Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

Periappendicular Infiltrate

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF Ilmu Penyakit Bedah RSD dr. Soebandi

Oleh : Berlian Anggraeni Putri 072011101030

SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Jember RSD dr.Soebandi Jember 2012
1

TINJAUAN PUSTAKA I. DEFINISI

Massa appendiks yang timbul bila mikro perforasi ditutupi perdindingan oleh omentum dan/atau lengkung usus halus. Pada massa periapendikuler yang perdindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.

II.

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Apendiks yang disebut juga umbai cacing merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar dan pangkalnya akan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden V pada usia tersebut. Pada 65% kasus apendiks terletak intraperitonisl. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang gerakannya tergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persyarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. karena itu nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus. Perdarahan apendiks berasal dari a. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral sehingga bila terdapat sumbatan maka apendiks akan mengalami gangrene. Istilah usus buntu yang sering dipakai orang awam sebenarnya kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisits. Di dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoal yang merupakan zat pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.
2

III.

EPIDEMIOLOGI

Insiden di negara maju lebih tinggi dibandingkan dengan di negara berkembang. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna. Kejadian ini diduga karena meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding. Kecuali pada umur 20-30 tahun insidensi pada laki-laki lebih tinggi.

IV.

ETIOLOGI dan PATOGENESIS

A. Peranan Lingkungan: diet dan higiene

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian apendisitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras B. Peranan Obstruksi Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat Frekuensi obstruksi meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%. Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamuba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko terjadinya perforasi. Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya apendisitis adalah adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks , lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari
4

dinding yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks. Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietale Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi. C. Peranan Flora bakterial Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis .

V.

PATOFISIOLOGI

Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
5

terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi. Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.

DISKUSI KASUS Periapendikular infiltrat (PAI) adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang. Periapendikular infiltrat (PAI) merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah. Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).

Diagnosis klinis Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis apendisitis dan komplikasinya. Penegakkan diagnosis terutama didasarkan pada riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan hanya dikerjakan bila ada keragu-raguan atau untuk menyingkirkan diagnosis. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, perempuan dua kali lebih banyak mempunyai apendiks normal daripada laki-laki dalam kasus apendektomi, Hal-hal penting yang dapat
7

membantu penegakkan diagnosis apendisitis akut adalah bahwa apendisitis biasanya mempunyai perjalanan akut atau cepat. Dalam beberapa jam sudah timbul gejala atau bahkan memburuk oleh karena nyeri, penderita biasanya cenderung mempertahankan posisi untuk tidak bergerak. Penderita tampak apatis dan menahan nyeri. Oleh karena nyeri yang sangat, penderita segera dibawa ke rumah sakit. Gejala Klinis Periapendikular infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah dan anoreksia. Dalam 2-12 jam nyeri beralih kekuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Nyeri menetap dan terus menerus, tapi tidak begitu berat dan diikuti dengan kejang ringan didaerah epigastrium, kadang diikuti pula dengan muntah, kemudian beberapa saat nyeri pindah ke abdomen kanan bawah. Nyeri menjadi terlokalisir, yang menyebabkan ketidakenakan waktu bergerak, jalan atau batuk. Penderita kadang juga mengalami konstipasi. Sebaliknya karena ada gangguan fungsi usus bisa mengakibatkan diare, dan hal ini sering dikacaukan dengan gastroenteritis acute. Penderita appendicitis acute biasanya ditemukan ditemukan terbaring di tempat tidur serta memberkan penampilan kesakitan. Mudah tidaknya gerakan penderita untuk menelentangkan diri merupakan tanda ada atau tidaknya rangsang peritoneum ( somatic pain). Pemeriksaan pada abdomen kanan bawah, menghasilkan nyeri terutama bila penderita disuruh batuk.. Pada palpasi dengan satu jari di regio kanan bawah ini, akan teraba defans musculer ringan . Tujuan palpasi adalah untuk menentukan apakah penderita sudah mengalami iritasi peritoneum atau belum . Pada pemeriksaan auskultasi, peristaltik usus masih dalam batas normal, atau kadang sedikit menurun. Suhu tubuh sedikit naik, kira-kira 7,8 der.C, pada kasus appendix yang belum mengalami komplikasi. Nyeri di epigastrium kadang merupakan awal dari appendicitis yang letaknya retrocaecal/ retroileal Untuk appendix yang terletak retrocaecal tersebut, kadang lokasi nyeri sulit ditentukan bahkan tak ada nyeri di abdomen kanan bawah. Karena letak appendix yang dekat dengan uretra pada lokasi retrocaecal ini, sehingga menyebabkan frekuensi urinasi bertambah dan bahkan hematuria. Sedang pada appendix yang letaknya pelvical, kadang menimbulkan gejala seperti gastroenteritis akut.
8

Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan: 1. 2. 3. keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi; pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda peritonitis; laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri. Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan 1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi; 2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan 3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal. Untuk appendisitis akut yang telah mengalami komplikasi, misal perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti dibawah ini (Ellis, 1989). 1. Perforasi : Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah dasyat dan mulai dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,3 der. C). Jumlah lekosit yang meninggi merupakan tanda khas kemungkinan sudah terjadi perforasi. 2. Peritonitis : Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendicitis yang telah mengalami gangrene. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans musculer yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan peritonitis yang makin berat. 3. Abses / infiltrat : Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah walling off (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi
9

adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan antibiotika dulu, setelah 6 minggu kemudian dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi. Anamnesis Nyeri / Sakit perut Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut ( tidak pin-point). Mula-mula daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi ( > 6 jam ) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik. Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap pasien dengan gejala nyeri abdomen yang belum pernah mengalami apendektomi seharusnya dicurigai menderita apendisitis. Pasien dapat menerangkan dengan jelas permulaan gejala nyeri abdomen dan dapat menerangkan lokasi yang tepat. Pasien dapat menunjuk dengan satu jari tempat permulaan nyeri, dimana saja yang pernah nyeri dan sekarang dimana yang nyeri Setelah itu dilanjutkan dengan anamnesis terpimpin seperti misalnya: a. b. c. d. Bagaimana hebatnya nyeri ? Apakah nyerinya sampai menyebabkan pasien tidak dapat beraktivitas? Apakah pasien dapat tidur seperti biasa semalam ? Apakah pagi ini makannya baik dan cukup seperti biasa ? Beberapa pasien dapat menentukan dengan tepat waktu mulainya nyeri yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu, umpamanya nyeri sesudah makan malam, sesudah berolah raga atau sesudah bangun tidur. Pasien dapat menunjukkan dan menceritakan perjalanan rasa nyeri, kadang-kadang perlu juga bantuan informasi dari orang lain. Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara perlahan dan makin lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi apendiks, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami peradangan Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks
10

dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal Secara klasik, nyeri di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4-6 jam) seterusnya akan menetap di kuadran kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki. Muntah (rangsangan viseral) akibat aktivasi n.vagus Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita apendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis apendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria Obstipasi karena penderita takut mengejan Penderita apendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum Panas (infeksi akut) bila timbul komplikasi Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi. Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter
11

Pada pasien ini didapatkan adanya keluhan nyeri pada perut kanan bawah sejak 4 hari yang lalu. Nyeri yang awalnya dirasakan di daerah ulu hati menjalar sampai ke perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus menerus dan nyeri terasa hebat sehingga menyebabkan pasien tidak bisa beraktivitas dan sulit untuk tidur. Nyeri bertambah hebat apabila pasien berjalan, BAB serta duduk. Pasien juga mengalami mual, muntah (sebanyak 1 kali) dan nafsu makan menurun. Pada pasien terdapat benjolan pada perut kanan bawah yang dirasakan pasien sejak 2 hari yang lalu. Riwayat panas badan (+), naik turun. Pasien juga pernah mengalami hal serupa sejak 1 bulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar pasien telah mengalami periapendikular infiltrat (PAI) yang merupakan komplikasi atau kelanjutan dari apendisitis. Dimana trias dari PAI adalah terdapat riwayat apendisitis sebelumnya, kejadianya berlangsung lebih dari 72 jam dan adanya massa pada perut kanan bawah. Pemeriksaan Fisik Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah. 1. Inspeksi Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung (+) bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses. 2. Palpasi Pada pemeriksaan abdomen pada anak dengan permukaan tangan yang mempunyai suhu yang sama dengan suhu abdomen anak. Biasanya cukup dipanaskan dengan menggosok-gosok tangan dengan pakaian penderita. Tangan yang dingin akan merangsang otot dinding abdomen untuk berkontraksi sehingga sulit menilai keadaan intraperitoneal. Terkadang kita perlu melakukan palpasi dengan tangan anak itu sendiri untuk mendapatkan otot abdomen yang tidak tegang. Abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Umpamanya mulai dari kiri atas, kemudian secara perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah. Palpasi dengan permukaan dalam (volar)
12

dari ujung-ujung jari tangan, dengan tekanan yang ringan dapat ditentukan adanya nyeri tekan, ketegangan otot atau adanya tumor yang superfisial. Waktu melakukan palpasi pada abdomen anak, diusahakan mengalihkan perhatiannya dengan boneka atau usaha yang lain, sambil memperhatikan ekspresi wajahnya. Hindari gerakan yang cepat dan kasar karena hal ini akan menakuti anak dan membuat pemeriksaan nyeri tekan tidak mungkin dilakukan Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah : Nyeri tekan (+) Mc.Burney Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis Nyeri lepas (+) rangsangan peritoneum Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney. Defans muskular (+) rangsangan m.Rektus abdominis Defans muskular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Rovsing sign (+) Penekanan perut sebelah kiri nyeri sebelah kanan, karena tekanan merangsang peristaltik dan udara usus , sehingga menggerakan peritoneum sekitar appendik yang meradang (somatik pain) Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan Psoas sign (+) Pada appendik letak retrocaecal, karena merangsang peritoneum
13

Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks Ada 2 cara memeriksa : 1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien memfleksikan articulatio coxae kanan nyeri perut kanan bawah. 2. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan Pemeriksa nyeri perut kanan bawah Obturator Sign (+) Dengan gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi telentang nyeri (+) Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium Pada pasien ini didapatkan nyeri tekan (+), nyeri lepas tekan (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+), psoas sign (-), obturator sign (+) 3. Perkusi Pada pasien didapatkan nyeri ketok (+) pada daerah perut kanan bawah, dan suara redup pada daerah yang terdapat massa. 4. Auskultasi Peristaltik normal, peristaltik(-) pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pasien didapatkan bisng ususnya (+) dan normal. Rectal Toucher / Colok dubur biasanya didapatkan nyeri tekan pada jam 9-12.

Rectal Toucher juga digunakan untuk mengetahui adanya tumor atau massa di rectum serta menilai adanya pembesaran prostat pada laki-laki yang berumur diatas 50 tahun.

14

Pada pasien ini didapatkan nyeri pada pukul 10-2 dan tidakditemukan pembesaran prostat. Pada sarung tangan tidak didapatkan adanya darah ataupun lendir.

Tanda Peritonitis umum (perforasi) : 1. 2. 3. Nyeri seluruh abdomen Pekak hati hilang Bising usus hilang

Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejalagejala sebagai berikut: a. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam b. Demam tinggi lebih dari 38,50C c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000) d. Dehidrasi dan asidosis e. Distensi f. Menghilangnya bising usus g. Nyeri tekan kuadran kanan bawah h. Rebound tenderness sign i. j. Rovsing sign Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

Insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 6 tahun lebih dari 50%, ini berhubungan dengan dinding apendiks yang lebih tipis dan omentum mayus yang berkembang belum sempurna dibanding anak yang lebih besar Dalam penelitiannya Schwartz (1999) melaporkan bahwa anak di bawah umur 8 tahun mempunyai angka perforasi dua kali lebih besar daripada anak yang lebih besar. Sedang menurut Way (2003) insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 10 tahun sebesar 50%. Perforasi apendiks paling sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi antimesenterium (Kozar dan Roslyn, 1999). Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa di kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi abses yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang mengalami inflamasi (Lally, 2001).
15

Pemeriksaan penunjang 1. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler. Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh dan membawa mereka pada tempat yang terkena jejas dengan cara: 1. mempersiapkan berbagai bentuk fagosit (lekosit polimorfonuklear, makrofag) pada tempat tersebut. 2. pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi. 3. menetralisir dan mencairkan iritan. 4. membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan terbentuknya dinding jaringan granulasi. Pada pasien dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.00014.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis (Raffensperger, 1990). Menurut Ein (2000) pada penderita apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm 3. Sedang Doraiswamy (1979), mengemukakan bahwa komnbinasi antara kenaikan angka lekosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendicitis acut

16

Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik., sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah >10.000/mmk dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai pedoman untuk appendicitis akut. Kontroversinya adalah beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah lekosit dan granulosit tetap normal. Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis apendisitis akut adalah C-rective protein (CRP). Petanda respon inflamasi akut (acute phase response) dengan menggunakan CPR telah secara luas digunakan di negara maju. Nilai senstifitas dan spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80 - 90% dan lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan waktu yang lama (5 -10 menit), dan murah Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada anak dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendiks yang mengalami inflamasi akut dan menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). 2. Foto Polos abdomen Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus (Cloud, 1993). Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut (Mantu, 1994). Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma . Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.

17

Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya obstruksi (Raffensperger, 1990; Mantu, 1994). Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan appendik) yang dapat menyebabkan appendisitis. Ini biasanya terjadi pada anak-anak. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD ( decubitus ), kalsifikasi bercak rim-like( melingkar ) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik. Pada appendisitis akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari appendikolit : kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis. Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat menentukan penyakit lain yang menyertai apendisitis Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar appendik dimana peradangan yang terjadi juga didapatkan pada kolon. Impresi ireguler pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan dengan gagalnya barium memasuki appendik (20% tak terisi) Terisinya sebagian dengan distorsi bentuk kalibernya tanda appendisitis akut,terutama bila ada impresi sekum. Sebaliknya lumen appendik yang paten menyingkirkan diagnosa appendisitis akut. Bila barium mengisi ujung appendik yang bundar dan ada kompresi dari luar yang besar dibasis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya appendik tanda abses appendik Barium enema juga dapat menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang menyerupai appendiks, misalnya penyakit Chrons, inverted appendicel stump, intususepsi, neoplasma benigna/maligna. 2. Ultrasonografi Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut maupun apendisitis dengan abses. Untuk dapat mendiagnosis apendisitis akut
18

