.
e) Fidelity (setia, menepati janji ) berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung
jawab yang dimiliki oleh seseorang.Kesetiaan berkaitan dengan kewajiban untuk
selalu setia pada kesepakatan dan tanggung jawab yang telah dibuat. Setiap
tenaga keperawatan mempunyai tanggung jawab asuhan keperawatan kepada
individu, pemberi kerja, pemerintah dan masyarakat.
f) Veracity (kebenaran, kejujuran) prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat
untuk mengatakan suatu kebenaran, tidak berbohong atau menipu orang lain.
Kejujuran adalah landasan untuk “informed concent” yang baik. Perawat harus
dapat menyingkap semua informasi yang diperlukan oleh pasien maupun
keluarganya sebelum mereka membuat keputusan.
g) Confidenciality ( kerahasiahan ) prinsip ini berkaitan dengan penghargaan
perawat terhadap semua informasi tentang pasien/klien yang dirawatnya.
Pasien/klien harus dapat menerima bahwa informasi yang diberikan kepada
tenaga profesional kesehatan akan dihargai dan tidak disampaikan/ diberbagikan
kepada pihak lain secara tidak tepat.
h) Accountability ( akuntabilitas ) dalam menerapkan prinsip etik, apakah
keputusan ini mencegah konsekwensi bahaya, apakah tindakan ini bermanfaat,
apakah keputusan ini adil, karena dalam pelayanan kesehatan petugas dalamhal
ini dokter dan perawat tidak boleh membeda-bedakan.
2. Konsep legal
1. Pengertian Legal
Aspek aturan Keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup
wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk hak dan
kewajibannya yang diatur dalam undang-undang keperawatan.Keterkaitan dengan legal
formal dalam memberikan pelayanan keperawatan kritis. Keterkaitan dengan kebijakan
yang memberikan jaminan hukum terhadap pelayanan keperawatan kritis, seperti: UU Kes,
PERMENKES dan peraturan lainnya.
2. Maksud dan Tujuan
a) Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai
dengan hokum
b) Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lain
c) Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri
d) Membantu mempertahankan standard praktik keperawatan dengan meletakkan posisi
perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum.
e) Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang, perawat berwenang
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang ditujukan untuk
penyelamatan jiwa.
3. Penerapan legal dalam area keperawatan kritis
Aspek legal Keperawatan pada kewenangan formalnya adalah izin yang memberikan
kewenangan kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi perawat yaitu Surat
Tanda Registrasi (STR) bila bekerja di dalam suatu institusi.Kewenangan itu, hanya
diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan, namunmemiliki kemampuan tidak
berarti memiliki kewenangan. Seperti juga kemampuan yang didapat secara berjenjang,
kewenangan yang diberikan juga berjenjang.Kompetensi dalam keperawatan berarti
kemampuan khusus perawat dalam bidang tertentu yang memiliki tingkat minimal yang
harus dilampaui.Dalam profesi kesehatan hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang
diatur oleh Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan
dan kedokteran. Sementara itu, kewenangan yang bersifat khusus dalam arti tindakan
kedokteran atau kesehatan tertentu diserahkan kepada profesi masing-masing.
4. Fungsi Hukum dalm Praktik Perawat
a) Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan sesuai dengan
hukum.
b) Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lainMembantu menentukan
batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri
c) Membantu mempertahankan standard praktik keperawatan dengan meletakkan posisi
perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum.
5. Kepmenkes 1239/2001 Tentang Praktik Keperawatan pasal 15 dan 16
a) Melakukan asuhan keperawatan meliputi Pengkajian, penetapan diagnose
keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan dan evaluasi.
b) Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis dokter
Dalam melaksanakan kewenangan perawat berkewajiban menghormati hak pasien,
merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, menyimpan rahasia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, memberikan informasi, meminta
persetujuan tindakan yang dilakukan, melakukan catatan perawatan dengan baik
c) Larangan perawat dilarang menjalankan praktik selain yang tercantum dalam izin
dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi. Sanksi: sesuai
dengan kebijakan pimpinan rumah sakit.
d) Hak dan Kewajiban Perawat
Aspek Legal Keperawatan juga meliputu Kewajiban dan hak Perawat : Kewajiban
setiap perawat wajib mempunyai Sertifikat kompetensi, Surat Tanda Registrasi,
Surat ijin Praktek (SIP), Memperbaharui sertifikat kompetensi. Menghormati hak
pasien dan merujuk kasus yang tidak dapat Ditangani Menyimpan rahasia pasien
sesuai dengan aturan undang-undang keperawatan. Wajib memberikan informasi
kepada pasien sesuai dengan kewenangan. Meminta persetujuan setiap tindakan yg
akan dilakukan perawat sesuai dgn kondisi pasien baik secara tertulis. Mencatat
semua tindakan keperawatan secara akurat sesuai peraturan dan SOP yang berlaku.
