Anda di halaman 1dari 28

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT-KL REFERAT

JUNI 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

TONSILITIS

PENYUSUN :
Andi Muhammad Alif Akbar Tawil, S.Ked (K1B1 21 021)
Elviren Constanty Adi, S.Ked (K1B1 21 018)

PEMBIMBING :

dr. H. Mudassir, M.Kes., Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA LABORATORIUM KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Andi Muhammad Alif Akbar Tawil, S.Ked

Elviren Constanty Adi, S.Ked

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Referat : Tonsilitis

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian

Ilmu THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Raha, 2021
Mengetahui,
Pembimbing

dr. H. Mudassir, M.Kes., Sp.THT-KL


TONSILITIS

Andi Muhammad Alif Akbar Tawil, Elviren Constanty Adi, Mudassir

I. PENDAHULUAN

Pada pintu masuk saluran napas bagian atas, terdapat kumpulan

besar jaringan limfoid yang disebut tonsil. Tonsilitis atau yang lebih sering

dikenal dengan radang amandel adalah peradangan pada tonsil palatina.

Tonsil palatina ini merupakan bagian dari Cincin Waldeyer. Cincin

Waldeyer adalah susunan jaringan kelenjar limfoid yang terdapat di dalam

rongga mulut dan mengelilingi faring. Cincin Waldeyer ini terdiri atas

tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil faringeal (adenoid), tonsil tuba

Eustachius (Gerlach’s tonsil atau lateral band dinding faring), dan tonsil

lingual (tonsil pangkal lidah).1

Tonsilitis merupakan bagian dari infeksi saluran pernafasan akut

(ISPA). Di Indonesia, ISPA masih merupakan penyebab tersering

morbiditas dan mortalitas pada anak. Data Riskesdas 2013 menyatakan

bahwa period prevalence ISPA yang dihitung dalam kurun waktu 1 bulan

terakhir berdasarkan diagnosis tenaga medis dan keluhan penduduk

sebesar 25%. Angka ini tidak jauh berbeda dengan Riskesdas 2007, yaitu

sebesar 25,5%. Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi

pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%) dan tidak ada perbedaan dari jenis

kelamin laki-laki dan perempuan. Adapun data yang lebih spesifik

mengenai tonsilitis di Indonesia masih belum ada.1


Tonsilitis dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.

Tonsilitis sering terjadi pada anak-anak usia 2-3 tahun dan semakin

meningkat kejadiannya pada anak usia 5-12 tahun. Tonsil dapat menjadi

sumber infeksi dan sumbatan saluran nafas pada orang dewasa dan anak.

Tonsilitis dapat terjadi akibat peradangan pada tonsil karena infeksi bakteri

atau virus. Adapun penyebaran infeksi pada tonsilitis dapat terjadi melalui

udara (air bone droplets), tangan, serta ciuman.1

Tonsilitis merupakan salah satu penyebab ketidakhadiran anak di

sekolah. Penderita tonsilitis juga merupakan pasien yang sering datang

pada praktek dokter ahli bagian telinga hidung tenggorok-bedah kepala

dan leher (THT-KL), dokter anak, maupun tempat pelayanan kesehatan

lainnya. Oleh karena itu, ahli THT-KL memainkan peranan penting dalam

menegakkan diagnosis hingga penatalaksanaan tonsilitis.1

Tonsilitis kronis pada anak dapat disebabkan karena anak sering

menderita ISPA atau tonsilitis akut yang tidak diterapi secara adekuat.

Anak yang menderita tonsilitis, terutama yang tidak sembuh, akan

cenderung mengalami penurunan nafsu makan, penurunan berat badan,

demam, menangis terus menerus, nyeri saat menelan, dan timbul berbagai

macam komplikasi.1

Kejadian tonsilitis juga meningkat seiring dengan peningkatan

penggunaan antibiotik. Ketidaktepatan terapi antibiotik pada penderita

tonsilitis akut akan mengubah mikroflora pada tonsil dan mengubah

struktur pada kripta tonsil. Selanjutnya, adanya infeksi virus menjadi


faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronik.

