Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tonsilitis disebabkan oleh infeksi kuman golongan streptococcus atau virus


yang dapat bersifat akut atau kronis (Rukmini, 2003). Masalah kekambuhan pada
pasien tonsillitis perlu diperhatikan. Apabila tonsilitis diderita oleh anak tidak
sembuh maka akan berdampak terjadinya penurunan nafsu makan, demam, berat
badan menurun, menangis terus-menerus, nyeri waktu menelan dan terjadi
komplikasi seperti sinusitis, laringtrakeitis, otitis media, gagal nafas, serta
osteomielitis akut.

Pada umumnya serangan tonsillitis dapat sembuh sendiri apabila daya tahan
tubuh penderita baik. Tonsil yang mengalami peradangan terus-menerus sebaiknya
dilakukan tonsilektomi (operasi pengangkatan amandel) yang harus dipenuhi
terlebih dahulu indikasinya. Tindakan tonsilektomi mempunyai risiko yaitu
hilangnya sebagian peran tubuh melawan penyakit yang dimiliki jaringan amandel
(Syaifudin, 2002).

Tonsilitis sering terjadi pada anak-anak usia 2-3 tahun dan sering meningkat
pada anak usia 5-12 tahun (Rukmini, 2003). Tonsilitis paling sering terjadi di
negara subtropis. Pada negara iklim dingin angka kejadian lebih tinggi
dibandingkan dengan yang terjadi di negara tropis, infeksi Streptococcus terjadi di
sepanjang tahun terutama pada waktu musim dingin (Rusmarjono, 2003). Hasil
Penelitian Jagdeep (2008) menunjukkan bahwa 2 gangguan tonsillitis berdampak
pada penampilan pasien, seperti sering mengalami radang namun tidak sampai
mengalami gangguan suara.

Penelitian Sakka dkk (2009) menyimpulkan bahwa infeksi pada tonsil


merupakan masalah yang cukup sering dijumpai. Keluhan yang ditimbulkan berupa
nyeri menelan, demam, otitis media, sampai obstructive sleep apnea. Kadar s-IgA
penderita tonsilitis kronik sebelum tonsilektomi tinggi. Empat minggu setelah
operasi, kadar s-IgA turun mendekati kadar s-IgA individu normal.

1
1.2 Rumusan Masalah
a. Buatlah konsep teori penyakit meliputi : pengertian, klasifikasi, etiologi,
anatomi fisiologi, patofisiologi, WOC, manifestasi klinis, komplikasi dan
penatalaksanaan medis.
b. Buatlah proses keperawatan mulai dari pengkajian, diagnosa, perencanaan,
implementasi dan evaluasi.
c. Sertakan sumber referensi makalah yang dibuat.

1.3 Tujuan
a. Menjelaskan konsep teori penyakit meliputi pengertian, klasifikasi, etiologi,
patofisiologi, WOC, manifestasi klinis, komplikasi dan penatalaksanaan medis.
b. Mengetahui dan menjelaskan proses keperawatan mulai dari pengkajian,
diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi.
c. Menyertakan sumber dari referensi makalah yang dibuat.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat
di dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil
faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band
dinding faring atau Gerlach’s tonsil) (Soepardi, 2007). Sedangkan menurut Reeves
(2001) tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau
amandel.

Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman


streptococcus β hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes,
dapat juga disebabkan oleh virus (Mansjoer, 2000). Tonsilektomi adalah
pengangkatan tonsil dan struktur adenoid, bagian jaringan limfoid yang
mengelilingi faring melalui pembedahan (Nettina, 2006)

Berdasarkan pengertian di atas kesimpulan dari penulis adalah tonsilitis


merupakan suatu peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri ataupun
virus, prosesnya bisa akut atau kronis.

2.2 Klasifikasi

Menurut Soepardi (2007) macam-macam tonsilitis yaitu :

1. Tonsilitis Akut

a. Tonsilitis viral

Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok. Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus

3
coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil
pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan klien.

b. Tonsilitis bakterial

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β


hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus viridan,
Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka
akan terjadi tonsilitis lakunaris.

