Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

TONSILITIS MEMBRANOSA

Disusun Oleh :
WINDA DIAH NUGRAHENI
1102011293

Pembimbing :
dr. Hidayat Anwar, Sp.THT

SMF THT
RSUD PASAR REBO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Allah SWT, karena berkat-Nya maka referat ini dapat
diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Hidayat Anwar Sp.THT dan dr.
Aswaldi A., Sp.THT sebagai pembimbing dalam kepaniteraan klinik ilmu THT.
Referat ini mengangkat tema tentang tonsillitis membranisa. Penulis mengharapkan agar
referat ini dapat membantu mengenali kondisi klinis dan diagnosis serta penyakit tonsillitis
membranosa secara holistic dengan menilai seluruh unsure di dalamnya. Semoga referat ini
dapat berguna bagi pembaca untuk menambah pengetahuan mengenai penyakit tonsillitis
membranosa.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan referat
ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas kesediaannya untuk membaca referat ini.

DAFTAR ISI
2

KATA PENGANTAR..2
DAFTAR ISI....3
BAB I. Pendahuluan.4
BAB II. Tinjauan Pustaka....5
2.1 Embriologi Tonsil...5
2.2 Anatomi Tonsil...5
2.3 Fisiologi Tonsil...9
2.4 Tonsilitis Membranosa......10
2.4.1 Tonsilitis Difteri.....10
2.4.2 Tonsilitis Septik..14
2.4.3 Angina Plaut Vincent..15
2.4.4 Penyakit Kelainan Darah16
2.5 Perbedaan Tonsilitis Membranosa.17
2.6 Tonsilektomi..18
BAB III. Kesimpulan...21
DAFTAR PUSTAKA..22

BAB I
3

PENDAHULUAN
Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari Cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut, yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsi faucial), tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah), dan tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlachs tonsil).
Penyebaran infeksi melalui udara (air bone droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada
semua umur, terutama pada anak.
Klasifikasi tonsillitis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tonsillitis akut (tonsillitis viral,
tonsillitis bacterial), tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronik. Tonsilitis membranosa adalah
radang akut tonsil disertai pembentukan selaput atau membrane pada permukaan tonsil yang
dapat meluas hingga ke sekitarnya. Bila eksudat yang menutupi permukaan tonsil yang
membengkak menyerupai membrane.
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa adalah (a) Tonsilitis
difteri, (b) Tonsilitis septik, (c) Angina Plaut Vincent, (d) Penyakit kelainan darah seperti
leukemia akut, anemia pernisiosa, neutropenia maligna, serta infeksi mono-nukleosis, (e) proses
spesifik luas dan tuberculosis, (f) Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, (g)
Infeksi virus morbili, pertusis dan skarlatina. Pada referat ini penulis akan membahas mengenai
tonsillitis difteri, tonsillitis septic, angina plaut Vincent dan penyakit kelainan darah.

BAB II
4

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

EMBRIOLOGI TONSIL
Pada pertumbuhan tonsil,terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke dinding faring akibat

pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal kantong
tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian yang mengalami invaginasi akan membagi lagi
dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3-6 kehidupan
janin, berasal dari epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan
terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akibatnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan
jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan demikian
terbentuklah massa jaringan tonsil.
2.2

ANATOMI
Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring. Bagian

terpentingnya adalah tonsil palatine dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur lain adalah tonsil
lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa
Rosenmuller, dibawah mukosa dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatine adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjaang 2-5 cm, masingmasing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil
tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai
fosa supratonsilaris. Tonsil terletak di lateral orofaring dan dibatasi oleh:
- Lateral
: M. konstriktor faring superior
- Anterior : M. palatoglosus
- Posterior : M. palatofaringeus
- Superior : Palatum mole
- Inferior : Tonsil lingual

Gambar 1. Anatomi Tonsil


Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen, yaitu jaringan ikat, folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid).
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior
adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstrikor
faring superior.
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membrane jaringan ikat yang
disebut kapsul. Kapsul adalah jaringan ikat putih yang mempunyai 4/5 bagian
tonsil.
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika
triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa
embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengakatan tonsil.
Perdarahan
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang A.karotis eksterna, yaitu: 1)
A.maksilaris eksterna (A.Fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina
asenden, 2) A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatine desenden, 3) A.
6

lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal, 4) A. faringeal asenden. Kutub


bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh A. palatine asenden, di antara kedua daerah tersebut diperdarahi
oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh oleh A. faringeal asenden dan
A. palatine desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung
dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena disekitar kapsul
tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.

