Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

“ISSUE DAN ASPEK LEGAL ETIK KEPERAWATAN KRITIS”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

Ardelia Amanah (201440104)

Jeki Ahmad (201440120)

Jesica (201440121)

Nuryanti (201440124)

Regi Ardianti (201440128)

Resti Yuliana (201440129)

Silmi Mauliah Khasri (201440131)

Yulika Disti Hapsari (201440139)

DOSEN PENGAMPU :

Ns.Dudella Desnani Firman Yasin, S.Kep.,M,Kep

PRODI DIII KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES PANGKALPINANG

TAHUN AKADEMIK 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat segala rahmat dan karunia yang telah
diberikan sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah keperaatan kritis mengenai ”Issue
dan aspek legal etik keperawatan kritis”. Walaupun ada beberapa halaman yang mengganggu proses
pembuatan makalah ini, namun penyusun dapat mengatasinya dan tentunya atas campur tangan Tuhan
Yang Maha Esa.

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk menambah wawasan khususnya mengenai Issue dan aspek
legal etik keperawatan kritis untuk mahasiswa keperawatan. Metode yang kami ambil dalam penyusun
makalah ini adalah berdasarkan pengumpulan informasi dari beberapa sumber yang sesuai dengan tema
makalah ini, makalah ini khususnya untuk para mahasiswa Keperawatan yang mencari informasi
tentang Issue dan aspek legal etik keperawatan kritis.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini serta kepada semua pembaca yang bisa mengambil ilmu dari makalah ini. Makalah ini
tidak terlepas dari berbagi kelemahan dan kekurangan, baik dalam pemilihan kata maupun kekurangan
dalam hal informasi. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi menyempurnakan
makalah ini demi masa depan.

Pangkalpinang, 14 Juli 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .....................................................................................................

B. Rumusan Masalah ................................................................................................

C. Tujuan....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Issue Etik dan Legal Pada Keperawatan Kritis.....................................................

B. Pengertian Dasar pengambilan keputusan etik......................................................

C. Prinsip Etik Dalam Keperawatan Kritis................................................................

D. Isu Kontemporer Dalam Keperawatan Kritis........................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................................

B. Saran......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kemajuan pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan berdampak besar terhadap peningkatan mutu
pelayanan keperawatan. Pelayanan keperawatan yang dilaksanakan oleh tenaga profesional dalam
melaksanakan tugasnya dapat bekerja secara mandiri dan dapat pula bekerjasama dengan profesi lain.
Perawat dituntut untuk melaksanakan asuhan keperawatan untuk pasien atau klien baik secara individu
keluarga kelompok dan masyarakat dengan memandang manusia secara biopsikososial spiritual yang
komprehensif. Sebagai tenaga yang profesional, dalam melaksanakan tugasnya diperlukan suatu sikap
yang menjamin terlaksananya tugas tersebut dengan baik dan bertanggung jawab secara moral.

Masalah merupakan suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dari segala segi kehidupan. Tidak ada
satupun benda ataupun subjek hidup yang bersih tanpa masalah, namun ada yang tersembunyi namun
ada juga yang lebih dominan oleh masalahnya. Begitupun dalam keperawatan, terdapat beberapa isu
yang bisa terjadi merupakan masalah dalam praktik keperawatan kita. Baik merupakan perbuatan dari
pihak yang tidak bertanggungjawab, ataupun segala hal yang terjadi disebabkan oleh pertimbangan etis.
Keperawatan merupakan salah satu provinsi yang mempunyai bidang garapan pada kesejahteraan
manusia yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat maupun yang sakit untuk dapat
menjalankan fungsi hidup sehari-harinya. Salah satu yang mengatur hubungan antara perawat pasien
adalah etika. Istilah etika dan moral sering digunakan secara bergantian.

Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standar dan prinsip-prinsip yang menjadi
penuntun dalam berperilaku serta membuat keputusan untuk melindungi hak-hak manusia. Etika
diperlukan oleh semua profesi termasuk juga keperawatan yang mendasari prinsip-prinsip suatu profesi
dan tercermin dalam standar praktek profesional. (Doheny et all, 1982)

Profesi keperawatan mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat yang berarti masyarakat memberi
kepercayaan kepada profesi keperawatan untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Konsekuensi
dari hal tersebut tentunya setiap keputusan dan tindakan keperawatan harus mampu
dipertanggungjawabkan dan di bertanggung gugat kan dan setiap pengambilan keputusan tentunya
tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan ilmiah semata tetapi juga dengan mempertimbangkan
etika.

Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perilaku seseorang alat
yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu
kewajiban dan tanggung jawab moral. (Nila Usmani, 2001). Bioetik adalah studi tentang isu etika
dalam pelayanan kesehatan (Hudak & Galo, 1997). Dalam pelaksanaannya etika keperawatan mengacu
pada bioetik sebagaimanatercantum dalam sumpah janji profesi keperawatan dan kode etik profesi
keperawatan
B. RUMUSAN MASALAH

1. Issue terkait legal dan etik keperawatan kritis.


2. Pengertian dasar pengambilan keputusan etik (standar profesi, standar legal dan kebijakan
institusi).
3. Prinsip etik dalam keperaatan kritis.
4. Isu kontemporer dalam keperawatan kritis (inform consent, isu end of life, keputusan
resusitasi).

C. TUJUAN

1. Mengetahui issue terkait legal dan etik keperawatan kritis.


2. Mengetahui Pengertian dasar pengambilan keputusan etik (standar profesi, standar legal dan
kebijakan institusi).
3. Mengetahui Prinsip etik dalam keperaatan kritis.
4. Mengetahui Isu kontemporer dalam keperawatan kritis (inform consent, isu end of life,
keputusan resusitasi).
BAB II

