Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

BRONKOPNEUMONIA

Laporan ini disusun guna memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Radiologi di RSUD TUGUREJO SEMARANG

Disusun oleh :
Yunita Elfia

Pembimbing :
Dr. Zakiyah, Sp.Rad

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHSEMARANG
2014

A. Definisi
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru.
Bronkopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.1
Bronkopneumonia didefinisikan sebagai peradangan akut dari
parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan meliputi
bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.1,2
B. Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan
utama pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab
utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita).
Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang
dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian
besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional
(SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di
Indonesia

disebabkan

oleh

penyakit

system

respiratori,

terutama

pneumonia.1,2,3
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anakanak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan
di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi
pada anak di bawah umur 2 tahun Insiden pneumonia pada anak 5 tahun di
negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara
berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari
5 juta kematian pertahun pada anak balita dinegara berkembang.1,3
C. Etiologi
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan
strategi pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli,
pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita
pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae,

Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan
remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma
pneumoniae.1,2
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus(RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza,
human metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan
estimasi insidens global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode
baru di seluruh dunia dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu
rawat-inap. Diperkirakan tahun 2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak
balita karena pneumonia RSV, 99% di antaranya terjadi di negara
berkembang. Data di atas mempertegas kembali peran RSV sebagai etiologi
potensial dan signifikan pada pneumonia anak-balita baik sebagai penyebab
tunggal maupun bersama dengan infeksi lain.1,2
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang
bersumber dari data di Negara maju dapat dilihat pada tabel dibawah ini1 :
Tabel 1
Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia dinegara maju
Usia
Etiologi yang sering
Etiologi yang jarang
Lahir - 20 hari
Bakteri
Bakteri
E.colli
Bakteri anaerob
Streptococcus grup B
Listeria monocytogenes

3 miggu 3 bulan

4 bulan 5 tahun

5 tahun remaja

Bakteri
Clamydia trachomatis
Streptococcus pneumoniae
Virus
Adenovirus
Influenza
Parainfluenza 1,2,3
Bakteri
Clamydia pneumonia
Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae
Virus
Adenovirus
Rinovirus
Influenza
Parainfluenza
Bakteri

Streptococcus grup D
Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
CMV
HMV
Bakteri
Bordetella pertusis
Haemophillus influenza tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus aureus
Virus
CMV
Bakteri
Haemophillus influenza tipe B
Moraxella catharalis
Staphylococcus aureus
Neisseria meningitides
Virus
Varisela Zoster
Bakteri

Clamydia pneumonia
Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae

Haemophillus influenza
Legionella sp
Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza
Parainfluenza
Sumber : Opstapchuk M, Roberts DM, haddy R. community-acquired pneumonia in
infants and children. Am fam physician 2004;20:899-908
Tabel 2
Etiologi Pneumonia dilihat dari penyakit penyerta
Gejala / penyakit penyerta
Kemungkinan etiologi
Abses kulit / ekstra pulmoner
Otitis media, sinusitis, meningitis
Epiglotitis, perkarditis

S. aureus, S. group A
S. pneumoniae, H.
influenzae
H. influenzae

Faktor non-infeksi2
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :

Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama menelan muntah atau sonde lambung.
zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah, dan bensin.

Bronkopneumoni lipoid :
Terjadi akibat pemasuksn obat yang mengandung minyak secara
intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu
mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian makanan dengan
posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan
pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada
jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung
asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan
minyak ikan.

D. Klasifikasi1,2,4
Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan :
1.

Asal infeksi
a.

Community-acquired pneumonia (CAP)


Infeksi parenkim paru yang didapatkan individu yang tidak sedang
dalam perawatan di rumah sakit paling sedikit 14 hari sebelum
timbulnya gejala.

b.

Hospital-acquired pneumonia (HAP)


Infeksi parenkim paru yang didapatkan selama perawatan di rumah
sakit yang terjadi setelah 48 jam perawatan (Depkes : 72 jam) atau
karena perawatan di rumah sakit sebelumnya, dan bukan dalam stadium
inkubasi.

2.

Lokasi lesi di paru


a.

Bronkopneumonia

b.

Pneumonia lobaris

c.

Pneumonia interstitialis

3.