2. Tonsilitis Membranosa

a. Tonsilitis difteri

Tonsilitis difteri merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne


bacterium diphteriae. Penularannya melalui udara, benda atau makanan yang
terkontaminasi. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang
dari 10 tahun frekuensi tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun.

b. Tonsilitis septik

Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat


dalam susu sapi.

c. Angina plaut vincent ( stomatitis ulsero membranosa )

Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang


didapatkan pada penderita dengan hygiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C.

d. Penyakit kelainan darah

Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi


mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala
pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah
kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.

4
e. Tonsilitis Kronik

Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,


beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan
fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

2.3 Etiologi

Penyebab tonsilitis adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus,


Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh
infeksi virus (Soepardi, 2007). Penyebab utama tonsilitis adalah golongan
streptococus (streptococus α streptokokus ß hemolycitus, viridians dan
pyogeneses), penyebab yang lain yaitu infeksi virus influenza, serta herpes
(Nanda, 2008). Infeksi ini terjadi pada hidung / faring menyebar melalui sistem
limpa ke tonsil hiperthropi yang disebabkan oleh infeksi bisa menyebabkan
tonsil membengkak sehingga bisa menghambat keluar masuk udara. 50%
bakteri merupakan penyebabnya. Tonsil bisa dikalahkan oleh bakteri maupun
virus, sehingga membengkak dan meradang, dan juga menyebabkan tonsilitis
(Reeves, 2001).

2.4 Anatomi Fisiologi

Tonsil terbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing – masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam yang meluas ke jaringan

5
tonsil. Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsil, daerah kosong di atasnya
dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Bagian luar tonsil terikat longgar pada
mushulus kontriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kali makan.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang berlebih
tonsil dapat meluas kearah nasofaring sehingga dapat menimbulkan
insufiensi velofaring atau obstruksi hidung, walau jarang di temukan. Arah
perkembangan tonsil tersering adalah kearah hipofaring, sehingga sering
menyebabkan terganggunya saat tidur karena gangguan pada jalan nafas. Secara
mikroskopik mengandung 3 unsur utama:
1. Jaringan ikat / trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah saraf.
2. Jaringan interfolikuler yang terjadi jaringan limfoid dalam berbagai stadium.
Abses peri tonsil terjadi setalah serangan akut tonsilitis. Kira-kira seminggu setelah
permulaan sakit, penderita mulai merasa tidak sehat dan demam, serta disfagia
timbul kembali. Gejala karakteristik abses peri tonsil ialah adanya trimus, tanpa
gejala ini diagnosis abses peri tonsil mungkin salah. Tonsil (amandel) dan adenoid
merupakan jaringan limfoid yang terdapat pada daerah faring atau tenggorokan.
Keduanya sudah ada sejak lahirkan dan mulai berfungsi sebagai bagian dari sistem
imunitas tubuh setelah imunitas “warisan” dari ibu mulai menghilang dari tubuh.
Tonsil dan adenoid merupakan organ imunitas utama.
Sistem imunitas ada 2 macam yaitu imunitas seluler dan humoral.
Imunitasseluler bekerja dengan membuat sel (limfoid T) yang dapat “memakan“
kuman dan virus serta membunuhnya. Sedangakan imunitas humoral bekerja
karena adanya sel (limfoid B) yang dapat menghasilkan zat immunoglobulin
yang dapat membunuh kuman dan virus. Kuman yang “dimakan” oleh imunitas
seluler tonsil dan adenoid terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana serta
menyebabklan infeksi amandel yang kronis dan berulang (Tonsilitis kronis).
Infeksi yang berulan ini akan menyebabkan tonsil dan adenoid “bekerja terus
“ dengan memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga ukuran tonsil dan
adenoid akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang normal. Tonsil
dan adenoid yang demikian sering dikenal sebagai amandel yang dapat menjadi
sumber infeksi (fokal infeksi).

6
2.5 Patofisiologi

Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, amandel
berperan sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme berbahaya, sel-
sel darah putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada amandel. Hal ini akan
memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang, akan
tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Infeksi
bakteri dari virus inilah yang menyebabkan tonsilitis.

Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan


limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus
tonsil yang 6 berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsilitis akut dengan
detritus disebut tonsilitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsilitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan
ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya
sehingga nafsu makan berkurang. Radang pada tonsil dapat menyebabkan
kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah di dalam
daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit,
sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien

7
mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal
yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.

Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(Pseudomembran), sedangkan pada tonsilitis kronik terjadi karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut
sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus,
proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan 7
dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfe submandibula. (Reeves, 2001).

8
2.6 Manifestasi klinik

Tanda dan gejala tonsilitis seperti demam mendadak, nyeri tenggorokan,


ngorok, dan kesulitan menelan (Smeltzer, 2001). Sedangkan menurut Mansjoer
(2000) adalah suhu tubuh naik sampai 40◦C, rasa gatal atau kering di tenggorokan,
lesu, nyeri sendi, odinofagia (nyeri menelan), anoreksia, dan otalgia (nyeri telinga).
Bila laring terkena suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan tampak faring
hiperemisis, tonsil membengkak, hiperemisis.

2.7 Komplikasi

Komplikasi tonsilitis akut dan kronik adalah :

1. Abses peritonsil

Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses
ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh
streptococcus group A (Soepardi, 2007)

2. Otitis media akut

Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi)


dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan
gendang telinga (Soepardi, 2007)

3. Mastoiditis akut

Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam


sel-sel mastoid (Soepardi, 2007)

4. Laringitis

Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk


larynx. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus,
bakter, lingkungan, maupun karena alergi (Reeves, 2001)

5. Sinusitis

9
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau lebih
dari sinus paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi
udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa (Reeves, 2001)

6. Rhinitis

Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan


nasopharinx. Sama halnya dengan sinusitis, rhinitis bisa berupa penyakit kronis dan
akut yang kebanyakan disebabkan oleh virus dan alergi (Reeves, 2001).

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien tonsilitis secara umum :


1. Jika penyebab bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut) selama 10
hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
2. Pengangkatan tonsil (Tonsilektomi) dilakukan jika:
a. Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
b. Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.
c. Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.
d. Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
Penatalaksanaan pasien tonsilitis menurut Mansjoer (2000) adalah :
1. Penatalaksanaan tonsilitis akut :
a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau
obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau
klidomisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi
kantung selama 2 sampai 3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3 kali
negatif.

d. Pemberian antipiretik

2. Penatalaksanaan tonsillitis kronik


a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur atau hisap.

10
b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.
The American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery Clinical
Indikators Compendium tahun 1995 menetapkan indikasi dilakukannya
tonsilektomi yaitu:
1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat.
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial.
3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan nafas,
sleep apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara.
4) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil, yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Sterptococcus β
hemoliticus
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

8) Otitis media efusa atau otitis media supurataif (Soepardi, 2007).

Penatalaksanaan tonsilektomi :

1) Perawatan pra Operasi :

a) Lakukan pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorok secara seksama dan


dapatkan kultur yang diperlukan untuk menentukan ada tidak dan sumber infeksi.
b) Ambil spesimen darah untuk pemeriksaan praoperasi untuk menentukan adanya
risiko perdarahan : waktu pembekuan, pulasan trombosit, masa protrombin, masa
tromboplastin parsial.

c) Lakukan pengkajian praoperasi :

Perdarahan pada anak atau keluarga, kaji status hidrasi, siapkan anak secara khusus
untuk menghadapi apa yang diharapkan pada masa pascaoperasi, gunakan teknik-
teknik yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak (buku, boneka, gambar),
bicaralah pada anak tentang hal-hal baru yang akan dilihat di kamar operasi, dan

11
jelaskan jika terdapat konsep-konsep yang salah, bantu orang tua menyiapkan anak
mereka dengan membicarakan istilah yang umum terlebih dahulu mengenai
pembedahan dan berkembang ke informasi yang lebih spesifik, yakinkan orang tua
bahwa tingkat komplikasi rendah dan masa pemulihan biasanya cepat, anjurkan
orang tua untuk tetap bersama anak dan membantu memberikan perawatan.

