Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

TONSILITIS

Disusun Oleh:

Adinda Rabiattun Adawiah, S.Ked

I4061192020

Pembimbing:

dr. Eni Nuraeni, M. Kes., Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT


THT-KL RSUD DOKTER SOEDARSO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK

2020
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Referat dengan judul: Tonsilitis

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik

Stase Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Dokter Soedarso Pontianak

Pontianak, Januari 2021


Disetujui Oleh Penyusun

dr. Eni Nuraeni, M. Kes.,Sp.THT-KL Adinda Rabiattun Adawiah, S. Ked


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul “Tonsilitis”. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat
kelulusan kepaniteraan klinik Stase Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Doktor
Soedarso Pontianak.

Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dukungan,


bimbingan serta dari semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama
kepada dr. Eni Nuraeni, M. Kes.,Sp.THT- KL selaku pembimbing referat
di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Dokter Soedarso Pontianak yang
telah dengan sabar memberikan bimbingan, kritik, serta saran yang
membangun. Tidak lupa rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada para
tenaga medis dan karyawan yang telah membantu selama kami mengikuti
kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit THT-KL Dokter Soedarso
Pontianak dan juga berbagai pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan
satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan,
maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat di
harapkan demi penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya semoga penulisan
ini bermanfaat bagi banyak pihak, khususnya bagi penulis dan para
pembaca pada umumnya.
Pontianak, Januari 2021
Adinda Rabiattun Adawiah, S.Ked
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil palatina, yang ditandai


dengan sakit tenggorokan, gangguan menelan, dan pemebesaran ringan kelenjar
limfe leher. Peradangan biasa meluas hingga ke adenoid maupun tonsil lingual. 1
Tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin
Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut
yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual
(tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring atau
Gerlach’s tonsil).2
World Health Organization (WHO) tidak mengeluarkan data mengenai
jumlah kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan 287.000 anak
dibawah 15 tahun mengalami tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi,
248.000 (86,4 %)mengalami tonsiloadenoidektomi dan 39.000 (13,6 %) lainnya
menjalani tonsilektomi. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di tujuh
provinsi Indonesia, prevalensi tonsilitis kronik 3,8 % tertinggi setelah
nasofaringitis akut 4,6 %. 3
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk
strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr,
enterovirus, dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada
tonsilitis adalah bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari
tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan juga merupakan penyebab radang
tenggorokan.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tonsila Palatina

Gambar 1. Anatomi Tonsil5


Tonsil terdiri dari tonsil lingual, tonsil faringeal (adenoid) dan tonsil palatina.
Tonsil palatine merupakan sepasang massa jaringan lunak dibagian belakang
faring. Terdapat satu buah tonsil palatine pada tiap sisi.Tiap tonsil merupakan
jaringan limfoid yang dilapisi epitel respirasi yang berinvaginasi dan membentuk
kripta / kriptus.6
Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada
kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Tonsil mendapat darah dari a. palatine minor, a. palatine asendens,
cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring asendens dan a. lingualis dorsal.6

Gambar 2. Vaskularisasi Tonsil

Tonsil merupakan bagian dari sistem limfatik yang berperan dalam


imunitas, bersama dengan tonsil lingual dan tonsil palatine membentuk cincin
Waldeyer selaku agregat limfoid pertama pada saluran aerodiestif. Tonsil akan
menghasilkan limfosit dan aktif mensintesis immunoglobulin saat terjadinya infeksi
di tubuh. Tonsil akan membengkak saat berespon terhadap infeksi. 6
Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi
dan bertindak seperti filter untuk mencegah bakteri dan virus masuk ke tubuh
melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi
antibodi untuk melawan patogen. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar
benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak
mampu melindungi tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi
yaitu tonsilitis.7
Tonsil secara imunologis aktif antara usia 4 dan 10 tahun, dan terbukti terlibat
pada produksi imunoglobulin sekretori. Involusi tonsil dimulai setelah pubertas,
mengakibatkan penurunan populasi sel B dan peningkatan relatif rasio sel T
terhadap B. Limfosit T dan B adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh yang
paling penting dan respons imun seluler dan humoral bergantung pada aktivitasnya.
8-9

2.2 Definisi Tonsilitis


Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa virus, bakteri,
dan jamur yang masuk secara aerogen atau foodborn. Penyebaran infeksi melalui
udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur,
terutama pada anak 11,12