PEMBAHASAN

A. ISU ETIK DAN LEGAL PADA KEPERAWATAN KRITIS

1. Konsep Etik
Merupakan salah satu spesialisasi di bidang keperawatan yang menangani respon manusia
terhadap masalah yang mengancam hidup. Perawat ruang intensif/kritis harus memberikan
pelayanan keperawatan yang mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal
keperawatan yang mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal kesehatan. Perawat
ruang kritis harus bekerja sesuai dengan aturan yang ada (standar rumah sakit/standar pelayanan
maupun asuhan keperawatan). Etik ditujukan untuk mengukur perilaku yang diharapkan dari
manusia sehingga jika manusia tersebut merupakan suatu kelompok tertentu atau profesi
tertentu seperti profesi keperawatan, maka aturannya merupakan suatu kesepakatan dari
kelompok tersebut yang disebut kode etik.
1) Maksud dan Tujuan Aspek Etik dalam keperawatan kritis
Secara umum, tujuan kode etik keperawatan adalah sebagai berikut (kozier, Erb. 1990):
a) Sebagai aturan dasar terhadap hubungan perawat dengan perawat, pasien, dan
anggota tenaga kesehatan lainnya.
b) Sebagai standar dasar untuk mengeluarkan perawat jika terdapat perawat yang
melakukan pelanggaran berkaitan kode etik dan untuk membantu perawat yang
tertuduh suatu permasalahan secara tidak adil.
c) Sebagai dasar pengembangan kurikulum pendidikan keperawatan dan untuk
mengorientasikan lulusan keperawatan dalam memasuki jajaran praktik
keperawatan profesional.
d) Membantu masyarakat dalam memahami perilaku keperawatan profesional
e) Status pekerjaan sebagai seorang perawat rumah sakit ataupun bagian dari staf
paramedik tidak membuat perawat bisa menghindari tanggung jawab dan
kewajiban mematuhi hukum dalam setiap tindakan/pelayanan keperawatan yang
dilakukan. Kumpulan hukum/peraturan keperawatan yang telah dikembangkan
dikenal sebagai standar pelayanan keperawatan.
2) Penerapan pengetahuan etik di area keperawatan kritis
Terdapat delapan asas etik dalam keperawatan yaitu:
a) Autonomi (otonomy) yaitu menghormati keputusan pasien untuk menentukan
nasibnya, dalam hal ini setiap keputusan medis ataupun keperawatan harus
memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat. Dengan mengikuti
prinsip autonomi berarti menghargai pasien untuk mengambil keputusan sendiri
berdasarkan keunikan individu secara holistic
b) Non maleficence (tidak merugikan) yaitu keharusan untuk menghindari berbuat
yang merugikan pasien, setiap tindakan medis dan keperawatan tidak boleh
memperburuk keadaan pasien. Berarti tindakan yang dilakukan tidak
menyebabkan bahaya bagi pasien, bahaya disini dapat berarti dengan sengaja
membahayakan, resiko membahayakan dan bahaya yang tidak disengaja.
c) Beneficence ( kemurahan hati) yaitu keharusan untuk berbuat baik kepada
pasien, setiap tindakan medis dan keperawatan harus ditujukan untuk kebaikan
pasien. Berarti melakukan yang baik yaitu mengimplementasikan tindakan yang
menguntungkan pasien dan keluarga.
d) Justice (perlakuan adil) yaitu sikap dan tindakan medis dan keperawatan harus
bersifat adil, dokter dan perawat harus menggunakan rasa keadilan apabila akan
melakukan tindakan kepada pasien.
e) Fidelity (setia, menepati janji ) berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung
jawab yang dimiliki oleh seseorang.Kesetiaan berkaitan dengan kewajiban untuk
selalu setia pada kesepakatan dan tanggung jawab yang telah dibuat. Setiap
tenaga keperawatan mempunyai tanggung jawab asuhan keperawatan kepada
individu, pemberi kerja, pemerintah dan masyarakat.
f) Veracity (kebenaran, kejujuran) prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat
untuk mengatakan suatu kebenaran, tidak berbohong atau menipu orang lain.
Kejujuran adalah landasan untuk “informed concent” yang baik. Perawat harus
dapat menyingkap semua informasi yang diperlukan oleh pasien maupun
keluarganya sebelum mereka membuat keputusan.
g) Confidenciality ( kerahasiahan ) prinsip ini berkaitan dengan penghargaan
perawat terhadap semua informasi tentang pasien/klien yang dirawatnya.
Pasien/klien harus dapat menerima bahwa informasi yang diberikan kepada
tenaga profesional kesehatan akan dihargai dan tidak disampaikan/ diberbagikan
kepada pihak lain secara tidak tepat.
h) Accountability ( akuntabilitas ) dalam menerapkan prinsip etik, apakah
keputusan ini mencegah konsekwensi bahaya, apakah tindakan ini bermanfaat,
apakah keputusan ini adil, karena dalam pelayanan kesehatan petugas dalamhal
ini dokter dan perawat tidak boleh membeda-bedakan.
2. Konsep legal
1. Pengertian Legal
Aspek aturan Keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup
wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk hak dan
kewajibannya yang diatur dalam undang-undang keperawatan.Keterkaitan dengan legal
formal dalam memberikan pelayanan keperawatan kritis. Keterkaitan dengan kebijakan
yang memberikan jaminan hukum terhadap pelayanan keperawatan kritis, seperti: UU Kes,
PERMENKES dan peraturan lainnya.
2. Maksud dan Tujuan
a) Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai
dengan hokum
b) Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lain
c) Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri
d) Membantu mempertahankan standard praktik keperawatan dengan meletakkan posisi
perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum.
e) Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang, perawat berwenang
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang ditujukan untuk
penyelamatan jiwa.
3. Penerapan legal dalam area keperawatan kritis
Aspek legal Keperawatan pada kewenangan formalnya adalah izin yang memberikan
kewenangan kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi perawat yaitu Surat
Tanda Registrasi (STR) bila bekerja di dalam suatu institusi.Kewenangan itu, hanya
diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan, namunmemiliki kemampuan tidak
berarti memiliki kewenangan. Seperti juga kemampuan yang didapat secara berjenjang,
kewenangan yang diberikan juga berjenjang.Kompetensi dalam keperawatan berarti
kemampuan khusus perawat dalam bidang tertentu yang memiliki tingkat minimal yang
harus dilampaui.Dalam profesi kesehatan hanya kewenangan yang bersifat umum saja yang
diatur oleh Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di bidang kesehatan
dan kedokteran. Sementara itu, kewenangan yang bersifat khusus dalam arti tindakan
kedokteran atau kesehatan tertentu diserahkan kepada profesi masing-masing.
4. Fungsi Hukum dalm Praktik Perawat
a) Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan sesuai dengan
hukum.
b) Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lainMembantu menentukan
batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri
c) Membantu mempertahankan standard praktik keperawatan dengan meletakkan posisi
perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum.
5. Kepmenkes 1239/2001 Tentang Praktik Keperawatan pasal 15 dan 16
a) Melakukan asuhan keperawatan meliputi Pengkajian, penetapan diagnose
keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan dan evaluasi.
b) Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan atas permintaan tertulis dokter
Dalam melaksanakan kewenangan perawat berkewajiban menghormati hak pasien,
merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, menyimpan rahasia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, memberikan informasi, meminta
persetujuan tindakan yang dilakukan, melakukan catatan perawatan dengan baik
c) Larangan perawat dilarang menjalankan praktik selain yang tercantum dalam izin
dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi. Sanksi: sesuai
dengan kebijakan pimpinan rumah sakit.
d) Hak dan Kewajiban Perawat
Aspek Legal Keperawatan juga meliputu Kewajiban dan hak Perawat : Kewajiban
setiap perawat wajib mempunyai Sertifikat kompetensi, Surat Tanda Registrasi,
Surat ijin Praktek (SIP), Memperbaharui sertifikat kompetensi. Menghormati hak
pasien dan merujuk kasus yang tidak dapat Ditangani Menyimpan rahasia pasien
sesuai dengan aturan undang-undang keperawatan. Wajib memberikan informasi
kepada pasien sesuai dengan kewenangan. Meminta persetujuan setiap tindakan yg
akan dilakukan perawat sesuai dgn kondisi pasien baik secara tertulis. Mencatat
semua tindakan keperawatan secara akurat sesuai peraturan dan SOP yang berlaku.
Memakai standar profesi dan kode etik perawat Indonesia dalam melaksanakan
praktik. Meningkatkan pengetahuan berdasarkan IPTEK. Melakukan pertolongan
darurat yang mengancam jiwa sesuai dengan kewenangan. Melaksanakan program
pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Mentaati semua
peraturan perundang-undangan. Menjaga hubungan kerja yang baik antara sesama
perawat maupun dengan anggota tim kesehatan lainnya. Hak-Hak Perawat hak
mengendalikan praktik keperawatan sesuai yang diatur oleh hukum. Hak mendapat
upah yang layak. Hak bekerja di lingkungan yang baik. Hak terhadap pengembangan
profesional. Hak menyusun standar praktik dan pendidikan keperawatan.
B. PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIK DALAM KEPERAWATAN KRITIS

Pengambilan keputusan merupakan suatu tindakan yang melibatkan berbagai komponen yang
harus dipertimbangkan secara matang oleh perawat, terutama yang terkait dengan permasalahan pada
tatanan klinik. Dalam Sumijatun (2009), dikatakan bahwa pembuatan keputusan selalu dihubungkan
dengan suatu masalah atau suatu kesulitan, dalam arti keputusan dan penerapannya diharapkan akan
menjawab persoalan atau menyelesaikan konflik. Keputusan etis dibuat berdasarkan kesepakatan antara
pasien dan perawat. Oleh karena itu seorang perawat harus mampu meyakinkan pasien bahwa
keputusan etis yang diambil adalah berdasarkan analisa dan pertimbangan yang matang.

Kesepakatan persetujuan antara pasien pasien dan perawat tentang keputusan tindakan tersebut
dapat berupa informed consent sehingga terdapat bukti yang kuat bahwa keputusan etik tersebut
diambil berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam setiap pengambilan keputusan etis peran perawat
adalah sebagai konselor dan advokat, artinya perawat harus memberikan informasi tentang kondisi dan
situasi yang terjadi, dan melibatkan pasien dan keluarga dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai
advokat, berarti perawat melindungi hak pasien untuk mendapatkan perawatan yang menguntungkan
dan tidak merugikan.

C. PRINSIP ETIK DALAM KEPERAWATAN KRITIS

Terdapat delapan asas etik dalam keperawatan yaitu:

a. Autonomi (otonomy)
Yaitu menghormati keputusan pasien untuk menentukan nasibnya, dalam hal ini setiap
keputusan medis ataupun perawat harus memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga
terdekat. Dengan mengikuti prinsip autonomi berarti menghargai pasien untuk mengambil
keputusan sendiri berdasarkan keunikan individu secara holistik.
b. Non malefience (tidak merugikan )
Yaitu keharusan untuk menghindari berbuat yang merugikan pasien, setiap tindaka
medis dan keperawatan tidak boleh memperburuk keadaan pasien. Berarti tindakan
yang dilakukan tindak menyebabkan bahaya bagi pasien, bahaya disini dapat berarti dengan
segaja membahayakan, resiko membahayakan dan bahaya yang tidak di sengaja.
c. Beneficence (kemurahan hati)
Yaitu keharusan untuk berbuat baik kepada pasien, setiap tindakan medis dan keperawatan
harus ditujukan untuk kebaikan pasien. Berarti melakukan yang baik yaitu
mengimplementasikan tindakan yang menguntungkan pasien dan keluarga.
d. Justice (perlakuan adil)
Yaitu sikap dan tindakan medis dan keperawatan harus bersifat adil, dokter dan perawat harus
menggunakan rasa keadilan apabila akan melakukan tindakan kepada pasien.
e. Fidelity (setia, menepati janji)
Berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimiliki oleh seseorang. Kesetiaan
berkaitan dengan kewajiban untuk selalu setia pada kesepakatan dan tanggung jawab yang telah
di buat. Setiap tenaga keperawatan mempunyai tanggung jawab asuhan keperawatan kepada
individu, pemberi kerja, pemerintah dan masyarakat. Apabila terdapat konflik diantara berbagai
tanggung jawab, maka diperlukan penentuan situasi dan kondisi yang ada.
f. Veracity (kebenaran, kejujuran)
Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk mengatakan suatu kebenaran, tidak
bohong atau menipu orang lain. Kejujuran adalah landasan untuk “ informed informed concent”
yang baik. Perawat harus dapat menyingkap semua informasi yang diperlukan oleh pasien
maupun keluarganya sebelum mereka membuat keputusan.
g. Confidenciality (kerahasiahan)
Prinsip ini berkaitan dengan penghargaan perawat terhadap semua informasi tentang
pasien/klien yang dirawatnya. Pasien/klien harus dapat menerima bahwa informasi yang
diberikan kepada tenaga profesional kesehatan akan di hargai dan tidak disampaikan/
diberbagikan kepada pihak lain secara tidak tepat. Perlu dipahami bahwa berbagai informasi
tentang pasien dengan anggota kesehatan lain yang ikut merawat pasien tersebut bukan
merupakan pembeberan rahasia selama informasi tersebut relevan dengan kasus yang ditangani.
h. Accountability (akuntabilitas)
Dalam menerapkan prinsip etik, apakah keputusan ini mencegah konsekuensi bahaya, apakah
tindakan ini bermanfaat, apakah keputusan ini adil, karena dalam pelayanan kesehatan petugas
dalam hal ini dokter dan perawat tidak boleh membeda-bedakan pasien dari status sosialnya,
tetapi melihat dari penting atau tidaknya pemberian tindakan tersebut pada pasien.