2) Perawatan pasca operasi :

a) Kaji nyeri dengan sering dan berikan analgesik sesuai indikasi.

b) Kaji dengan sering adanya tanda-tanda perdarahan pasca operasi.

c) Siapkan alat pengisap dan alat-alat nasal untuk berjaga-jaga seandainya terjadi
kedaruratan.

d) Pada saat anak masih berada dalam pengaruh anestesi, beri posisi telungkup atau
semi telungkup pada anak dengan kepala dimiringkan ke samping untuk mencegah
aspirasi

e) Biarkan anak memperoleh posisi yang nyaman sendiri setelah ia sadar (orangtua
boleh menggendong anak ).

f) Pada awalnya anak dapat mengalami muntah darah lama. Jika diperlukan
pengisapan, hindari trauma pada orofaring.

g) Ingatkan anak untuk tidak batuk atau membersihkan tenggorok kecuali jika
perlu.

h) Berikan asupan cairan yang adekuat; beri es batu 1 sampai 2 jam setelah sadar
dari anestesi. Saat muntah susah berhenti, berikan air jernih dengan hati-hati.

i) Tawarkan jus jeruk dingin disaring karena cairan itulah yang paling baik
ditoleransi pada saat ini, kemudian berikan es loli dan air dingin selama 12 sampai
24 jam pertama.

j) Ada beberapa kontroversi yang berkaitan dengan pemberian susu dan es krim
pada malam pembedahan : dapat menenangkan dan mengurangi pembengkakan,
tetapi dapat meningkatkan produksi mukus yang menyebabkan anak lebih sering
membersihkan tenggorokanya, meningkatkan risiko perdarahan.

12
k) Berikan collar es pada leher, jika anak menjadi gelisah, lepas collar es tersebut.
l) Bilas mulut pasien dengan air dingin atau larutan alkalin.

m)Jaga agar anak dan lingkungan sekitar bebas dari drainase bernoda darah untuk
membantu menurunkan kecemasan.

n) Anjurkan orang tua agar tetap bersama anak ketika anak sadar. (Nettina, 2006).

2.9 Pengkajian askep tonsilitis

Fokus pengkajian menurut Firman (2006) yaitu :

a. Wawancara

1) Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsilitis)

2) Apakah pengobatan adekuat

3) Kapan gejala itu muncul

4) Bagaimana pola makannya

5) Apakah rutin atau rajin membersihkan mulut

b. Pemeriksaan fisik Data dasar pengkajian menurut Doenges (2001), yaitu :

a) Integritas Ego Gejala : Perasaan takut, khawatir Tanda : ansietas, depresi,


menolak.

b) Makanan atau Cairan Gejala : Kesulitan menelan Tanda : Kesulitan menelan,


mudah terdesak, inflamasi

c) Hygiene Tanda : kebersihan gigi dan mulut buruk

d) Nyeri atau keamanan Tanda : Gelisah, perilaku berhati-hati Gejala : Sakit


tenggorokan kronik, penyebaran nyeri ke telinga

e) Pernapasan Gejala : Riwayat menghisap asap rokok (mungkin ada anggota


keluarga yang merokok), tinggal di tempat yang berdebu.

Ukuran tonsilberapa besarnya dinyatakan dengan :

13
1. TO : bila sudah dioperasi
2. T 1 : ukuran yang normal ada
3. T2 : pembesaran tonsil tidak sampai garis tengah
4. T3 : pembesaran tonsil sampai garis tengah
5. T4 : pembesaran tonsil melewati garis tengah

f) Tenggorokan Inspeksi : Tonsil membesar dan berwarna kemerahan. Palpasi :


