Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN THT-KL REFARAT &

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA April 2020

REFARAT
TONSILITIS DIFTERI

DISUSUN OLEH:
Muhammad Yusuf
111 2018 1017

PEMBIMBING:
dr. Ahmad Ardhani Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2020
BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilitis merupakan inflamasi dari pharingeal tonsils. Inflamasi biasanya


sepanjang adenoid dan lingual tonsil. Untuk itu, faringitis juga bisa disertai pada
tonsilitis. Pada kebanyakan kasus tonsilitis bakteri diakibatkan oleh grup A beta-
hemolytic streptococcus pyogenes.. (1)

Frekuensi penyakit tonsilitis difteri sudah menurun berkat keberhasilan


imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Coryne
bacterium diphteriae, kuman yang termasuk gram positif dan hidung saluran
napas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer
anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc
darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai
pada tes Schick. (2)

Tonsilitis difteri ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi
tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin
menderita penyakit ini.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tonsil

Anatomi Tonsil

Tonsil bersama adenoid, tonsil lingual, pita lateral faring, tonsil tubaria dan
sebaran jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan limfoid yang dikenal
dengan cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap
infeksi. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer.
Adenoid akan mengalami regresi pada usia puberitas.
Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot
palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian
medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring
superior, bagian superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual.
Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari fasia
faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam
tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan kripta.
Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel Kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini
berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk
masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut
tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin
longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan
antigen tertahan di dalam kripta tonsil.

Batas Tonsil:

1. Lateral – m. konstriktor faring superior


2. Anterior – m. palatoglosus

3. Posterior – m. palatofaringeus

4. Superior – palatum mole

5. Inferior – tonsil lingual

Gambar 2.1 Anatomi tonsil

Gambar 2.2 Cincin Waldeyer

Fossa Tonsil

Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada
rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar
posterior adalah otot vertical yang ke atas mencapai palatum mole, tuba
eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral
esophagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak
terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum
mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding
lateral faring.

Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul
ini, tetapi para klinis menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang
menutupi 4/5 bagian tonsil.

Plika Triangularis
Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat
plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak
masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan
tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil
atau terpotongnya pangkal lidah.

Pendarahan
 Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu :
1. A. Maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A.
Palatina asenden.
2. A. Maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden.
3. A. Lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.
4. A. Faringeal asenden.

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh A. palatine asenden, di antara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal
asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.

Gambar 2.3. Vaskularisasi tonsil

Aliran getah bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah
M.Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya
menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.

Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N.IX).
Gambar 2.4. Persarafan tonsil

Fisiologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-


0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan
T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil
terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag,
sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin
spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi
dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi
utama yaitu :
1.  Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
2.  Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik.
Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan
patogen, selanjutnya mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari
tonsil ditemukan pada usia 3-10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun, Ig-positif sel
B dan sel T berkurang banyak sekali pada semua kompartemen tonsil.
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian
yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon
imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte
yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M
tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga
membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan
dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan
sel dendritik. Respon imun tonsila palatina tahap II terjadi setelah antigen melalui
epitel kripta dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Respon
imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian
didapat bahawa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil
melalui HEV (high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe.
Ukuran Tonsil

T0 : Post Tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam Fossa Tonsilaris
T2 : Sudah melewati pillar anterior belum melewati garis paramedian (pillar  post)
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median

Garis median garis paramedian

Gambar 2.5. Ukuran Tonsil

B. Difteri

Definisi

Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium


diphteriae. Infeksi biasnya terdapat pada faring, laring, hidung, dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala
local dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.

Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,
bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit
merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.
Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang
terkena infeksi.Berdasarkan berat ringannya penyakit ini dibagi menjadi ::

1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung


dengan gejala hanya nyeri menelan.

2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding


belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.

3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (berkisar, 1-10 hari).  Penyakit ini
dapat melibatkan hampir semua membran mukosa.

Etiologi

Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, kuman ini


dikenal juga dengan sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun
1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler
(1852-1915). Ada tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh
tingkat keparahan penyakit mereka yang disebabkan  pada manusia yaitu gravis,
inter-medius, dan mitis. Ketiga subspesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni
dan sifat-sifat biokimia. Perbedaan virulensi dari tiga strain dapat dikait-kan
dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik
kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis
memiliki waktu generasi (in vitro) 60 menit; strain intermedius memiliki waktu
generasi sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu generasi  sekitar 180 menit.
Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang lebih cepat
memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam
menyerang jaringan.

Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil


gram positif (basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan
kering. Organisme tersebut paling mudah ditemukan
pada media yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat
pertumbuhan mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium
diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.(5,7)

Kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif


dan hidung di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak
semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini
tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar
0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal
inilah yang dipakai pada tes Schick.