Adapun penggunaan antibiotik yang tepat dapat mengurangi keluhan

pasien dan mencegah terjadinya sekuele seperti abses peritonsilar, otitis

akut, dan sinusitis.1

II. ANATOMI TONSIL

Tonsil adalah massa yang terdiri atas jaringan limfoid dan

ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Tonsil merupakan

bagian dari Cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer tersusun atas tonsil tuba

Eustachius (lateral band dinding faring atau Gerlach’s tonsil), tonsil

faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), dan tonsil lingual

(tonsil pangkal lidah). Tonsil (faucial atau palatina) berjumlah sepasang

dan berbentuk oval, terletak di dinding lateral orofaring, di fossa tonsilaris,

di antara plika palatoglossus dan plika palatofaringeus.1

Gambar 1. Cincin Waldeyer2


Tonsilla pharyngeum, diketahui sebagai adenoidea saat

membesar, berada pada garis tengah atap nasopharynx. Tonsilla palatina

terdapat pada tiap sisi oropharynx diantara arcus palatoglossus dan

arcus palatopharyngeus di posterior dari isthmus oropharyngeum:

(Tonsilla palatina nampak melalui mulut penderita yang terbuka saat

lingua ditekan ke bawah/ depresi). Tonsilla lingualis merujuk secara

kolektif pada sejumlah nodi lymphatici pada 1/3 posterior lingua.3

Tonsilla pharyngeum, diketahui sebagai adenoidea saat membesar,

berada pada garis tengah atap nasopharynx. Tonsilla palatina terdapat pada

tiap sisi oropharynx diantara arcus palatoglossus dan arcus

palatopharyngeus di posterior dari isthmus oropharyngeum (Tonsilla

palatina nampak melalui mulut penderita yang terbuka saat lingua ditekan

ke bawah/ depresi). Tonsilla lingualis merujuk secara kolektif pada

sejumlah nodi lymphatici pada 1/3 posterior lingua.3

Suplai arteri dari Tonsilla Palatina didapat dari:4

1. A. Lingualis

2. A. Tonsillaris

3. A. Pharyngea Ascendens

4. A. Palatina Ascendens

5. A. Palatina Descendens

Vena paratonsillar akan bermuara ke plexsus venosus pharyngealis

yang selanjutnya akan bermuara ke dalam plexus pterygoideus dan akan

menuju vena facialis dan vena jugularis interna. Innervasi sensoris dari
oropharynx yang juga mempersarafi tonsilla palatina di dapat dari N.

Glossopharyngeus (N. IX). Tonsilla palatina mengalirkan cairan

lymphatici menuju nodus yang berada didekat angulus mandibula dan

nodus jugulodigastric yang dikenal sebagai nodus tonsillar karena sering

mengalami pembesaran ketika tonsil meradang atau tonsilitis.1,4

Gambar 2. Tonsila Palatina4

III.HISTOLOGI TONSIL

Tonsila palatina yang berpasangan merupakan agregat nodulus

limfoid yang terletak di rongga mulut. Tonsila palatina tidak dibungkus

oleh kapsul jaringan ikat. Akibatnya, permukaan tonsila palatina dilapisi

oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk yang juga melapisi bagian

mulut lainnya. Masing-masing tonsila memiliki alur-alur yang dalam yaitu

kriptus tonsil (crypta tonsillae yang juga dilapisi oleh epitel berlapis

gepeng tanpa lapisan tanduk.5

Di bawah epitel dalam jaringan ikat terdapat banyak nodulus

limfoid yang tersebar di sepanjang kriptus tonsil. Nodulus limfoid sering


menyatu dengan yang lain dan biasanya memperlihatkan pusat germinal

yang berwarna-lebih muda.5

Dibawah tonsila palatina terdapat jaringan ikat padat dan

membentuk kapsul. Dari kapsul terbentuk jaringan ikat trabekula dengan

pembuluh darah. Jaringan ikat ini meluas ke arah permukaan tonsil di

antara nodulus-nodulus limfoid. Di bawah kapsul jaringan ikat terdapat

potongan serat otot rangka. 5

Gambar 3. Histologi Tonsila Palatina5

IV. FISIOLOGI TONSIL

Tonsil mempunyai dua fungsi utama, yaitu:6

1) Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif

2) Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T

dengan antigen spesifik.