Terdapat nyeri tekan, pembesaran kelenjar limfoid.
g) Pemeriksaan Penunjang :
Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam
tubuh pasien dengan tonsilitis merupakan bakteri grup A, kemudian pemeriksaan
jumlah leukosit dan hitung jenisnya, serta laju endap darah. Persiapan pemeriksaan
yang perlu sebelum tonsilektomi adalah :
1. Rutin : Hemoglobine, lekosit, urine.
2. Reaksi alergi, gangguan perdarahan, pembekuan.
3. Pemeriksaan lain atas indikasi (Rongten foto, EKG, gula darah, elektrolit, dan
sebagainya.
4. Kultur : Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
5. Terapi : Dengan menggunakan antibiotik spectrum lebar dan sulfonamide,
antipiretik, dan obat kumur yang mengandung desinfektan. ( Soetomo, 2004 )

2.10 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Pre Operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi
b. Hipertemi berhubungan dengan proses penyakit.
c. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan perubahan citra tubuh.
d. Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan.
e. Anxietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
2. Post Operasi :
a. Risiko hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif.

14
b Bersihan jalan nefas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik.
d. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif

2.11 Intervensi
1. Pre Operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 jam nyeri akan teratasi
Kriteria Hasil :
Mengenali faktor penyebab
Mengenali serangan nyeri
Tindakan pertolongnan non analgetik
Mengenali gejala nyeri
Melaporkan control nyeri

Intervensi dan rasional


1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
Rasional : Pengkajian berkelanjutan membantu meyakinkan bahwa
penanganan dapat memenuhi kebutuhan pasien dalam mengurangi nyeri.
2. Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi / latihan nafas dalam.
Rasional : untuk meyakinkan pengurangan nyeri yang adekuat.
3. Observasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan.
Rasional : Mengurangi ketegangan atau spsme otot dan membantu pasien
memfokuskan pada subjek pengurang nyeri.
4. Anjurkan pasien untuk istirahat.
Rasional : meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dan peningkatan tingkat
energi, yang penting untuk pengurangan nyeri.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik yang sesuai.
Rasional : untuk meyakinkan pengurangan nyeri yang adekuat
b. Hipertemi berhubungan dengan proses penyakit

15
Tujuan : Setelah dilakukan askep dalam waktu 2x24 jam hipertermi teratasi.
Kriteria Hasil :
1. Suhu tubuh dalam rentang normal.
2. Nadi dan RR dalam rentang normal.
3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman
Intervensi dan rasional :
1. Monitor suhu tubuh pasien setiap 4 jam atau lebih sering.
Rasional : untuk meyakinkan perbandingan data yang akurat.
2. Berikan kompres hangat pada axila, lipatan paha, dahi (diseka)
Rasional : meningkatkan kenyamanan dan menurunkan temperatur tubuh.
3. Monitor tekanan darah, nadi, dan pernafasan.
Rasional : peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan vena sentral, dan
penurunan tekanan darah dapat mengidentifikasi hipovolemia, yang
mengarah pada penurunan perfusi jaringan.
4. Monitor intake dan output.
Rasional : menghindari kehilangan air, natrium klorida dan kalium yang
berlebihan.
5. Anjurkan pasien untuk minum sebanyak mungkin air jika tidak
dikontraindikasikan.
Rasional : Asupan cairan yang berlebihan dapat mengakibatkan kelebihan
cairan atau dekompensasi jantung yang dapat memperburuk kondisi.
6. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat
Rasional : untuk mengatasi atau menurunkan demam.
c. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan perubahan citra tubuh.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu
merespon dengan baik tentang masalahnya.
Kriteria hasil : pasien menerima perubahan citra tubuh, pasien menyatakan perasaan
positif terhadap dirinya sendiri, pasien mengkomunikasikan perasaannya.
Intervensi dan rasional :
1. Terima persepsi diri pasien dan berikan jaminan bahwa ia dapat mengatasi krisis
ini.
Rasional : untuk memvalidasi perasaannya.