Etiologi
-

Infeksi
Berdasarkan mikroorganisme penyebab :
a.

Pneumonia bakteri

b.

Pneumonia virus

c.

Pneumonia jamur

d.

Pneumonia mikoplasma

Non infeksi
Aspirasi makanan/asam lambung/benda asing/hidrokarbon/substansi
lipoid,

reaksi

hipersensitivitas,

drug

dan

radiation-induced

pneumonitis.
4.

Karakteristik penyakit
-

Pneumonia Tipikal

Pneumonia Atipikal (mis. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia


pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis)

5.

Derajat keparahan penyakit


Untuk mengklasifikasikan beratnya pneumonia perlu diperhatikan
adanya tanda bahaya (danger signs), yaitu : takipnea dan tarikan dinding
dada bagian bawah ke arah dalam (retraksi epigastrik).
Berdasarkan kedua tanda ini, maka klasifikasi beratnya pneumonia
pada anak bawah lima tahun (balita) ditentukan berdasarkan usia, sebagai
berikut :
Tabel 3
Klasifikasi beratnya Pneumonia berdasarkan usia
Klasifikasi
Anak usia < 2 bulan
Anak usia 2 bulan 5 tahun
Pneumonia sangat Hipo/hipernatremi
Kesadaran turun
berat
Kesadaran turun
Tidak mau minum
Kurang mau minum
Kejang
Kejang
Stridor
Wheezing
Sianosis sentral
Stridor
Gizi buruk
Pneumonia berat
Tarikan dinding dada Tarikan dinding dada dalam
dalam yang tampak jelas
Dapat minum
Takipnea
Sianosis (-)
Pneumonia
Takipnue
Tarikan dinding dada dalam
(-)
Bukan pneumonia Tarikan dinding dada dalam (-), takipnea (-)

E. Patogenesis1,2,5
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak
dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke
dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
1.
2.
3.
4.

Inhalasi langsung dari udara


Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk

mencegah infeksi yang terdiri dari :

1. Susunan anatomis rongga hidung.


2. Jaringan limfoid di nasofaring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan
4.
5.
6.
7.
8.

sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.


Refleks batuk.
Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
Sekresi enzim enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang
bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui

jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli
dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli
membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu 1,5:
a. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan.

Mediator-mediator

tersebut

mencakup

histamin

dan

prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.


Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler
dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

b. Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host)
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat
oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga
warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium
ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
c. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun
dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Skema 1
Patofisiologi

Patofisiologi :
Skema 2
Algoritma Patofisiologi Bronkhopneumonia

F. Gejala klinis1,2
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara
ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian
kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi
sehingga memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor yang

mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas


anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis
yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan
prosedur diagnostic invasive, etiologi noninfeksi yang relative lebih sering,
dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan
faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda,
sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada
berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
- Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah
atau diare ; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
- Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
G. Pemeriksaan fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkopneumoni ditemukan halhal sebagai berikut3,6,7 :
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan
getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi
perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi
vibrasi akan berkurang.
- Pada perkusi tidak terdapat kelainan
- Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar

10

(tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh


gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas
kecil yang tiba-tiba terbuka.

Bronkopneumonia
Lobularis
Ronki selalu terdengar
Dullness (-)
-

Tabel 4
Berdasarkan lokasi lesi di paru
Interstitial
Pneumonia lobaris
Interstitial
Segmental/lobus
Pendataran diafragma Konsolidasi
dan hiperinflasi
Ronki (+) saat
Ronki , wheezing +
kongestif dan resolusi
Dullness (-)
Dullness (+) di lobus
yang terkena

H. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral
dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi
20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat
15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas
darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat
terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan
pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan 1,6.
2. Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan,
hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan
foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan
gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk
menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch
dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks
tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan diagnosis.

11

Gambar 1
Ro. infiltrat alveoler di lobus kanan bawah ec. S pneumoniae

Gambar 2
Lobar Pneumonia dan Bronchopneumonia

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari6,7:


-

Infiltrat

interstisial,

ditandai

dengan

peningkatan

corakan

bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi


-

Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.


Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia
lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar,
berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi
tumor paru disebut sebagai round pneumonia.

Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua


paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial

12

Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan


kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat interstitial merata
dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.7
3. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan
bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP
biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis
daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi
respons terhadap terapi antibiotik 2.
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok,
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi
paru2,5.
I. Diagnosis
Dari anamnesa didapatkan gejala

non respiratorik dan gejala

respiratorik. Dasar diagnosis tergantung umur, beratnya penyakit dan jenis


organisme penyebab. Pada bayi/anak kecil (balita) pemeriksaan auskultasi
sering tidak jelas, maka nafas cepat dan retraksi/tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam dipakai sebagai parameter. Kriteria nafas cepat, yaitu :
1. Umur < 2 bl : 60x/menit
2. 2 bl-< 12 bl : 50x/menit
3. 12 bl-5 th : 40x/menit
4. 5 tahun : 30x/menit

13

Tabel 5
Klasifikasi berdasarkan nafas cepat dan retraksi
Klasifikasi
Nafas cepat
Retraksi
< 2 bln Pneumonia berat
+
+
Bukan Pneumonia
2 bln-5 th Pneumonia berat
+
+
Pneumonia
+
Bukan Pneumonia
-

Dapat juga dipakai kriteria paling sedikit 3 dari 5 gejala/tanda berikut :


-

Sesak nafas disertai pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada

Panas badan

Ronki basah sedang nyaring pada bronkopneumonia atau suara pernafasan


bronkial (pada daerah yang dengan perkusi bernada pekak) pada
pneumonia lobaris

Foto toraks menunjukkan adanya infiltrat berupa bercak-bercak (bronko)


difus merata (lober) pada satu atau beberapa lobus

Leukositosis Pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit


predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil dominan.

Kadar leukosit berdasarkan umur :


-

Anak umur 1 bulan

: 5000 19500

Anak umur 1-3 tahun

: 6000 17500

Anak umur 4-7 tahun

: 5500 15500

Anak umur 8-13 tahun : 4500 - 13500

Pedoman diagnosis dan tatalaksana yang lebih sederhana menurut


WHO.

Berdasarkan

pedoman

tersebut

bronkopneumoni

dibedakan

berdasarkan1 :
-

Bronkopneumonia sangat berat :


Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka anak
harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.

Bronkopneumonia berat :
Bila di jumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,
maka anak harus dirawat di rumah sakit dan d beri antibiotik.

14

J. Diagnosis banding
Diagnosis banding anak yang datang dengan keluhan batuk dan atau
kesulitan bernafas.1,2,8

Diagnosis
Bronkiolitis

Tuberculosis (TB)

Asma

Tabel 6
Diagnosis banding
Gejala klinis yang ditemukan
episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
hiperinflasi dinding dada
ekspirasi memanjang
gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau tidak
ada respon dengan bronkodilator
riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
uji tuberculin positif (10 mm, pada keadaan imunosupresi 5
mm)
pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
demam ( 2 minggu) tanpa sebaba yang jelas
batuk kronis ( 3 minggu)
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang
spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut,
falang.
riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan
batuk dan pilek
hiperinflasi dinding dada
ekspirasi memanjang
berespon baik terhadap bronkodilator

K. Penatalaksanaan1,2,7,8
1. Sebelum memberikan obat ditentukan dahulu : Berat ringannya penyakit,
riwayat pengobatan sebelumnya dan respons terhadap pengobatan tersebut,
adanya penyakit yang mendasarinya
2. Antibiotik awal (dalam 24-72 jam pertama) :
a.

Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

Ampicillin + aminoglikosid (gentamisin)

Amoksisillin-asam klavulanat

Amoksisillin + aminoglikosid

Sefalosporin generasi ke-3

b.

Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bulan-5 thn)

Beta laktam amoksisillin

Amoksisillin-amoksisillin klavulanat

Golongan sefalosporin

15

Kotrimoksazol

Makrolid (eritromisin)

c.

