Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

KOR PULMONAL

Disusun Oleh:
Tjiang Kelvin Candiago (07120110030)
Pembimbing:
dr. Inez Ariadne S., SpJP

Kepaniteraan Klinik Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Rumah Sakit Marinir Cilandak
Periode: 1 Juni 7 Agustus 2015
Jakarta, 2015

BAB I

PENDAHULUAN
Kor pulmonal adalah terjadinya pembesaran dari jantung kanan (dengan atau
tanpa gagal jantung kiri) sebagai akibat dari penyakit yang mempengaruhi struktur
atau fungsi dari paru-paru atau vaskularisasinya. Kor pulmonal mempunyai insidensi
sekitar 6-7 % dari seluruh kasus penyakit jantung dewasa di Amerika Serikat, dengan
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) karena bronchitis kronis dan emfisema
menjadi penyebab lebih dari 50% kasus kor pulmonal.
Sebaliknya, kor pulmonal akut biasanya menjadi kelainan sekunder akibat
adanya emboli paru massif. Tromboemboli paru akut adalah penyebab paling sering
dari cor pulmonale akut yang mengancam jiwa pada orang dewasa. Terdapat sekitar
50.000 angka kematian di Amerika Serikat dalam setahun akibat emboli paru dan
sekitar setengahnya terjadi dalam satu jam pertama akibat gagal jantung kanan.
Secara global, insidensi kor pulmonal bervariasi antar tiap negara, tergantung pada
prevalensi merokok, polusi udara, dan factor resiko lain untuk penyakit paru-paru
yang bervariasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Cor pulmonal didefinisikan sebagai perubahan dalam struktur dan fungsi dari
ventrikel kanan yang disebabkan oleh adanya gangguan primer dari system
pernapasan. Hipertensi pulmonal merupakan factor penghubung tersering antara
disfungsi paru-paru dan jantung dalam cor pulmonal. Kelainan pada ventrikel kanan
yang disebabkan oleh adanya kelainan utama pada ventrikel kiri tidak dianggap
sebagai cor pulmonal, tetapi cor pulmonal dapat berkembang dan menjadi penyebab
berbagai proses penyakit pada kardiopulmonal. Meskipun cor pulmonal seringkali
berlangsung kronis dengan progress yang lambat, onset akut cor pulmonal dapat
memburuk dengan komplikasi yang dapat mengancam jiwa.
EPIDEMILOGI

Meskipun prevalensi PPOK di Amerika Serikat terdapat sekitar 15 juta,


prevalensi yang tepat dari kor pulmonal sulit untuk ditentukan karena tidak terjadi
pada semua kasus PPOK, pemeriksaan fisik tidak sensitive untuk mendeteksi adanya
hipertensi pulmonal.
Kor pulmonal mempunyai insidensi sekitar 6-7 % dari seluruh kasus penyakit jantung
dewasa di Amerika Serikat, dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) karena
bronchitis kronis dan emfisema menjadi penyebab lebih dari 50% kasus kor pulmonal.
Sebaliknya, kor pulmonal akut biasanya menjadi kelainan sekunder akibat
adanya emboli paru massif. Tromboemboli paru akut adalah penyebab paling sering
dari cor pulmonale akut yang mengancam jiwa pada orang dewasa. Terdapat sekitar
50.000 angka kematian di Amerika Serikat dalam setahun akibat emboli paru dan
sekitar setengahnya terjadi dalam satu jam pertama akibat gagal jantung kanan.
Secara global, insidensi cor pulmonale bervariasi antar tiap negara, tergantung pada
prevalensi merokok, polusi udara, dan factor resiko lain untuk penyakit paru-paru
yang bervariasi.

ANATOMY DAN FISIOLOGI

Saluran pernafasan bagian atas terdiri atas :