16
2. Kaji pola koping dan tingkat harga dirinya.
Rasional : untuk mendapatkan nilai dasar pada pengukuran kemajuan
psikologinya.
3. Motivasi pasien untuk mengungkapkan perasaan, tujuan, keluhan dan kemajuan
Yang terjadi pada dirinya.
Rasional : agar dapat mengungkapkan keluhannya dan memperbaiki
kesalahpahamannya.
4. Motivasi pasien melakukan perawatan diri.
Rasional : untuk meningkatkan rasa kemandirian dan kontrol.
5. Ajarkan dan motivasi strategi koping yang sehat.
Rasional : untuk membantu pasien mengatasi perilaku yang tidak produktif.
6. Bimbing dan kuatkan pasien pada aspek positif dari penampilannya.
Rasional : untuk mendukung adaptasi dan kemajuan yang berkelanjutan.
d. Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan.
Tujuan : setelah dilakukan askep dalam waktu 2x24 jam nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil :
1. Asupan makan melalui mulut.
2. Asupan cairan melalui mulut
3. Tidak tersedak saat menelan
4. Menelan dengan nyaman
Intervensi dan rasional :
1. Kaji dan asupan pasien (cair dan padat)
Rasional : untuk mengkaji zat gizi yang dikonsumsi dan suplemen yang
diperlukan.
2. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe, tinggi protein, vitamin C
dan tinggi kalori.
Rasional : makanan tersebut mencegah kerusakn protein tubuh dan
memberikan kalori energi.
3. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan
Rasional : untuk meningkatkan nafsu makan pasien.
4. Timbang berat badan pasien setiap hari.

17
Rasional : memberikan data akurat dan memberikan pengendalian pada
pasien tentang makanan yang dimakan.
5. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat
Rasional : untuk mencegah konstipasi.
6. Monitor dan catat pola eliminasi
Rasional : Pasien dapat menggunakan laksatif atau diuretik untuk
mempertahankan berat badan rendah.
7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien.
Rasional : mengetahui makanan yang bergizi sesuai dengan yang
diinginkan yang sesuai dengan petunjuk ahli gizi.
e. Anxietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
Tujuan : setelah dilakukan askep 2x24 jam anxietas teratasi.
Kriteria hasil : Klien tidak tampak gelisah, tidak tampak cemas, klien mengatakan
tidak merasa cemas dengan penyakitnya, klien tidak selalu tanya tentang
penyakitnya.
Intervensi dan rasional :
1. Jelaskan tentang penyakit dan tindakannya
Rasional : untuk menghindari terlalu banyak informasi.
2. Motivasi pasien untuk mengidentifikasi dan berpartisipasi dalam aktivitas yang
menyenangkan.
Rasional : untuk membangun rasa kontrol.
3. Buat hubungan saling percaya dengan klien atau orang terdekat.
Rasional : memudahkan penjelasan informasi tentang penyakitnya.
4. Libatkan pasien dan anggota keluarga dalam mengambil keputusan.
Rasional : untuk membangun kepercayaan diri pasien dan menumbuhkan rasa
percaya.
5. Ajarkan pasien tehnik relaksasi
Rasional : untuk memperbaiki keseimbangan fisik dan psikologi.
6. Rujuk pasien ke sumber komunitas atau profesi kesehatan mental
Rasional : untuk memberikan pelayanan kesehatan mental secara berkelanjutan.

18
2. Post Operasi :
a. Resiko hipovolemi berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam kebutuhan cairan
terpenuhi.
Kriteria hasil : Kekurangan volume cairan dapat teratasi dapat ditandai
dengan tanda vital stabil, membran mukosa lembab, turgor kulit baik.
Intervensi dan rasional :
1) Ukur dan catat jumlah cairan yang keluar dan masuk
Rasional : Potensial kekurangan cairan, khususnya bila tidak ada
tambahan cairan, untuk membantu perkiraan keseimbangan cairan pasien.
2) Pantau tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional : Perubahan tanda vital dan nadi dapat digunakan untuk
perkiraan defisit volume cairan.
3) Pantau turgor kulit dan membran mukosa tiap operan.
Rasional : turgor kulit menurun dan membran mukosa yang kering merupakan
suatu tanda dehidrasi.
4) Berikan dan pantau cairan parenteral sesuai anjuran.
Rasional : untuk mengembalikan kehilangan cairan.
5) Ajarkan pasien untuk mempertahankan asupan cairan yang benar.
Rasional : untuk memotivasi partisipasi pasien dan pemberi asuhan dalam
perawatan dan meningkatkan kontrol pasien.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam nyeri dapat berkurang
atau hilang.
Kriteria hasil : Nyeri berkurang, skala nyeri terkontrol.
Intervensi dan rasional :
1) Kaji jenis, tingkat, lokasi, durasi dan karakteristik nyeri.
Rasional : pengkajian yang berkelanjutan membantu meyakinkan bahwa
penanganan dapat memenuhi kebutuhan pasien dalam mengurangi nyeri.
2) Anjurkan pasien untuk mengurangi nyeri, Misal dengan minum air dingin
atau air es.
Rasional : Tindakan non analgetik diberikan dengan cara alternatif untuk