diperlukan keahlian, ketelitian, dan sedikit penekanan transduser pada abdomen. Apendiks yang normal jarang tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan transversal (Gustavo GR, 1995) Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel (Gustavo GR, 1995). Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuan pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 94%, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85 dan 92% (Erik K, 2003). Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada apendisitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara maka abses apendiks dapat diidentifikasi. Ultrasound adalah suatu prosedur yang tidak menyakitkan yang menggunakan gelombang suara untuk mengidentifikasi organ-organ dalam tubuh. Ultrasound dapat mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya apendiks selama ultrasound tidak menyingkirkan adanya appendisitis. Ultrasound juga berguna pada wanita sebab dapat menyingkirkan adanya kondisi yang melibatkan organ ovarium, tuba falopi dan uterus yang gejalanya menyerupai appendisitis. Hasil usg dapat dikatagorikan menjadi normal, non spesifik, kemungkinan penyakit kelainan lain, atau kemungkinan appendik. Hasil usg yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus. Hasil usg dikatakan kemungkinan appaendik jika ada pernyataan curiga atau jika ditemukan dilatasi appendik di daerah fossa iliaka kanan, atau dimana usg di konfermasikan dengan gejala klinik dimana kecurigaan appendisitis. 3. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
19

Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan skening ini. Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat, mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90 100% dan 96 97%, serta akurasi 94 100%. CT-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon Perbandingan pemeriksaan penunjanng apendisitis akut: Ultrasonografi Sensitivitas 85% Spesifisitas 92% Akurasi 90 - 94% CT-Scan 90 - 100% 95 - 97% 94 - 100% Lebih akurat Mengidentifikasi abses dan flegmon lebih baik Dapat mendignosis kelainan Mengidentifikasi lain pada wanita Baik untuk anak-anak Kerugian Tergantung operator Sulit secara tehnik Nyeri Sulit di RS daerah Mahal Radiasi ion Kontras Sulit di RS daerah apendiks normal lebih baik

Keuntungan Aman relatif tidak mahal

Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna untuk mendiagnosis appendisitis dan abses periappendikular sekaligus menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut dan pelvis yang menyerupai appendisitis. 4. Histopatologi Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis apendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi apendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi apendisitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan
20

opersi Riber et al, pernah meneliti variasi diagnosis histopatologi apendisitis akut. Hasilnya adlah perlu adanya komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan ahli bedahnya. Difinisi histopatologi apendisitis akut: Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di 1 lapisan epitel. 2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel. Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam 3 lapisan epitel. Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses 4 apendikuler, dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa. Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses 5 mukosa dan keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis. Reaksi fase akut (Acute phase reaction) Reaksi fase akut adalah pertahanan pertama tubuh dalam melawan proses inflamasi (innate immune), yang berfungsi tanpa melalui sistem spesifik dan memori (adaptive immune). Inflamasi adalah respon terhadap kerusakan jaringan oleh stimulus yang dapat berupa trauma mekanik, nekrosis jaringan, dan infeksi. Tujuan proses inflamasi adalah untuk melawan agen pengrusak, awal proses perbaikan, dan mengembalikan fungsi jaringan yang rusak. Proses inflamasi dapat berlangsung akut dan kronik. Inflamasi akut dapat disebabkan oleh agen mikroba (virus, bakteri, jamur, dan parasit), trauma, nekrosis jaringan oleh kanker, arthritis rematiod, luka bakar, dan toksin yang disebabkan oleh obat atau radiasi. Keadaan inflamasi merangsang tubuh untuk mengeluakan sitokin dan hormon yang berfungsi dalam regulasi haematopoesis, sintesis protein, dan metabolisme. Sistem immun dibagi menjadi dua, immun bawaan (innate immune) dan immune didapat (adaptive immune) Immun bawaan terdiri dari sel fagosit, sistem komplemen, dan fase akut protein, bekerja tanpa melalui proses spesifik dan memori. Ketika sel fagosit teraktivasi, maka ia akan memacu sintesis sitokin. Sitokin tidak
21