2.3 Epidemiologi Tonsilitis


World Health Organization (WHO) pada tahun 2013 tidak mengeluarkan
data mengenai jumlah kasus tonsilitis di dunia, namun WHO memperkirakan
287.000 anak dibawah 15 tahun mengalami tonsilektomi dengan atau tanpa
adenoidektomi, 248.000 (86,4 %) mengalami tonsiloadenoidektomi dan 39.000
(13,6 %) lainnya menjalani tonsilektomi.13

Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 mengeluarkan data, penyakit


infeksi masih merupakan masalah utama di bidang kesehatan. Angka kejadian
penyakit tonsillitis di Indonesia sekitar 23 %. Berdasarkan data epidemiologi di
tujuh provinsi mengenai penyakit THT di Indonesia. Hasil pemeriksaan yang
ditemui pada anak-anak menunjukkan banyaknya penyakit THT penduduk di
Indonesia berjumlah 190-230 per 1.000. Dan didapati 38,4 % diantaranya
merupakan penderita yang mengalami penyakit tonsilitis kronik dan prevalensi
tonsilitis kronik 3,8 % tertinggi setelah infeksi nasofaringitis akut 4,6 % .3
2.4 Etiologi Tonsilitis
Tonsilitis bisa disebabkan oleh berbagai jenis bakteri dan virus. Tonsilitis
akut lebih sering disebabkan oleh kuman Group A Streptococcus β-hemolyticus,
Pneumococcus, Streptococcus viridans dan Streptococcus pyogenes, sedangkan
tonsilitis kronik disebabkan oleh polibakterial seperti streptokokus alfa dan beta
hemolitikus, S aureus, H influenza, dan Bacteriodes. Pada tonsilitis kronik dapat
terjadi perubahan pola kuman menjadi bakteri gram negatif. . Tonsilitis difteri
dapat disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, ditransmisikan melalui
droplet udara atau kontak kulit. Sedangkan Angina Plaut-Vincent disebabkan oleh
bakteri spirochaeta atau treponema 14
Di RS Universitas Malaysia, bakteri pada penderita yang dilakukan
tonsilektomi adalah Haemophilus influenza, Streptococcus pyogenes,
Streptococcus Group B, H. parainfluenza, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus
Group G, Streptococcus Group F, Streptococcus Group C, Streptococcus
pneumonia dan Pseudomonas aeruginosae. 14
Penelitian di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou, menunjukkan mikroorganisme
pada penderita tonsilitis adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
Streptococcus sp., Branhamella catarrhalis, Enterobacter aerogenes, Alcaligenes
faecalis. Penelitian lain yang dilakukan di RSUD Ulin Banjarmasin pada tahun
2015, didapatkan bahwa dari pasien berusia 1-17 tahun yang didiagnosis dengan
tonsilitis kronis, Staphylococcus aureus ditemukan pada 53,84% dari swab tonsil
yang diperiksakan, Escherichia coli 7,69%, dan Streptococcus sp. 38,46%.10
Faktor predisposisi tonsilitis kronis antara lain iritasi kronis, gizi/daya
tahan tubuh yang rendah, pengaruh cuaca dan higine mulut yang buruk serta
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.10
Pada masa anak dan pubertas dimana kebutuhan kalori dan protein
meningkat, namun kadang hal ini tidak disertai dengan asupan yang cukup. Hal ini
dapat menyebabkan kekurangan gizi dan daya tahan tubuh menjadi sangat rendah
sehingga lebih banyak mengalami masalah kesehatan. Selain itu pada anak yang
terbiasa beraktifitas di tempat yang bersih kurang terpapar dengan mikroorganisme
yang pada gilirannya menyebabkan daya tahan tubuh mereka tidak berkembang
secara sempurna sehingga sulit mengatasi infeksi yang. Tidak dapat dijelaskan
adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin pada tonsilitis kronis dan rekuren.10