19
mengurangi rasa nyeri.
3) Menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.
Rasional : Menurunkan stress, meningkatkan istirahat, memberikan penguatan
dan meningkatkan ketaatan terhadap rencana.
4) Pantau tanda-tanda vital.
Rasional : Perubahan tekanan darah (kenaikan), suhu meningkat menandakan
pasien mengalami nyeri.
5) Rencanakan aktifitas distraksi bersama pasien.
Rasional : untuk membantu memfokuskan pada subjek pengurang nyeri.
6) Berikan obat yang dianjurkan sesuai indikasi
Rasional : untuk meyakinkan pengurangan nyeri yang adekuat.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi teratasi.
Kriteria hasil : Menurunkan resiko infeksi, menunjukkan teknik atau
pola hidup yang aman dan nyaman.
Intervensi dan rasional :
1) Monitor karakteristik luka, tanda-tanda infeksi
Rasional : untuk mencegah infeksi bertambah parah.
2) Anjurkan untuk cuci tangan sebelum dan sesudah aktivitas.
Rasional : Menghindari kontaminasi silang dan mencegah penularan pathogen.
3) Menggunakan sarung tangan untuk mempertahankan asepsis.
Rasional : sarung tangan dapat melindungi tangan pada saat melakukan
tindakan.
4) Berikan asupan diet yang adekuat
Rasional : membantu menstabilkan berat badan , meningkatkan tonus otot dan
membantu penyembuhan luka.
5) Anjurkan minum yang cukup
Rasional : membantu menipiskan sekresi mukosa.
6) Kolaborasi pemberian antibiotik
Rasional : untuk mengurangi dan mencegah infeksi bertambah.
d. Ketidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekresi yang tertahan.

20
Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan 2x24 jam bersihan jalan nafas
efektif.
Kriteria hasil : pasien bisa mengeluarkan sekret, tidak ada suara napas tambahan,
pasien batuk secara efektif.
Intervensi dan raasional :
Intervensi dan rasional :
1. Kaji status pernapasan
Rasional : untuk mendeteksi tanda awal bahaya.
2. Berikan posisi fowler dan sangga lengan pasien.
Rasional : untuk membantu bernapas dan ekspansi dada serta ventilasi
lapangan paru basilar.
3. Bantu pasien untuk mengubah posisi, batuk dan bernapas dalam tiap 2-4
Jam.
Rasional : untuk membantu mengeluarkan sekresidan mempertahankan
patensi jalan napas.
4. Berikan kelembaban yang adekuat.
Rasional : untuk mencairkan sekresi.
5. Keluarkan secret dengan batuk atau suction.
Rasional : untuk menstimulasi batuk dan membersihkan jalan napas,
waspadai pemburukan gangguan pada jalan napas.
6. Hindari posisi terlentang pada waktu lama.
Rasional : untuk meningkatkan ekspansi dada dan ventilasi.
7. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
Rasional : untuk memastikan hidrasi yang adekuat dan mencairkan sekresi,
kecuali dikontrindikasikan.

2.11 Implementasi dan Evaluasi


Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik. Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai
tujuan yang telah diterapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping (Nursalam: 2001).

21
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan
pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan (Nursalam, 2001).

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tonsilitis adalah suatu penyakit yang harus ditangani dengan cepat dan
tepat. Yaitu dengan cara pengangkatan tonsil yang ada pada faring dengan salah
satu cara operasi yaitu operasi tonsilektomi.