V. TONSILITIS

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan

bagian dari cincin waldeyer, Penyebaran infeksi melalui udara (air borne
droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama

pada anak.7

A. Tonsilitis Akut

1. Etiologi

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A

Streptokokus β hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat,

pneumokokus, streptokokus viridan, dan streptokokus piogenes.

Haemophilus Influenzae merupakan penyebab tonsilitis.7

Penyebab tersering untuk tonsilitis viral adalah virus Epstein

Barr. Jika terjadi infeksi virus Coxsackie, maka pada pemeriksaan

rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil

yang sangat nyeri dirasakan pasien.7

2. Patomekanisme

Patogenesis infeksi dan inflamasi pada tonsil dan adenoid

dipengaruhi oleh lokasi tonsil yang letaknya di orofaring,

nasofaring dan dasar lidah membentuk suatu cincin pertahanan

imunitas (Waldeyer’s ring). Organ ini akan memproses antigen

virus, bakteri dan mikroorganisme lain, sehingga mudah terkena

infeksi dan pada akhirnya dapat menjadi fokus infeksi. Infeksi

virus yang diikuti infeksi bakteri sekunder mungkin merupakan

salah satu mekanisme dari infeksi akut menjadi infeksi kronis,

tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan (lingkungan


padat seperti militer, sekolah, dan keluarga), pejamu, alergi dan

penggunaan antibiotik yang luas serta gizi.7

Saat bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau

mulut, tonsil berperan sebagai filter. Bakteri atau virus

menginfeksi lapisan epitel tonsil. Proses peradangan dan infeksi

pada tonsil memicu pengeluaran leukosit polimorfonuklear yang

akan membentuk detritus bersama dengan kumpulan leukosit,

bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Dari gambaran klinis,

detritus akan mengisi kripte tonsil dan nampak sebagai bercak

kekuningan. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk

antibodi terhadap infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-

kadang tonsil sudah kelelahan menahan infeksi atau virus yang

berulang. Pada kasus infeksi yang berulang, lapisan epitel mukosa

dan jaringan limfoid tonsil menjadi terkikis. Proses penyembuhan

jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan

mengerut sehingga ruang antara kelompok kripte melebar yang

akan diisi oleh detritus. Proses ini meluas hingga menembus

kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar

fossa tonsilaris. Saat pemeriksaan ditemukan tonsil membesar

dengan permukaan tidak rata, kripte membesar dan terisi detritus.7

Infeksi tonsil jarang menampilkan gejala, tetapi dalam

kasus yang ekstrim, pembesaran tonsil dapat menimbulkan gejala

menelan. Infeksi tonsil yang menimbulkan gejala menelan adalah


peradangan di tenggorokan terutama pada tonsil yang mengalami

abses (absesperitonsiler). Abses besar yang terbentuk di belakang

tonsil menimbulkan rasa sakit yang intens dan demam tinggi

(39°C-40°C). Abses secara perlahan akan mendorong tonsil

menyeberang ke bagian tengah tenggorokan.7

3. Gejala Klinis

Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda timbulnya (onset)

cepat, atau berlangsung dalam waktu pendek (tidak lama), dalam

kurun waktu jam, hari hingga minggu. Gejala dan tanda yang

sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu

menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa

nyeri di sendi, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga

(otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred

pain) melalui saraf N. glossopharyngeus (N.IX). Pada tonsilitis

akut akibat infeksi virus, gejala yang timbul menyerupai common

cold dan disertai nyeri tenggorok.7

Pada pemeriksaan ditemukan peningkatan suhu tubuh,

pembengkakan disertai nyeri tekan kelenjar submandibula,

servikal anterior, tampak tonsil membengkak, hiperemis, dan

terdapat detritus. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel tonsil akan

menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit

polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini

merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang


terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan

tampak sebagai bercak kuning. Detritus yang jelas disebut

tonsilitis folikularis. Bercak-bercak detritus menjadi satu,

membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.