2.5 Klasifikasi Tonsilitis


Tonsilitis dapat diklasifikasi menjadi tonsilitis akut, tonsilitis difteri, angina
plaut-vincent(stomatis ulser membranosa), dan tonsilitis kronis. 1
a. Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut dapat berupa tonsilitis viral dan tonsilitis bakterial.
Tonsilitsi viral atau umumnya disebabkan oleh virus Epstein Barr(EBV).
Hampir 75% kasus tonsilitis disebabkan oleh virus. Gejala mneyerupai
common cold disertai nyeri tenggorok dan pembesaran kelenjar limfe juga
dapat memperberat keadaan. Virus hemofilus influenza menyebabkan
tonsilitis akut supuratif. 1
Tonsilitis Bakterial menyebabkan 15-30% kasus tonsilofaringitis.
Paling sering disebabkan bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A,
Streptokokus viridan, dan Streptokokus pyogenes. Reaksi radang di tonsil
menyebabkan keluarnya leukosit polimorfonuklear. Kumpulan leukosit,
bakteri yang mati, dan epitel yang lepas membentuk detritus (bercak atau
bintik keputihan pada tonsil). Tonsilitis akut lebih sering ditemukan pada anak
dan remaja dengan masa inkubasi selama 2-4 hari. 1

b. Tonsilitis Difteri
Frekuensi kejadian tonsilitis difteri menurun seiring keberhasilan
imunisasi aktif. Tidak semua individu yang terinfeksi akan menjadi sakit.
Terkandung titer anti toksin dalam darah seseorang (minimal 0,03 IU per ml
darah). Tersering ditemukan pada anak berusia di bawah 10 tahun (khususnya
anak berusia 2-5 tahun) walaupun dapat pula ditemukan pada orang dewasa.
Bakteri yang ada menghasilkan endotoksin khusus yang menyebabkan
nekrosis sel epitelial dan ulserasi, sehingga menyebabkan mukosa terluka dan
terbentuk fibrin (pseudomembran). 1
c. Angina Plaut-Vincent (Stomati- Tis Ulser Membranosa)
Ditandai dengan disfagia unilateral dengan napas berbau dan malaise.
Dapat menyebar hingga ke uvula, dinding fairng, gusi dan proteus alveolaris.
Penatalaksanaan dengan antibiotik spektrum luas (Penisilin) selama 1 minggu,
kauter lokal dengan 10% AGNO, atau asam kromik 5%, disertai dengan obat
kumur untuk memperbaiki higienitas mulut. Vitamin C dan vitamin B
kompleks juga dapat diberikan pada pasien. 1
d. Tonsilitis Kronik
Beberapa faktor yang menjadi faktor predisposisi terjadinya tonsilitis
kronik mencakup pajanan radiasi, higienitas oral buruk, rokok, perubahan
cuaca, dan penggunaan obat-obatan.1
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi
pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh
serangan ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan yang
permanen pada tonsil.15

2.6 Patofisiologi Tonsilitis


Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang
berasal dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil hingga
terjadi perlawanan tubuh dan bisa menyebabkan peradangan oleh virus yang
tumbuh di membran mukosa kemudian terbentuk fokus infeksi. Keadaan ini akan
semakin berat jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan virus
sebelumnya. Tonsilitis akut yang disebabkan oleh bakteri disebut peradangan lokal
primer. Setelah terjadi serangan tonsilitis akut, tonsil akan sembuh atau bahkan
tidak dapat kembali sehat seperti semula.15
Secara patologi terdapat peradangan dari jaringan pada tonsil dengan adanya
kumpulan leukosit, sel epitel yang mati, dan bakteri pathogen dalam kripta. Fase-
fase patologis tersebut ialah: Peradangan biasa daerah tonsil saja, Pembentukan
eksudat, Selulitis tonsil, Pembentukan abses peritonsiler, Nekrosis jaringan.16
Karena proses radang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh
jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara
klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fosa tonsilaris.16
Peradangan dapat menyebabkan keluhan tidak nyaman kepada penderita
berupa rasa nyeri saat menelan karena sesuatu yang ditelan menyentuh daerah
yang mengalami peradangan. Peradangan tonsil akan mengakibatkan pembesaran
yang menyebabkan kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di
tenggorok. Pada anak biasanya keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan
berupa ngorok saat tidur karena pengaruh besarnya tonsil mengganggu pernafasan
bahkan keluhan sesak nafas juga dapat terjadi apabila pembesaran tonsil telah
menutup jalur pernafasan. Jika peradangan telah ditanggulangi, kemungkin tonsil
kembali pulih seperti semula atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula.
Apabila tidak terjadi penyembuhan yang sempurna pada tonsil, dapat terjadi
infeksi berulang. Apabila keadaan ini menetap, bakteri patogen akan bersarang di
dalam tonsil dan terjadi peradangan yang kronis atau yang disebut dengan
tonsilitis kronis.16