Tonsilitis adalah radang yang disebabkan oleh infeksi bakteri kelompok A


streepfokus bila hemolitil, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri jenis lain atau
oleh infeksi virus.

Ciri-ciri atau dengan tanda dan gejala :


a. Demam
b. Tidak enak badan, mual, muntah
c. Tonsil membesar dengan permukaan tidak rata
Dengan pengobatan / therapi-therapi dari dokter dan insisi bedah, dapat
menyembuhkan tonsillitis.
Dalam pemberian asuhan keperawatan tonsilitis diperlukan adanya
pengkajian untuk mendapatkan data – data secara akurat sebagai dasar untuk
merumuskan sebuah masalah. Maka di perlukan adanya komunikasi yang baik
dengan klien / keluarga maupun dengan dokter. Diagnosa keperawatan pada
tonsilitis terdapat pre operasi dan post operasi.

3.2 Saran
1. Bagi masyarakat
Tonsilitis biasanya menyerang pada anak usia sekolah, akan tetapi demikian
ada juga yang menyerang pada orang dewasa. Tonsilitis bisa menyebabkan
terjadinya penurunan produktifitas kerja. Kebiasaan hidup sehat perlu diterapkan
mulai dari sekarang, seperti menjaga kebersihan tubuh terutama kebersihan mulut,
mencuci tngan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas, tidak merokok, sering
berolahraga dan menghindari mengkonsumsi makanan instan atau makanan cepat
saji, hindari mengkonsumsi makanan berbahan pengawet.
2. Bagi keluarga

23
Keluarga hendaknya sejak awal sudah menerapkan pola hidup sehat serta
menghindari mengkonsumsi makanan instan atau makanan cepat saji, hindari
mengkonsumsi makanan berbahan pengawet. Menerapkan pola hidup bersih dan
sehat dapat mencegah resikonya terjadi tonsilitis, periksa ke pelayanan kesehatan
terdekat apa bila mengalami tanda dan gejala tonsilitis.
3. Bagi tenaga kesehatan
Perawat yang memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
tonsilitis perlu memperhatikan terjadinya komplikasi, abses pertonsil,
otitismediaakut, mastoditis akut, larifaringitis, sinusitis, rhinitis pada pasien post
tonsilektomi diminimalkan dengan memberikan penyuluhan / pendidikan
kesehatan tentang perawatan tonsilektomi terutama pada keluarga saat nanti pasien
pulang sehingga dapat dilakukan secara mandiri

24
DAFTAR PUSTAKA

Rukmini, S. 2003. Buku Ajar Ilmu THT untuk Perawat. Edisi Pertama. Surabaya:
FK Airlangga
Syaifudin. 2002. Panduan Diagnosa NANDA 2005-2006; Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta: EGC.
Sakka I, Sedjawidada R., Kodrat L., Rahardjo SP. 2009. Kadar Imunoglobulin A
Sekretori pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum dan Setelah Tonsilektomi.
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar – Indonesia. Diakses:
http://www.cusabio.com/wenxian/206.pdf
Rusmarjono. 2003. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala Leher Edisi 5. Jakarta:
FKUI.
Jagdeep R. 2008. Pharmacokinetic and Clinical Studies of FK 027 in the Pediatric
Field. In: A Review of New Oral Cephems. Proceedings of a Workshop Heldat the
14th International Congress of Chemotherapy. Kyoto
Doenges, E M. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. (Edisi 3). Jakarta: EGC
Soepardi, E A dan Nurbaiti Iskandar, Jonny Bashiruddin, Restuti, R. D, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-TenggorokanKepala Leher, 6th Ed. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2007: 221
Mansjoer, Arif, dkk., 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1, Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
Reeves, Charlene J., Roux, Gayle, Lockhart, Robin, 2001, Keperawatan Medikal
Bedah Salemba Medika (Edisi 1)
Carpenito, L.J. (2009). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta
Nanda. (2008). Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima Medika. Jakarta
Diagnosa Nanda Nic Noc. 2007-2008.
SDKI 2016
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.

25

Anda mungkin juga menyukai