Hak-hak pasien haruslah dihargai dan dilindungi, hak-hak tersebut menyangkut kehidupan,
kebahagiaan, kebebasan, privasi, self determination, perlakuan adil dan integritas diri. Dilema moral
masih mungkin terjadi apabila prinsip moral otonomi dihadapkan dengan prinsip moral lainnya, atau
apabila prinsip beneficence dihadapkan dengan non maleficence, minsalnya apabila keinginan pasien
ternyata bertentangan dengan beneficence atau non maleficence, atau bisa saja apabila suatu tindakan
mengandung beneficence dan non maleficence terjadi secara bersamaan seperti “Rule of Double Effect
(RDE)” yaitu apabila suatu tindakan untuk memberikan kenyamanan berdasarkan prinsip beneficence
tetapi sekaligus memiliki yaitu apabila suatu tindakan untuk memberikan kenyamanan berdasarkan
prinsip beneficence tetapi sekaligus memiliki resiko terjadinya perburukanresiko terjadinya perburukan
sehingga berlawan dengan prinsip non mal sehingga berlawan dengan prinsip non
maleficence.eficence.

D. ISU KONTEMPORER DALAM KEPERAWATAN KRITIS

Ada beberapa isu yang sering terjadi mengenai keperawatan kritis yang akan dibahas dibawah ini:

1. Inform Consent
Informed consent adalah suatu persetujuan tindakan medis terhadap suatu hal yang dapat
dilakukan pada klien. Dimana informed consent dinyatakan valid/sah jika sudah memenuhi 3
elemen tertentu, yaitu : pasien harus kompeten atau dalam keadaan sadar untuk menyetujui,
pasien harus diberikan informasi yang adekuat sehingga dapat mengambil keputusan, dan saat
pengambilan keputusan pasien bebas dari ancaman atau paksaan (Khan, Haneef, 2010).
Informed consent diperoleh dari pasien sendiri, tetapi bila pasien tidak kompeten memberi
keputusan, maka dapat diperoleh dari keluarga atau wali sah yang mampu memberikan
persetujuan rasional. Jika keluarga atau wali hadir namun tidak kompeten juga, maka tenaga
medis dapat memutuskan sendiri untuk bertindak sesuai kondisi pasien demi kepentingan
terbaik pasien (prinsip beneficentia). Informed consent ini perlu diberikan karena tidak semua
kejadian dalam pengobatan dapat berlangsung seperti yang diharapkan, tidak adanya kepastian
dan jaminan yang pasti dalam dunia kesehatan karena setiap kasus bagaikan teori permutasi
kombinasi, latar belakang setiap orang berbeda, riwayat kesehatan berbeda, dan reaksi tubuh
terhadap respon pengobatan juga berbeda. Fungsi-fungsi dari informed consent adalah untuk
melindungi dan meningkatkan otonomi pasien, melindungi pasien, mencegah tindakan
manipulative dan pemaksaan, meningkatkan sifat mawas diri dari tim medis, dan meningkatkan
pengambilan keputusan rasional. Informed consent juga tidak dibutuhkan pada keadaan pasien
kritis atau darurat yang membutuhkan tindakan medis secara cepat dan tepat sesuai kemampuan
tenaga medis dan peralatan medis yang tersedia. Dalam situasi seperti ini dokter memutuskan
sendiri untuk melakukan yang terbaik demi kepentingan terbaik pasien, dan hal ini dilakukan
atas dasar prinsip beneficentia (Griese Orville N, 1987).
2. Isu End of Life
Perawatan menjelang ajal atau end of life sebagai suatu istilah yang digunakan dalam
penyebutan perawatan pasien dan keluarga dari aspek klinis sampai system dukungan ketika
mendekati ajal (Muhamad, 2016). Perawat diharuskan memiliki kompetensi di bidang ini
karena fokus perawatan end of life memungkinkan pasien untuk mengatasi beban nyeri dan
gejala tidak nyaman dan memberi mereka kapasitas untuk mengalami spiritualitas mereka
sepenuhnya (DʼAntonio 2017). Kondisi sekarat yang dialami pasien yaitu beberapa pasien
merasakan kesusahan rohani, sehingga mencoba selesaikan masalah spiritual dan berdamai
dengan kenyataan. Pada kondisi ini akan terjadi penurunan fungsi sistem tubuh, sebagian pasien
mudah gelisah, biasanya mengalami rasa mengantuk yang semakin bertambah, kemampuan
komunikasi yang menurun, koma dan akhirnya meninggal dengan tenang (Curtis et al 2016).
End of Life merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang ditujukan pada pasien
yang mendekati akhir kehidupan, dimana perawatan end oflife bertujuan untuk membantu orang
hidup sebaik-baiknya dan meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). Menurut Putranto
(2015), perawatan end of life adalah salah satu kegiatan membantu memberikan dukungan
psikososial dan spiritual.

Menurut NSW Health (2005), ada beberapa prinsip-prinsip end of life yang perlu diketahui, yaitu:

a) Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian.


Tujuan utamanya adalah mempertahankan kehidupan, namun ketika hidup tidak dapat
dipertahankan, tugas perawatan adalah untuk memberikan kenyamanan dan martabat kepada
pasien yang sekarat, dan untuk mendukung orang lain dalam melakukannya.
b) Hak untuk mengetahui dan memilih.
Semua orang yang menerima perawatan kesehatan berhak untuk diberitahu tentang kondisi
mereka dan pilihan pengobatan mereka. Mereka memiliki hak untuk menerima atau menolak
pengobatan dalam memperpanjang hidup. Pemberi perawatan memiliki kewajiban etika dan
hukum untuk mengakui dan menghormati pilihan- pilihan sesuai dengan pedoman.
c) Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup.
Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk memberikan pengobatan yang terbaik
untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan utama perawatan untuk mengakomodasi kenyamanan
dan martabat, maka menahan atau menarik intervensi untuk mempertahankan hidup mungkin
diperbolehkan dalam kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat.
d) Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan.
Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerja sama untuk membuat
keputusan bagi pasien yang kurang bisa dalam pengambilan keputusan, dengan
mempertimbangkan keinginan pasien.
e) Transparansi dan akuntabilitas.
Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan, dan untuk memastikan bahwa
keputusan yang tepat dibuat, maka proses pengambilan keputusan dan hasilnya harus dijelaskan
kepada para pasien dan akurat didokumentasikan.
f) Perawatan non diskriminatif.
Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif dan harus bergantung hanya
pada faktor-faktor yang relevan dengan kondisi medis, nilainilai dan keinginan pasien.
g) Hak dan kewajiban tenaga kesehatan.
Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan yang tidak rasional,
khususnya pengobatan yang tidak bermanfaat bagi pasien. Pasien memiliki hak untuk menerima
perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab untuk memberikan
pengobatan yang sesuai dengan norma-norma profesional dan standar hukum.
h) Perbaikan terus-menerus.
Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam memperbaiki intervensi yang
diberikan pada standar perawatan end of life baik kepada pasien maupun kepada keluarga.