Bercak detritus dapat juga melebar sehingga terbentuk semacam

membran semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil.1,7

Gambar 4. Tonsilitis Bakterial8

4. Diagnosis

Diagnosis dilakukan berdasarkan gejala klinis dan hasil

pemeriksaan fisik. Pemeriksaan klinis tonsil dilakukan dengan

bantuan spatula lidah dengan menilai warna, besar, pelebaran

muara kripte, ada tidaknya detritus, nyeri tekan, dan hiperemis

pada arkus anterior. Besar tonsil dinyatakan dalam T0, T1, T2, T3,

dan T4. T0 apabila tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah

diangkat. T1 apabila besar tonsil 1/4 jarak arkus anterior dan

uvula, dimana tonsil tersembunyi di dalam pilar tonsilar. T2

apabila besar tonsil 2/4 jarakarkus anterior dan uvula, dimana


tonsil membesar ke arah pilar tonsilar. T3 apabila besar tonsil 3/4

jarak arkus anterior dan uvula, atau terlihat mencapai luar pilar

tonsilar. T4 apabila besar tonsil mencapai arkus anterior atau

lebih, dimana tonsil mencapai garis tengah.1

Gambar 4. Besar ukuran tonsil1

Beberapa penelitian berusaha untuk membedakan antara

infeksi group A beta-hemolytic streptococcal(GABHS) dan virus

berdasarkan gejala dan tanda. Gejala dan tanda ternyata tidak

cukup untuk menegakkan diagnosis, diperlukan kombinasi dari

beberapa faktor untuk dapat digunakan sebagai prediksi klinik.

Tes yang umum dilakukan selain temuan klinik adalah kultur

swab tenggorok dan rapid antigen testing.1

Skor Centor dapat digunakan untuk mendiagnosis tonsilitis

akibat GABHS (group A β hemolytic streptococcus. Skor Centor

ini merupakan acuan tervalidasi untuk prediksi klinis pada infeksi

streptokokus pada pasien lebih dari 15 tahun. Hal ini dikarenakan


pada pasien anak, terutama satu tahun awal, memiliki manifestasi

nyeri tenggorok yang berbeda.1,

Tabel 1.Modifikasi Skor Centor9


Kriteria Poin
Demam (≥38.3oC) 1
Tidak ada tanda dari infeksi 1
saluran pernapasan atas oleh
virus (konjungtivitis, rinore,
batuk)
Limfadenopati servikal anterior 1
Tonsil eritem, edema, atau 1
eksudat
Usia 3-14 tahun 1
Usia 15-44 tahun 0
Usia ≥45 tahun -1

Tabel 2. Risiko Infeksi GABHS dengan Modifikasi Skor Centor9

Skor Centor Risiko Infeksi


≥4 51-53 %
3 28-35 %
2 11-17 %
1 5-10 %
≤0 1-2.5 %

Pemeriksaan titer antibodi anti streptokokus untuk

diagnosis rutin tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan hasil yang

diperoleh dapat menunjukkan infeksi yang telah lampau, bukan

infeksi sekarang.Titer anti-streptolysin O (ASO) and anti-

deoxyribonuclease B dapat digunakan untuk mengindentifikasikan

infeksi streptokokus grup A pada pasien yang dicurigai memiliki

demam reumatik atau komplikasi non-supuratif


lainnya.Pemeriksaan C-reactive protein tidak terbukti dalam

mendiagnosis infeksi streptokokus grup A.1

5. Tatalaksana

a. Antibiotik

1) Amoksisilin peroral 50 mg/kgbb sekali sehari (dosis

maksimum 1 g), atau 25 mg/kgbb dua kali sehari (dosis

maksimum 500 mg), selama 10 hari. Amoksisilin lebih

sering digunakan pada anak-anak karena lebih mudah

ditelan.Penggunaan amoksisilin peroral di Indonesia 50-

60 mg/kgbb dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Dosis

dewasa 3x500 mg.1

2) Sefalosporin generasi pertama seperti cephalexin peroral

20 mg/kgbb dua kali sehari (dosis maksimum 500 mg)