2.7 Gejala Klinik Tonsilitis


Gejala klinis untuk tonsilitis akut dapat berupa nyeri tenggorok, nyeri
menelan, demam tinggi, lesu, nyeri sendi, penurunan nafsu makan, dan nyeri di
telinga sebagai nyeri alih melalui nervus glosofaringeus (N. IX). Pada anak
terkadang disertai drooling (air liur menetes keluar) karena terdapat nyeri menelan
dan susah makan. Pada kondisi yang lebih berat, dapat timbul tanda-tanda
obstruksi jalan napas terlihat pasien mendengkur saat tidur atau tampak
berhentinya bernapas atau apnea (sleep apnea). Gejala biasanya membaik dalam 3-
4 hari, tetapi dapat menetap hingga 2 minggu.1

Pada tonsilitis difteri gejala klinis dapat dibagi menjadi gejala umum, gejala
lokal, dan gejala toksik. Gejala umum dapat berupa demam subfebris, sakit kepala,
penurunan nafsu makan, tubuh melemah, nadi lambat dan nyeri menelan. Dalam
24 jam gejala dapat memberat hingga malaise dan sakit kepala berat, dan mual.
Lebih lanjut, pasien dapat hingga pucat, nadi cepat, koma, hingga kematian. Gejala
lokal dapat berupa terdapat membran semu (pseudomembran) pada tonsil, dapat
meluas hingga palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, dan bronkus yang
hingga dapat menyumbat saluran napas. Awalnya pseudomembran yang terbentuk
berwarna putih keabu-abuan kemudian berwarna abu-abu. Pseudomembran
melekat erat, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Dalam perjalanan
penyakitnya akan teraba kelenjar getah bening leher yang mebesar dan bila
membesar hingga menyerupai leher sapi disebut Burgemeester's hals (bull neck).
Gejala toksik berupa terdapat endotoksin yang dapat merusak jantung (miokarditis
hingga dekompensasio kordis), saraf kranial (kelumpuhan otot palatum dan otot
pernapasan), dan ginjal (albuminuria). 1

Pada Angina Plaut-Vincent (Stomati- Tis Ulser Membranosa) ditandai


dengan disfagia unilateral dengan napas berbau dan malaise. Pasien umumnya
demam hingga 39°C, sakit kepala, kelemahan, hipersalivasi, nyeri di mulut, gigi
dan gusi mudah berdarah, hingga gangguan pencernaan. Pada pemeriksaan fisis
didapatkan mulut berbau, kelenjar getah bening submandibula membesar, mukosa
mulut dan faring hiperemis dengan ulkus pada tonsil palatina unilateral yang
tertutup membran putih keabuan. 1

Pada tonsilitis kronis, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan


permukaan yang tidakrata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus.
Rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas
berbau. Radang amandel/tonsil yang kronis terjadi secara berulang-ulang dan
berlangsung lama. Pembesaran tonsil/amandel bisa sangat besar sehingga tonsil
kiri dan kanan saling bertemu dan dapat mengganggu jalan pernapasan. 17

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur


jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial
kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :7
T0 : Post Tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam Fossa Tonsilaris
T2 : Sudah melewati pillar anterior belum melewati garis paramedia
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median T4 : Sudah
melewati garis median

Gambar 3. Ukuran Tonsil


(A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils.
(C) Grade-III tonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)18

2.8 Diagnosis Tonsilitis


Diagnosis tonsilitis dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
menentukan tipe tonsilitis dan kemungkinan etiologi penyebabnya. Pemeriksaan
penunjang seperti kultur bakteri, Rapid Antigen Detection Test (RADT) dari usap
tenggorok serta antibodi antistreptokokus dan pemeriksaan radiologi dapat
dilakukan apabila menyebar ke struktur leher bagian dalam. 19,20

a. Anamnesis
Anamnesis diperlukan untuk menentukan tipe tonsilitis (akut, berulang
atau kronik) atau akibat infeksi virus atau bakteri. Umumnya gejala tipikal dari
tonsilitis, seperti nyeri tenggorokan, disfagia, odinofagia, limfadenopati servikal,
suara serak, demam, halitosis, sakit kepala dan hilangnya napsu makan. Namun,
dapat terdapat gejala atipikal pada anak berupa nyeri perut, mual dan muntah. 20