3. Keputusan Resusitasi
Keputusan tentang Resusitasi Jantung Paru (RJP) sangat rumit dan sering dibuat dalam hitungan
detik oleh tenaga medis tanpa mengetahui apakah pasien memiliki advanced directives atau
tidak. Advance directives adalah dokumen yang sah secara hukum, yang ditulis sebelum pasien
menderita penyakit yang bersifat incapacitating. Petunjuk yang ada di advanced directives dapat
membebastugaskan tenaga medis dalam hal mengambil keputusan, atau dengan kata lain
merupakan pernyataan tentang keinginan pasien mengenai tindakan medis apa yang sebaiknya
dilakukan atau tidak dilakukan pada keadaan incompeciency.
Beberapa penelitian menunjukan pemberian RJP sering bertentangan dengan keinginan pasien,
padahal setiap keputusan harus dibuat dengan prinsip-prinsip etik dan referensi ilmiah yang ada
(AHA, 2000). Pedoman yang ada saat ini mengindikasikan agar tindakan RJP dapat
mengembalikan kehidupan ketika henti jantung terjadi karena berbagai sebab kelainan jantung
yang ada. Undang-undangng secara tidak langsung menyatakan persetujuan dilakukannya
tindakan RJP sebagai penanganan kegawatdaruratan serta respon standar terhadap henti jantung.
Padahal RJP bukan tindakan tepat terhadap kematian yang terjadi akibat usia lanjut, penderita
dimensia berat, dan mungkin sedang mengalami kemunduran fisik sebelum henti jantung,
penderita dengan kanker, HIV/AIDS.
Menurut prinsip etik. Perbedaan etik dan norma budaya harus dipertimbangkan. Meskipun
prinsip-prinsip etik tentang beneficence, nonmalficence, autonomy, dan justice dapat diterima di
seluruh budaya, namun prioritas prinsip-prinsip tersebut bervariasi antara kebudayaan yang
berbeda. Di asia, keputusan kelompok yang mendominasi yang diambil. Maka resusitasi adalah
paduan usaha antara data ilmiah dan nilai-nilai sosial, sedangkan pada saat yang sama juga
terdapat upaya mempertahankan otonomi budaya, sehingga dokter harus memainkan peranan
penting dalam mengambil keputusan berdasarkan data ilmiah dan keinginan pasien.
Menurut prinsip beneficence. RJP adalah pemulihan kesehatan dan fungsifungsinya serta
meringankan rasa sakit dan penderitaan. Jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan
RJP ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi
organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan RJP sangat buruk bila henti jantung terjadi
karena gagal ginjal, kanker, atau AIDS. Dibatasinya tindakan RJP telah meningkatkan derajat
harapan hidup pasien sebesar 10,5% setelah tindakan RJP, meskipun 7-10% lainnya ditunda
untuk dilakukan RJP. Usia bukan kontraindikasi tindakan RJP, walaupun dikatakan proses
penuaan berkaitan dengan akumulasi berbagai kelemahan dan penyakit, dengan terdapatnya
perawatan jangka panjang dan penurunan fungsi tubuh, masih menjadi salah satu perkiraan hasil
RJP yang buruk (Hilberman, 1997).
Menurut prinsip non-maleficence. Tingkat kerusakan otak berkaitan dengan tindakan RJP
bervariasi antara 10-83%. Banyak pasien dengan disabilitas berat yang diikuti dengan kerusakan
otak berada dalam kondisi yang sama dengan kematian. RJP menjadi berbahaya dan bersifat
merusak ketika risiko kerusakan otak relative tinggi. Oleh karena gangguan aliran darah ke otak
atau ke jantung dapat menyebabkan kerusakan berat, RJP dapat dikatakan hanya berhasil jika
dilakukan tepat waktu.
Menurut prinsip otonomi. Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan disebagian besar
negara dihormati secara legal, namun hal itu membutuhkan kemampuan komunikasi seorang
pasien untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis termasuk RJP. Informed consent
mensyaratkan bahwa pasien dapat menerima dan memahami informasi yang akurat tentang
kondisi mereka dan prognosis, jenis tindakan medis yang diusulkan, tindakan alternatif lainnya,
risiko dan manfaat dari tindakan medis tersebut. Jika dalam keadaan darurat, dengan waktu
terbatas, keputusan yang terbaik adalah memberikan perawatan medis yang standar.
Pasien biasanya tidak memiliki rencana tentang apa yang terjadi pada akhir kehidupannya,
banyak yang tidak ingin menyiapkan advanced directives, surat wasiat, atau mendiskusikan
RJP. Sehingga pemahaman tentang RJP samar-samar, dan masyarakat umumnya berharap
banyak tentang kemungkinan bertahan hidup. Beberapa pasien mungkin akan menolak
dilakukan RJP karena mengetahui adanya defisit sensorik berat yang timbul setelah serangan
jantung.

Menurut prinsip kesia-siaan (principle of futility). Jika pada keadaan tertentu keuntungan yang didapat
dari RJP ternyata tidak adekuat atau tidak sesuai harapan. Jika resusitasi adalah sia-sia maka setiap
kerugian yang terjadi akan membawa sesuatu yang tidak menguntungkan, sehingga melakukan
tindakan tanpa tujuan berguna tidaklah efektif. American Heart Association (AHA) mengatakan bahwa
RJP adalah sia-sia jika tidak ada yang selamat seperti yang dilaporkan pada sebuah penelitian yang
didesain dengan baik, dan dibuat untuk mempertimbangkan bahwa tindakan RJP tidak sia-sia. Ini
mendukung tidak dilakukannya RJP pada situasisituasi yang akan membawa lebih banyak kerugian
daripada keuntungan. Isu Do Not Resuscitation (DNR). DNR secara umum berarti bahwa pasien tidak
akan menerima tindakan RJP pada saat terjadi cardiac arrest. DNR merupakan salah satu keputusan
yang paling sulit yang menimbulkan dilema etik yang menyangkut perawat, dokter, dan tenaga
kesehatan lain yang terlibat. Perintah inidibuat dalam keadaan sebelum sakit atau sadar penuh. Terdapat
pro-kontra perihal DNR, dimana bebrapa pertimbangan yang digunakan kelompok pro terhadap DNR
adalah pertimbangan legal dan etis. Pertimbangan legal, misalnya rekomendasi American Heart
Association (AHA), menyatakan bahwa RJP tidak diindikasikan kepada semua pasien. Pasien dengan
kondisi terminal, penyakit yang tidak reversible, dan penyakit dengan prognosis kematian hamper dapat
dipastikan, tidak perlu dilakukan RJP (Sa’id & Maryam, 2015).

Pelaksanaan DNR kerapkali terjadi pada pasien yang ditempatkan di ICU. Pasien-pasien dengan fungsi
otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak yang mengalami kegagalan jantung paru atau
organ multiple lain atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dimasukan dalam
kriteria yang tidak perlu mendapat resusitasi (DNR). Hal ini dilakukan dengan alas an kenyamanan
pasien (patient first).
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu perawatan yang menghadapi secara rinci
dengan manusia yang bertanggung jawab atas masalah yang mengancam jiwa.Perawat kritis adalah
perawat profesional yang resmi yang bertanggung jawab untuk memastikan pasien dengan sakit kritis
dan keluargakeluarga mereka menerima kepedulian optimal (American Association of CriticalCare
Nurses). Banyak sekali isu-isu yang terkait dengan aspek legal khususnya dalam keperawatan kritis dan
gawat darurat. Isu-isu tersebut terdiri dari isu yang berkaitan dengan kelalaian perawat maupun isu
yang terkait bantuan hidup pada pasien.

Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang perawat kritis untuk selalu menjalankan peran serta
fungsinya dan melakukan tindakan sesuai dengan standar keperawatan dan lebih memahami ataupun
meningkatkan pengetahuannya terkait isu yang berkaitan dengan aspek legal khususnya pada ranah
keperawatan kritis maupun keperawatan gawat darurat sehingga perawat kritis dapat menghindari
timbulnya permasalahan hukum yang rentan sekali terjadi di dunia kesehatan ini.

B. Saran

Diharapkan kepada mahasiswa Keperawatan yang nantinya sebagai tenaga kesehatan di masyarakat
dapat mengetahui Trend dan Isu Keperawatan dan dapat memberikan pengetahuan tersebut kepada
masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (AHA). 2000. Part 2: Ethical Aspects of CPR and ECC. Journal of
American Heart Association Circulation.

Amir amri. 1997. Hukum Kesehatan. Jakarta: Bunga Rampai

Basbeth, Ferral. 2009. Analisis Etik Terkait Resusitasi Jantung Paru. Jurnal Majelis Kedokteran
Indonesia Volume 59.

Dionisius. 2009. Penegakan Otonomi Pasien Melalui Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent).
Jurnal Biomedik Volume 1 Nomor 1. Hal 29-40.

Griese Orville N. 1987. Catholic Identity in Health Care : Principles and Practice, Massachusetts.
USA.

Hegner, Barbara R.2003. Nursing Assistant: a Nursing Proses Approach. Jakarta: EGC

Hilberman M, Kutner J, Parsons D, Murphy DJ. 1997. Marginally effective medical care : ethical
analysis of issues in cardiopulmonary resuscitation. Journal of Medical Ethic.