Gambar

2.

Perdarahan
Tonsil
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda bagian superior di bawah M. sternokleidomastoideus, selanjutnya ke
kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
pembuluh getah bening eferen.
Persarafan
Tonsil bagian atas endapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.
Imunologi tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari
keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Pada tonsil terdapat sistem imun
kompleks yang terdiri atas sel M (sel membrane), makrofag, sel dendrite dan
APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen
7

ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis immunoglobulin spesifik, juga terdapat sel
limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ
limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang
sudah disensitisasi.
b. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang
sama dengan yang terdapat pada tonsil. Adenoid tidak memiliki kriptus. Adenoid terletak
di dinding belakang nasofaring, terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior.
Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan
mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian mengalami regresi.

Gambar 3. Tonsil Faringeal (Adenoid)


Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4:
T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior-uvula
T2: batas medial tonsil melewati pilar anterior-uvula sampai jarak plar anterioruvula
T3: batas medial tosnsil melewati pilar anterior-uvula sampai jarak pilar anterioruvula
T4: batas medial tonsil melewati pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih

Gambar

4.

Pembesaran
2.3

Klasifikasi
Tonsil

FISIOLOGI TONSIL
Tonsil palatine merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem

pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk
ke saluran nafas. Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau nonspesifik. Apabila
pathogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuclear akan mengenal dan
mengeliminasi antigen.
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing
dengan efektif, 2) sebagai organ utama produksi antibody dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik. Dalam keadaan normal tonsil akan membantu mencegah terjadinya infeksi.
Tonsil bertindak sebagai filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh
melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibody
untuk melawan infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan pathogen,
selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu melindungi tubuh, maka akan
timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi yaitu tonsillitis. Aktivasi imunologi terbesar tonsil
ditemukan pada usia 3-10 tahun.
2.4

TONSILITIS MEMBRANOSA
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.

Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut, yaitu:
9

tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsi faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), dan
tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/Gerlachs tonsil). Penyakit yang termasuk
dalam golongan tonsillitis membranosa adalah (a) Tonsilitis difteri, (b) Tonsilitis septik, (c)
Angina Plaut Vincent, (d) Penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa,
neutropenia maligna, serta infeksi mono-nukleosis, (e) proses spesifik luas dan tuberculosis, (f)
Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, (g) Infeksi virus morbili, pertusis dan
skarlatina.
2.4.1 TONSILITIS DIFTERI
Definisi
Tonsilitis difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae,
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva,
genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala local dan sistemik terutama
karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.
Difteri dapat ditularkan melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau
berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan
predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.

Epidemiologi
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi
tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun orang dewasa masih mungkin terkena.
Etiologi
Penyebab difteri adaah Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram positif tidak
teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis. Kolonikoloni bakteri tsb berwarna putih kelabu pada medium Loeffler. Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin
sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal
inilah yang dipakai pada tes Schick.
Patofisiologi