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang diperlukan pada tonsilitis adalah sebagai berikut :

- Tanda vital dan tanda dehidrasi


- Pemeriksaan jalan napas dan fungsi menelan
- Inspeksi rongga mulut untuk menilai trismus
- Pemeriksaan faring: hiperemis, edema, deviasi uvula
- Penilaian tonsil
- Pemeriksaan kelenjar getah bening
- Pemeriksaan telinga dan pergerakan leher
- Penilaian tonsil dilakukan mencakup aspek berikut :

- Ukuran
- Warna
- Permukaan: adanya membran berwarna abu-abu tidak mudah berdarah
mengarah kepada infeksi virus Epstein Barr sedangkan adanya
pseudomembran berwarna putih dan mudah berdarah mengarah pada
diagnosis banding difteri
- Eksudat
- Detritus
- Ulkus
- Kripta melebar/tidak
- Lalu, dilanjutkan palpasi menilai kelenjar getah bening servikal,
pembengkakan dan nyeri tekan serta pemeriksaan telinga dan pergerakan
leher.20,21

Modified Centor Score


Modified Centor score dapat digunakan untuk menilai apakah
tonsilitis disebabkan oleh infeksi group A beta-hemolytic
streptococcus (GABHS). Kriteria skor ini adalah sebagai berikut :
- Tidak ada batuk (1 poin)

- Adenopati servikal anterior (1 poin)

- Demam (1 poin)

- Bengkak atau terdapat eksudat pada tonsil (1 poin)


- Usia 3-14 tahun (1 poin)

- Usia 15-44 tahun (0 poin)

- Usia >45 tahun (-1 poin)

- Skor < 1: tidak dibutuhkan pemeriksaan penunjang tambahan dan tidak


ada indikasi diberikannya antibiotik

Skor 2 atau 3: perlu dilakukan pemeriksaan penunjang. Skor >4: dapat


langsung diberikan antibiotik secara empiris. Walau hasil skor < 1, infeksi
GABHS tetap dapat dipertimbangkan pada pasien dengan gejala >3 hari. 22

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diperlukan ketika infeksi bakteri group A
beta-hemolytic streptococcus (GABHS) dicurigai sebagai penyebab tonsilitis
atau ketika tonsilitis menyebar sampai ke struktur leher bagian dalam. Kultur
tenggorok merupakan pemeriksaan standar pada tonsilitis bakteri. 20
1. Kultur Tenggorok

Pemeriksaan baku emas pada infeksi bakteri GABHS. Uji resistensi


perlu dilakukan bersamaan dengan kultur tenggorok untuk menentukan
antibiotik yang tepat untuk menangani infeksi GABHS pada pasien. 19,20

2. Rapid Antigen Detection Test (RADT)

Pemerikssan ini dilakukan untuk mendeteksi adanya karbohidrat dari


dinding sel GABHS. RADT memiliki sensitivitas 90-95% dan spesifisitas 98-
99% sehingga apabila hasil positif berarti mengalami infeksi GABHS,
sedangkan hasil negatif perlu dilakukan pemeriksaan kultur tenggorok untuk
eksklusi GABHS.20,23

3. Antibodi Antistreptokokus

Antibodi antistreptolysin-O dan antibodi antideoksiribonuklease


(anti-DNAse) B berguna untuk mengetahui infeksi sebelumnya pada
individu yang didiagnosis dengan demam reumatik akut,
glomerulonephritis atau komplikasi lain dari GABHS. 19,20
4. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi seperti foto polos servikal, USG atau CT


Scan diperlukan pada tonsilitis yang menyebar ke struktur leher bagian
dalam dan komplikasi tonsilitis lainnya. 19,20

CT Scan juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis abses


peritonsilar dan membantu tindakan drainase abses pada abses peritonsilar
dengan lokasi yang tidak umum atau jika terdapat risiko tinggi untuk
tindakan drainase, misalnya koagulopati atau risiko anestesi. 19,20,24