a. Lubang hidung (cavum nasalis )
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan
tulang rawan (kartilago). Hidung dibentuk
oleh sebagian tulang sejati, sisanya terdiri atas
kartilago dan jaringan ikat (connective tissue).
Bagian dalam hidung merupakan suatu lubang
yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan oleh sekat (septum).
Rongga hidung mengandung rambut (fimbrie) yang berfungsi sebagai
penyaring (filter) kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan
(mukosa) hidung terdapat epitel bersilia yang mengandung sel goblet. Sel
tersebut mengeluarkan lender sehingga dapat menangkap benda asing yang
masuk ke dalam saluran pernafasan. Kita dapat mencium aroma karena di
dalam lubang hidung terdapat reseptor. Reseptor bau terletak pada
cibriform plate, didalamnya terdapat ujung dari saraf krania I (nervous
olfactorium)
Hidung berfungsi sebagai jalan nafas, pengatur udara, pengatur
kelembaban udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring
udara, indra pencium, dan resonator suara. Fungsi hidung sebagai
pelindung dan penyaring dilakukan oleh vibrissa, lapisan lender, dan
enzim lozosim. Vibrissa adalah rambut vestibulum nasi yang bertugas
sebagai penyaring debu dan kotoran (partikel berukuran besar). Debu-debu
kecil dan kotoran (partikel kecil) yang masih dapat melewati vibrissa akan
melekat pada lapisan lender dan selanjutnya dikeluarkan oleh refleks
bersin. Jika dalam udara masih terdapat bakteri (partikel sangat kecil),
maka enzim lizosim yang menghancurkannya.
b. Sinus para nasal
Sinus para nasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala.
Dinamakan sesuai dengan tulang tempat dia berada yaitu sinus frontalis,
sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maxilaris. Sinus berfungsi
untuk :
1) Membantu menghangatkan dan humidifikasi
2) Meringankan berat tulang tengkorak

3) Mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi


c. Faring
Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong (+ 13 cm) yang
letaknya bermula dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan
esophagus pada ketinggian tulang rawan (kartilago) krikoid. Faring
digunakan pada saat digestion (menelan) seperti pada saat bernafas.
Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi tiga yaitu dibelakang hidung
(nasi-faring), belakang mulut (oro-faring), dan belakang (laringo-faring).
d. Laring
Laring sering disebut dengan voice box dibentuk oleh struktur epitrlium
lined yang berhubungan dengan faring (di atas) dan trakea (di bawah).
Lring terletak di anterior tulang belakang (vertebra) ke-4
dan ke-6. Bagian atas dari esophagus berada di posterior laring.
Fungsi utama laring adalah untuk pembetukan suara, sebagai protek jalan
nafas bawah dari benda asing dan untuk memfasilitasi proses terjadinya
batuk. Laring terdiri atas :
1) Eoiglotis : katup kartilago yang menutup dan membuka selama
menelan.
2) Glotis : lubang antara pita suara dan laring.
3) Kartilago tiroid : kartilago yang terbesar pada trachea, terdapat bagian
yang membentuk jakun (adams apple).
4) Kartilago krikoid : cicin kartilago yang utuh di laring (terletak di
bawah kartilago tiroid).
5) Kartilago aritenoid : digunakan pada pergerakan pita suara bersama
dengan kartilago tiroid.
6) Pita suara : sebuah ligament yang dikontrol oleh pergerakan otot yang
menghasilkan suara dan menempel pada lumen laring.

Saluran pernafasan bagian bawah (tracheobronchial tree) terdiri atas :


a. Trachea
Trachea merupakan perpanjangan dari laring pada ketinggian tulang
vertebrae torakal ke-7 yang bercabang menjadi dua bronkus. Ujung cabang
trachea disebut carina. Trachea bersifat sangat fleksibel, berotot dan
memiliki panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf C. pada
cincin tersebut terdapat epitel bersilia tegak yang mengandung banyak sel
goblet yang mensekresikan lender (mucus).

b. Bronchus dan bronkhiolus


Cabang bronchus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih
vertical daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing
lebih mudah masuk ke dalam cabang sebelah kanan daripada cabang
bronchus sebelah kiri.
Segmen dan subsegmen bronchus bercabang lagi dan berbentuk seperti
ranting masuk ke setiap paru-paru. Bronchus disusun oleh jaringan
kartilago sedangkan bronkiolus yang berakhir di alveoli tidak mengandung
kartilago. Tidak adanya kartilago menyebabkan bronkhiolus mampu
menangkap udara, namun juga dapat mengalami kolaps. Agar tidak kolaps,
alveoli dilengkapi dengan porus/lubang kecil yang terletak antar alveoli
(kohn pores) yang berfungsi untuk mencegah kolaps alveoli.
Saluran pernafasan mulai dari trakea sampai bronkiolus terminal tidak
mengalami pertukaran dan merupakan area yang dinamakan anatomical
dead space. Banyaknya udara yang berada dalam area tersebut adalah
sebesar 150 ml. awal dari proses pertukaran gas terjadi di bronkeolus
respiratorius.
c. Alveoli
Parenkim paru-paru merupakan area
yang aktif bekerja dari jaringan paruparu. Parenkim tersebut mengandung
berjuta-juta unit alveolus. Alveolus
merupakan

kantong

udara

yang

berukuran sangat kecil, dan merupakan


akhir dari bronkhiolus respiratorius sehingga memungkinkan pertukaran
O2

dan CO2. Seluruh dari unit alveoli terdiri dari bronkhiolus

respiratorius, duktus alveolus, dan alveolar sacs. Fungsi utama dari unit
alveolus adalah pertukaran O2 dan CO2 di antara kapiler pulmoner dan
alveoli.
d. Paru-paru