selama 10 hari. Cefadroxil peroral 30 mg/kgbb sekali

sehari (dosis maksimum 1 g) selama 10 hari. Sefalosporin

mungkin lebih efektif dibandingkan penisilin dalam

resolusi klinis dan pencegahan kekambuhan pada dewasa

dengan faringtis steptokokus.1

3) Klindamisin peroral 7mg/kgbb, 3 kali sehari (dosis

maksimum 300 mg) selama 10 hari.1

4) Azitromisin peroral 12 mg/kgbb sekali sehari (dosis

maksimum 500 mg) selama 5 hari.Azitromisin dosis total

60 mg/kgbb lebih efektif dibandingkan antibiotik lain


selama 10 hari. Azitromisin memberikan efek yang sama

dengan antibiotik lain pada dewasa. Azitromisin dosis

tunggal 2 gram extended relase sama efektifnya dengan

azitromisin 500 mg sekali sehari selama 3 hari.1

5) Klaritromisin peroral 7,5 mg/kgbb 2 kali sehari (dosis

maksimum 250 mg) selama 10 hari.1

6) Eritromisin etilsuksinat (EES) 40 mg/kgbb/hari, 2-4 kali

(4x400 mg pada dewasa) selama 10 hari.1

7) Penisilin V dapat diberikan selama 10 hari. Dosis anak

ialah 250 mgper oral, 2-3 kali sehari. Dosis dewasa ialah

4x250 mg perhari, atau 2x500 mg perhari.Pemberian

penisilin V memberikan hasil yang baik untuk

mengeradikasi bakteri, serta mengurangi risiko terjadinya

komplikasi demam rematik dan glomerulonefritis.

Literatur dari luar negeri menjadikan penisilin sebagai

terapi lini pertama. Di Indonesia, penisilin V sulit didapat

sehingga lebih lazim menggunakan amoksisilin. Pada

pasien dengan kemungkinan kepatuhan kurang terhadap

terapi penisilin oral selama 10 hari, dapat diberikan

benzatine penicillin G 1,2 juta unit (600.000 unit bila

berat badan kurang dari 27 kg), sekali secara

intramuskular.1
Pemberian antibiotik dapat ditentukan dengan

menggunakan Skor Centor pada pasien lebih dari 3 tahun

dan kurang dari 45 tahun. Bila hasil skor Centor 1-2,

pasien diberikan terapi simptomatik selama 3 hari.

Setelah 3 hari, dilakukan pengamatan terhadap

perkembangan penyakit apakah terdapat perbaikan atau

tidak. Bila tidak terdapat perbaikan, perlu dilakukan

pemeriksaan swab tenggorok untuk pemeriksaan RAT

atau kultur resistensi sebelum pemberian antibiotik. Bila

hasil skor Centor 3-4, dilakukan pemeriksaan swab

tenggorok untuk pemeriksaan RAT atau kultur resistensi

dan segera dilakukan pemberian antibiotik empiris.1

Bila fasilitas kesehatan untuk pemeriksaan kultur

swab tenggorok dan RAT belum tersedia, penggunaan

antibiotik pada kasus dengan skor Centor 3-4 dapat

dimulai secara dini tetapi hal ini perlu dilakukan secara

bijak agar kejadian resistensi antibiotik tidak meningkat.

Jika terapi antibiotik tidak memberikan perbaikan dalam

5 hari dan terdapat kecurigaan adanya resistensi

antibiotik, pasien dirujuk untuk kultur swab.1

b. Analgetika
Ibuprofen atau paracetamol merupakan pilihan utama

untuk analgetika pada dewasa dan paracetamol merupakan

pilihan utama sebagai analgetika pada anak.1

c. Terapi tambahan

1) Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid pada anak dan dewasa

dapat memberikan perbaikan yang signifikan terhadap

gejala dan memberikan efek samping yang minimal.