10

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan saluran nafas
atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar
ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein
yang mempunyai 2 fragmen, yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B
(carboxylterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfide. Fragmen B berfungsi untuk
melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif agar
selanjutnya fragmen A melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam
menimbulkan efek toksik pada sel.
Toksin difteri mula-mula menempel pada membrane sel dengan bantuan fragen B dan
selanjutnya membrane A akan masuk dan menginaktivasi enzim translokase. Proses
transloksi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai
respon terjadi inflamasi local yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membrane yang
melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang tergantung.
Selain fibrin, membrane juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit, dan sel-sel epitel. Bila
dipaksa melepas membrane akan terjadi perdarahan. Membran akan terlepas sendiri dalam
periode penyembuhan.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala local dan gejala akibat
eksotoksin.
a. Gejala umum seperti gejala infeksi yaitu demam biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.
b. Gejala local berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama
makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu. Membran ini dapat meluas ke
palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus serta dapat menyumbat
saluran napas. Membran semu ini melekat pada dasarnya, sehingga apabila diangkat akan
mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila berjalan terus, kelenjar limfe leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck)
atau disebut juga Burgemeesters hals.

11

c. Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, yaitu pada
jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf cranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal
menmbulkan albuminuria.

Gambar 5. Tonsilitis Difteri


Diagnosis
Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik, tes Schick dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membrane semu
dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae. Diagnosis pasti dengan isolasi C.
diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler, dilanjutkan dengan tes toksigenesitas
secara vivo dan vitro.
Terapi
1. Isolasi dn Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negative 3 kali berturut-turut setelah masa akut
terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana:
a. Biakan hidung atau tenggorok
b. Sebaiknya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap difteri)
c. Evaluasi gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati

12

Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid difteri.
-

Bila kultur (-)/Schick test (-): bebas isolasi


Bila kultur (+)/Schick test (-): pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-): anti toksin difteri + penisilin
Bila kultur (+)/Schick test (+): toksoid (imunisasi aktif)

2. Tatalaksana Medikamentosa
- Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan
dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit. Oleh karena
pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus
-

tersedia larutan Adrenalin 1:1000 dalam semprit.


Antibiotik Penisilin atau Eritromisin 25-50 mg/kgBB dibagi dalam 3 dosis selama 14

hari.
Kortikosteroidn1,2 mg/kgBB per hari.
Antipiretik untuk simptomatik.

3. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi
Schick negative tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringya. Pengobatan
yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu
minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi.
Komplikasi
- Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane semu menjalar ke laring dan
-

menyebabkan gejala sumbatan.


Miokarditis dapat mengakibatkan decompensatio cordis
Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot
laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau, dan kelumpuhan otot-

otot pernapasan.
Albuminuria sebagai akibat komplikasi ginjal

2.4.2 TONSILITIS SEPTIK


Etiologi
Penyebab tonsillitis septic adalah Streptococcus haemoliticus yang terdapat dalam susu sapi
sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan
cara pasteurisasi sebelum diminum, maka penyakit ini jarang ditemukan.
Manifestasi Klinis

13

Demam tinggi, sakit sendi, malaise, nyeri kepala, mual dan muntah. Mukosa faring dan tonsil
hiperemis, bercak putih, edema sampai uvula, dan mulut berbau.
Terapi
Antibiotik dan terapi simptomatik

2.4.3 ANGINA PLAUT VINCENT (Stomatitis Ulsero Membranosa)


Etiologi
Bakteri sphinocaeta atau triponema yang didapatkan pada penderita dengan hygiene mulut
yang kurang dan defisiensi vitamin C.
Gejala
Demam sampai 39C, nyeri kepala, badan lemah, gangguan pencernaan, nyeri dimulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.

Gambar

6.

Plaut

Vincent

Mukosa

Pemeriksaan
mulut
dan

Angina

faring

hiperemis, tampak membrane putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta
prosesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar.
Terapi
- Antibiotik spectrum luas selama 1 minggu
- Perbaiki hygiene mulut
- Vitamin C dan vitamin B kompleks

2.4.4

PENYAKIT KELAINAN DARAH


14

Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, agina agranulositosis dan infeksi
mononucleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membrane semu. Kadang-kadang
terdapat perdarahan di selaput lender mulut dan faring serta pembesaran kelenjar
submandibula.
Leukemia Akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah
kulit sehingga tampak bercah bercak kebiruan. Tonsil membengkak ditutupi membrane semu
tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat ditenggorok.
Angina Agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa, dan arsen.
Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta di sekitar ulkus tampak
gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran cerna.
Infeksi Mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilofaringitis ulsero membranosa bilateral. Membran semu
yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat pembesaran kelenjar
limfe leher, ketiak, dan regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit
mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain ialah kesanggupan serum pasien
untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (reaksi Paul Bunnel).