Paru-pau terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya


berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma.
Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri
mempunyai dua lobus. Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas.
Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa subbagian menjadi sekita
sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments.
Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang yang sebut mediastinum.
Jantung, aorta, vena cava, pembuluh paru-paru, esophagus bagian dari
trachea dan bronchus, serta kelenjar timus terdapat pada mediastinum.
Sirkulasi pulmoner
Paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah yaitu arteri bronkhialis dan
arteri pulmonalis. Sirkulasi bronchial menyediakan darah teroksigenasi dari
sirkulasi siatemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolism jaringan
paru-paru. Arteri bronkhialis berasal dari aorta torakalis dan berjalan
sepanjang dinding posterior bronchus. Vena bronkhialis akan mengalirkan
darah menuju vena pulmonalis.

Kendali pernafasan
Fungsi mekanik pergerakan udara masuk dan keluar dari paru-pau dinamakan
ventilasi. Mekanisme tersebut dilaksanakan oleh sejumlah komponen factor
yang saling berinteraksi. Factor tersebut mengendalikan proses masuknya
udara ke dalam paru-paru agar pertukaran gas dapat berlangsung. Factor yang
dapat mengendalikan pernafasan adalah :
a. Factor local
Kondisi paru itu sendiri dan dinding dada yang mengelilingi paru-paru,
dimana keduanya berperan dalam pompa resiprokatif (timbale balik) yang
disebut hembusan nafas.

b. Control medulla oblongata


Sebagai pusat control pernafasan, terdapat daerah ritmik medulla
oblongata yang terdiri dari neuron inspirasi dan ekspirasi.
c. Control pons
Mengatur transisi dari fase inspirasi ke ekspirasi
d. Reflek hering breur
Reseptor yang mengatur tingkat peregangan paru-paru sebagai pelindung
agar tidak terjadi pengembangan yang berlebihan.
e. Kendali korteks
Kendali korteks terbatas yaitu hanya dapat mengubah ritmik sebagai
proteksi terhadap paru-paru.
f. Efek latihan jasmani
Olahraga berat menyebabkan penggunaan O2 lebih besar dan poduk CO2
lebih besar pula.
g. efek altitude/ ketinggian
tempat ketinggian akan menyebabkan penurunan tekanan oksigen
atmosfer, akibatnya seseorang yang berada pada tempat tinggi akan
mengalami peningkatan ritme nafas, denyut jangtung, dan kedalaman
pernafasan yang lazim terlihat pada seseorang yang sedang melakukan
aktivitas.

Fisiologi pernafasan
Proses respirasi dapat dibagi menjadi tiga proses utama :
a. ventilasi pulmonal adalah proses keluar masuknya udara dan atmosfer dal
alveoli paru-paru
b. difusi adalah proses pertukaran O2 dan Co2 antara alveoli dan darah
c. transfortasi adalah proses beredarnya gas dalam darah dan cairan tubuh
ked an dari sel-sel
Proses fisiologi respirasi dibagi menjadi tiga stadium yaitu :
a. difusi gas-gas antara alveolus dengan kapiler paru-paru dan darah sistemik
dengan sel-sel jaringan.
b. Distribusi darah adalah sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan
distribusi udara dalam alveolus-alveolus.
c. Reaksi kimia dan fisik O2 dan CO2 dengan darah
Proses repirasi eksternal
a. Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar dari paru-paru dikarenakan adanya
selisih tekanan udara di atmosfer dan alveolus dan didukung oleh kerja
mekanik otot-otot. Selama inspirasi, volume rongga dada bertambah besar
karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot.