Memakai standar profesi dan kode etik perawat Indonesia dalam melaksanakan
praktik. Meningkatkan pengetahuan berdasarkan IPTEK. Melakukan pertolongan
darurat yang mengancam jiwa sesuai dengan kewenangan. Melaksanakan program
pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Mentaati semua
peraturan perundang-undangan. Menjaga hubungan kerja yang baik antara sesama
perawat maupun dengan anggota tim kesehatan lainnya. Hak-Hak Perawat hak
mengendalikan praktik keperawatan sesuai yang diatur oleh hukum. Hak mendapat
upah yang layak. Hak bekerja di lingkungan yang baik. Hak terhadap pengembangan
profesional. Hak menyusun standar praktik dan pendidikan keperawatan.
B. PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIK DALAM KEPERAWATAN KRITIS
Pengambilan keputusan merupakan suatu tindakan yang melibatkan berbagai komponen yang
harus dipertimbangkan secara matang oleh perawat, terutama yang terkait dengan permasalahan pada
tatanan klinik. Dalam Sumijatun (2009), dikatakan bahwa pembuatan keputusan selalu dihubungkan
dengan suatu masalah atau suatu kesulitan, dalam arti keputusan dan penerapannya diharapkan akan
menjawab persoalan atau menyelesaikan konflik. Keputusan etis dibuat berdasarkan kesepakatan antara
pasien dan perawat. Oleh karena itu seorang perawat harus mampu meyakinkan pasien bahwa
keputusan etis yang diambil adalah berdasarkan analisa dan pertimbangan yang matang.
Kesepakatan persetujuan antara pasien pasien dan perawat tentang keputusan tindakan tersebut
dapat berupa informed consent sehingga terdapat bukti yang kuat bahwa keputusan etik tersebut
diambil berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam setiap pengambilan keputusan etis peran perawat
adalah sebagai konselor dan advokat, artinya perawat harus memberikan informasi tentang kondisi dan
situasi yang terjadi, dan melibatkan pasien dan keluarga dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai
advokat, berarti perawat melindungi hak pasien untuk mendapatkan perawatan yang menguntungkan
dan tidak merugikan.
a. Autonomi (otonomy)
Yaitu menghormati keputusan pasien untuk menentukan nasibnya, dalam hal ini setiap
keputusan medis ataupun perawat harus memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga
terdekat. Dengan mengikuti prinsip autonomi berarti menghargai pasien untuk mengambil
keputusan sendiri berdasarkan keunikan individu secara holistik.
b. Non malefience (tidak merugikan )
Yaitu keharusan untuk menghindari berbuat yang merugikan pasien, setiap tindaka
medis dan keperawatan tidak boleh memperburuk keadaan pasien. Berarti tindakan
yang dilakukan tindak menyebabkan bahaya bagi pasien, bahaya disini dapat berarti dengan
segaja membahayakan, resiko membahayakan dan bahaya yang tidak di sengaja.
c. Beneficence (kemurahan hati)
Yaitu keharusan untuk berbuat baik kepada pasien, setiap tindakan medis dan keperawatan
harus ditujukan untuk kebaikan pasien. Berarti melakukan yang baik yaitu
mengimplementasikan tindakan yang menguntungkan pasien dan keluarga.
d. Justice (perlakuan adil)
Yaitu sikap dan tindakan medis dan keperawatan harus bersifat adil, dokter dan perawat harus
menggunakan rasa keadilan apabila akan melakukan tindakan kepada pasien.
e. Fidelity (setia, menepati janji)
Berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimiliki oleh seseorang. Kesetiaan
berkaitan dengan kewajiban untuk selalu setia pada kesepakatan dan tanggung jawab yang telah
di buat. Setiap tenaga keperawatan mempunyai tanggung jawab asuhan keperawatan kepada
individu, pemberi kerja, pemerintah dan masyarakat. Apabila terdapat konflik diantara berbagai
tanggung jawab, maka diperlukan penentuan situasi dan kondisi yang ada.
f. Veracity (kebenaran, kejujuran)
Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk mengatakan suatu kebenaran, tidak
bohong atau menipu orang lain. Kejujuran adalah landasan untuk “ informed informed concent”
yang baik. Perawat harus dapat menyingkap semua informasi yang diperlukan oleh pasien
maupun keluarganya sebelum mereka membuat keputusan.