Etiologi

Tonsilitis Difteri
Kumman Corynebacterium
diphteriae

Tonsilitis Septik
Streptokokus
hemolitikus pada susu
sapi

Angina Plaut Vincent


Bakteri spirochaeta atau
treponema

Peny. Kelainan Darah


Memiliki gejala yang timbul
di faring atau tonsil yang
tertutup membran semu

15

Manifetasi

Gejala infeksi: Demam


subfebris, nyeri menelan,
tidak nafsu makan, badan
lemah, nadi melambat.
Gejala lokal: tonsil edema
ditutupi bercak putih kotor
yang meluas membentuk
membran semu, membrane
mudah berdarah, dan
terdapat pembesaran leher
menyerupai leher sapi (bull
neck).

Demam tinggi, sakit


sendi, malaise, nyeri
kepala, mual dan
muntah. Mukosa faring
dan tonsil hiperemis,
bercak putih, edema
sampai uvula, dan mulut
berbau

Demam sampai 39C, nyeri


kepala, badan lemah,
gangguan pencernaan,
nyeri dimulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi
mudah berdarah.

Diagnosis

-Pemeriksaan faring: tonsil


edema ditutupi bercak putih
kotor yang meluas
membentuk membran semu,
membrane mudah berdarah.
-Laboratorium: preparat
langsung kuman dengan
media Loeffler
-Tes Schick

Pemeriksaan faring:
Mukosa faring dan tonsil
hiperemis, bercak putih,
edema sampai uvula, dan
mulut berbau

Pemeriksaan faring:
Mukosa mulut dan faring
hiperemis, tampak
membrane putih keabuan
diatas tonsil, uvula, dinding
faring, gusi serta prosesus
alveolaris, mulut berbau
(foetor ex ore) dan kelenjar
submandibula membesar.

Terapi

-Anti Difteri Serum (ADS)


dosis 20.000-100.000 unit
-Antibiotik: Penisilin atau
Eritromisin 25-50 mg/kgBB
dibagi dalam 3 dosis selama
14 hari.
-Kortikosteroid: 1,2
mg/kgBB per hari.

Antibiotik dan terapi


simptomatik

-Antibiotik spectrum luas


selama 1 minggu
-Perbaiki hygiene mulut
-Vitamin C dan vitamin B
kompleks

Leukemia akut: epistaksis,


perdarahan di mukosa mulut
gusi dan di bawah kulit
sehingga tampak bercah
bercak kebiruan
Angina agranulositosis:
mukosa mulut dan faring
serta di sekitar ulkus tampak
gejala radang
Infeksi mononucleosis:
Membran semu yang
menutupi ulkus mudah
diangkat tanpa timbul
perdarahan. Terdapat
pembesaran kelenjar limfe
leher, ketiak, dan
regioinguinal
-LA: Tonsil membengkak
ditutupi membrane semu
tetapi tidak hiperemis dan
rasa nyeri yang hebat
ditenggorok
-AA: tampak ulkus di
mukosa mulut dan faring
serta di sekitar ulkus tampak
gejala radang.
IM: leukosit mononukleus
dalam jumlah besar, Tanda
khas yang lain ialah
kesanggupan serum pasien
untuk beraglutinasi terhadap
sel darah merah domba
(reaksi Paul Bunnel).
Terapi sesuai penyakit yang
mendasari

2.5 Tabel Perbedaan pada Tonsilitis Membranosa


2.6

TONSILEKTOMI
Indikasi

16

The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery Clinical


Indicators Compendium merupakan:
1. Serangan tonsillitis lebih dari tiga kali dalam setahun walaupun telah mendapat terapi
yang adekuat
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofasial.
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan napas,
sleep apnea, stridor, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonal.
4. Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsilar yang tidak berhasil
5.
6.
7.
8.

hilang dengan pengobatan.


Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus B hemolitikus.
Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
Otitis media efusi/otitis media supuratif

Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, nemun bila
sebelumnya

dapat

diatasi,

operasi

akan

dapat

dilaksanakan

dengan

tetap

memperhitungkan imbang manfaat dan resiko. Keadaan tersebut adalah:


-

Gangguan perdarahan
Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
Anemia
Infeksi akut yang berat
Asma
Tonus otot yang lemah
Sinusitis
Albuminuria
Hipertensi
Rinitis alergi
Demam yang tidak diketahui penyebabnya

Teknik Operasi
Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan perioperatif, dan pascaoperatif serta durasi operasi. Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar. Di
Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine
dan diseksi.
1. Guillotine

17

Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan praktis.
Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil beserta
kapsul tonsil dari fossa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak seluruhnya
terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini di lakukan dengan metode diseksi. Metode
pengangkatan tonsil dengan meggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi. Tonsil
digenggam dengan menggunkan klem tonsil dan ditarik ke arah medial, sehingga
menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife dilakukan
pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
Komplikasi
a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,8-8,1%) dari jumlah kasus. Perdarahan dapat
terjadi selama operasi, segera operasi atau saat dirumah. Kematian akibat perdarahan
terjadi pada 1:35.000 pasien, sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan
dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b. Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi, dan spasme otot faringeus yang menyebabkan
iskemia dan silus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya
14-21 hari setelah operasi.
c. Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi,
otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di
bibir, lidah, gigi dan pneumonia.

18

BAB III
KESIMPULAN
Tonsilitis membranosa adalah radang akut tonsil disertai pembentukan selaput atau
membrane pada permukaan tonsil yang dapat meluas hingga ke sekitarnya. Bila eksudat yang
menutupi permukaan tonsil yang membengkak menyerupai membrane.
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsillitis membranosa adalah (a) Tonsilitis
difteri, (b) Tonsilitis septik, (c) Angina Plaut Vincent, (d) Penyakit kelainan darah seperti
leukemia akut, anemia pernisiosa, neutropenia maligna, serta infeksi mono-nukleosis, (e) proses
spesifik luas dan tuberculosis, (f) Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, (g)
Infeksi virus morbili, pertusis dan skarlatina. Pada referat ini penulis membahas mengenai
tonsillitis difteri, tonsillitis septic, angina plaut Vincent dan penyakit kelainan darah.
Pada dasarnya tonsillitis membranosa memiliki gejala yang hampir sama yaitu
peradangan pada tonsil yang pada akhirnya membentuk suatu membran semu. Untuk
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan diagnosis lain adalah dengan
melakukan pemeriksaan langsung melalui kultur kuman yang diambil dari membrane tersebut,
sementara menunggu hasil kultur yang cukup memakan waktu, sebaiknya diberikan antibiotic
spectrum luas dan dilakukan evaluasi respon terapi. Setelah hasil kultur keluar, maka terapi
disesuaikan dengan hasil kultur.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Hermani B. Nyeri Tenggorok: Odinofagia. Dalam: Soepardi E.A., et al.
(eds). Buku Ajae Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi
Keenam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2007.
2. Rusmarjono, Soepardi E.A. Nyeri Tenggorok: Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi
Adenoid. Dalam: Soepardi E.A., et al. (eds). Buku Ajae Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2007.
3. Adams, G.L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam: BOIES Buku Ajar
Penyakit THT (Fundamental of Otolaryngology). Edisi Keenam. Penerbit EGC: Jakarta.
1997.
4. Ballenger J.J. (eds). Anatomi bedah tonsil. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. Edisi 13. Penerbit Binarupa Aksara: Jakarta. 1994.
5. Drake
A.
Tonsillectomy.
Avaible

from:

http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emed
6. Darrow D.H, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy.
Laryngoscope. 2002; 112: p.6-10.

20

Anda mungkin juga menyukai