Otot serratus, otot skaleneus, dan otot interkostalis eksternus berperan


mengangkat iga, sedangkan otot sternokleidomastoideus mengangkat
sternum ke atas.
b. Difusi
Stadium kedua proses respirasi mencakup proses difusi gas-gas melintasi
membrane antara alveolus-kapiler yang tipis. Kekuatan pendorong untuk
pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas.
Tekanan O2 dalam atmosfer sama dengan tekanan laut yakni + 149
mmHg.
Pada waktu O2 diinspirasi dan sampai pada alveolus, tekanan parsial ini
mengalami penurunan sampai sekitar 103 mmHg sebagai akibat dari udara
yang tercampur dengan ruang rugi anatomis pada saluran udara dan
dengan uap air.
c. Transportasi
Transportasi gas antar paru-paru dan jaringan meliputi proses-proses
berikut ini :
1) Transport oksigen dalam darah
Sistem pengangkutan O2 dalam tubuh terdiri atas paru-paru dan sistem
kardiovaskuler.
2) Transport karbonsioksida dalam darah
3) Kurva disosiasi oksihemoglobin
Oksihemoglobin adala struktur terikatnya oksigen pada hemoglobin.
ETIOLOGI

Banyak penyakit yang mempengaruhi paru dan hubungan dengan hipoksemia dapat
menyebabkan kor pulmonal disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
a. Penyakit paru-paru merata
Terutama emfisema, bronchitis kronis (COPD), dan fibrosis akibat TB
b. Penyakit pembuluh darah paru
Terutama thrombosis dan embolus paru dan fibrosis akibat penyinaran
yang menyebabkan penurunan elastisitas pembuluh darah paru.
c. Hipoventilasi alveolar menahun
Yaitu semua penyakit yang menghalangi pergerakan dada normal, seperti :
1) Penebalan pleura bilateral
2) Kelainan neuromuskuler, misalnya poliomyelitis dan distrofi otot
3) Kifoskoliosis yang mengakibatkan penurunan kapasistas rongga torak
sehingga pergerakan torak berkurang
d. Penyebab penyakit pulmonary heart disease antara lain :

1) Penyakit paru menahun dengan hipoksia :


a) Penyakit paru obstrutif kronik,
b) Fibrosis paru,
c) Penyakit fibrokistik,
d) Cryptogenic fibrosing alveolitis,
e) Penyakit paru lain yang berhubungan dengan hipoksia
2) Kelainan dinding dada : Kifos koliosis, torakoplasti, fibrosis pleura.
3) Gangguan mekanisme control pernafasan : Obesitas, hipoventilasi
idopatik, penyakit serebro vascular.
4) Obstruksi saluran nafas atas pada anak : Hipertrofi tonsil dan adenoid.
5) Kelainan primer pembuluh darah : Hipertensi pulmonale primer
emboli paru berulang dan vaskulitis pembuluh darah paru.
KLASIFIKASI

Secara umum kor pulmonal di bagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut
a. Kor pulmonal akut
Yaitu dilatasi mendadak dari ventrikel kanan dan dekompensasi.
Etiologi : embolus multiple pada paru-paru atau massif yang secara
mendadak akan menyumbat aliran darah dan ventrikel kanan.
Gejala : biasanya segera di susul oleh kematian, Terjadi dilatasi dari
jantung kanan.
b. Kor pulmonal kronik
Merupakan jenis kor pulmonal yang paling sering terjadi. Dinyatakan
sebagai hipertropi ventrikel kanan akibat penyakit paru atau pembuluh
darah atau adanya kelainan pada torak, yang akan menyebabkan hipertensi
dan hipoksia sehingga terjadi hipertropi ventrikel kanan.
Mekanisme terjadinya hipertensi pulmonale pada cor pulmunale dapat di bagi
menjadi 4 kategori yaitu :
a. Obstuksi

Terjadi karena adanya emboli paru baik akut maupun kronik. Chronic
Thromboembolic Pulmonary Hypertesion (CTEPH) merupakan salah satu
penyebab hipertensi pulmonale yang penting dan terjadi pada 0.1 0.5 %
pasien dengan emboli paru. Pada saat terjadi emboli paru, system
fibrinolisis akan bekerja untuk melarutkan bekuan darah sehingga
hemodinamik paru dapat berjalan dengan baik. Pada sebagian kecil pasien
system fibrinolitik ini tidak berjalan baik sehingga terbentuk emboli yang
terorganisasi

disertai

pembentukkan

rekanalisasi

dan

akhirnya

menyebabkan penyumbatan atau penyempitan pembuluh darah paru.