Penggunaankortikosteroid kombinasi dengan antibiotik

tidak diberikan secara rutin sebagai terapi tonsilitis,

tetapi dapat dipertimbangkan pada pasien dengan gejala

yang berat.Dosis kortikosteroid sebagai antiinflamasi

3x1 tablet prednison selama 3 hari.1

2) Obat kumur antiseptik

Obat kumur antiseptik yang berisi chlorhexidine

atau benzydamine memberikan hasil yang baik dalam

mengurangi keluhan nyeri tenggorok dan memperbaiki

gejala.1

3) Terapi suportif lain

Terapi suportif lainnya yang belum memiliki bukti

antara lain analgetika dan anestetika topikal, berkumur

menggunakan air garam hangat, lozagen tenggorok,


permen keras, maupun pencuci mulut yang beku,

makanan lembut dan cairan kental, seperti es krim,

puding, serta pelembab.1

6. Komplikasi

Infeksi yang berulang pada tonsil dapat mengakibatkan

hipertrofi tonsil dan mengakibatkan komplikasi. Komplikasi yang

dapat timbul terdiri atas supuratif dan non-supuratif. Komplikasi

supuratif terutama pada anak-anak antara lain otitis media akut,

mastoiditis, meningitis bakterialis, endokarditis infektif, abses

peritonsilar, abses retrofaringeal, bakterimia, limfadenitis

servikalis, dan pneumonia. Sedangkan komplikasi non-supuratif,

walaupun jarang terjadi, antara lain demam reumatik akut,

penyakit jantung reumatik, glomerulonefritis akut, streptococcal

toxic shock syndrome, serta sindrom Lemierre.1

B. Tonsilitis Kronik

1. Definisi

Tonsilitis kronik berlangsung dalam jangka waktu yang

lama (bulan atau tahun) dan dikenal sebagai penyakit menahun.

Tonsilitis kronik adalah infeksi rekuren pada tonsil dan jaringan

peritonsillar menyebabkan peradangan pada kripte tonsil, nyeri

tenggorokan, disfagia, dan limfadenopati servikal.1,10

2. Etiologi
Tonsilitis kronik dapat terjaddi akibat pengobatan tonsilitis

akut yang tidak adekuat. Bakteri penyebab tonsilitis kronik sama

halnya dengan tonsilitis akut, namun kadang-kadang bakteri

berubah menjadi bakteri golongan gram negatif.1

Tonsilitis kronik timbul akibat rangsangan kronis dari

rokok, kebersihan mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan

fisik, beberapa jenis makanan, dan pengobatan tonsilitis akut

yang tidak adekuat.1

3. Tatalaksana

a. Tonsilektomi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai suatu tindakan

bedah yang mengangkat keseluruhan jaringan tonsil

palatina, termasuk kapsulnya dengan melakukan diseksi

ruang peritonsiler di antara kapsula tonsil dan dinding

muskuler tonsil. Tonsilektomi mengurangi rekurensi pada

pasien dewasa dengan faringitis streptokokus rekurendan

direkomendasikan untuk nyeri tenggorok berat yang

rekuren pada dewasa.1


Gambar 6. Tonsilektomi11

Kriteria SIGN tonsilektomi:12

i. Nyeri tenggorok akibat tonsilitis

ii. Nyeri tenggorok membatasi aktivitas normal

iii. ≥7 episode dalam satu tahun terakhir

iv. ≥5 episode dalam 2 tahun terakhir

v. ≥3 episode dalam 3 tahun terakhir

Indikasi absolut:1,13

i. Hipertrofi tonsil yang menyebabkan: obstruksi saluran

napas misal pada OSAS, disfagia berat yang disebabkan

obstruksi, gangguan tidur, komplikasi kardiopulmoner,

gangguan pertumbuhan dentofasial, ganggaun bicara

(hiponasal)

ii. Riwayat abses peritonsil yang tidak membaik dengan

pengobatan medis dan drainase.


iii. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan

patologi anatomi terutama untuk hipertrofi tonsil

unilateral.

iv. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

v. Curiga keganasan

Indikasi relatif:1

i. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun

dengan terapi antibiotik adekuat.

ii. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik

dengan pemberian terapi medis.

iii. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus

B-hemolitikus yang tidak membaik dengan pemberian

antibiotik resisten β-laktamase.