hanya berfungsi dalam regulasi sistem immun bawaan, tetapi juga sistem immun yang didapat. Ada 4 komponen yang menyertai proses inflamasi akut, yaitu: 1. Dilatasi vaskuler (permaebilitas vaskuler meningkat) Dilatasi vaskuler (permaebilitas membaran meningkat) adalah relaksasi muskulus vaskuler yang menyebabkan jaringan hiperemis. Proses transudasi yang terjadi melalui membran sel, diikuti lepasnya sel PMN (polimorfonuklear) ke jaringan. Jika fibrinogen terekstravasasi kedalam jaringan juga, maka terjadilah mekanisme pembekuaan . 2. Emigrasi neutrofi Emigrasi neutrofil dimulai dengan menempelnya sel ini pada permukaaan endotel. Sel PMN tampak dominan menempel pada permukaan endotel. Emigrasi sel neutrofil pada area inflamasi disebabkan adanya faktor kemotatik. Keterlibatan proses immun-kompleks dalam proses awal inflamasi, menyebabkan faktor kemotaktik mengaktivasi komplemen C5a. Komplemen C5a ini kemudiaan menyebabkan sel PMN tertarik ke area inflamasi. Produk bakteri juga bersifat kemotaktik terhadap sel PMN. Intensitas dan durasi emigrasi sel PMN biasanya dalam 24-48 jam, tergantung faktor kemotaktik pada area inflamasi 3. Emigrasi sel mononuclea Proses ini dimulai 4 jam setelah adanya stimulasi dan mencapai puncaknya 16-24 jam. Pada keadaan awal respon seluler, sel mononuklear akan tampak dalam jumlah sedikit bersama sel polimorfonuklear. Keluarnya sel mononuclear ini distimulasi oleh proses fagositosis debris, produk fagositosis neutrofil, dan sitokin . Proses terakhir inflamasi adalah proliferasi seluler 4. Proliferasi seluler. Proses ini diawali dengan proliferasi fibroblas yang dimulai dalam 18 jam dan mencapai puncaknya 48 sampai 72 jam. Fibroblas mengeluarkan acidic mukopolysaccharides yang menetralisis afek beberapa mediator kimiawi. Pada akhir proses ini diharapkan kembalinya fungsi area yang terkena inflamasi, namun dalam beberapa keadaan, proses ini berakhir dengan terbentuknya abses dan granuloma

22

Diagnosis Banding Pada keadaan tertentu beberapa penyakit dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, diantaranya adalah berasal dari saluran pencernaan seperti gastroenteritis, ileitis terminale, tifoid, divertikulitis meckel tanpa perdarahan, intususepsi dan konstipasi. Gangguan alat kelamin perempuan termasuk diantaranya infeksi rongga panggul, torsio kista ovarium, adneksitis dan salpingitis. Gangguan saluran kencing seperti infeksi saluran kencing, batu ureter kanan. Penyakit lain seperti pneumonia, demam dengue dan campak 1. Kelainan Gastrointestinal Cholecystitis akut Divertikulum Mackell (merupakan suatu penonjolan keluar kantong kecil pada usus halus yang biasanya berlokasi di kuadran kanan bawah dekat dengan appendik. Divertikulum dapat mengalami inflamasi dan bahkan perforasi ( robek atau ruptur). Jika terjadi inflamasi atau perforasi, harus ditangani dengan pembedahan). Enteritis regional Pankreatitis Tumor ileum dan atau sekum 2. Kelainan Urologi Batu ureter Cystitis

Penatalaksanaan a. Appendiktomi 1. Cito akut, abses & perforasi 2. Elektif kronik Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

23

Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada apendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. b. Konservatif kemudian operasi elektif (Infiltrat) 1. 2. 3. 4. Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg) Diet rendah serat Antibiotika spektrum luas Metronidazol

5. Monitor : Infiltrat, tanda-tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam, LED, bila baik mobilisasi pulang Penderita anak perlu cairan intravena untuk mengoreksi dehidrasi ringan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk mengurangi bahaya muntah pada waktu induksi anestesi. Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan anak sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris. Anak memerlukan perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah. Kalau anak dalam keadaan syok hipovolemik maka diberikan cairan ringer laktat 20 ml/kgBB dalam larutan glukosa 5% secara intravena, kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan kekurangan cairan. Sebelum pembedahan, anak harus memiliki urin output sebanyak 1 ml/kgBB/jam. Untuk menurunkan demam diberikan acetaminophen suppositoria (60mg/tahun umur). Jika suhu di atas 380C pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk mengontrol demam. Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua anak dengan apendisitis, antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis . Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi
24

antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin (100mg/kg), gentamisin (7,5mg/kg) dan klindamisin (40mg/kg) dalam dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi. Metronidasol aktif terhadap bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan. Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin Pembedahannya adalah dengan apendektomi, yang dapat dicapai melalui insisi Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).