b. Obliterasi
Penyakit intertisial paru yang sering menyebabkan hipertensi pulmonale
adalah lupus eritematosus sistemik scleroderma, sarkoidosis, asbestosis,
dan pneumonitis radiasi. Pada penyakit-penyakit tersebut adanya fibrosis
paru dan infiltrasi sel-sel yang prodgersif selain menyebabkan penebalan
atau

perubahan

jaringan

interstisium,

penggantian

matriks

mukopolisakarida normal dengan jaringan ikat, juga menyebabkan


terjadinya obliterasi pembuluh paru.
c. Vasokontriksi
Vasokontriksi pembuluh darah paru berperan penting dalam pathogenesis
terjadinya

hipertensi

pulmonale.

Hipoksia

sejauh

ini

merupakan

vasokontrikstor yang paling penting. Penyakit paru obstruktif kronik


merupakan penyebab yang paling di jumpai. Selain itu tuberkolosis dan
sindrom hipoventilasi lainnya misalnya sleep apnea syndrome, sindrom
hipoventilasi pada obesitas, dapat juga menyebabkan kelainan ini. Asidosis
juga dapat berperan sebagai vasokonstriktor pembuluh darah paru tetapi
dengan potensi lebih rendah. Hiperkapnea secara tersendiri tidak
mempunyai efek fasokonstriksi tetepi secara tidak langsung dapat
meningkatkan tekanan arteri pulmunalis melalui efek asidosisnya.
Eritrositosis yang terjadi akibat hipoksia kronik dapat meningkatkan
vikositas darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan arteri
pumonalis.
d. Idiopatik
Kelainan idiopatik ini di dapatkan pada apsien hipertensi pulmonale
primer yang di tandai dengan adanya lesi pada arteri pumonale yang kecil
tanpa di dapatkan adanya penyakit dasar lainnya baik pada paru maupun
pada

jantung.

Secara

histopatologis

di

dapatkan

adanya

hipertrofitunikamedia,

fibrosistunikaintima,

lesi

pleksiform

serta

pembentukan mikro thrombus. Kelainan ini jarang di dapat dan etiologinya


belum di ketahui Waupun sering di kaitkan dengan adanya penyakit
kolagen, hipertensi portal, penyakit autoimun lainnya serta infeksi HIV.
PATOFISIOLOGI

Beratnya pembesaran ventrikel kanan pada kor pulmonal berbaring lurus dengan
fungsi pembesaran dari peningkatan afterload. Jika resistensi vaskuler paru meningkat
dan relative tetap, seperti pada penyakit vaskuler atau parenkim paru, peningkatan
curah jantung sebagaimana terjadi pada pengerahan tenaga fisik, maka dapat
meningkatkan tekanan arteri pulmonalis secara bermakna. Afterload ventrikel kanan
secara kronik meningkat jika volume paru membesar, seperti pada penyakit COPD,
pemanjangan pembuluh paru, dan kompresi kapiler alveolar.
Pathway
Gangguan paru-paru restriktif, obstruksi, primer
Perubahan fungsional paru

Perubahan anatomi pembuluh


darah paru-paru

Hipoksemia dan hiperkapnea

Pengurangan jaringan
vascular paru-pau

Asidosis
Polisitemia

Vasokontriksi arteri pulmonal

Peningkatan resistensi vascular paru


Hipertensi pulmonal
Hipertensi ventrikel kanan
Kor pulmonal

Penurunan oksigenasi
Hipoksemia & hiperkapnea
Sakit kepala, confusion, dan
somnolen
gg. pertukaran gas

Hipertropi ventikel kanan


Gagal jantung
Penyakit paru dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan pada suatu waktu
akan mempengaruhi jantung serta menyebabkan pembesaran ventrikel kanan. Kondisi
ini sering kali menyebabkan terjadinya gagal jantung. Beberapa kondisi yang
menyebabkan

