TONSILITIS MEMBRANOSA
Disusun Oleh :
WINDA DIAH NUGRAHENI
1102011293
Pembimbing :
dr. Hidayat Anwar, Sp.THT
SMF THT
RSUD PASAR REBO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat Allah SWT, karena berkat-Nya maka referat ini dapat
diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Hidayat Anwar Sp.THT dan dr.
Aswaldi A., Sp.THT sebagai pembimbing dalam kepaniteraan klinik ilmu THT.
Referat ini mengangkat tema tentang tonsillitis membranisa. Penulis mengharapkan agar
referat ini dapat membantu mengenali kondisi klinis dan diagnosis serta penyakit tonsillitis
membranosa secara holistic dengan menilai seluruh unsure di dalamnya. Semoga referat ini
dapat berguna bagi pembaca untuk menambah pengetahuan mengenai penyakit tonsillitis
membranosa.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan referat
ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya untuk membaca referat ini.
DAFTAR ISI
2
KATA PENGANTAR..2
DAFTAR ISI....3
BAB I. Pendahuluan.4
BAB II. Tinjauan Pustaka....5
2.1 Embriologi Tonsil...5
2.2 Anatomi Tonsil...5
2.3 Fisiologi Tonsil...9
2.4 Tonsilitis Membranosa......10
2.4.1 Tonsilitis Difteri.....10
2.4.2 Tonsilitis Septik..14
2.4.3 Angina Plaut Vincent..15
2.4.4 Penyakit Kelainan Darah16
2.5 Perbedaan Tonsilitis Membranosa.17
2.6 Tonsilektomi..18
BAB III. Kesimpulan...21
DAFTAR PUSTAKA..22
BAB I
3
PENDAHULUAN
Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari Cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut, yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsi faucial), tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah), dan tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlachs tonsil).
Penyebaran infeksi melalui udara (air bone droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada
semua umur, terutama pada anak.
Klasifikasi tonsillitis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tonsillitis akut (tonsillitis viral,
tonsillitis bacterial), tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronik. Tonsilitis membranosa adalah
radang akut tonsil disertai pembentukan selaput atau membrane pada permukaan tonsil yang
dapat meluas hingga ke sekitarnya. Bila eksudat yang menutupi permukaan tonsil yang
membengkak menyerupai membrane.
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa adalah (a) Tonsilitis
difteri, (b) Tonsilitis septik, (c) Angina Plaut Vincent, (d) Penyakit kelainan darah seperti
leukemia akut, anemia pernisiosa, neutropenia maligna, serta infeksi mono-nukleosis, (e) proses
spesifik luas dan tuberculosis, (f) Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, (g)
Infeksi virus morbili, pertusis dan skarlatina. Pada referat ini penulis akan membahas mengenai
tonsillitis difteri, tonsillitis septic, angina plaut Vincent dan penyakit kelainan darah.
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
EMBRIOLOGI TONSIL
Pada pertumbuhan tonsil,terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke dinding faring akibat
pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal kantong
tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan membagi lagi
dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3-6 kehidupan
janin, berasal dari epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan
terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akibatnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan
jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan demikian
terbentuklah massa jaringan tonsil.
2.2
ANATOMI
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian
terpentingnya adalah tonsil palatine dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur lain adalah tonsil
lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa
Rosenmuller, dibawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatine adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjaang 2-5 cm, masingmasing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai
fosa supratonsilaris. Tonsil terletak di lateral orofaring dan dibatasi oleh:
- Lateral
: M. konstriktor faring superior
- Anterior : M. palatoglosus
- Posterior : M. palatofaringeus
- Superior : Palatum mole
- Inferior : Tonsil lingual
Gambar
2.
Perdarahan
Tonsil
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda bagian superior di bawah M. sternokleidomastoideus, selanjutnya ke
kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
pembuluh getah bening eferen.
Persarafan
Tonsil bagian atas endapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.
Imunologi tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari
keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Pada tonsil terdapat sistem imun
kompleks yang terdiri atas sel M (sel membrane), makrofag, sel dendrite dan
APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen
7
ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis immunoglobulin spesifik, juga terdapat sel
limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ
limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang
sudah disensitisasi.
b. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang
sama dengan yang terdapat pada tonsil. Adenoid tidak memiliki kriptus. Adenoid terletak
di dinding belakang nasofaring, terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior.
Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan
mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian mengalami regresi.
Gambar
4.