Anak usia sekolah (> 5 thn)

Amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

Tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)


Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and

error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal


tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau
tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam ganti
dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab
yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit
seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik
tidak efektif)
3. Penderita imunodefisiensi atau ditemukan penyakit lain yang mendasari
ampisilin + aminoglikosida (gentamisin), Hipersensitif dengan
penisilin/ampisilin : Eritromisin, sefalosporin (5-16% ada reaksi silang)
atau linkomisin/klindamisin
4. Antibiotik selanjutnya ditentukan atas dasar pemantauan ketat terhadap
respons klinis dalam 24-72 jam pengobatan antibiotik awal Kalau penyakit
menunjukkan perbaikan antibiotik diteruskan sampai dengan 3 hari
klinis baik (Pneumokokus biasanya cukup 5-7 hari, bayi < 2 bl biasanya
10-14 hari) Kalau penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan
perbaikan yang nyata dalam 72 jam antibiotik awal dihentikan dan
diganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat (sebelumnya perlu
diyakinkan dulu tidak adanya penyulit seperti empiema, abses, dll, yang
menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).

Antibiotik pengganti bergantung pada kuman penyebab

Pneumokokus : 3-16% sudah resisten dengan penisilin Diganti dengan


sefuroksim, sefotaksim, linkomisin atau vankomisin

16

H. influenzae : Diganti dengan sefuroksim, sefazolin, sefotaksim,


eritromisin, linkomisin atau klindamisin

S. aureus : Diganti dengan kloksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin,


sefazolin, klindamisin atau linkomisin

Batang Gram (-) : Aminoglikosida (gentamisin, amikasin, dll)

Mikoplasma : Eritomisin, tetrasiklin (untuk anak > 8 th)

5. Simtomatik (untuk panas badan dan batuk) Sebaiknya tidak diberikan


terutama pada 72 jam pertama, karena dapat mengacaukan interpretasi
reaksi terhadap antibiotik awal
6. Suportif O2 lembab 40% melalui kateter hidung diberikan sampai sesak
nafas hilang (analisis gas sampai dengan PaO2 60 Torr)
7. Cairan, nutrisi dan kalori yang memadai : Melalui oral, intragastrik, atau
infus. Jenis cairan infus disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit. Bila
elektrolit normal berikan larutan 1:4 (1 bagian NaCl fisiologis + 3 bagian
dekstrosa 5%), Asidosis (pH < 7,30) diatasi dengan bikarbonat i.v. Dosis
awal : 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg) mEq, Dosis selanjutnya
tergantung hasil pemeriksaan pH dan kelebihan basa (base excess ) 4-6
jam setelah dosis awal. Apabila pH dan kelebihan basa tidak dapat
diperiksa, berikan bikarbonat i.v. = 0,5 x 2-3 mEq x BB (kg) sebagai dosis
awal, dosis selanjutnya tergantung gambaran klinis 6 jam setelah dosis
awal
8. Fisioterapi

OBAT
Gol. PENISILIN
Ampisilin
Amoksisilin
Tikarsilin
Azlosilin
Neonatus <7 hr
Neonatus >7 hr
Mezlosilin
Neonatus >2.000 g

Tabel 7
Dosis Harian Antibiotik untuk Pneumonia
CARA
DOSIS
FREK. (jam)
PEMBERIAN
i.v., i.m.
p.o.
p.o.
i.v., i.m.

100-200
40-160
25-100
300-600

4-6
6
8
4-6

i.v.

300-600
50-150
200
300
75

4
12
4-8
4
6-12

i.v.

INDIKASI

Pneumonia berat disebabkan


Gram (+), Gram (-) ; Bakteri
anaerob
Fibrosis kistik (kombinasi
dengan aminoglikosida)
Sama dengan tikarsilin
Sama dengan tikarsilin

17

Neonatus <2.000 g
Piperasilin
Oksasilin

i.v.
i.v.

75
300
150

8-12
4
4-6

i.v.
i.v.

50-100
25-80

4-6
4-6

i.v.

75-150

i.v.
i.v.
i.v., i.m.
i.v.

100-150
50-200
50-100
100-150

6-8
6
12-24
8

GOL. AMINOGLIKOSIDA
Gentamisin
i.v., i.m.
Tobramisin
i.v., i.m.

5
8-10

8
8

Amikasin

i.v., i.m.

15-20

6-8

Netilmisin

i.v.

4-6

12

p.o.
i.v. (infus
lambat)
p.o.
i.v.
p.o.

30-50
40-70

6
6

5-8
15-40
10-30

12
6
6

i.v.