Ismani Nila. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta: Widya Medika

Suhaeni, Mimin Emi. Etika Keperawatan Aplikasi Pada Praktik. Jakarta: EGC
STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN PERAWAT INSTALASI GAWAT DARURAT
(IGD) DALAM MERAWAT PASIEN TERLANTAR PADA FASE END OF LIFE

DI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Maria Imaculata Ose1, Retty Ratnawati2, Retno Lestari3


1
Universitas Borneo Tarakan
2,3
Staf Pengajar Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

ABSTRAK

Pasien terlantar dalam keadaan kritis yang memasuki fase End of Life sering dirawat di IGD. Kondisi
tanpa ada keluarga yang mendampingi dan lingkungan IGD yang sibuk dan bising menjadi hambatan
juga tantangan dalam perawatan End of Life. Perawatan pasien terlantar dalam tahap End of Life
membutuhkan penanganan yang bertujuan memberikan rasa nyaman, ketenangan, kedekatan dukungan
social. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman perawat dalam merawat pasien
terlantar dalam fase End of Life di ruang IGD RSUD dr. Saiful Anwar Malang. Desain penelitian
dengan metode kualitatif dengan pendekatan Fenomenologi interpretif, yang melibatkan 7 perawat
IGD. Data dikumpulkan melalui Indepth interview dan dianalisis dengan menggunakan analisa tematik
Braun & Clark. Hasil penelitian menghasilkan 7 tema yaitu 1. merasakan hati tersentuh pada pasien
terlantar menjelang ajal 2. Tidak membedakan perlakuan pada pasien terlantar dengan pasien lain yang
menjelang ajal 3. Menghargai harkat dan martabat pasien 4. Memilih perawatan suportif sebagai
tindakan terbaik 5. Terpaksa meninggalkan pasien tanpa pendampingan spritual 6. Mengalami konflik
dalam menempatkan pasien terlantar yang menjelang ajal 7. Mengharapkan situasi lingkungan kerja
yang mendukung. Kesimpulan adalah perawat bersikap profesional, menghormati harkat dan martabat
dalam memberikan perawatan tanpa membedakan perlakuan dengan pasien lain yang menjelang ajal.
Perasaan hati yang tersentuh muncul saat merawat pasien terlantar yang menjelang ajal tanpa
didampingi keluarga. Perawatan End of Life lebih berfokus pada perawatan suportif, sedangkan
dukungan spiritual tidak dapat diberikan di IGD karena karakteristik lingkungan yang sibuk dan lebih
memprioritaskan pasien kritis. Hal ini menimbulkan konflik dan dilema bagi perawat sehingga
diperlukan adanya ruangan khusus dan tim kerohanian untuk menyiapkan kematian yang damai dan
bermartabat.

Kata Kunci: Pasien terlantar, End of Life, Perawatan Gawat Darurat.

Abstract

Homeless patients who are encountering the End of Life phase are regularly admitted to the emergency
department. Barriers to treating these patients arise due to no family assistance and unconducive
environment. Treatments given to the patients who are facing the End of Lifephase should be able to
make the patients feel comfortable, calm, and socially supported. This research aimed to explore the
experiences of the nurses who care for the homeless patients in the emergency department of RSUD dr.
Saiful Anwar Malang. This research was designed qualitatively employing the interpretive
phenomenological approach. There were seven nurses participating in this study. Data was obtained
through an in-depthinterview and analyzed by the Braun & Clark’s thematic analysis. The results have
successfully found seven themes: 1. Nurses feel touched at the moment the patients are facing the dead
2. Nurses give mutual treatments to all patients, including the homeless 3. Nurses respect the homeless
4. Nurses prefer supportive treatments as the best intervention 5. Nurses have to leave the homeless
without any spiritual assistance 6. Nurses face conflicts where to place the homeless 7. Nurses expect a
conducive working environment. In conclusion the nurses maintained their professionalism, respected
the homeless patients, gave mutual treatments to the patients. They felt touched because there was no
family assisted the patients when they were struggling at the edge of their life. Treatments given to the
patients at the End of Life phase were focused more on supportive treatments. No spiritual assistance
could be provided by the emergency department due to busy environment and priority given to other
dying patients. These have become problematic for the nurses. So, the availability of rooms for the
homeless and spiritual teams can be helpful to prepare the patients die in peace and dignity.

Keywords: Homeless Patients, End of Life, Emergency of Nursing.


Jurnal Ilmu Keperawatan, Vol:4, No.2; Korespondensi : Maria Imaculata Ose. Universitas Borneo Tarakan.
Alamat: Jl. S. Mahakam Asmil Kompi C 613 Kampung 4 Tarakan.Email. onijuntak@gmail.com. No. Hp
085652149185

www.jik.ub.ac.id
PENDAHULUAN perawat, terutama jika tidak ada yang
mendampingi. IGD RSUD dr. Saiful Anwar cukup
banyak pasien terlantar. Berdasarkan Laporan
Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan unit Tahunan RSUD dr. Saiful Anwar (2014) di IGD
pertama dalam pelayanan kesehatan di Rumah menerima pasien terlantar pada tahun 2012
Sakit yang memprioritaskan pasien sesuai sebanyak 69 orang, pada tahun 2013 sebanyak 55
dengan tingkat keadaan gawat darurat. Dalam orang pasien terlantar, dan tahun 2014 mengalami
hal ini perawat dituntut untuk mampu dalam peningkatan 75 orang pasien yang terlantar.
berkomunikasi dan memberikan pelayanan Berdasarkan pengamatan peneliti pada bulan
secara profesional. Kondisi pasien yang datang desember 2015 di IGD RSUD dr.Saiful Anwar,
ke IGD bervariasi, baik yang mengancam jiwa perawat tidak dapat maksimal menemani dan
maupun yang menjelang ajal. Pasien dengan selalu berada mendampingi disisi pasien terlantar
kondisi mengancam nyawa berfokus pada ini. Persepsi perawat pada pasien terlantar dengan
tindakan resusitasi, sedangkan pada pasien yang End of Life bukanlah pasien yang prioritas lagi.
menjelang ajal lebih berfokus pada perawatan Banyak pasien lain dalam kondisi emergency yang
End of Life. membutuhkan penanganan sehingga perawat tidak
End of Life Care diberikan pada pasien yang memiliki banyak waktu untuk fokus membantu
menjelang meninggal atau fase kritis dengan pasien terlantar melewati fase End of Life.
menerapkan Teori Peaceful End of Life. (Ruland
& Moore, 1998 dalam Aligood & Tomey, 2014).
Teori iniyang mencakup konsep persiapan yang Wolf, (2015) menyebutkan bahwa perawat di IGD
baik dalam menghadapi kematian. Intervensi sudah menyediakan End of Life Care, dan perawat
dalam konsep teori ini dilakukan yang bertujuan mengakui sudah menerapkan End of Life Care
pasien merasa bebas dari rasa nyeri, merasa namun terdapat keterbatasan dalam pelaksanaan
kenyamanan, merasa dihargai, dihormati dan fase End of Life meliputi beberapa hal yaitu
berada dalam kedamaian dan ketenangan juga pengalaman perawat, dan pengetahuan perawat,
merasa dekat dengan orang dirawatnya. persepsi perawat, jumlah perawat saat menghadapi
pasien dengan kondisi yang kritis. IGD merupakan
Beckstrand et al (2015) menyebutkan perawat lingkungan yang sibuk, bising dan memiliki
mengalami hambatan dalam memberikan privasi yang sangat rendah. Kondisi ini
pelayanan End of Lifeyang baik pada pasien menyebabkan pasien terlantar tidak
yang tidak memiliki identitas. Selain itu
perawatan End of Life menjadi sulit dilakukan
dan menimbulkan permasalahan bagi

Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016


mendapatkan perawatan End of Life. Hal ini yang berkerja di IGD dalam rawat pasien terlantar
sangat bertolak belakang dengan yang dengan fase End of Life belum banyak diuraikan
dibutuhkan untuk perawatan pasien terlantar secara komprehensif dan mendalam, sehingga
dalam tahap End of Life, yang membutuhkan eksplorasi dalam terhadap pengalaman dan makna
penanganan yang bertujuan untuk memberikan pengalaman IGD dalam merawat pasien terlantar
rasa nyaman, ketenangan, kedekatan dukungan dengan fase End of Life penting di lakukan.
sosial. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Beckstand et al (2015) yang
menyebutkan IGD merupakan bukan tempat METODE
yang ideal saat menghadapi kematian.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi iinterpretif.
Hasil wawancara pada beberapa perawat IGD Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat
RSUD dr.Saiful Anwar menyatakan bahwa yang berkerja di ruang IGD RSUD dr. Saiful
pasien terlantar yang menjelang ajal biasanya Anwar. Tahap pemilihan partisipan dengan teknik
sendiri tanpa ada yang mendampingi purposive sampling berdasarkan kriteria inkulsi
menimbulkan rasa keprihatinan oleh perawat. dan memilih partisipan yang sudah dikenal oleh
Tantangan lain dalam pelaksanaan End of Life peneliti, dengan pertimbangan agar dalam
yaitu kurangnya staf, kurangnya dukungan sosial pengambilan data dan Indepth interview partisipan
(penyediaan tokoh agama, dukungan keluarga), tidak merasa canggung, dan kaku serta
waktu, dan tidak ada area khusus untuk pasien mendapatkan informasi yang lebih mendalam.
terlantar yang menjelang ajal. Adapun kriteria partisipan adalah: (1) Perawat
yang memiliki pengalaman kerja 8-19 tahun di
Penelitian ini bertujuan melihat pengalaman ruang Critical Care IGD RSUD dr.Saiful Anwar,
perawat IGD merawat pasien terlantar dalam
fase End of Life. Adanya kunjungan pasien (2) Perawat yang memiliki pengalaman
terlantar dalam fase End of Life yang tidak pengalaman merawat pasien terlantar pada fase
memiliki keluarga sehingga perawat memiliki End of Life (3) Pendidikan partisipan D3
tanggung jawab dalam mendampingi pasien keperawatan-S1 Keperawatan (4) Dalam keadaan
terlantar di IGD. Kondisi IGD yang sehat secara fisik, (5) Bersedia sebagai partisipan
mengambarkan lingkungan perawatan yang dengan menandatangani surat kesediaan menjadi
sibuk dan intensitas kerja yang cepat. Penelitian partisipan. Proses seleksi terhadap partisipan
dan literatur terkait dengan pembahasan diawali dengan
mengenai pengalaman perawat
peneliti bertemu Kepala Perawatan ruang menempatkan pasien terlantar yang menjelang
Critical Care kemudian menjelaskan tujuan dari ajal 8. Mengharapkan situasi lingkungan kerja
penelitian. Pengambilan data dimulai dari kepala yang mendukung.
ruangan sebagai partisipan kunci, selanjutnya
dikembangkan ke partisipan lainnya. Pada
penelitian ini, saturasi data dicapai pada Tema Merasa hati tersentuh pada pasien
wawancara partisipan ke tujuh. Data terlantar menjelang ajal
dikumpulkan melalui wawancara
mendalam(Indepth interview)dengan Merasa kasihan mengandung makna rasa iba hati
pertanyaan terbuka dan dikembangkan oleh dan menyatakan rasa belas kasih. Merasa kasihan
peneliti.Analisis data dilakukan dengan terbangun dari perasaan kasihan, empati, iba dan
menggunakan Analisa tematik Braun & Clark rasa penyesalan. Ungkapan perasaan kasihan
yang terdiri dari 6 tahapan.Penelitian ini telah partisipan sebagai berikut:
mendapatkan laik etik di RSUD dr. Saiful Anwar
“…..yah aslinya dilema di sini memandang gak
keluarganya itukan kasihan sebenarnya…” (P3)