KASUS I. IDENTITAS PASIEN


25

Nama Umur Alamat Status Agama Suku No RM Tgl MRS

: Ny. I : 59 tahun : Danau Toba 4/47 Jember : Menikah : Islam : Jawa : 147244 : 09-07-2012

Tgl pemeriksaan : 09-07-2012 II. Anamnesa

A. Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah B. RPS : Pada tanggal 8 juli pasien merasa perutnya nyeri (seperti disayat-sayat), perih, panas terutama di daerah epigastrium, nafsu makan menurun, demam, tidak bisa BAB dan kentut serta pernah BAB keras dan disertai keluarnya darah. Lalu pasien dibawa ke puskesmas, dan diberi obat, namun tidak merasakan adanya perbaikan dan semakin bertambah rasa sakitnya. Kemudian rasa sakit tersebut menjalar ke seluruh perut hingga pasien tidak mampu untuk berdiri. Pada tanggal 9 juli pasien merasa sakitnya berpindah terutama di bagian kanan bawah dan pasien merasa di perut bagian kanan bahwa teraba benjolan keras. Pasien juga merasa mual, muntah (berwarna kecoklatan), kembung (+), kentut (-) lalu pasien berobat ke RSU dr.soebandi. C. RPD : D. RPO : E. RPK : F. Riwayat Sosio Ekonomi Tempat tinggalnya berukuran <40 m2, terdapat 2 kamar tidur, dinding rumah tembok, lantai plester semen. Penghasilan sebulan kira-kira < Rp.!.000.000. Terdapat kamar mandi, pekerjaan pasien adalah ibu rumah tangga. Setiap hari pasien mengkonsumsi makanan yang dimasak sendiri, makanan sehari- hari nasi, tahu, tempe, dan lauk pauk lainnya seperti daging, telur jarang, pasien juga jarang mengkonsumsi sayur dan buah. Dalam memasak makanan sehari-hari pasien sering memakai minyak goreng untuk menggoreng lebih dari satu kali.

26

G. Anamnesis Sistem 1. Sistem Serebrospinal 2. Sistem Kardiovaskular 3. Sistem Pernafasan 4. Sistem Gastrointestinal 5. Sistem Urogenital 6. Sistem Integumen 7. Sistem Muskuloskeletal III. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan Umum Keadaan umum: sedang Kesadaran Status Gizi BB : BMI: (1,65)2 Status Gizi: Cukup Vital Sign Tensi Nadi RR Suhu Kulit Otot Tulang : 130/90 mmHg : : : 68 x/menit 24 x/menit 36 0 C : turgor DBN, ikterik (-) : dalam batas normal : tidak ada deformitas kg 55 x 100% = 20,20% TB : cm : komposmentis : : sadar : tidak ada keluhan : tidak ada keluhan : tidak bisa BAB dan kentut serta pernah BAB

keras dan disertai keluarnya darah :tidak ada keluhan : tidak ada keluhan : tidak ada keluhan

Kelenjar limfe : pembesaran KGB (-)

Pemeriksaan Khusus o Bentuk: bulat lonjong, simetris o Rambut: hitam, lurus


27

1. Kepala

o Mata: konjungtiva anemis +/+ Sklera DBN +/+ Reflek cahaya +/+ o Hidung: sekret (-), bau (-), perdarahan (-) o Telinga: sekret (-), bau (-), perdarahan (-) o Mulut: sianosis (-), mucosa kering (-) o Lidah: DBN, lidah kotor (-) 2. Leher o KGB: pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-) o JVP meningkat, 4+3 3. Thorax o Cor: I: ictus cordis tidak tampak P: ictus cordis tidak teraba P: redup di ICS IV PSL dextra ICS V MCL sinistra A: S1S2 tunggal

o Pulmo: Ventral I: Simetris, retraksi -/P: Fremitus raba +/ + P: Sonor +/+ A: Ves +/+, Rh -/-, Wh -/4. Abdomen: I: Cembung A: BU(-) P: Nyeri tekan (-), H/L/R tidak teraba, slight distended (+) P: Tympani , pekak hepar (+) RT : TSA (+), mukosa licin, feses (-), darah (-), Terasa nyeri di arah jam 9-12 Dorsal I: Simetris, retraksi -/P: Fremitus raba +/+ P: Sonor +/+ A:Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-

28

5. Extrimitas Akral hangat + + Edema + + -

Rovsing sign (+), psoas sign (-), obturator sign (-) St. Lokalis : R. abdomen: I : cembung P : Soepel, nyeri tekan (+) dan teraba massa (+) di titik Mc.Burney, defans muskular (-) P : pekak-tympani A : BU (+) menurun R. Iliaca (D) : teraba massa padat, kenyal, mobile

A : PAI

DD: Ca. Caecum NGT :250 cc/7 jam UP : 200 cc/6 jam

P : Infus RL:D5 2:2 Injeksi cefotaxim 3x1 gr Injeksi Ranitidin 2x1 ampul Observasi tanda-tanda akut abdomen

Laboratorium: Hb Lekosit : 14,9 gr/dl : 17,7x10/L Na : 137,2 mmol/L K : 3,9 mmol/L


29

HCT SGOT SGPT GDA

: 44% : 13 U/L : 12 U/L : 210 mg/dl

Cl : 101,9 mmol/L Ca : 2,53 mmol/L Kretinin serum : 1,9 mg/dl BUN : 50 mg/dl Asam Urat : 6,9 mg/dl

Trombosit : 316x10/L

V.