penurunan oksigenasi paru dapat mengakibatkan

hipoksemia

(penurunan PaO2) dan hiperkapnea (peningkatan PaO2), yang nantinya akan

mengakibatkan insufisiensi ventilasi. Hipoksia dan hiperkapnea akan menyebabkan


vasokontriksi arteri pulmonal dan memungkinkan terjadinya penurunan vaskularisasi
paru seperti pada emfisemi dan emboli paru. Akibatnya akan terjadi peningkatan
tahanan pada sistem sirkulasi pulmonal, yang akan menjadikannya hipertensi
pulmonal. Tekanan rata-rata pada arteri paru (arterial mean pressure) adalah 45
mmHg, jika tekanan ini meningkat dapat menimbulkan kor pulmonal. Ventrikel kanan
akan hipertropi dan mungkin diikuti oleh gagal jantung kanan.
MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis yang muncul pada klien dengan penyakit kor pulmonal adalah sebagai
berikut.
a. Sesuai dengan penyakit yang melatarbelakangi, misalnya COPD akan
menimbulkan gejala nafas pendek, dan batuk.
b. Gagal ventrikel kanan akan muncul, distensi vena leher, liver palpable ,
efusi pleura, asites, dan murmur jantung.
c. Sakit kepala, confusion, dan somnolen terjadi akibat peningkatan PCO2.
Informasi yang di dapat bisa berbeda-beda antara satu penderita yang satu dengan
yang lain tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan pulmonary heart disease.
a. Kor-pumonal akibat Emboli Paru : sesak tiba-tiba pada saat istirahat,
kadang-kadang didapatkan batuk-batuk, dan hemoptisis.
b. Kor-pulmonal dengan PPOM : sesak napas disertai batuk yang produktif
(banyak sputum).
c. Cor pulmonal dengan Hipertensi Pulmonal primer : sesak napas dan sering
pingsan jika beraktifitas (exertional syncope).
d. Pulmonary heart disease dengan kelainan jantung kanan : bengkak pada
perut dan kaki serta cepat lelah.
Gejala predominan pulmonary heart disease yang terkompensasi berkaitan dengan
penyakit parunya, yaitu batuk produktif kronik, dispnea karena olahraga, wheezing
respirasi, kelelahan dan kelemahan. Jika penyakit paru sudah menimbulkan gagal
jantung kanan, gejala - gejala ini lebih berat. Edema dependen dan nyeri kuadran
kanan atas dapat juga muncul.
Tanda- tanda pulmonary heart disease misalnya sianosis, clubbing, vena leher
distensi, ventrikel kanan menonjol atau gallop ( atau keduanya), pulsasi sternum
bawah atau epigastrium prominen, hati membesar dan nyeri tekan, dan edema
dependen.
Gejala- gejala tambahan ialah: Sianosis, Kurang tanggap/ bingung, Mata menonjol

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK


a. Pemeriksaan radiologi
Perluasan hilus dapat dinilai dari perbandingan jarak antara permulaan
percabangan pertama arteri pulmonalis utama kanan dan kiri dibagi dengan
diameter transversal torak. Perbandingan > 0,36 menunjukkan hipertensi
pulmonal.
Batang pulmonal dan hilus membesar
b. Ekokardiografi
Memungkinkan pengukuran ketebalan dinding ventrikel kanan, meskipun
perubahan volume tidak dapat diukur, teknik ini dapat memperlihatkan
pembesaran kavitas ventrikel kanan dalam yang menggambarkan adanya
pembesaran ventrikel kiri. Septum interventrikel dapat bergeser ke kiri.
c. Magnetic resonance imaging (MRI)
Berguna untuk mengukur massa ventrikel kanan, ketebalan dinding, volume
kavitas, dan fraksi ejeksi.
d. Biopsi paru
Dapat berguna untuk menunjukkan vaskulitis pada beberapa tipe penyakit
vaskuler paru seperti penyakit vaskuler kolagen, arthritis rheumatoid, dan
Wegener granulomatosis.
DIAGNOSIS BANDING
Dalam mendiagnosa cor pulmonale, penting untuk mempertimbangkan kemungkinan
penyakit tromboemboli dan hipertensi pulmonal sebagai etiologi. Diagnosis banding
lain untuk cor pulmonale antara lain :
1. Gagal jantung kongestif
2. Perikarditis konstriktif
3. Kardiomiopati infiltrative
4. Stenosis pulmonal
5. Gagal jantung kanan akibat infark ventrikel kanan
6. Gagal jantung kanan akibat penyakit jantung bawaan
7. Defek septum ventrikel
PENATALAKSANAAN
Terapi medis untuk cor pulmonale kronis umumnya difokuskan pada
pengobatan penyakit paru yang mendasari dan meningkatkan oksigenasi serta fungsi
ventrikel kanan dengan meningkatkan kontraktilitas ventrikel kanan dan mengurangi
vasokonstriksi pulmonal. Pada kasus cor pulmonale akut dilakukan terapi untuk
menstabilkan hemodinamika pasien. Pada cor pulmonale akut dengan gagal ventrikel
kanan meliputi pemberian cairan dan vasokonstriktor untuk mempertahankan tekanan
darah yang cukup.