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier . Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita
pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau
droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan
penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa
sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian
atas. (3)
Kontaminasi barang pribadi yang dipakai bersamaan, seperti handuk,
sendok,gelas yang belum dicuci, mainan dan lain-lain. (3)
Orang yang telah terinfeksi difteri dan belum diobati dapat menulari orang
lain yang nonimmunized selama enam minggu, bahkan jika mereka belum
menunjukan gejala apapun.

Epidemiologi

Tonsilitis biasanya ditemukan pada anak-anak, akan tetapi kondisi ini jarang
ditemukan pada anak-anak dibawah umur 2 tahun. Tonsilitis disebabkan oleh spesies
Streptococcus biasanya ditemukan pada anak usia 5-15 tahun. Sementara viral tonsilitis
biasanya lebih sering pada anak-anak dengan usia lebih muda. (1)

Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok
setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap terjadi pada
individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi
primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens menurut usia tergantung pada
kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa
penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan
memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada
individu yang belum mendapatkan imunisasi.

Manifestasi Klinis

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal dan
gejala akibat eksotoksin. (4)
a. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat
serta keluhan nyeri menelan. (4)
b. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersafu membentuk membran semu. membran
ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus
dan dapat menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila frekuensinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull
neck) atau disebut juga Burgemeester's hals. (4)

Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum
dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Patofisiologi

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan


mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke
sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan
darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak
tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan
fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B
diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu
yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam
sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel. (1, 2)

Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu


coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini
memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang mengalami
asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui
membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. (1, 2)

Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim
translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis
tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang
bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula
mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna
kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode
penyembuhan. (1, 2)

Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya streptococcus


pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan
pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-
cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. (1, 2)

Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin
terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada
umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis
toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi.
Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf
tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa
disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis
tubuler akut pada ginjal. (1, 2)

Diagnosis

Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan


preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan
didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.

Pemeriksaan Penunjang

1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa


hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab).
2. Kultur lesi tenggorokan dibutuhkan untuk diagnose klinis, untuk isolasi
primer menggunakan agar Loeffler, atau agar tellurite Tinsdale.
3. Menyusul isolasi awal C.diphteriae dapat diidentifikasi sebagai mitis,
intermedius, atau biotipe gravis berdasar fermentasi karbohidrat
karbohidrat dan hemolisis pada agar pelat darah domba. Strain ditentukan
secara in vitro dan in vivo.
4.  Darah lengkap : Hb, leukosit, hitung jenis leukosit,
eritrosit,trombosit,LED
5.  Urin lengkap : protein dan sedimen
6.  Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
7.  EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu,
kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.
8. Tes schick:

Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang


telah mengandung antitoksin. Pada seseorang yang tidak mengandung
antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah
beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick
dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam
24 jam.
Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada
tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau
mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi
alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
      Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan
kasus-kasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati
dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml
toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang
lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca
pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang
diameternya 10 mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti
adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
      Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh
reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi
eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan
yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.
(2)

9. Tes hapusan specimen


Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain,
berguna untuk identifikasi tempat spesies, uji toksigenitas dan kerentanan
anti mikroba sebagai medikasi. (2)

Penatalaksanaan

Prinsip tata laksana tonsilitis adalah sebagai berikut :(5)

1. Menjaga hidrasi dan asupan kalori yang adekuat.


2. Kontrol nyeri dan demam, baik dengan kompres maupun obat-obatan.
3. Obat kumur untuk menjaga higienitas mulut.
4. Pemberian antibiotik (Lihat pada tabel)15

1. Medikamentosa
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan
dosis 20.000 - 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit. antibiotika
penisilin atau eritromisin 25 - 50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14
hari. (2)

Dosis pemberian antitoksin difteri tergantung dari lokasi infeksi, derajat toksisitas
dan lamanya penyakit. Antitoksin diberikan secara intravena atau intramuskular dengan
dosis tunggal sebanyak 20.000-100.000 IU. Pada kasus difteri faring atau laring diberikan
dosis 20.000-40.000 IU, sedangkan pada kasus difteri berat dengan bull neck dan
pseudomembran yang luas diberikan dosis 40.000-100.000 IU.13
Profilaksis diberikan pada kontak dekat, yaitu orang-orang yang terpapar dengan
sekret pernapasan pasien atau yang tinggal bersama dengan pasien. Sebelum diberikan
profilaksis, harus dilakukan swab dari hidung atau tenggorok. Profilaksis yang dapat
diberikan berupa antibiotik benzylpenisilin intramuskular dengan dosis 600.000 IU untuk
usia di bawah enam tahun, dan 1.200.000 IU untuk usia lebih dari enam tahun, dosis
tunggal. Selain itu, dapat juga diberikan eritromisin oral dengan dosis 125 mg setiap 6
jam untuk anak di bawah 2 tahun, 250 mg setiap 6 jam untuk anak usia 2-8 tahun, dan
250-500 mg setiap 6 jam untuk usia di atas 8 tahun selama 7 hari.13

Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin.


Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50 mg/kgBB/hari, dosis terbagi
setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari), Penisilin V Oral 125-250 mg, 4
kali sehari, kristal aqueous pensilin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis terbagi setiap
6 jam IV atau IM), atau Penisilin prokain (25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis terbagi
setiap 12 jam IM). Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa pasien dengan difteria
kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari. Eliminasi bakteri harus dibuktikan dengan
setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang
diambil 24 jam setelah terapi selesai. Terapi dengan eritromisin diulang apabila hasil
kultur didapatkan C. diphteriae.14

Dewasa Anak
Penisilin V 500 mg per oral selama 10 hari Penisilin V 25-50 mg/kg/hari PO selama 10 hari
Benzathine penisilin G 1.2 juta U Benzathine penisilin G 25.000 U/kg
IM Sekali suntikan IM
Amoksisillin 2x500-875 mg atau Amoksisillin 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2/3
3x250-500 mg PO selama 10 hari dosis PO selama 10 hari
Cefdinir 1x600 mg atau 2x300 mg PO selama 10 Cefdinir 14 mg/kg 1 kali PO selama 10 hari
hari
Cefuroxime axetil 1x250 mg PO selama 4 hari Cefuroxime axetil 10 mg/kg PO selama 4-10
hari
BILA ALERGI PENISILIN
Dewasa Anak
Azitromycin 1x500 mg PO selama 5 hari Azitromycin 1x12 mg/kg PO selama 5 hari
Clarithromycin 2x250 mg PO selama 10 hari Clarithromycin 2x250 mg PO selama 10 hari
Erythromycin 4x500 mg PO selama 10 hari Erythromycin 4x20 mg/kg PO selama 10 hari
Clindamycin 20 mg/kg/hari dalam 3 dosis Clindamycin 20/kg/hari dalam 3 dosis selama
selama 10 hari 10 hari
Levofloxacin 1x500 mg PO selama 7 hari

Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis.
Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat
tidur selama 2-3 minggu. (2)

2. Pembedahan(2)
The American Academy of Otolaryngology-Head and Surgery (AAO-HNS) merilis
indikasi klinis untuk melakukan tonsilektomi adalah:

1. Indikasi Absolut (2, 15)


a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

2. Indikasi Relatif (2, 15)


a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik
yang adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
Brodsky menyatakan tonsilitis rekuren dindikasikan untuk tonsilektomi jika terjadi
serangan tonsilitis akut berulang lebih dari 4 kali dalam satu tahun kalender, atau le0bih
dari 7 kali dalam 1 tahun, 5 kali setiap tahun selama 2 tahun, atau 3 kali setiap tahun
selama 3 tahun. Bila masih diragukan berikan antibiotik spektrum luas sebelum
didapatkan hasil kultur tonsil kemudian lanjutkan dengan antibiotik sesuai kultur. Bila
terdapat rekurensi dalam 1 tahun diindikasikan untuk tonsilektomi. Bila ditemukan gejala
yang persisten yang nyata lebih dari 1 bulan dengan eritema peritonsil indikasi untuk
tonsilektomi. Bila gejala dimaksud masih diragukan berikan antibiotik selama 3-6 bulan
sesuai kultur, jika masih menetap indikasi tonsilektomi.

3. Indikasi trakeostomi

Trakeostomi cito harus dilakukan untuk mengantisipasi atau mengurangi obstruksi


jalan napas atas pada difteri laring.13

Komplikasi

Tonsilitis difteri dapat berlangung cepat, membran semu menjalar ke laring dan
menyebabkan sumbatan jalan nafas. Makin muda usia pasien makin cepat timbul
komplikasi ini. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio
cordis. (2)

Kelumupuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot
laring sehigga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot
pernapasan. Albuminemia sebagai akibat komplikasi ke ginjal (Nefritis intertisial).(2)
Infeksi saluran nafas (Gagal nafas dan pneumonia) 16

Pencegahan

1. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium Diphtheriae
(12,13,17)