2.9 Tatalaksana Tonsilitis


Pemberian tatalaksana berbeda-beda setiap kategori tonsillitis sebagai berikut :15
a. Tonsilitis Akut
1. Tonsillitis viral
Pada umumnya, penderita dcngan tolnsilitis akut sebaiknya tirah baring,
pemberian cairan adekuat, dan diet ringan. Analgesik, dan antivirus
diberikan jika gejala berat.
2. Tonsillitis bakterial
Antibiotika spectrum luas, seperti penisilin, eritromisin. Antipiretik dan
obat kumur yang mengandung desinfektan.
b. Tonsilitis Membranosa
1. Tonsillitis difteri
Anti difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000 – 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya
penyakit. Antibiotik penisilin atau eritromisin 25 – 50 mg/kgBB dibagi
dalam 3 dosis selama 14 hari. Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB/hari.
Antipiretik untuk simtomatis. Pasien harus diisolasi karena penyakit ini
dapat menular. Pasien istirahat di tempat tidur selama 2 – 3 minggu.
2. Angina Plaut Vincent
Antibiotik spectrum luas selama 1 minggu, perbaiki kebersihan mulut,
konsumsi vitamin C dan B kompleks.
c. Tonsilitis Kronis
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan
tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasuskasus di mana penatalaksanaan
medis atau yang lebih konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala.
Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi
tenggorokan sehari-hari, dan usaha untuk mernbersihkan kripta tonsilaris
dengan alat irigasi gigi atau oral. Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai
hubungan dengan infeksi kronis atau berulang. Pemberian tatalaksana
berbeda-beda setiap kategori tonsillitis sebagai berikut.15
Indikasi dilakukannya tonsilektomi terdiri atas Indikasi Absolut dan
indikasi relatif . Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolut
adalah berikut ini: 15
1). Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis.
2). Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.
3). Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan
berat badan penyerta.
4). Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
5). Abses peritonsilaris berulang alau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya.
Sementara, Indikasi relatif terdiri atas seluruh indikasilain selain indikasi
absolut, seperti : 15
1). Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil dalam 1 tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
2). Halitosis akibat tonsillitis kronis yang tidak membaik dengan terapi
antibiotik adekuat.
3). Tonsillitis kronis berulang pada karier streptokokus beta hemolitikus
grup A yang tidak membaik dengan antibiotik.
Adapun kontraindikasi dari tonsilektomi sebagai berikut: 11
1). Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang.
2). Infeksi sistemik atau kronis.
3). Demam yang tidak diketahui penyebabnya.
4). Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi.
5). Rinitis alergika.
6). Asma.
7). Diskrasia darah.
8). Ketidakmanpuan yang ullrunr atau kegagalan untuk tumbuh.
9). Tonus olol yang Iemah.
10). Sinusitis.
Terapi lokal ditujukan pada kebersihan mulut dengan berkumur atau obat
isap.

2.10 Komplikasi Tonsilitis


Menurut tinjauan literatur, phlegmon peritonsillar adalah komplikasi yang
utama dari tonsilitis dan 2,4% dari keadaan tersebut. Sedangkan penyakit jantung
menyumbang 33,33% dari komplikasi dalam sebuah penelitian . Regurgitasi mitral
adalah penyakit jantung paling umum dengan persentase sebanyak 40%. Komplikasi
lain dalam penelitian lain juga termasuk selulitis serviks (13,33%), abses
parafaringeal (6,67%), dan sepsis (6,67%).25
Sedangkan pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut,
sinusitis, abses peritonsil, abses para faring, bronchitis, glomerulonephritis akut,
miokarditis, artritis, serta septicemia. Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata, otot
faring, otot laring serta otot pernafasan juga dapat terjadi pada tonsillitis difteri. 11
2.11 Prognosis Tonsilitis
Secara umum, prognosis tonsilitis sangat baik dan sembuh tanpa komplikasi.
Sebagian besar tonsilitis virus sembuh dalam 7-10 hari, sedangkan tonsilitis bakteri
dengan terapi antibiotik sesuai mulai membaik dalam 24-48 jam. Morbiditas dapat
meningkat jika tonsilitis berulang sehingga mengganggu aktivitas dalam sekolah dan
bekerja. 26,27

DAFTAR PUSTAKA

1. Liwang F, Yuswar P W, Wijaya E, Sanjaya Nadira P. Kapita Selekta


Kedokteran Jilid II Edisi V. Jakarta : Media Aesculapius. 2020

2. Soepardie EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-7. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015.