SOAP harian selama MRS

Tanggal 9 juli 2012 S) Nyeri perut, kembung (+), kentut (+) O) Pemeriksaan Umum Keadaan umum : Sedang Kesadaran Vital Sign Tensi Nadi RR Suhu : 110/80 mmHg : : : 92 x/menit 24 x/menit 36 0 C : komposmentis

Status generalis : K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak : COR P: Sonor A: S1 S2 tunggal Pulmo P: Sonor +/+ A: Vesikuler, rh -/-, wh -/30

I : Iktus cordis tidak tampak

P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra

I : Tidak ada ketinggalan gerak

P: Fremitus raba +/+

Abdomen : A:

I: Cembung BU (-)

P: Timpani-pekak, pekak hepar (+) P: Soepel (+), massa (+) di Mc burney, nyeri (+) A : Partial Bowel Obstruksi e.c. PAI P : Infus RL:D5 2:2 Injeksi cefotaxim 3x1 gr Injeksi Ranitidin 2x1 ampul Laboratorium : PPT Pasien Kontrol Kontrol GDS : 18 detik : 12,4 detik : 30 detik : 159 mg/dl DD: Ca. Caecum NGT :25 cc/ 6 jam, hijau pekat UP : 200 cc/6 jam evaluasi produksi urin

APTT Pasien : 26,1 detik

Tanggal 11 juli 2012 S) Nyeri perut O) Pemeriksaan Umum Keadaan umum: Sedang Kesadaran Vital Sign Tensi Nadi RR Suhu : 120/70 mmHg : : : 88 x/menit 24 x/menit 36 0 C : komposmentis

Status generalis : K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak :

31

COR P: Sonor

I : Iktus cordis tidak tampak

P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra A: S1 S2 tunggal Pulmo P: Sonor +/+ A: Vesikuler, rh -/-, wh -/ Abdomen : A: I: Cembung BU (-) I : Tidak ada ketinggalan gerak P: Fremitus raba +/+

P: timpani-pekak, pekak hepar (+) P: Soepel (+), massa (+) di Mc burney, nyeri (+) A : Partial Bowel Obstruksi e.c. PAI P : Infus RL:D5 2:2 Injeksi cefotaxim 3x1 gr Injeksi Ranitidin 2x1 ampul Laboratorium:Albumin : 3,1 gr/dl Tanggal 12 juli 2012 S) Nyeri perut O) Pemeriksaan Umum Keadaan umum: Sedang Kesadaran Vital Sign Tensi Nadi RR Suhu : 130/80 mmHg : : : 88 x/menit 24 x/menit 37 0 C : komposmentis DD: Ca. Caecum NGT :100 cc/6 jam, hijau UP : 800 cc/6 jam

Status generalis : K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak : COR I : Iktus cordis tidak tampak P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra
32

P: Sonor A: S1 S2 tunggal Pulmo P: Sonor +/+ A: Vesikuler, rh -/-, wh -/ Abdomen : A: I: Cembung BU (menurun) I : Tidak ada ketinggalan gerak P: Fremitus raba +/+

P: timpani-pekak, pekak hepar (+) P: Soepel (+), massa (+) di Mc burney, nyeri (+) A : Partial Bowel Obstruksi e.c. PAI P : Puasa Infus RL:D5 2:2 Injeksi cefotaxim 3x1 gr Injeksi Ranitidin 2x1 ampul Laporan Operasi Laparotomi dan Appendiktomi: 1. Informed Consent dan Antibiotik Profilaksis 2. Terlentang dengan General Anasthesia 3. Desinfeksi dengan Betadine 10% 4. Incisi Midline 5. Didapatkan Appendik membubur, pus +/- 250 cc omentum wallinf off ke caecum 6. Dilakukan appendiktomi dan jahit Tabakzanad 7. Cuci sampai bersih dengan PZ hangat +/- 5 liter, pasang drain di retrocaecal. Instruksi Operasi: 1. Infus RL:D5 2:2 2. Ceftriaxon 2x1 gram 3. Metronidazol 3x500 mg 4. Ketorolac 3x30 mg 5. Ranitidin 2x1 ampul Laboratorium: NGT :25 cc/6 jam, hijau UP : 2400 cc/24 jam DD: Ca. Caecum

33

Hb Lekosit HCT

: 10,9 gr/dl : 9,9x10/L : 33%

Na : 139 mmol/L K Cl : 4,01 mmol/L : 110 mmol/L

Trombosit : 269x10/L Kreatinin serum : 0,7 mg/dl Urea BUN : 53 mg/dl : 25 mg/dl Asam Urat : 4,6 mg/dl