Kontraindikasi:1

i. Gangguan perdarahan.

ii. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat.

iii. Anemia

iv. Infeksi akut yang berat

v. Palatoskizis

b. Kortikosteroid Intraoperatif

Pemberian kortikoteroid intraoperatif bertujuan

untuk mengurangi morbiditas yaitu mual dan muntah pasca

operasi tonsilektomi (PONV) terutama pada anak. PONV


terjadi pada 70% kasus tonsilektomi dengan teknik operasi

diseksi terutama pada anak yang tidak mendapat obat anti

emetik pre-operasi.1

Pemberian dexamethasone intravena 0,15-1

mg/kgbb pada saat operasi menunjukkan penurunan PONV

berdasarkan penelitian beberapa dekade terakhir.1

4. Komplikasi

a. Komplikasi Intraoperatif

Menurut penelitian yang dilakukan tentang

komplikasi dari adenotonsillectomy, komplikasi intraoperatif

dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu komplikasi anestesi

dan komplikasi pembedahan. Kompresi ETT, ekstubasi tidak

disengaja, dan gigi copot merupakan komplikasi anestesi

yang dapat terjadi. Sementara komplikasi pembedahan

adalah perdarahan, edema uvula, dan cedera pilar.14

b. Komplikasi Pascaoperatif

i. Perdarahan

Perdarahan yang muncul pada 24 jam pertama

setelah operasi merupakan komplikasi yang paling

berbahaya. Pasien harus dikembalikan kedalam ruangan

operasi untuk dilakukan ligasi pembuluh darah.

Transfusi darah mungkin diperlukan. Perdarahan


sekunder terjadi 5-10 hari pascaoperatif disebabkan oleh

infeksi. Dapat sembuh dengan antibiotik, jarang

membutuhkan ligasi pembuluh darah atau transfusi

darah. Perdarahan pasca operasi dapat terjadi sampai

luka benar-benar sembuh, meskipun hemostasis dan

diseksi intraoperatif dilakukan dengan hati-hati. Ini

biasanya terjadi setelah 2-3 minggu. Penyebab paling

umum dari perdarahan lanjut adalah pelepasan fisiologis

dari lapisan fibrine dari dasar luka terbuka dan biasanya

menghasilkan perdarahan yang tidak berbahaya.

Pendarahan ini hampir selalu berakhir secara spontan,

atau karena icing lokal (menghisap es batu,

mengaplikasikan es) atau dengan asam traneksamat

secara intravena atau secara lokal.15,16

ii. Nyeri

Penyebab utama morbiditas setelah tonsilektomi

adalah nyeri, yang kemudian menyebabkan

berkurangnya asupan oral dan dehidrasi, disfagia, dan

penurunan berat badan. Penting agar pengasuh kompeten

untuk memantau tanda-tanda dehidrasi dan terus

mendorong anak mereka untuk tetap terhidrasi. Salah

satu metode untuk mengurangi nyeri orofaringeal adalah


mengganti dosis terjadwal atau acetaminophen dan

ibuprofen.17

iii. Mual dan muntah

Mual dan muntah pasca operasi (PONV) adalah

komplikasi umum lainnya setelah tonsilektomi. Ini

terjadi pada hingga 70% pasien yang tidak menerima

anti-emetik profilaksis. PONV dapat menyebabkan

peningkatan angka masuk, peningkatan kebutuhan

hidrasi intravena, peningkatan kebutuhan obat nyeri, dan

penurunan kepuasan pasien. Rekomendasi untuk

mengatasi gejala sisa ini adalah dengan memberikan

deksametason intraoperatif dosis tunggal selama

tonsilektomi. Beberapa dokter akan secara rutin

meresepkan ondansetron dosis tunggal untuk operasi

rawat jalan, karena PONV kemungkinan besar terjadi

dalam 24 jam pertama setelah operasi.17

5. Prognosis

Tonsil palatina memproduksi antibodi melalui sel B.