Pembesaran
2.3
Klasifikasi
Tonsil
FISIOLOGI TONSIL
Tonsil palatine merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem
pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk
ke saluran nafas. Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau nonspesifik. Apabila
pathogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuclear akan mengenal dan
mengeliminasi antigen.
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing
dengan efektif, 2) sebagai organ utama produksi antibody dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik. Dalam keadaan normal tonsil akan membantu mencegah terjadinya infeksi.
Tonsil bertindak sebagai filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh
melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibody
untuk melawan infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan pathogen,
selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu melindungi tubuh, maka akan
timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi yaitu tonsillitis. Aktivasi imunologi terbesar tonsil
ditemukan pada usia 3-10 tahun.
2.4
TONSILITIS MEMBRANOSA
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut, yaitu:
9
tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsi faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), dan
tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlachs tonsil). Penyakit yang termasuk
dalam golongan tonsillitis membranosa adalah (a) Tonsilitis difteri, (b) Tonsilitis septik, (c)
Angina Plaut Vincent, (d) Penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa,
neutropenia maligna, serta infeksi mono-nukleosis, (e) proses spesifik luas dan tuberculosis, (f)
Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, (g) Infeksi virus morbili, pertusis dan
skarlatina.
2.4.1 TONSILITIS DIFTERI
Definisi
Tonsilitis difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae,
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva,
genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala local dan sistemik terutama
karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.
Difteri dapat ditularkan melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau
berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan
predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.
Epidemiologi
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi
tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun orang dewasa masih mungkin terkena.
Etiologi
Penyebab difteri adaah Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram positif tidak
teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis. Kolonikoloni bakteri tsb berwarna putih kelabu pada medium Loeffler. Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin
sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal
inilah yang dipakai pada tes Schick.
Patofisiologi
10
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan saluran nafas
atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar
ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein
yang mempunyai 2 fragmen, yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B
(carboxylterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfide. Fragmen B berfungsi untuk
melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif agar
selanjutnya fragmen A melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam
menimbulkan efek toksik pada sel.
Toksin difteri mula-mula menempel pada membrane sel dengan bantuan fragen B dan
selanjutnya membrane A akan masuk dan menginaktivasi enzim translokase. Proses
transloksi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai
respon terjadi inflamasi local yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membrane yang
melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang tergantung.
Selain fibrin, membrane juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit, dan sel-sel epitel. Bila
dipaksa melepas membrane akan terjadi perdarahan. Membran akan terlepas sendiri dalam
periode penyembuhan.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala local dan gejala akibat
eksotoksin.
a. Gejala umum seperti gejala infeksi yaitu demam biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.
b. Gejala local berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama
makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu. Membran ini dapat meluas ke
palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus serta dapat menyumbat
saluran napas. Membran semu ini melekat pada dasarnya, sehingga apabila diangkat akan
mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila berjalan terus, kelenjar limfe leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck)
atau disebut juga Burgemeesters hals.
11
c. Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, yaitu pada
jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf cranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal
menmbulkan albuminuria.
12
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid difteri.
-
2. Tatalaksana Medikamentosa
- Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan
dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit. Oleh karena
pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus
-
hari.
Kortikosteroidn1,2 mg/kgBB per hari.
Antipiretik untuk simptomatik.
3. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi
Schick negative tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi.
Komplikasi
- Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane semu menjalar ke laring dan
-
otot pernapasan.
Albuminuria sebagai akibat komplikasi ginjal
13
Demam tinggi, sakit sendi, malaise, nyeri kepala, mual dan muntah. Mukosa faring dan tonsil
hiperemis, bercak putih, edema sampai uvula, dan mulut berbau.
Terapi
Antibiotik dan terapi simptomatik
Gambar
6.
Plaut
Vincent
Mukosa
Pemeriksaan
mulut
dan
Angina
faring
hiperemis, tampak membrane putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta
prosesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
Terapi
- Antibiotik spectrum luas selama 1 minggu
- Perbaiki hygiene mulut
- Vitamin C dan vitamin B kompleks
2.4.4
Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, agina agranulositosis dan infeksi
mononucleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membrane semu. Kadang-kadang
terdapat perdarahan di selaput lender mulut dan faring serta pembesaran kelenjar
submandibula.
Leukemia Akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah
kulit sehingga tampak bercah bercak kebiruan. Tonsil membengkak ditutupi membrane semu
tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat ditenggorok.
Angina Agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa, dan arsen.
Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta di sekitar ulkus tampak
gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran cerna.
Infeksi Mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilofaringitis ulsero membranosa bilateral. Membran semu
yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat pembesaran kelenjar
limfe leher, ketiak, dan regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit
mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain ialah kesanggupan serum pasien
untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (reaksi Paul Bunnel).
Etiologi
Tonsilitis Difteri
Kumman Corynebacterium
diphteriae
Tonsilitis Septik
Streptokokus
hemolitikus pada susu
sapi
15
Manifetasi
Diagnosis
Pemeriksaan faring:
Mukosa faring dan tonsil
hiperemis, bercak putih,
edema sampai uvula, dan
mulut berbau
Pemeriksaan faring:
Mukosa mulut dan faring
hiperemis, tampak
membrane putih keabuan
diatas tonsil, uvula, dinding
faring, gusi serta prosesus
alveolaris, mulut berbau
(foetor ex ore) dan kelenjar
submandibula membesar.
Terapi
TONSILEKTOMI
Indikasi
16
Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, nemun bila
sebelumnya
dapat
diatasi,
operasi
akan
dapat
dilaksanakan
dengan
tetap
Gangguan perdarahan
Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
Anemia
Infeksi akut yang berat
Asma
Tonus otot yang lemah
Sinusitis
Albuminuria
Hipertensi
Rinitis alergi
Demam yang tidak diketahui penyebabnya
Teknik Operasi
Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan perioperatif, dan pascaoperatif serta durasi operasi. Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar. Di
Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine
dan diseksi.
1. Guillotine
17
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan praktis.
Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta
kapsul tonsil dari fossa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya
terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini di lakukan dengan metode diseksi. Metode
pengangkatan tonsil dengan meggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi. Tonsil
digenggam dengan menggunkan klem tonsil dan ditarik ke arah medial, sehingga
menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan
pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
Komplikasi
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,8-8,1%) dari jumlah kasus. Perdarahan dapat
terjadi selama operasi, segera operasi atau saat dirumah. Kematian akibat perdarahan
terjadi pada 1:35.000 pasien, sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan
dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi, dan spasme otot faringeus yang menyebabkan
iskemia dan silus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya
14-21 hari setelah operasi.
c. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi,
otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di
bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
18
BAB III
KESIMPULAN
Tonsilitis membranosa adalah radang akut tonsil disertai pembentukan selaput atau
membrane pada permukaan tonsil yang dapat meluas hingga ke sekitarnya. Bila eksudat yang
menutupi permukaan tonsil yang membengkak menyerupai membrane.
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa adalah (a) Tonsilitis
difteri, (b) Tonsilitis septik, (c) Angina Plaut Vincent, (d) Penyakit kelainan darah seperti
leukemia akut, anemia pernisiosa, neutropenia maligna, serta infeksi mono-nukleosis, (e) proses
spesifik luas dan tuberculosis, (f) Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, (g)
Infeksi virus morbili, pertusis dan skarlatina. Pada referat ini penulis membahas mengenai
tonsillitis difteri, tonsillitis septic, angina plaut Vincent dan penyakit kelainan darah.
Pada dasarnya tonsillitis membranosa memiliki gejala yang hampir sama yaitu
peradangan pada tonsil yang pada akhirnya membentuk suatu membran semu. Untuk
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain adalah dengan
melakukan pemeriksaan langsung melalui kultur kuman yang diambil dari membrane tersebut,
sementara menunggu hasil kultur yang cukup memakan waktu, sebaiknya diberikan antibiotic
spectrum luas dan dilakukan evaluasi respon terapi. Setelah hasil kultur keluar, maka terapi
disesuaikan dengan hasil kultur.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Hermani B. Nyeri Tenggorok: Odinofagia. Dalam: Soepardi E.A., et al.
(eds). Buku Ajae Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi
Keenam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2007.
2. Rusmarjono, Soepardi E.A. Nyeri Tenggorok: Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi
Adenoid. Dalam: Soepardi E.A., et al. (eds). Buku Ajae Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2007.
3. Adams, G.L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar
Penyakit THT (Fundamental of Otolaryngology). Edisi Keenam. Penerbit EGC: Jakarta.
1997.
4. Ballenger J.J. (eds). Anatomi bedah tonsil. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. Edisi 13. Penerbit Binarupa Aksara: Jakarta. 1994.
5. Drake
A.
Tonsillectomy.
Avaible
from:
http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emed
6. Darrow D.H, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy.
Laryngoscope. 2002; 112: p.6-10.
20