g. Confidenciality (kerahasiahan)
Prinsip ini berkaitan dengan penghargaan perawat terhadap semua informasi tentang
pasien/klien yang dirawatnya. Pasien/klien harus dapat menerima bahwa informasi yang
diberikan kepada tenaga profesional kesehatan akan di hargai dan tidak disampaikan/
diberbagikan kepada pihak lain secara tidak tepat. Perlu dipahami bahwa berbagai informasi
tentang pasien dengan anggota kesehatan lain yang ikut merawat pasien tersebut bukan
merupakan pembeberan rahasia selama informasi tersebut relevan dengan kasus yang ditangani.
h. Accountability (akuntabilitas)
Dalam menerapkan prinsip etik, apakah keputusan ini mencegah konsekuensi bahaya, apakah
tindakan ini bermanfaat, apakah keputusan ini adil, karena dalam pelayanan kesehatan petugas
dalam hal ini dokter dan perawat tidak boleh membeda-bedakan pasien dari status sosialnya,
tetapi melihat dari penting atau tidaknya pemberian tindakan tersebut pada pasien.
Hak-hak pasien haruslah dihargai dan dilindungi, hak-hak tersebut menyangkut kehidupan,
kebahagiaan, kebebasan, privasi, self determination, perlakuan adil dan integritas diri. Dilema moral
masih mungkin terjadi apabila prinsip moral otonomi dihadapkan dengan prinsip moral lainnya, atau
apabila prinsip beneficence dihadapkan dengan non maleficence, minsalnya apabila keinginan pasien
ternyata bertentangan dengan beneficence atau non maleficence, atau bisa saja apabila suatu tindakan
mengandung beneficence dan non maleficence terjadi secara bersamaan seperti “Rule of Double Effect
(RDE)” yaitu apabila suatu tindakan untuk memberikan kenyamanan berdasarkan prinsip beneficence
tetapi sekaligus memiliki yaitu apabila suatu tindakan untuk memberikan kenyamanan berdasarkan
prinsip beneficence tetapi sekaligus memiliki resiko terjadinya perburukanresiko terjadinya perburukan
sehingga berlawan dengan prinsip non mal sehingga berlawan dengan prinsip non
maleficence.eficence.
Ada beberapa isu yang sering terjadi mengenai keperawatan kritis yang akan dibahas dibawah ini:
1. Inform Consent
Informed consent adalah suatu persetujuan tindakan medis terhadap suatu hal yang dapat
dilakukan pada klien. Dimana informed consent dinyatakan valid/sah jika sudah memenuhi 3
elemen tertentu, yaitu : pasien harus kompeten atau dalam keadaan sadar untuk menyetujui,
pasien harus diberikan informasi yang adekuat sehingga dapat mengambil keputusan, dan saat
pengambilan keputusan pasien bebas dari ancaman atau paksaan (Khan, Haneef, 2010).
Informed consent diperoleh dari pasien sendiri, tetapi bila pasien tidak kompeten memberi
keputusan, maka dapat diperoleh dari keluarga atau wali sah yang mampu memberikan
persetujuan rasional. Jika keluarga atau wali hadir namun tidak kompeten juga, maka tenaga
medis dapat memutuskan sendiri untuk bertindak sesuai kondisi pasien demi kepentingan
terbaik pasien (prinsip beneficentia). Informed consent ini perlu diberikan karena tidak semua
kejadian dalam pengobatan dapat berlangsung seperti yang diharapkan, tidak adanya kepastian
dan jaminan yang pasti dalam dunia kesehatan karena setiap kasus bagaikan teori permutasi
kombinasi, latar belakang setiap orang berbeda, riwayat kesehatan berbeda, dan reaksi tubuh
terhadap respon pengobatan juga berbeda. Fungsi-fungsi dari informed consent adalah untuk
melindungi dan meningkatkan otonomi pasien, melindungi pasien, mencegah tindakan
manipulative dan pemaksaan, meningkatkan sifat mawas diri dari tim medis, dan meningkatkan
pengambilan keputusan rasional. Informed consent juga tidak dibutuhkan pada keadaan pasien
kritis atau darurat yang membutuhkan tindakan medis secara cepat dan tepat sesuai kemampuan
tenaga medis dan peralatan medis yang tersedia. Dalam situasi seperti ini dokter memutuskan
sendiri untuk melakukan yang terbaik demi kepentingan terbaik pasien, dan hal ini dilakukan
atas dasar prinsip beneficentia (Griese Orville N, 1987).