Pertumbuhan maksimum tonsil terjadi pada usia 4 sampai 7

tahun, sedangkan involusi mulai terjadi pada usia 14 tahun yang

menyebabkan masih tersisanya sedikit jaringan limfoid hingga

usia 60 tahun. Banyak studi yang mempelajari efek jangka

pendek dan jangka panjang tindakan tonsilektomi pada beragam


komponen sistim imun. Sekuele imunologik pasca tindakan

tonsilektomi pada anak-anak masih menjadi perdebatan diantara

para klinisi dan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi orang tua.

Hasil meta-analisis menunjukkan hanya 4 studi (11,4%) yang

melibatkan 406 (20,3%) pasien menunjukkan bahwa tonsilektomi

memberikan efek negatif pada sistem imun. Hasil lain dari meta-

analisis mengenai parameter humoral dan imunologi seluler

(serum Ig total dan spesifik, SecIgA, imunitas seluler, dan Ag

spesifik IG) menunjukkan lebih banyak bukti yang mendukung

bahwa tonsilektomi tidak memiliki efek negatif terhadap sekuele

klinis maupun imunologik pada sistim imun.1

DAFTAR PUSTAKA
1. Menteri Kesehatan Republik Indoneisa. 2018. Pedoman Nasional

Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tonsilitis. Balai Pustaka. Jakarta.

2. Dhingra, P.L., Dhingra, S. 2018. Diseases of Ear, Nose and Throat &

Head and Neck Surgery. Ed.7. Elsevier. India.

3. Drake, R.L., Vogl, W., Mitchell, A.W.M. 2012. Gray's Dasar-Dasar

Anatomi. Elsevier. Philadelphia.

4. Moore, K.L., Dalley, A.F., Agur, A.M.R. 2018. Clinically Oriented

Anatomy. Ed.8. Wolters Kluwer. China.

5. Eroschenko, V.P. 2007. Atlas Histologi diFiore Dengan Korelasi

Fungsional. Ed.11. Wolters Kluwer. Moscow.

6. Hermani, B., Fachrudin, D., et al. (2004). Tonsilektomi pada Anak dan

Dewasa. Health Technology Assessment (HTA) Indonesia.

7. Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., dkk. 2017. Telinga Hidung

Tenggorok Kepala & Leher. Ed.7. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta.

8. Cervoni, E., Leech, K. 2017. ENT in Primary Care. Springer. Switzerland.

9. Walijee, H., Brahmabhatt, P., Patel, C. 2017. Tonsillitis. InnovAiT 0(0): 1-

8.

10. Koltsidopoulos, P., Skoulakis, C., Kountakis, S. 2017. ENT Core

Knowledge. Springer. Switzerland

11. Youngs, R., Stafford, N.D. 2005. ENT in Focus. Elsevier. United

Kingdom
12. Ludman, H., Bradley, P.J. 2013. ABC of Ear, Nose, and Throat. Ed.6.

Blackwell Publishing. United Kingdom.

13. Corbridge, R.J. 2011. Essential ENT 2nd Edition. Hodder Arnold. United

Kingdom

14. Sebastian, G.P., Thiagarajan, B., Devadason, P. 2019. Immidiate and

delayed complications of adenootonsillectomy. International Journal of

Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery 5(4): 1013-1019

15. Dhillon, R.S., East, C.A. 2013. Ear, Nose and Throat and Head and Neck

Surgery. Ed.4. Elsevier. China

16. Stelter, K. 2014. Tonsillitis and sore thorat in children. GMS Current

Topics in Otorhinolaryngology – Head and Neck Surgery

17. Bohr, C., Shermetaro, C. 2021. Tonsillectomy and Adenoidectomy.

StatPearls. NCBI Archive

Anda mungkin juga menyukai