HASIL “….kalau perasaan kasihan pasti ada .. yah


terbentur juga .. (P4)
Hasil penelitian ini menemukan ada 8 tema
berdasarkan analisis tematik Braun &Clack “ ....yang terlintas pasti empati itu yah ada ..
(2006) yang dilakukan. Delapan tema yang (P4))
dihasilkan dalam penelitian ini
“ …ehm.... kasihan yah... apalagi yang tidak ada
mengambarkan pengalaman perawat IGD
keluarganya…”(P7)
merawat pasien terlantar dalam fase End of Life
yaitu1. Merasakan hati tersentuh pada pasien Ungkapan partisipan diatas dapat disimpulkan
terlantar menjelang ajal 2. Tidak membedakan bahwa partisipan tersebut merasakan tersentuh,
perlakuan pada pasien terlantar dengan pasien iba, rasa belas kasih ketika melihat dan merawat
lain yang menjelang ajal 3. Menghargai harkat pasien-pasien terlantar yang tidak ada keluarganya
dan martabat pasien 4. Memastikan tidak ada dengan kondisi yang menjelang ajal.
kecurangan pemberian nota dinas 5. Memilih
perawatan suportif sebagai tindakan terbaik 6. Tema Tidak membedakan perlakuan pada
Terpaksa meninggalkan pasien tanpa pasien terlantar dengan pasien lain yang
pendampingan spritual 7. Mengalami konflik menjelang ajal.
dalam
Perlakuan menjadi perbuatan yang dikenakan
terhadap sesuatu atau orang lain. Tidak
membedakan perlakuan pada pasien terlantar

Jurnal Ilmu Keperawatan – Volume 4, No. 2 November 2016


dengan pasien lain yang menjelang ajal terlantar tetaplah seorang manusia seutuhnya yang
mengandung makna kontekstual perawat mana tetap wajib mendapatkan perlakuan yang
memberikan hak dan perlakuan yang sama bagi layak. Hal ini diungkapkan oleh partisipan :
setiap pasien yang datang ke IGD walaupun
pasien tersebut tidak memiliki keluarga. “..yah aslinya dilema di sini memandang itukan
Walaupun pasien terlantar tidak memiliki kasihan sebenarnya cuman mr.x ..mr.x jugakan
keluarga dan kondisi yang sangat memprihatikan manusia
dari segi hygiene namun secara psikologis ..”(P1)
perawat tidak membedakan- bedakan pasien dari
sisi terlantar maupun tidak terlantar. “…Mr x dipandang sebagai manusia
mr.x kan manusia ..” (P3)
“..Sama….. gak ada bedanya antara telantar
dan tidak terlantar….”(P1) “..sama-sama manusia .. terlantar atau tidak
terlantar sama saja ..”(P5)
“…jadi kalau saya pribadi tidak ada perbedaan
pada pasien terlantar yang kritis ..“(P7) Selain memandang pasien terlantar sebagai
seorang manusia seutuhnya, sikap berusaha
“…gak memperlakukan lebih.. menurut saya memberikan pelayanan secara manusiawi pada
sesuai dengan kebutuhnya…saya kira gak ada pasien terlantar, perawat memposisikan
sih bedanya perlakuan seandainya pasien sebagai keluarganya. Hal ini
..”(P5) menjadi suatu alasan kuat untuk berusaha
memberikan pelayanan yang layak, dalam fase
menjelang ajal.

Tema Menghargai Harkat dan Martabat “…....andaikan itu keluarga saya yang diposisi itu
pasien terlantar .. saya tidak bisa melakukan tindakan apa-
apa ..makanya saya tetap melakukan yang terbaik
Dari tema ini dibangun dari subtema ….”(P4)
mengupayakan memberikan perawatan
menjelang ajal yang baik dan bermartabat.
Mengupayakan memberikan perawatan
menjelang ajal yang baik dan bermartabat Tema memilih perawatan suportif sebagai
mengandung arti melakukan usaha perawatan tindakan terbaik
menjelang ajal yang baik dengan Perawatan suportif menjadi tindakan yang terbaik
memperlakukan pasien terlantar sebagai bagi pasien-pasien yang menjelang ajal.
seseorang dengan manusiawi. Pasien Perawatan suportif mengandung makna perawatan
yang diberikan setelah tindakan resusitasi dan
usaha komprehensif dinyatakan
dan ditentukan tidak berhasil. Usaha suportif lebih tinggi.Tema terpaksa meninggalkan pasien
adalah perawatan lanjutan pada pasien tanpa tanpa pendampingan spiritual dibangun dari
melakukan intubasi dan pembukaan jalan nafas subtema lebih memprioritas pasien yang harapan
secara non-invasif. Pasien yang menjelang ajal hidup lebih tinggi, tidak mampu melakukan
perawatannya lebih berfokus pada kebutuhan pendampingan spiritual dan mengalami
fisik dan kebutuhan dasar. Perawatan suportif ketidakseimbangan antara beban kerja dan tenaga
dalam pemenuhan kebutuhan dasar meliputi perawat.
pemberiaan oksigen, pemberiaan cairan, obat-
obatan antinyeri. Perawat IGD lebih memprioritas pasien yang
harapan hidup lebih tinggi. Hal ini seperti yang
“…Kalau perawatan...... yang menjelang ajal diungkapkan oleh partisipan:
harus di ini ... gak .. jadi itu hanya istilah secara
umum-umum... sama saja .. secara medis itu “Kalau ada pasien lain yang gawat.. ya prioritas
atau kesehatan itu yah sudah kita.. sudah tetap pada pasien yang hidup dulu …. kalau yang
melakukan ini prosedurnya, obat-obatnya sudah pertama kita kepentingannya menyelamatkan
masuk... seperti itu oksigen, cairan ini tetap kita nyawa .. (P2)”
berikan……”(P3) “...... kita memprioritaskan apa yang masih bisa
“…kalau saya oksigen tidak stop, infus tetap kita dilakukan dengan pasien yang lain ...
jalan tapi tidak ada tindakan yang lain ... yah dibanding dengan pasien terminal” (P4)
sudah … sudah terpasang itu kita tidak melepas “kalau saya secara pribadi sendiri ..itu saya yang
itu ... berarti alat yang terpasang pada saat mendominakan pasien yang belum terminal..”(P6)
resusitasi, sebelum resusitasinya dinyatakan
gagal yah sudah dibiarkan saja sampai “kita secara psikologis kita meningkat yang
meninggal ... “(P2) harapan hidupannya lebih tinggi

Tema Terpaksa meninggalkan pasien tanpa ..”(P6)


pendampingan spiritual

Meninggalkan pasien yang terlantar menjelang


“… disini banyak pasien ..kalau ada kondisi yang
ajal ketika ada pasien kritis yang membutuhkan
gawat lainnya tentu saja yang hidup dulu,.. tetap
penanganan, menjadi pilihan yang dilakukan
yang hidup dulu
oleh partisipan, memilih pasien yang prioritas
harapan hidup yang ...... kalau penyelamatan nyawa itu utama,
kemudian nanti baru menyiapkan pasien yang
terlantar untuk berangka
dengan tenang” (P3) “…..kalau sisi kerohaniannya protokolnya ada ...
tapi aplikasinya disini belum berjalan…..” (P6)