2. Isu End of Life
Perawatan menjelang ajal atau end of life sebagai suatu istilah yang digunakan dalam
penyebutan perawatan pasien dan keluarga dari aspek klinis sampai system dukungan ketika
mendekati ajal (Muhamad, 2016). Perawat diharuskan memiliki kompetensi di bidang ini
karena fokus perawatan end of life memungkinkan pasien untuk mengatasi beban nyeri dan
gejala tidak nyaman dan memberi mereka kapasitas untuk mengalami spiritualitas mereka
sepenuhnya (DʼAntonio 2017). Kondisi sekarat yang dialami pasien yaitu beberapa pasien
merasakan kesusahan rohani, sehingga mencoba selesaikan masalah spiritual dan berdamai
dengan kenyataan. Pada kondisi ini akan terjadi penurunan fungsi sistem tubuh, sebagian pasien
mudah gelisah, biasanya mengalami rasa mengantuk yang semakin bertambah, kemampuan
komunikasi yang menurun, koma dan akhirnya meninggal dengan tenang (Curtis et al 2016).
End of Life merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang ditujukan pada pasien
yang mendekati akhir kehidupan, dimana perawatan end oflife bertujuan untuk membantu orang
hidup sebaik-baiknya dan meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). Menurut Putranto
(2015), perawatan end of life adalah salah satu kegiatan membantu memberikan dukungan
psikososial dan spiritual.
Menurut NSW Health (2005), ada beberapa prinsip-prinsip end of life yang perlu diketahui, yaitu:
3. Keputusan Resusitasi
Keputusan tentang Resusitasi Jantung Paru (RJP) sangat rumit dan sering dibuat dalam hitungan
detik oleh tenaga medis tanpa mengetahui apakah pasien memiliki advanced directives atau
tidak. Advance directives adalah dokumen yang sah secara hukum, yang ditulis sebelum pasien
menderita penyakit yang bersifat incapacitating. Petunjuk yang ada di advanced directives dapat
membebastugaskan tenaga medis dalam hal mengambil keputusan, atau dengan kata lain
merupakan pernyataan tentang keinginan pasien mengenai tindakan medis apa yang sebaiknya
dilakukan atau tidak dilakukan pada keadaan incompeciency.
Beberapa penelitian menunjukan pemberian RJP sering bertentangan dengan keinginan pasien,
padahal setiap keputusan harus dibuat dengan prinsip-prinsip etik dan referensi ilmiah yang ada
(AHA, 2000). Pedoman yang ada saat ini mengindikasikan agar tindakan RJP dapat
mengembalikan kehidupan ketika henti jantung terjadi karena berbagai sebab kelainan jantung
yang ada. Undang-undangng secara tidak langsung menyatakan persetujuan dilakukannya
tindakan RJP sebagai penanganan kegawatdaruratan serta respon standar terhadap henti jantung.
Padahal RJP bukan tindakan tepat terhadap kematian yang terjadi akibat usia lanjut, penderita
dimensia berat, dan mungkin sedang mengalami kemunduran fisik sebelum henti jantung,
penderita dengan kanker, HIV/AIDS.
Menurut prinsip etik. Perbedaan etik dan norma budaya harus dipertimbangkan. Meskipun
prinsip-prinsip etik tentang beneficence, nonmalficence, autonomy, dan justice dapat diterima di
seluruh budaya, namun prioritas prinsip-prinsip tersebut bervariasi antara kebudayaan yang
berbeda. Di asia, keputusan kelompok yang mendominasi yang diambil. Maka resusitasi adalah
paduan usaha antara data ilmiah dan nilai-nilai sosial, sedangkan pada saat yang sama juga
terdapat upaya mempertahankan otonomi budaya, sehingga dokter harus memainkan peranan
penting dalam mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah dan keinginan pasien.
Menurut prinsip beneficence. RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsifungsinya serta
meringankan rasa sakit dan penderitaan. Jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan
RJP ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi
organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan RJP sangat buruk bila henti jantung terjadi
karena gagal ginjal, kanker, atau AIDS. Dibatasinya tindakan RJP telah meningkatkan derajat
harapan hidup pasien sebesar 10,5% setelah tindakan RJP, meskipun 7-10% lainnya ditunda
untuk dilakukan RJP. Usia bukan kontraindikasi tindakan RJP, walaupun dikatakan proses
penuaan berkaitan dengan akumulasi berbagai kelemahan dan penyakit, dengan terdapatnya
perawatan jangka panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah satu perkiraan hasil
RJP yang buruk (Hilberman, 1997).
Menurut prinsip non-maleficence. Tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP
bervariasi antara 10-83%. Banyak pasien dengan disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan
otak berada dalam kondisi yang sama dengan kematian. RJP menjadi berbahaya dan bersifat
merusak ketika risiko kerusakan otak relative tinggi. Oleh karena gangguan aliran darah ke otak
atau ke jantung dapat menyebabkan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan hanya berhasil jika
dilakukan tepat waktu.