3. Ramadhan, F., Sahrudin., Ibrahim, K. Analisa Faktor Risiko Kejadian Tonsilitis


Kronik Pada Anak Usia 5-11 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota
Kendari. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan. 2017. Vol 2 :6

4. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for


Tonsillectomy. In: The Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-
58

5. Jeyakumar A., Miller S., Mitchell RB. Adenotonsilar: A disease in


Children in Bailey’s Head and Neck Surgery. 2014 Vol I. 5th ed; 2014. h.
1430.

6. Klarisa C& Fardizza F . Kapita Selekta Ed. 4 : Tonsilitis. Media Aesculapius


:Jakarta . 2014: 1067
7. Rusmarjono & Kartosoediro, S. Odinofagi, dalam buku Ajar Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. FKUI : Jakarta.
2007.
8. Ahmary, M.S.A., Mastour A.S.A., & Ghnnam, W.M. Clinical Study: The
Microbiology of Tonsils in khamis Civil Hospital, Saudi Arabia.
International Scholarly Research Network Otolaryngology. 2012. 1-4.
9. Baradaranfar, M.H., Dodangeh, F., Taghipour-Zahir, S., & Atar, M.
Humoral and Cellular Immunity Parameters in Children Before and After
Adenotonsillectomy. Acta Medica Iranica. 2007. 45; 5: 345-50

10. Nizar, M., Qamariah, N., & Muthmainah, N. (2016). Identifikasi Bakteri
Penyebab Tonsilitis Kronik pada Pasien Anak di Bagian THT RSUD
Ulin Banjarmasin. Berkala Kedokteran 12; 2: 197-204.

11. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid.


Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Badan
Penerbit FKUI : Jakarta. 2011. hlm. 217-25

12. Ringgo, A. S. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Risiko Terjadinya


Tonsilitis Konik Pada Anak Sekolah Dasar di Bandar Lampung.
Malahayati Nursing Journal. 2019. Vol 1. p. 188.

13. World health organization. Survailance of risk factors for non –


communicable diseases : the WHO stepise approach.summari : Geneva.
2013. 5.
14. Yulia Anggraini. Perbandingan Kadar Immunoglobulin A Sekretori Pada
Anak Penderita Tonsilitis Kronis Sebelum Dan Sesudah Tonsilektomi.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara : Medan . 2020
15. Adams, G. L., Boies, L. R. & Higler, P. A., BOIES Buku Ajar Penyakit
THT. 6 ed. Philadelphia: Boeis Fundmentals Of Otolaryngology. 2012.
16. Fakh, I. M., Novialdi & Elmatris. Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis
pada Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2016. 5(2), pp. 436-437.

17. Manurung, R.. Gambaran Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan


Pencegahan Tonsilitis pada Remaja Putri di Akper Imelda Medan Tahun
2015. Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA. 2016. 1(2), p. 2.

18. Soepardie EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-7. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2015.

19. Shah U. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess. 2018. https://emedicine.


medscape.com/article/871977-overview#a5

20. NCBI. Tonsillitis: Overview. 2019.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK401249/#top

21. Chen MM, Roman SA, Sosa JA, Judson BL. Safety of Adult
Tonsillectomy: A Population-Level Analysis of 5968 Patients. JAMA
Otolaryngol Head Neck Surg. 2014 Mar;140(3):197-202.

22. Fine AM, Nizet V, Mandl KD. Large-scale validation of the Centor and
McIsaac scores to predict group A streptococcal pharyngitis. Arch Intern
Med. 2012;172(11);847-852.
23. Fischer P. Defending the Real Standard of Care. Fam Pract Manag.
2009;15(2):48

24. Alotaibi A. Tonsillitis in Children Diagnosis and Treatment Measures.


Saudi J Med. 2017;2(8):208-215
25. Rusmarjono & Soepardi, E. A. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi
Adenoid. In: A. A. Soepardi & N. Iskandar, eds. Telinga Hidung
Tenggorokan & Leher. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI : Jakarta.
2016. p. 200.
26. Georgalas, C. C. N. S. T. A. N. Tonsillitis. Clinical Evidence. 2014. p. 2.
27. RW & Byart. Tonsillitis and Sudden Childhood Death. J Forensic Leg
Med. 2008. Vol 15

Anda mungkin juga menyukai