2.Imunisasi
Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaksin difteri umumnya
dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan pertusis. Ada empat jenis kombinasi
vaksin difteri, tetanus dan pertusis : DTaP, Tdap, DT, dan Td. DT tidak
mengandung pertusis, dan digunakan sebagai pengganti DTaP untuk anak-anak
yang tidak dapat mentoleransi vaksin pertusis. Td adalah vaksin tetanus-difteri
yang diberikan kepada remaja dan orang dewasa sebagai booster setiap 10 tahun,
atau bila terpapar tetanus dalam kondisi tertentu. Tdap mirip dengan Td tetapi
juga mengandung perlindungan terhadap pertusis. (21,22)
Imunisasi DTaP untuk bayi dan anak-anak umumnya lima kali umumnya
diberikan pada 2, 4, dan 6 bulan, dengan dosis keempat yang diberikan antara 15-
18 bulan, dan dosis kelima pada usia 4-6 tahun. Karena kekebalan terhadap difteri
berkurang seiring dengan waktu, maka pemberian booster dianjurkan.

Prognosis

Prognosis tergantung kepada


 Virulensi kuman
 Lokasi dan perluasan membrane
 Kecepatan terapi
 Status kekebalan
 Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.
 Keadaan umum penderita,misalnya prognosisnya kurang baik pada
penderita gizi kurang
 Ada atau tidaknya komplikasi
. Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi yang berespon
baik terhadap pengobatan memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan bisa
mengambil masa yang lama dan kadar kematian adalah 5 – 10% bagi semua
kasus difteri respiratorik.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tonsilitis Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di therapi


dengan segera, oleh karena itu bayi-bayi di wajibkan di vaksinasi. Dan ini telah
terbukti dalam mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah
jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena
penyakit ini.

Penyebab dari penyakit difteri ini adalah Corinobacterium diphtheriae yang


merupakan kuman gram positif yang bersifat ireguler,tidak bergerak, tidak
berspora, leomorfik dan memperlihatkan bentuk seperti drumstick. Masa
inkubasi kuman ini 4-9 hari, dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan
ringan, panas badan, tonsil membesar dilapisi dengan pseudomembran (bercak
kotor putih) yang mudah berdarah.
Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal,
difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri konjungtiva, dan
difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri tonsil faring.

Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian


antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari
penyakit ini adalah isolasi Bakteri Corynobacterium Diphtheriae dengan bahan
pemeriksaan membran bagian dalam (kultur bakteri).

Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi
Bakteri Corynobacterium diphtheriae dengan isolasi, antibiotik dan ADS.
Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk Bakteri tersebut.

Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan

penyebaran membran, status imunisasi, ketepatan pengobatan, ketepatan

diagnosis, dan perawatan umum.

Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan


memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan
pemberian imunisasi DPT.
Daftar Pustaka

1. Adams, GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. BOIES :


Buku Ajar Penyakit THT. Edisi Enam. EGC: Jakarta.1997.
2. Snell. Buku Ajar Anatomi Klinik Jilid I. Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta. 2001.
3. Snell R. Clinical anatomy by regions. Edisi ke-9. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2012.h.541-8.
4. Sherwood L. Human physiology: from cells to system. Edisi ke-7.
Canada: Brooks/Cole; 2010.h.139-41.
5. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009.h.160-63.
6. Sri M, Sunaka N, Kari K. Hidrosefalus. Jakarta: Dexamedia;
2006.h .19, 40-8.
7. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson ilmu
kesehatan anak esensial. Edisi ke-6. Jakarta: Elsevier; 2011.h.767-79
8. Baehr M.Frotscher M. Diagnosis topik neurologi DUUS. Edisi ke-4.
Jakarta: EGC; 2014. h. 366-8.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman pelayanan medis. Edisi ke-1
(2). Jakarta: IDAI; 2010.h.111-3.
10. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta:
EGC; 2011.h. 935-7.
11. Satyanegara, Hasan RY, Syafrizal A. Ilmu bedah saraf satyanegara.
Edisi IV . Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama; 2010. h.354-7
12. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston
textbook of surgery. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Inc; 2012.
h.1906-8.
13. Syahrial Marsinta Hutauruk, dkk, 2018, tonsillitis difteri dengan
sumbatan jalan napas atas. 48 (1): 100.
14. IDAI, 2018, Rekomendasi diagnosis dan tatalaksana difteri di
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Rekom
endasi-Diagnosis-dan-Tata-Laksana-Difteri.pdf (Akses 11-05-2020).
15. Ferguson M, Aydin M, Mickel J. Halitosis and the tonsils: a review of
management. Otolaryngol Head Neck Surg 2014.
16. www.cdc.gov, December 17, 2018, diphtheria. Diakses pada tanggal
14-05-2020. https://www.cdc.gov/diphtheria/about/complications.html

Anda mungkin juga menyukai