Menurut prinsip otonomi. Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan disebagian besar
negara dihormati secara legal, namun hal itu membutuhkan kemampuan komunikasi seorang
pasien untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis termasuk RJP. Informed consent
mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan memahami informasi yang akurat tentang
kondisi mereka dan prognosis, jenis tindakan medis yang diusulkan, tindakan alternatif lainnya,
risiko dan manfaat dari tindakan medis tersebut. Jika dalam keadaan darurat, dengan waktu
terbatas, keputusan yang terbaik adalah memberikan perawatan medis yang standar.
Pasien biasanya tidak memiliki rencana tentang apa yang terjadi pada akhir kehidupannya,
banyak yang tidak ingin menyiapkan advanced directives, surat wasiat, atau mendiskusikan
RJP. Sehingga pemahaman tentang RJP samar-samar, dan masyarakat umumnya berharap
banyak tentang kemungkinan bertahan hidup. Beberapa pasien mungkin akan menolak
dilakukan RJP karena mengetahui adanya defisit sensorik berat yang timbul setelah serangan
jantung.
Menurut prinsip kesia-siaan (principle of futility). Jika pada keadaan tertentu keuntungan yang didapat
dari RJP ternyata tidak adekuat atau tidak sesuai harapan. Jika resusitasi adalah sia-sia maka setiap
kerugian yang terjadi akan membawa sesuatu yang tidak menguntungkan, sehingga melakukan
tindakan tanpa tujuan berguna tidaklah efektif. American Heart Association (AHA) mengatakan bahwa
RJP adalah sia-sia jika tidak ada yang selamat seperti yang dilaporkan pada sebuah penelitian yang
didesain dengan baik, dan dibuat untuk mempertimbangkan bahwa tindakan RJP tidak sia-sia. Ini
mendukung tidak dilakukannya RJP pada situasisituasi yang akan membawa lebih banyak kerugian
daripada keuntungan. Isu Do Not Resuscitation (DNR). DNR secara umum berarti bahwa pasien tidak
akan menerima tindakan RJP pada saat terjadi cardiac arrest. DNR merupakan salah satu keputusan
yang paling sulit yang menimbulkan dilema etik yang menyangkut perawat, dokter, dan tenaga
kesehatan lain yang terlibat. Perintah inidibuat dalam keadaan sebelum sakit atau sadar penuh. Terdapat
pro-kontra perihal DNR, dimana bebrapa pertimbangan yang digunakan kelompok pro terhadap DNR
adalah pertimbangan legal dan etis. Pertimbangan legal, misalnya rekomendasi American Heart
Association (AHA), menyatakan bahwa RJP tidak diindikasikan kepada semua pasien. Pasien dengan
kondisi terminal, penyakit yang tidak reversible, dan penyakit dengan prognosis kematian hamper dapat
dipastikan, tidak perlu dilakukan RJP (Sa’id & Maryam, 2015).
Pelaksanaan DNR kerapkali terjadi pada pasien yang ditempatkan di ICU. Pasien-pasien dengan fungsi
otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak yang mengalami kegagalan jantung paru atau
organ multiple lain atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dimasukan dalam
kriteria yang tidak perlu mendapat resusitasi (DNR). Hal ini dilakukan dengan alas an kenyamanan
pasien (patient first).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu perawatan yang menghadapi secara rinci
dengan manusia yang bertanggung jawab atas masalah yang mengancam jiwa.Perawat kritis adalah
perawat profesional yang resmi yang bertanggung jawab untuk memastikan pasien dengan sakit kritis
dan keluargakeluarga mereka menerima kepedulian optimal (American Association of CriticalCare
Nurses). Banyak sekali isu-isu yang terkait dengan aspek legal khususnya dalam keperawatan kritis dan
gawat darurat. Isu-isu tersebut terdiri dari isu yang berkaitan dengan kelalaian perawat maupun isu
yang terkait bantuan hidup pada pasien.
Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang perawat kritis untuk selalu menjalankan peran serta
fungsinya dan melakukan tindakan sesuai dengan standar keperawatan dan lebih memahami ataupun
meningkatkan pengetahuannya terkait isu yang berkaitan dengan aspek legal khususnya pada ranah
keperawatan kritis maupun keperawatan gawat darurat sehingga perawat kritis dapat menghindari
timbulnya permasalahan hukum yang rentan sekali terjadi di dunia kesehatan ini.
