FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA April 2020
REFARAT
TONSILITIS DIFTERI
DISUSUN OLEH:
Muhammad Yusuf
111 2018 1017
PEMBIMBING:
dr. Ahmad Ardhani Sp. THT-KL
PENDAHULUAN
Tonsilitis difteri ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi
tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin
menderita penyakit ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tonsil
Anatomi Tonsil
Tonsil bersama adenoid, tonsil lingual, pita lateral faring, tonsil tubaria dan
sebaran jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan limfoid yang dikenal
dengan cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap
infeksi. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer.
Adenoid akan mengalami regresi pada usia puberitas.
Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot
palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian
medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring
superior, bagian superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual.
Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari fasia
faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam
tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan kripta.
Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel Kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini
berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk
masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut
tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin
longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan
antigen tertahan di dalam kripta tonsil.
Batas Tonsil:
3. Posterior – m. palatofaringeus
Fossa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada
rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar
posterior adalah otot vertical yang ke atas mencapai palatum mole, tuba
eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral
esophagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak
terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum
mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding
lateral faring.
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul
ini, tetapi para klinis menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang
menutupi 4/5 bagian tonsil.
Plika Triangularis
Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat
plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak
masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan
tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil
atau terpotongnya pangkal lidah.
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu :
1. A. Maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A.
Palatina asenden.
2. A. Maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden.
3. A. Lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.
4. A. Faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh A. palatine asenden, di antara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal
asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N.IX).
Gambar 2.4. Persarafan tonsil
Fisiologi Tonsil
T0 : Post Tonsilektomi
T1 : Tonsil masih terbatas dalam Fossa Tonsilaris
T2 : Sudah melewati pillar anterior belum melewati garis paramedian (pillar post)
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
T4 : Sudah melewati garis median
B. Difteri
Definisi
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,
bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit
merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.
Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang
terkena infeksi.Berdasarkan berat ringannya penyakit ini dibagi menjadi ::
3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (berkisar, 1-10 hari). Penyakit ini
dapat melibatkan hampir semua membran mukosa.
Etiologi
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier . Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita
pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau
droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan
penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa
sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian
atas. (3)
Kontaminasi barang pribadi yang dipakai bersamaan, seperti handuk,
sendok,gelas yang belum dicuci, mainan dan lain-lain. (3)
Orang yang telah terinfeksi difteri dan belum diobati dapat menulari orang
lain yang nonimmunized selama enam minggu, bahkan jika mereka belum
menunjukan gejala apapun.
Epidemiologi
Tonsilitis biasanya ditemukan pada anak-anak, akan tetapi kondisi ini jarang
ditemukan pada anak-anak dibawah umur 2 tahun. Tonsilitis disebabkan oleh spesies
Streptococcus biasanya ditemukan pada anak usia 5-15 tahun. Sementara viral tonsilitis
biasanya lebih sering pada anak-anak dengan usia lebih muda. (1)
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok
setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya masih tetap terjadi pada
individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi
primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi insidens menurut usia tergantung pada
kekebalan individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa
penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan
memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada
individu yang belum mendapatkan imunisasi.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal dan
gejala akibat eksotoksin. (4)
a. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat
serta keluhan nyeri menelan. (4)
b. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersafu membentuk membran semu. membran
ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus
dan dapat menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila frekuensinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull
neck) atau disebut juga Burgemeester's hals. (4)
Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum
dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
Patofisiologi
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim
translokase melalui. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis
tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang
bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula
mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan
terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna
kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel- sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode
penyembuhan. (1, 2)
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin
terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi
klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada
umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis
toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi.
Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf
tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa
disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis
tubuler akut pada ginjal. (1, 2)
Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan
dosis 20.000 - 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit. antibiotika
penisilin atau eritromisin 25 - 50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14
hari. (2)
Dosis pemberian antitoksin difteri tergantung dari lokasi infeksi, derajat toksisitas
dan lamanya penyakit. Antitoksin diberikan secara intravena atau intramuskular dengan
dosis tunggal sebanyak 20.000-100.000 IU. Pada kasus difteri faring atau laring diberikan
dosis 20.000-40.000 IU, sedangkan pada kasus difteri berat dengan bull neck dan
pseudomembran yang luas diberikan dosis 40.000-100.000 IU.13
Profilaksis diberikan pada kontak dekat, yaitu orang-orang yang terpapar dengan
sekret pernapasan pasien atau yang tinggal bersama dengan pasien. Sebelum diberikan
profilaksis, harus dilakukan swab dari hidung atau tenggorok. Profilaksis yang dapat
diberikan berupa antibiotik benzylpenisilin intramuskular dengan dosis 600.000 IU untuk
usia di bawah enam tahun, dan 1.200.000 IU untuk usia lebih dari enam tahun, dosis
tunggal. Selain itu, dapat juga diberikan eritromisin oral dengan dosis 125 mg setiap 6
jam untuk anak di bawah 2 tahun, 250 mg setiap 6 jam untuk anak usia 2-8 tahun, dan
250-500 mg setiap 6 jam untuk usia di atas 8 tahun selama 7 hari.13
Dewasa Anak
Penisilin V 500 mg per oral selama 10 hari Penisilin V 25-50 mg/kg/hari PO selama 10 hari
Benzathine penisilin G 1.2 juta U Benzathine penisilin G 25.000 U/kg
IM Sekali suntikan IM
Amoksisillin 2x500-875 mg atau Amoksisillin 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2/3
3x250-500 mg PO selama 10 hari dosis PO selama 10 hari
Cefdinir 1x600 mg atau 2x300 mg PO selama 10 Cefdinir 14 mg/kg 1 kali PO selama 10 hari
hari
Cefuroxime axetil 1x250 mg PO selama 4 hari Cefuroxime axetil 10 mg/kg PO selama 4-10
hari
BILA ALERGI PENISILIN
Dewasa Anak
Azitromycin 1x500 mg PO selama 5 hari Azitromycin 1x12 mg/kg PO selama 5 hari
Clarithromycin 2x250 mg PO selama 10 hari Clarithromycin 2x250 mg PO selama 10 hari
Erythromycin 4x500 mg PO selama 10 hari Erythromycin 4x20 mg/kg PO selama 10 hari
Clindamycin 20 mg/kg/hari dalam 3 dosis Clindamycin 20/kg/hari dalam 3 dosis selama
selama 10 hari 10 hari
Levofloxacin 1x500 mg PO selama 7 hari
Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis.
Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat
tidur selama 2-3 minggu. (2)
2. Pembedahan(2)
The American Academy of Otolaryngology-Head and Surgery (AAO-HNS) merilis
indikasi klinis untuk melakukan tonsilektomi adalah:
3. Indikasi trakeostomi
Komplikasi
Tonsilitis difteri dapat berlangung cepat, membran semu menjalar ke laring dan
menyebabkan sumbatan jalan nafas. Makin muda usia pasien makin cepat timbul
komplikasi ini. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio
cordis. (2)
Kelumupuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot
laring sehigga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot
pernapasan. Albuminemia sebagai akibat komplikasi ke ginjal (Nefritis intertisial).(2)
Infeksi saluran nafas (Gagal nafas dan pneumonia) 16
Pencegahan
1. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium Diphtheriae
(12,13,17)
2.Imunisasi
Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaksin difteri umumnya
dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan pertusis. Ada empat jenis kombinasi
vaksin difteri, tetanus dan pertusis : DTaP, Tdap, DT, dan Td. DT tidak
mengandung pertusis, dan digunakan sebagai pengganti DTaP untuk anak-anak
yang tidak dapat mentoleransi vaksin pertusis. Td adalah vaksin tetanus-difteri
yang diberikan kepada remaja dan orang dewasa sebagai booster setiap 10 tahun,
atau bila terpapar tetanus dalam kondisi tertentu. Tdap mirip dengan Td tetapi
juga mengandung perlindungan terhadap pertusis. (21,22)
Imunisasi DTaP untuk bayi dan anak-anak umumnya lima kali umumnya
diberikan pada 2, 4, dan 6 bulan, dengan dosis keempat yang diberikan antara 15-
18 bulan, dan dosis kelima pada usia 4-6 tahun. Karena kekebalan terhadap difteri
berkurang seiring dengan waktu, maka pemberian booster dianjurkan.
Prognosis
PENUTUP
Kesimpulan
Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi
Bakteri Corynobacterium diphtheriae dengan isolasi, antibiotik dan ADS.
Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk Bakteri tersebut.