Untuk tromboemboli paru yang berat pertimbangkan pemberian antikoagulasi,


agen trombolitik dan embolectomy terutama jika kolaps sirkulasi tidak dapat dicegah.
Juga pertimbangkan pemberian bronkodilator dan pengobatan infeksi pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan agen steroid ataupun
imunosupresant pada penyakit infiltratif dan fibrosis paru.
Terapi oksigen, diuretic, vasodilator dan antikoagulasi merupakan modalitas
berbeda yang dapat digunakan pada terapi jangka panjang cor pulmonale kronik.
Terapi oksigen sangat penting pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) yang mendasarinya. Pada cor pulmonale, tekanan parsial oksigen (PaO2)
cenderung berada dibawah 55 mmHg dan menurun lebih lanjut pada saat beraktivitas
ataupun tidur. Terapi oksigen dapat mengurangi vasokonstriksi pulmonal akibat
hipoksia yang kemudian dapat meningkatkan curah jantung, meredakan hipoksemia
jaringan dan meningkatkan perfusi ginjal. Pada suatu penelitian dengan percobaan
terapi oksigen nocturnal secara acak menunjukkan bahwa terapi oksigen dengan aliran
rendah yang terus menerus untuk pasien dengan PPOK berat memberikan penurunan
angka kematian yang signifikan.
Secara umum pada pasien dengan PPOK terapi oksigen jangka panjang
dianjurkan ketika PaO2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi O2 kurang dari 88%.
Namun, pada kasus cor pulmonale dengan gangguan fungsi mental maupun fungsi
kognitif, terapi oksigen dapat dilakukan meskipun PaO2 lebih dari 55 mmHg atau
saturasi O2 lebih dari 88%.
Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi peningkatan volume pengisian
ventrikel kanan pada pasien dengan cor pulmonale kronik. Agen ini dapat
meningkatkan fungsi kedua ventrikel kanan dan kiri. Namun, diuretic dapat
menimbulkan efek yang merugikan hemodinamik jika tidak digunkan secara hati-hati.
Deplesi volume yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan curah jantung.
Calsium channel blockers dapat digunakan sebagai vasodilator arteri
pulmonalis yang telah terbukti keampuhannya dalam pengobatan jangka panjang cor
pulmonale kronis yang diakibatkan oleh hipertensi arteri pulmonalis. Glikosida
jantung seperti digitalis dapat digunakan pada gagal ventrikel kanan karena dapat
meningkatkan fungsi ventrikel kanan namun harus digunankan secara hati-hati dan
dihindari selama episode akut cor pulmonale. Indikasi utama pemberian antikoagulan

oral dalam pengobatan cor pulmonale adalah adanya tromboemboli yang mendasari
ataupun adanya hipertensi arteri pulmonal primer. Methilxanthin seperti teofilin dapat
digunakan sebagai pengobatan tambahan untuk cor pulmonale kronis dengan penyakit
paru obstruktif kronis (PPOK). Selain efek bronkodilator methilxanthine dapat
meningkatkan kontraktilitas miokard dan menyebabkan efek vasodilatasi ringan pada
paru. Teofilin memiliki efek inotropik lemah, dengan demikian dapat meningkatkan
ejeksi ventrikel kanan dan kiri. Teofilin dosis rendah disarankan untuk mendapatkan
efek antiinflamasi yang membantu untuk mengontrol penyakit paru yang mendasari
seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Agonis beta selektif memiliki keuntungan tambahan sebagai bronkodilator dan
efek mukosiliar. Epoprostenol, treprostinil, dan iloprost adalah analog prostasiklin dan
memiliki efek vasodilator yang kuat. Epoprostenol dan treprostinil diberikan secara
intravena dan iloprost sebagai inhaler. Bosentan yang merupakan antagonis reseptor
endotelin-A dan endotelin-B diindikasikan untuk hipertensi arteri pulmonalis
termasuk hipertensi pulmonal primer. Dalam uji klinis, bosentan meningkatkan
kapasitas, penurunan laju kerusakan klinis, dan peningkatan hemodinamika. Sildenafil
merupakan inhibitor PDE5 telah dipelajari secara intensif dan telah disetujui untuk
pengobatan hipertensi pulmonal. Sildenafil secara selektif dapat merelaksasikan otot
polos pembuluh darah vascular paru. Warfarin merupakan antikoagulan yang
dianjurkan pada pasien dengan resiko tinggi tromboemboli. Peran menguntungkan
dari penggunaan antikoagulan dalam mengurangi gejala dan angka kematian pada
pasien telah dibuktikan dalam beberapa penelitian.
PROGNOSIS
Tingkat keparahan GBS pada anak-anak tidak berkorelasi dengan hasil jangka panjang.
Pemulihan yang lebih baik pada anak-anak daripada orang dewasa: 85 persen anak-anak
dapat diharapkan untuk memiliki pemulihan yang sangat baik; 50% adalah rawat jalan oleh
enam bulan; 70 persen berjalan dalam waktu satu tahun setelah onset. Sebuah prognosis yang
lebih baik dikaitkan dengan evolusi bertahap dari kelemahan.
Kematian adalah sekitar 3 sampai 4 persen, dan biasanya sekunder kegagalan pernapasan atau
komplikasi jantung. Kematian akibat GBS dikaitkan dengan gangguan otonom dengan
serangan jantung menjadi penyebab paling umum (20-30% kematian).