Ca : 2.65 mmol/L Mg : 0,84 mmol/L P : 1,25 mmol/L

Tanggal 13 juli 2012 S) (-) O) Pemeriksaan Umum Keadaan umum: Sedang Kesadaran Vital Sign Tensi Nadi RR Suhu : 140/80 mmHg : : : 80 x/menit 20 x/menit 36,5 0 C : komposmentis

Status generalis : K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak : COR P: Sonor A: S1 S2 tunggal Pulmo P: Sonor +/+ A: Vesikuler, rh -/-, wh -/ Abdomen : A: I: Cembung BU (menurun) I : Tidak ada ketinggalan gerak P: Fremitus raba +/+ I : Iktus cordis tidak tampak P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra

P: Timpani, pekak hepar (+)


34

P: Soepel (+), massa (-) di Mc burney, nyeri (-) Status Lokalis : R. Abdomen : Luka Post Laparotomi tertutup verband, darah (-), Pus (-) A : PAI Post laparotomi dan Appendiktomi H1 P : Infus RL:D5 2:2 Injeksi cefotaxim 3x1 gr Injeksi Ranitidin 2x1 ampul Injeksi ketorolac 3x30 mg Tanggal 14 juli 2012 S) (-) O) Pemeriksaan Umum Keadaan umum: Sedang Kesadaran Vital Sign Tensi Nadi RR Suhu : 140/80 mmHg : : : 80 x/menit 20 x/menit 37 0 C : komposmentis Metronidazol 3x500 mg Minum sedikit2 6x 25 cc NGT klamp penuh UP : 1050 cc/12 jam ; drain: 100cc serous

Status generalis : K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak : COR P: Sonor A: S1 S2 tunggal Pulmo P: Sonor +/+ A: Vesikuler, rh -/-, wh -/ Abdomen : A: I: Cembung BU (+) normal I : Tidak ada ketinggalan gerak P: Fremitus raba +/+ I : Iktus cordis tidak tampak P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra

P: timpani, pekak hepar (+) P: Soepel (+), massa (-) di Mc burney, nyeri (-) Status Lokalis : R. Abdomen : Luka Post Laparotomi tertutup verband, darah (-), Pus (-)
35

A : PAI Post laparotomi dan Appendiktomi H2 P : Infus RL:D5 2:2 Injeksi cefotaxim 3x1 gr Injeksi Ranitidin 2x1 ampul Injeksi ketorolac 3x30 mg Tanggal 15 juli 2012 S) (-) O) Pemeriksaan Umum Keadaan umum: Sedang Kesadaran Vital Sign Tensi Nadi RR Suhu : 140/80 mmHg : : : 76 x/menit 20 x/menit 36,3 0 C : komposmentis Metronidazol 3x500 mg Aff NGT dan Kateter ; drain: 20cc serous

Status generalis : K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak : COR P: Sonor A: S1 S2 tunggal Pulmo P: Sonor +/+ A: Vesikuler, rh -/-, wh -/ Abdomen : A: P: timpani, pekak hepar (+) P: Soepel (+), massa (-) di Mc burney, nyeri (-) Status Lokalis : R. Abdomen : Luka Post Laparotomi tertutup verband, darah (-), Pus (-) A : PAI Post laparotomi dan Appendiktomi H3 P : Infus RL:D5 2:1 Metronidazol 3x500 mg
36

I : Iktus cordis tidak tampak

P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra

I : Tidak ada ketinggalan gerak

P: Fremitus raba +/+

I: Cembung BU (-)

Injeksi cefotaxim 3x1 gr Injeksi Ranitidin 2x1 ampul Injeksi ketorolac 3x1 ampul Tanggal 17 juli 2009 S) (-) P) Pemeriksaan Umum Keadaan umum: Sedang Kesadaran Vital Sign Tensi Nadi RR Suhu : 140/80 mmHg : : : 76 x/menit 22 x/menit 36,3 0 C : komposmentis

Aff drain

Status generalis : K/L : a/i/c/d : -/-/-/ Thorak : COR P: Sonor A: S1 S2 tunggal Pulmo P: Sonor +/+ A: Vesikuler, rh -/-, wh -/ Abdomen : A: P: timpani, pekak hepar (+) P: Soepel (+), massa (-) di Mc burney, nyeri (-) Status Lokalis : R. Abdomen : Luka Post Laparotomi tertutup verband, darah (-), Pus (-) A : PAI Post laparotomi dan Appendiktomi H4 P : Infus RL:D5 2:1 Injeksi cefotaxim 3x1 gr Injeksi Ranitidin 2x1 ampul
37

I : Iktus cordis tidak tampak

P: Iktus cordis teraba ICS IV MCL sinistra

I : Tidak ada ketinggalan gerak

P: Fremitus raba +/+

I: Cembung BU (-)

Metronidazol 3x500 mg Aff hecting selang-seling (+)

Injeksi ketorolac 3x1 ampul

38

Anda mungkin juga menyukai