B. Saran
Diharapkan kepada mahasiswa Keperawatan yang nantinya sebagai tenaga kesehatan di masyarakat
dapat mengetahui Trend dan Isu Keperawatan dan dapat memberikan pengetahuan tersebut kepada
masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association (AHA). 2000. Part 2: Ethical Aspects of CPR and ECC. Journal of
American Heart Association Circulation.
Basbeth, Ferral. 2009. Analisis Etik Terkait Resusitasi Jantung Paru. Jurnal Majelis Kedokteran
Indonesia Volume 59.
Dionisius. 2009. Penegakan Otonomi Pasien Melalui Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent).
Jurnal Biomedik Volume 1 Nomor 1. Hal 29-40.
Griese Orville N. 1987. Catholic Identity in Health Care : Principles and Practice, Massachusetts.
USA.
Hegner, Barbara R.2003. Nursing Assistant: a Nursing Proses Approach. Jakarta: EGC
Hilberman M, Kutner J, Parsons D, Murphy DJ. 1997. Marginally effective medical care : ethical
analysis of issues in cardiopulmonary resuscitation. Journal of Medical Ethic.
Suhaeni, Mimin Emi. Etika Keperawatan Aplikasi Pada Praktik. Jakarta: EGC
STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN PERAWAT INSTALASI GAWAT DARURAT
(IGD) DALAM MERAWAT PASIEN TERLANTAR PADA FASE END OF LIFE
ABSTRAK
Pasien terlantar dalam keadaan kritis yang memasuki fase End of Life sering dirawat di IGD. Kondisi
tanpa ada keluarga yang mendampingi dan lingkungan IGD yang sibuk dan bising menjadi hambatan
juga tantangan dalam perawatan End of Life. Perawatan pasien terlantar dalam tahap End of Life
membutuhkan penanganan yang bertujuan memberikan rasa nyaman, ketenangan, kedekatan dukungan
social. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat dalam merawat pasien
terlantar dalam fase End of Life di ruang IGD RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Desain penelitian
dengan metode kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi interpretif, yang melibatkan 7 perawat
IGD. Data dikumpulkan melalui Indepth interview dan dianalisis dengan menggunakan analisa tematik
Braun & Clark. Hasil penelitian menghasilkan 7 tema yaitu 1. merasakan hati tersentuh pada pasien
terlantar menjelang ajal 2. Tidak membedakan perlakuan pada pasien terlantar dengan pasien lain yang
menjelang ajal 3. Menghargai harkat dan martabat pasien 4. Memilih perawatan suportif sebagai
tindakan terbaik 5. Terpaksa meninggalkan pasien tanpa pendampingan spritual 6. Mengalami konflik
dalam menempatkan pasien terlantar yang menjelang ajal 7. Mengharapkan situasi lingkungan kerja
yang mendukung. Kesimpulan adalah perawat bersikap profesional, menghormati harkat dan martabat
dalam memberikan perawatan tanpa membedakan perlakuan dengan pasien lain yang menjelang ajal.
Perasaan hati yang tersentuh muncul saat merawat pasien terlantar yang menjelang ajal tanpa
didampingi keluarga. Perawatan End of Life lebih berfokus pada perawatan suportif, sedangkan
dukungan spiritual tidak dapat diberikan di IGD karena karakteristik lingkungan yang sibuk dan lebih
memprioritaskan pasien kritis. Hal ini menimbulkan konflik dan dilema bagi perawat sehingga
diperlukan adanya ruangan khusus dan tim kerohanian untuk menyiapkan kematian yang damai dan
bermartabat.
Abstract
Homeless patients who are encountering the End of Life phase are regularly admitted to the emergency
department. Barriers to treating these patients arise due to no family assistance and unconducive
environment. Treatments given to the patients who are facing the End of Lifephase should be able to
make the patients feel comfortable, calm, and socially supported. This research aimed to explore the
experiences of the nurses who care for the homeless patients in the emergency department of RSUD dr.
Saiful Anwar Malang. This research was designed qualitatively employing the interpretive
phenomenological approach. There were seven nurses participating in this study. Data was obtained
through an in-depthinterview and analyzed by the Braun & Clark’s thematic analysis. The results have
successfully found seven themes: 1. Nurses feel touched at the moment the patients are facing the dead
2. Nurses give mutual treatments to all patients, including the homeless 3. Nurses respect the homeless
4. Nurses prefer supportive treatments as the best intervention 5. Nurses have to leave the homeless
without any spiritual assistance 6. Nurses face conflicts where to place the homeless 7. Nurses expect a
conducive working environment. In conclusion the nurses maintained their professionalism, respected
the homeless patients, gave mutual treatments to the patients. They felt touched because there was no
family assisted the patients when they were struggling at the edge of their life. Treatments given to the
patients at the End of Life phase were focused more on supportive treatments. No spiritual assistance
could be provided by the emergency department due to busy environment and priority given to other
dying patients. These have become problematic for the nurses. So, the availability of rooms for the
homeless and spiritual teams can be helpful to prepare the patients die in peace and dignity.