75-100

Kloksasilin
Dikloksasilin
GOL. SEFALOSPORIN
Sefalotin
Sefuroksim
Sefotaksim
Seftriakson
Seftazidim

GOL. MAKROLID
Eritromisin
Roksitromisin
KLINDAMISIN

KLORAMFENIKOL

Sama dengan tikarsilin


Pneumonia, abses paru,
empiema, trakeitis yang
disebabkan oleh S. aureus
Pneumonia oleh S. aureus
(bila alergi penisilin)
Terapi awal infeksi oleh
patogen Gram (-) :
K. pneumoniae, E. coli
Diduga Pseudomonas
aeruginosa
Terapi inisial untuk Pneumonia
dan abses paru karena bakteri
Gram (-)
Patogen Gram (-) resisten
dengan gentamisin dan
tobramisin
Gram (-) yang resisten terhadap
gentamisin
M. pneumoniae, B. pertussis, C.
diphtheriae, C. trachomatis,
Legionella pneumophila
S. aureus, Streptokokus,
Pneumokokus yang alergi
penisilin dan efalosporin Abses
paru karena bakteri anaerob
Epiglotitis, abses paru,
pneumonia

Indikasi rawat
Kriteria rawat inap, yaitu :
Pada bayi

Saturasi oksigen 92 %, sianosis

Frekuensi napas > 60 x/menit

Distress pernapasan, apneu intermitten, atau grunting

Tidak mau minum / menetek

Keluarga tidak bisa merawat dirumah

Pada anak

Saturasi oksigen 92 %, sianosis

18

Frekuensi napas 50 x/menit

Distress pernapasan

Grunting

Terdapat tanda dehidrasi

Keluarga tidak bisa merawat dirumah

Kriteria pulang, yaitu :

Gejala dan tanda pneumonia menghilang

Asupan peroral adekuat

Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral)

Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol

Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah

L. Komplikasi
Komplikasi dari bronchopneumonia adalah1,2 :

Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau


kolaps paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk
hilang.

Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga


pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.

Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.

Infeksi sitemik

Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.

Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

M. Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan
datang terlambat untuk pengobatan. 3
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan
peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi

19

ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan
infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan
dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri4,6.

20

N. Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari
kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang
dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.1,2
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan
daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara
hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan
,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga dan lain-lain. Melakukan vaksinasi
juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain.1,2
Vaksinasi pneumokokus
Dapat diberikan pada umur 2,4,6, 12-15 bulan. Pada umur 17-12
bulan diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan ; pada usia > 1 tahun di
berikan 1 kali, namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada usia 12
bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2
tahun PCV diberikan cukup 1 kali.
Vaksinasi H.Influenzae
Diberikan pada usia 2, 4, 6, dan 15-18 bulan
Vaksinasi varisela
Yang di anjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah dapat
diberikan setelah umur

12 bulan, terbaik pada umur sebelum masuk

sekolah dasar. Bila diberikan pada umur > 12 tahun, perlu 2 dosis dengan
interval minimal 4 minggu
Vaksinasi influenza
Diberikan pada umur > 6 bulan setiap tahun. Untuk imunisasi primer anak
6 bulan - < 9 tahun di berikan 2 kali dengan interval minimal 4 minggu.

21

DAFTAR PUSTAKA
1.

Rahajoe, Nastini.N. Buku Ajar Respirologi.


Edisi 1. Jakarta : IDAI. 2008

2.

Nelson.Ilmu

Kesehatan

Anak,

Edisi

15,Volume 2. Jakarta : EGC. 2000


3.

Latief, abdul, dkk. Pelayanan kesehetan anak


di rumah sakit standar WHO. Jakarta : Depkes. 2009

4.

Garna, herry, dkk. Pedoman diagnosis dan


terapi. Bandung : UNPAD. 2005

5.

Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology :


Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4.
Jakarta : EGC. 1994

6.

Smeltzer,

Suzanne

C.

Buku

Ajar

Keperawatan Medikal Bedah, Volume I. Jakarta : EGC. 2000


7.

Sastroasmoro,

sudigdo,

dkk.

Panduan

pelayanan medis dept. IKA. Jakarta : RSCM. 2007


8.

Hegar, badriul. Pedoman pelayanan medis.


Jakarta : IDAI. 2010

22

Anda mungkin juga menyukai