“…..tapi dalam SOP boleh didampingi oleh


Dukungan spiritual ini menjadi bagian dalam rohaniawan .. ustad.... tapi di rumah sakit ini
pemberian pelayanan pasien menjelang ajal. IGD belum ada tampaknya …”(P6)
RSUD dr. Saiful Anwar telah memiliki Standar
Operasional Prosedur untuk Pelayanan Perawat menyadari pasien terlantar juga harus
Kerohanian terkait dengan pelayanan pasien mendapatkan dukungan spiritual dalam
yang menjelang ajal (terminal). Perawat menghadapi ajal. Terbatasnya waktu, tingginya
belum dapat mengaplikasikan pelayanan beban kerja dan tidak adanya team khusus
kerohanian pada pasien terlantar karena kerohanian dalam pelaksanaan dukungan spiritual
banyaknya beban kerja dan kurangnya tenaga yang dilakukan perawat pada pasien yang
perawat. Namun apabila pasien tersebut menjelang ajal dilakukan dengan spontan dan
memiliki keluarga maka perawat akan situasional saat menghadapi pasien tersebut.
memfasilitasi keluarga untuk memberikan
dukungan ke rohanian atau spiritual. “...…kalau saya pribadi seperti itu ... yang jelas
dalam kita mimpin doa bukannya tidak mau atau
“…tetap mbak fasilitas keluarga .. bukan hanya tidak bisa yang jelas... banyak pekerjaan lain
memanggil keluarga .. tapi memberi kesempatan yang harus diselesaikan (P6)
keluarga untuk memberikan dukungan kepada
pasiennya .. kita sendiri kalau terlibat ke “…cuman kalau masalah spritual itu yang kurang
pasiennya saya kira gak…. Itu kalau ada di kita ”(P3)
keluarganya…(P2) “…..misalnya mr.x datang gak ada keluarganya
Belum adanya team kerohanian dan belum sudah gak sadar lagi .. masuk dengan trauma atau
adanya tenaga rohaniawan yang membantu kadang dengan penyebab lain dan tidak
memberikan dukungan spiritual. didampingi keluarga yah .. setahu saya tidak
pernah dilakukan“…nanti kalau kita mimpin doa
“Kalau di IGD ..selama di IGD sih saya belum nanti di komplainin yang lain (P5)
pernah dikunjungi oleh petugas kerohanian....
mungkin yang belum kita punya itu adalah “….Selama ini perawatan umum saja, belum ada
layanan kerohanian (P2). perawatan secara khusus spritual yah hanya
spontan aja .. tapi yah
“…pendampingan oleh rohaniwan kita hanya
sebatas wacana…”(P1)
kadang-kadang kita mesti harus menginfus atau lainnya istilahnya lebih
ngomong...”(P1) membantu yang lain (P3)

“….gak ada ... atau belum pernah ada kita


berikan dukungan spiritual….yah cuman
Jumlah tenaga perawat dengan beban kerja yang
...... kalau secara spontan yah….”(P5) tidak seimbang dirasakan oleh partisipan sehingga
tidak mampu melakukan pendampingan secara
Tugas perawat di IGD selain melakukan maksimal. Kurangnya tenaga perawat mengurangi
tindakan mandiri, perawat juga bertugas dalam keterlibatan dalam pendampingan secara intens.
kelengkapan administrasi dan kelengkapan Pendampingan dalam makna kontekstual yaitu
dokumentasi pasien yang menjadi tanggung memberikan dukungan secara emosional, sosial,
jawab perawat IGD.. kenyamanan juga memberikan perasaan
“…kita harus di tuntut administrasi, ketenangan hati bagi pasien yang menghadapi fase
kelengkapan dokumentasi, pasien yang akan menjelang ajal.
pindah keruangan ... jika kita tidak mengerjakan “.. secara halnya petugasnya juganya kurang
itu .. maka IGD akan penuh secara BOR .. pasiennya juga tidak wes karuan
…” (P7) seperti itu ….ditambah lagi kondisi disini situasi
yang sulit jumlah pasiennya 100, kita yang jaga
“…tapi kan kita juga ada dibebani dengan cuman ber
target ..dibebani dengan mana yang harus kita
prioritaskan... tergantung dari kondisi 4 .. tenaganya sangat jauh “. dan
pasien..”(P4) memang di protokol didampingi seperti ini.. tapi
“…semuanya perawat jadi multi fungsi selama kalau dalam aplikasinya kita kan minimal dari
perawatan disini .. “(P6) petugas kebutuhan yang diharapan kendalanya
sumber dayanya minimal sekali ..”(P3)
Peran perawat di IGD selain melaksanakan
fungsi mandirinya, perawat juga melaksanakan “…karena kan .. jumlahnya terbatas .. tenaga
tindakan kolaborasi dan kegiatan atas instruksi kesehatannya..beban kerja perawat sangat banyak
dari tenaga medis lainnya. .. jumlah pasiennya tidak sesuai perawatnya

“..nanti kalau dokternya sudah mungkin gak bisa


mengejar yah.... yang lebih dominan lebih sedikit dan tidak ideal ” (P7)
perawatnya..”(P2)

“… bukan kita tidak mau yah .. yang lain pasien


juga banyak yang memerlukan .. mungkin juga
dokternya memerlukan kita
Tema Mengalami konflik dalam ..... histeris pasiennya …”(P2)
menempatkan pasien terlantar yang
menjelang ajal

IGD RSUD dr. Saiful Anwar tidak memiliki Tema Mengharapkan situasi lingkungan kerja
ruangan khusus untuk pasien-pasien yang yang mendukung.
menjelang ajal. Seperti yang diungkap oleh Adanya team kerohanian yang diharapkan dapat
partisipan dibawah ini lebih berperan dan berfokus dalam memberikan
“…kalau ruangan khusus disini gak ada .. pendampingan dan dukungan spiritual pada
ruangannya yah general seperti p1, p2 dan P3 pasien-pasien yang menjelang ajal terutama bagi
sebenarnya sih kalau idealnya, sangat tidak pasien yang tidak memiliki dan didampingi oleh
ideal .. …” (P6) keluarga. Harapan ini di ungkapkan oleh
partisipan sebagai berikut:

“…kendalanya itu pasien P1 datang tempat


penuh .. kita berbenturan yaitu, kalau mau “….. tetap ada pendampingan dari pihak rumah
mengeser .. sudah di label pasien menjelang ajal sakit pada fase ajal itu harusnya ada team
.. tidak ada tindakan tapi menunggu ajal bimbingan rohani...”(P4)
tuh ...taruh ditempat yang agak kepinggir sedikit
yang mungkin nanti dengan catatan tidak sampai
melupakannya..” (P2) “……pasien yang tidak ada keluarganya bisa kita
lakukan dengan menjelang ajal harus ada team
yang berperan…… harapannya….”(P3)
Hambatan lain yang muncul yaitu dalam
kesulitan menjaga dan mempertahankan privasi
pasien. Banyaknya pasien yang tidak memiliki Harapan adanya sarana ruangan khusus untuk
ruangan khusus untuk pasien yang menjelang perawatan pasien-pasien yang menjelang ajal baik
ajal menjadi suatu kesulitan untuk menjaga dan pasien terlantar maupun yang memiliki keluarga.
mempertahankan privasi pada pasien tersebut. Dengan adanya ruangan khusus diharapkan pasien
seperti yang diungkap oleh partisipan : mendapatkan suasana yang lebih nyaman, dan
tenang.
“ ….karena saya sudah beberapa kali menemui
eh .. apa yah .. sebelahnya tidak meninggal “…. mungkin perlu dipikirkan atau disiapkan
sebenarnya, meninggalnya jauh P1, ruangan khusus untuk pasien yang menjelang ajal
pasiennya di p3 mau terlantar atau tidak, apa yah istilah ruangan
khusus, semacam ruangan upacara khusus,
ruangan kecil sehingga kalau itu ingin melakukan
upacara dalam kecil-kecilan
kita bisa…...memfasilitasi atau mungkin ingin menjadikan suatu hal yang sangat menyedihkan.
berdoa disana lebih privasi…”(P2)
Mengatasi perubahan psikologis yaitu dengan
“….harapan saya .. memang harus ada tempat.. mengendalikan perasaan, dimana
kalau untuk IGD memang membedakan simpatiempati,
menyampingkan empati, tidak terpengaruh oleh
tempat pasien DNR itu harus ada …oh iya kalau perasaan. Pengendalian dan mengatasi perubahan
lingkungannya lebih tenang kan lebih enak psikologis yang dirasakan sangat perlu disadari
membimbing..”(P3) oleh perawat IGD untuk tetap bersikap
professional dalam melakukan perawatan pasien
terlantar yang menjelang ajal. Bersikap
PEMBAHASAN professional dengan memberikan perawatan
caring secara fisik, secara emosional dan
Perawat memiliki kecenderungan merasa hati
psikologis. Hal ini sejalan dengan yang
tersentuh dan terharu pada pasien yang dirawat
diungkapkan oleh Hudak & Gallo (2010) yang
secara langsung. Pasien terlantar yang menjelang
menyatakan bahwa perawat peka dalam
ajal hanya sendiri tanpa ada dukungan dan
membangun rasa empati pada pasien, tapi bukan
pendampingan dalam perawatannya. Hal ini
perawat yang kehilangan kendali.
menjadikan kecenderungan munculnya
perubahan psikologis timbul perasaan tersentuh, Sikap menghargai harkat dan martabat menjadi
mengalami suatu perasaan yang berbeda saat bagian dalam perawatan pasien terlantar yang
merawat pasien terlantar yang menjelang ajal, menjelang ajal. Watson (2010) menyebutkan
menjadi tersentuh, muncul perasaan kasihan, iba, perawat menunjukan nilai-nilai humanistic (rasa
empati dan rasa penyesalan karena tidak ada kemanusian) dengan nilai kebaikan, empati dan
keluarga yang mendampingi dalam tahap akhir caring pada pasien dengan mengutamakan
dalam kehidupan yang dirasakan oleh perawat. kepentingan pasien yang akan berdampak rasa
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan kebahagian dan kepuasaan dari perawat tersebut.
oleh Enggune., et al 2014 yang menyebutkan
bahwa perasaan empati dan perasaan sedih Perawatan pasien terlantar yang menjelang ajal
merupakan dampak dari seringnya merawat kondisi End of Life membutuhkan fokus
pasien yang meninggal dan merupakan suatu hal memberikan perawatan suportif. Perawatan
yang wajar. Fridh, Forsberg, & Bergbom, (2009)
menyebutkan bahwa pasien yang meninggal
dalam keadaan tanpa didampingi oleh keluarga
akan
suportif yang diberikan yaitu perawatan lanjut spritual dari seorang perawat untuk penyediaan
kebutuhan dasar, memberikan kenyamanan dan perawatan menjelang kematian yang optimal
mengobservasi juga memonitor pasien terlantar
yang menjelang ajal. Bailey, Murphy, &
Porock(2011) menyebutkan pasien di IGD Penempatan ruangan menjadi suatu permasalahan
dengan perawatan suportif untuk mengontrol yang terjadi di IGD, terbatasnya ruangan dengan
gejala. Situasi kerja yang kurang mendukung, jumlah pasien yang melebihi kapasitas area P1
terlebih di IGD pasien-pasien yang harapan maka mengeser pasien karena tidak adanya
hidupnya lebih tinggi menjadi prioritas. Kondisi ruangan khusus untuk pasien yang menjelang ajal.
Prioritas berdasarkan tingkat dan level Perawat mengalami kesulitan menjaga dan
kegawatan dari setiap pasien. Decker, lee, mempertahankan privasi pasien dan pasien lain
Morphet (2014) menyebutkan Situasi IGD yang karena ruangan yang menyatu dan terlihat oleh
sibuk, dengan banyaknya tuntutan, mungkin sulit pasien lain menimbulkan dampak psikologis yang
untuk memberikan pendampingan kematian yang tidak kenyaman bagi pasien lain.Lingkungan kerja
baik. Bailey, Murphy, & Porock(2011) dan Chan yang kondusif merupakan prasyarat perawat untuk
(2011) menyebutkan bahwa pasien-pasien menyediakan perawatan End of Life yang
dengan resusistasi selalu didahului diatas berkualitas. perawat sangat membutuhkan ruangan
perawatan End of Life. Ketidakmampuan perawatan yang khusus untuk pasien yang
perawat untuk mendampingi spiritual ini menjelang aja. Perawatan pasien dalam tahap End
menimbulkan dilema bagi perawat saat disisi lain of Life, yang membutuhkan penanganan yang
perawat menyadari kebutuhan spiritual bagi bertujuan untuk memberikan rasa nyaman,
pasien namun disisi lain lingkungan kerja dan ketenangan, kedekatan suport sosial (Beckstrand
banyaknya tugas dan pasien lain yang et.al, 2012, Decker, et.al, 2015).Perawatan pasien
membutuhkan perhatian dari perawat. Perawat yang menjelang fase End of Life melibatkan
memiliki peran dalam melakukan intervensi berbagai displin yang meliputi pekerja sosial, ahli
secara langsung atau mengatur akses untuk agama, perawat, dokter (dokter ahli atau dokter
mendapatkan perawatan spiritual bagi pasien umum yang berfokus pada perawatan yang
yang menjelang ajal. Tingginya tuntutan, dan holistic meliputi fisik, emosional, sosial, dan
kurangnya waktu mempengaruhi dan menjadi spiritual. (Hockenberry &Wilson, 2005).
hambatan keterampilan interpersonal dalam
penyediaan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dapat dijadikan gambaran kondisi IGD pada
sarana evaluasi pelayanan perawatan End of Life umumnya di Indonesia.
maupun perawatan pada pasien terlantar.
Evaluasi yang dilakukan sebagai perbaikan dan KESIMPULAN
penyempurnaan pelayanan End of Life. Perawat tetap bersikap profesional menghormati
diharapkan dengan mempertimbangkan adanya harkat dan martabat pasien dalam memberikan
team kerohanian dan team khusus yang berfokus perawatan. Konflik batin, emosi, perasaan hati
untuk pendampingan, dan dukungan spiritual tersentuh muncul dengan melihat kondisi pasien
pada pasien terlantar yang menjelang ajal di terlantar menjelang ajal.
IGD.

Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu


peneliti tidak mengeksplorasi terkait upaya Dukungan spiritual tidak dapat diberikan namun
kolaboratif perawat dengan dokter dan anggota perawatan suportif menjadi bagian perawatan
lain dari tim perawatan kesehatan. Kolaborasi terbaik bagi pasien terlantar yang menjelang ajal.
bagian dari tanggung jawab dalam merawat Tantangan dan hambatan dalam perawatan End of
pasien. Fokus tenaga medis penanganan dan Life yaitu kondisi lingkungan kerja di IGD tidak
pengobatan pada pasien dengan harapan hidup adanya team kerohanian dan tidak adanya ruangan
yang lebih tinggi, sehingga tidak berperan secara khusus untuk pasien yang End of Life. Selain itu
nyata pada pasien dalam transisi pasien yang pelayanan IGD yang lebih memprioritaskan pasien
menjelang ajal dirumah Sakit RSUD dr. Saiful dengan kesempatan hidupnya lebih tinggi.
Anwar. Penelitian ini hanya dilakukan terbatas di
satu rumah sakit yang tentunya memiliki
perbedaan kebijakan dan keterkaitan dengan Adanya fasilitas ruangan yang khusus dan team
lembaga-lembaga yang berhubungan dengan kerohanian bagi pasien terlantar diharapkan dapat
kebijakan bagi pasien terlantar di rumah sakit menyiapkan kematian yang damai dan
yang lainnya. Sehingga hasilnya mungkin tidak bermartabat dengan tidak adanya perlakuan yang
berbeda antara pasien terlantar dengan pasien lain
yang menjelang ajal.
DAFTAR PUSTAKA

Louis Missoury : Mosby Elseveir.Bailey, C., Murphy, R., & Porock, D. (2011).

Alligood, M., & Tomey, A. (2014). Nursing Theorist and Their Work. Sixth Edition. St

Trajectories of end-of-life care in the emergency department. Annals of Emergency Medicine,


(4),362–369.http://doi.org/10.1016/j.annemergmed.2 010.10.010

Beckstrand., et, al. (2015). Rural Emergency Nurse’s End of Life care obstacle experiences:
stories from the last frontier. Journal Of Emergency Nursing. 1- 9

Braun, V & Clark, V. (2006). Using Thematic Analysis in Psychologi. Qualitative Research
in Psychology 3 (77-101).

Chan, G. K. (2011). Trajectories of Approaching Death in the Emergency Department :


Clinician Narratives of Patient Transitions to the End of Life. Journal of Pain and Symptom
Management, 42(6), 864–881. http://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.20 11.

Decker, K., Lee, S., & Morphet, J. (2015). The experiences of emergency nurses in providing
end-of-life care to patients in the emergency department.

Ebta Setiawan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. 2012-2016 versi 1.9: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa).

Enggune, M., Ibrahim, K., & Agustina, H. R. (2014). Persepsi Perawat Neurosurgical Critical
Care Unitterhadap Perawatan Pasien Menjelang Ajal.Jurnal Keperawatan Padjadjaran,
2(1).

Fridh, I., Forsberg, A., & Bergbom, I. (2009). Doing one’s utmost: Nurses' descriptions of
caring for dying patients in an intensive care environment. Intensive and Critical Care
Nursing, 25(5), 233–241.

Hudak, C., & Gallo, B. (2010). Keperawatan kritis pendekatan holistik (Edisi 6. Vol. 1).
Jakarta: Buku Kedokteran EGC. (Hockenberry &Wilson, 2005)

Laporan Tahunan RSUD dr. Saiful Anwar (2014)

Wolf, L,. A., Altair M. D, et al. (2015). Exploring the management of death: Emergency
nurses’ perceptions of Challenges and facilitators in the Provision of end-of-life care in the
Emergency department. Journal Of Emergency Nursing. 41 (5) : e23-e33

Watson, J (2010). Caring science and the next decade of holistic healing:transforming self
and system from inside out.

Anda mungkin juga menyukai