www.jik.ub.ac.id
PENDAHULUAN perawat, terutama jika tidak ada yang
mendampingi. IGD RSUD dr. Saiful Anwar cukup
banyak pasien terlantar. Berdasarkan Laporan
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan unit Tahunan RSUD dr. Saiful Anwar (2014) di IGD
pertama dalam pelayanan kesehatan di Rumah menerima pasien terlantar pada tahun 2012
Sakit yang memprioritaskan pasien sesuai sebanyak 69 orang, pada tahun 2013 sebanyak 55
dengan tingkat keadaan gawat darurat. Dalam orang pasien terlantar, dan tahun 2014 mengalami
hal ini perawat dituntut untuk mampu dalam peningkatan 75 orang pasien yang terlantar.
berkomunikasi dan memberikan pelayanan Berdasarkan pengamatan peneliti pada bulan
secara profesional. Kondisi pasien yang datang desember 2015 di IGD RSUD dr.Saiful Anwar,
ke IGD bervariasi, baik yang mengancam jiwa perawat tidak dapat maksimal menemani dan
maupun yang menjelang ajal. Pasien dengan selalu berada mendampingi disisi pasien terlantar
kondisi mengancam nyawa berfokus pada ini. Persepsi perawat pada pasien terlantar dengan
tindakan resusitasi, sedangkan pada pasien yang End of Life bukanlah pasien yang prioritas lagi.
menjelang ajal lebih berfokus pada perawatan Banyak pasien lain dalam kondisi emergency yang
End of Life. membutuhkan penanganan sehingga perawat tidak
End of Life Care diberikan pada pasien yang memiliki banyak waktu untuk fokus membantu
menjelang meninggal atau fase kritis dengan pasien terlantar melewati fase End of Life.
menerapkan Teori Peaceful End of Life. (Ruland
& Moore, 1998 dalam Aligood & Tomey, 2014).
Teori iniyang mencakup konsep persiapan yang Wolf, (2015) menyebutkan bahwa perawat di IGD
baik dalam menghadapi kematian. Intervensi sudah menyediakan End of Life Care, dan perawat
dalam konsep teori ini dilakukan yang bertujuan mengakui sudah menerapkan End of Life Care
pasien merasa bebas dari rasa nyeri, merasa namun terdapat keterbatasan dalam pelaksanaan
kenyamanan, merasa dihargai, dihormati dan fase End of Life meliputi beberapa hal yaitu
berada dalam kedamaian dan ketenangan juga pengalaman perawat, dan pengetahuan perawat,
merasa dekat dengan orang dirawatnya. persepsi perawat, jumlah perawat saat menghadapi
pasien dengan kondisi yang kritis. IGD merupakan
Beckstrand et al (2015) menyebutkan perawat lingkungan yang sibuk, bising dan memiliki
mengalami hambatan dalam memberikan privasi yang sangat rendah. Kondisi ini
pelayanan End of Lifeyang baik pada pasien menyebabkan pasien terlantar tidak
yang tidak memiliki identitas. Selain itu
perawatan End of Life menjadi sulit dilakukan
dan menimbulkan permasalahan bagi
Tema Menghargai Harkat dan Martabat “…....andaikan itu keluarga saya yang diposisi itu
pasien terlantar .. saya tidak bisa melakukan tindakan apa-
apa ..makanya saya tetap melakukan yang terbaik
Dari tema ini dibangun dari subtema ….”(P4)
mengupayakan memberikan perawatan
menjelang ajal yang baik dan bermartabat.
Mengupayakan memberikan perawatan
menjelang ajal yang baik dan bermartabat Tema memilih perawatan suportif sebagai
mengandung arti melakukan usaha perawatan tindakan terbaik
menjelang ajal yang baik dengan Perawatan suportif menjadi tindakan yang terbaik
memperlakukan pasien terlantar sebagai bagi pasien-pasien yang menjelang ajal.