Periode pemulihan mungkin sesedikit beberapa minggu atau selama beberapa tahun. Sekitar
30 persen dari mereka dengan GBS masih memiliki kelemahan sisa setelah 3 tahun. Sekitar 3
persen mungkin mengalami kekambuhan dari kelemahan otot dan kesemutan sensasi
bertahun-tahun setelah serangan awal.
KOMPLIKASI

Komplikasi dari pulmonary heart disease diantaranya:


a. Sinkope
b. Gagal jantung kanan
c. Edema perifer
d. Kematian

PROGNOSIS
Belum ada pemeriksaan prospektif yang dilakukan untuk mengetahui
prognosis pulmonary heart disease kronik. Pengamatan yang dilakukan tahun 1950
menunjukkan bahwa bila terjadi gagal jantung kanan yang menyebabkan
kongestinvena sistemik, harapan hidupnya menjadi kurang dari 4 tahun.
Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan pasien selama episode
akut yang berkaitan dengan infeksi dan gagal napas mangalami banyak kemajuan
dalam 5 tahun terakhir.
Prognosis pulmonary heart disease berkaitan dengan penyakit paru yang
mendasarinya. Pasien yang mengalami pulmonary heart disease akibat obeliterasi
pembuluh darh arteri kecil yang terjadi secara perlahan-lahan akibat penyakit
intrinsiknya (misal emboli), atau akibat

fibrosis intertisial harapan juntuk

perbaikannya kecil karena kemungkinan perubahan anatomi yang terjadi subah


menetap. Harapan hidup pasien PPOK jauh lebih baik bila analisis gas darahnya dapat
dipertahankan mendekati normal.

REFERENSI

1. Sherwood L. Fundamentals of physiology: a human perspective. 3rd


ed. Belmont, Calif. : Brooks/Cole ; 2006.

2. Tortora GJ. Principles of anatomy and physiology.12th ed. Hoboken, NJ


: J. Wiley; 2009.

3. Sovari

AA.

Cor

Pulmonale:

Overview

of

Cor

Pulmonale

Management. Medscape. 2011.


4. Weitzenblum E, Chaouat A. Cor Pulmonale. Medscape. 2009;6(3):
177-185.
5. Han MK et all. Pulmonary disease and the heart. Medscape.
2007;116(25): 2992-3005.
6. Mekontso DA et all. Prevalence and prognosis of shunting across
patent foramen ovale during acute respiratory distress syndrome.
Medscape. 2010;38(9): 1786-1792.
7. Fedullo PF et all. Chronic thromboembolic pulmonary
hypertension. Medscape. 2001;345(20): 1465-1472.
8. Anderson JR, Nawarskas JJ. Pharmacotheurapetic management of
pulmonary arterial hypertension. Medscape. 2010;18(3): 148162.

9. Hoeper MM. Drug treatment of pulmonary arterial hypertension :


current and future agents. Medscape. 2005;65(10): 1337-1354.
10. Sitbon O et all. Long term response to calcium channel blockers
in idhiopathic pulmonary arterial hipetension. Medscape.
2005;111(23): 3105-3111.
11. Volschan A et all. Predictors of hospital mortality in
hemodynamically stable patients with pulmonary embolism.
Medscape. 2009;93(2): 135-140.

Anda mungkin juga menyukai