seseorang dengan manusiawi. Pasien Perawatan suportif mengandung makna perawatan
yang diberikan setelah tindakan resusitasi dan
usaha komprehensif dinyatakan
dan ditentukan tidak berhasil. Usaha suportif lebih tinggi.Tema terpaksa meninggalkan pasien
adalah perawatan lanjutan pada pasien tanpa tanpa pendampingan spiritual dibangun dari
melakukan intubasi dan pembukaan jalan nafas subtema lebih memprioritas pasien yang harapan
secara non-invasif. Pasien yang menjelang ajal hidup lebih tinggi, tidak mampu melakukan
perawatannya lebih berfokus pada kebutuhan pendampingan spiritual dan mengalami
fisik dan kebutuhan dasar. Perawatan suportif ketidakseimbangan antara beban kerja dan tenaga
dalam pemenuhan kebutuhan dasar meliputi perawat.
pemberiaan oksigen, pemberiaan cairan, obat-
obatan antinyeri. Perawat IGD lebih memprioritas pasien yang
harapan hidup lebih tinggi. Hal ini seperti yang
“…Kalau perawatan...... yang menjelang ajal diungkapkan oleh partisipan:
harus di ini ... gak .. jadi itu hanya istilah secara
umum-umum... sama saja .. secara medis itu “Kalau ada pasien lain yang gawat.. ya prioritas
atau kesehatan itu yah sudah kita.. sudah tetap pada pasien yang hidup dulu …. kalau yang
melakukan ini prosedurnya, obat-obatnya sudah pertama kita kepentingannya menyelamatkan
masuk... seperti itu oksigen, cairan ini tetap kita nyawa .. (P2)”
berikan……”(P3) “...... kita memprioritaskan apa yang masih bisa
“…kalau saya oksigen tidak stop, infus tetap kita dilakukan dengan pasien yang lain ...
jalan tapi tidak ada tindakan yang lain ... yah dibanding dengan pasien terminal” (P4)
sudah … sudah terpasang itu kita tidak melepas “kalau saya secara pribadi sendiri ..itu saya yang
itu ... berarti alat yang terpasang pada saat mendominakan pasien yang belum terminal..”(P6)
resusitasi, sebelum resusitasinya dinyatakan
gagal yah sudah dibiarkan saja sampai “kita secara psikologis kita meningkat yang
meninggal ... “(P2) harapan hidupannya lebih tinggi
IGD RSUD dr. Saiful Anwar tidak memiliki Tema Mengharapkan situasi lingkungan kerja
ruangan khusus untuk pasien-pasien yang yang mendukung.
menjelang ajal. Seperti yang diungkap oleh Adanya team kerohanian yang diharapkan dapat
partisipan dibawah ini lebih berperan dan berfokus dalam memberikan
“…kalau ruangan khusus disini gak ada .. pendampingan dan dukungan spiritual pada
ruangannya yah general seperti p1, p2 dan P3 pasien-pasien yang menjelang ajal terutama bagi
sebenarnya sih kalau idealnya, sangat tidak pasien yang tidak memiliki dan didampingi oleh
ideal .. …” (P6) keluarga. Harapan ini di ungkapkan oleh
partisipan sebagai berikut:
Louis Missoury : Mosby Elseveir.Bailey, C., Murphy, R., & Porock, D. (2011).
Alligood, M., & Tomey, A. (2014). Nursing Theorist and Their Work. Sixth Edition. St
Beckstrand., et, al. (2015). Rural Emergency Nurse’s End of Life care obstacle experiences:
stories from the last frontier. Journal Of Emergency Nursing. 1- 9
Braun, V & Clark, V. (2006). Using Thematic Analysis in Psychologi. Qualitative Research
in Psychology 3 (77-101).
Decker, K., Lee, S., & Morphet, J. (2015). The experiences of emergency nurses in providing
end-of-life care to patients in the emergency department.
Ebta Setiawan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. 2012-2016 versi 1.9: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa).
Enggune, M., Ibrahim, K., & Agustina, H. R. (2014). Persepsi Perawat Neurosurgical Critical
Care Unitterhadap Perawatan Pasien Menjelang Ajal.Jurnal Keperawatan Padjadjaran,
2(1).
Fridh, I., Forsberg, A., & Bergbom, I. (2009). Doing one’s utmost: Nurses' descriptions of
caring for dying patients in an intensive care environment. Intensive and Critical Care
Nursing, 25(5), 233–241.
Hudak, C., & Gallo, B. (2010). Keperawatan kritis pendekatan holistik (Edisi 6. Vol. 1).
Jakarta: Buku Kedokteran EGC. (Hockenberry &Wilson, 2005)
Wolf, L,. A., Altair M. D, et al. (2015). Exploring the management of death: Emergency
nurses’ perceptions of Challenges and facilitators in the Provision of end-of-life care in the
Emergency department. Journal Of Emergency Nursing. 41 (5) : e23-e33
Watson, J (2010). Caring science and the next decade of holistic healing:transforming self
and system from inside out.