Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil


Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin
Waldeyer merupkan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari :
a. Tonsil Faringeal (adenoid)
b. Tonsil Palatina (tonsil faucial)
c. Tonsil Lingual (tonsil pangkal lidah)
d. Tonsil Tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlanch’s tonsil).1

Gambar 1. Letak anatomi pembentuk cincin Waldeyer1

Jaringan limfoid pada cincin waldeyer berperan penting yaitu sebagai daya pertahanan
lokal yang setiapsaat berhubungan dengan agen dari luar dan sebagai survailens imun.
Tonsil palatina dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer. Adenoid
akan mengalami regresi pada usia puberitas.1
Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot
palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial
oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian
superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual. Permukaan lateral
tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas
tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal
dengan kripta.2
Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil merupakan lapisan
membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini berfungsi sebagai akses
antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil.
Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga semakin panjang.
Inflamasi dan epitel kripta yang semakin longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi
kripta mengakibatkan debris dan antigen tertahan di dalam kripta tonsil.3
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, melalui cabang-
cabangnya. Yaitu :4
 maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya
 tonsilaris dan A. palatina asenden.
 maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden.
 lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal. A. faringeal asenden.
Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil:
 Anterior : A. lingualis dorsal.
 Posterior : A. palatina asenden.
 Diantara keduanya: A. tonsilaris.
Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil:
 faringeal asenden
 palatina desenden.

Gambar 2. Perdarahan Tonsil4

Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar otot konstriktor superior dan
memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan
cabang-cabangnya melalui otot konstriktor faring posterior menuju tonsil. Arteri faringeal
asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar otot konstriktor faring
superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil,
plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior
memberi perdarahan tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a.
palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring.2
Aliran getah bening dari daerah tonsil mengalir menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah otot sternokleidomastoideus.
Aliran ini selanjutnya ke kelenjar toraks dan berakhir menuju duktus torasikus. Tonsil
hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan dan tidak memiliki pembuluh getah bening
aferen. Persarafan tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.2

Secara histologis, lapisan pada tonsil terbagi atas tiga zona, yaitu :5
a. Reticular cell ephithelium
Lapisan squamous, didalamnya terdapat antigen presenting cell (Sel M) yang mentransfer
antigen ke dalam organ limfoid
b. Extrafolicular area
Terdiri atas sel T (limfosit T)
c. Limphoid follicle
Terdiri atas mantle zone (sel-B matur ) dan germinal center (sel-B aktif).
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandun sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar, limfosit T 40% limfosit T dan 3% sel
plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Imunoglobulin
(IgG,IgA,IgM,IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim, dan sitokin berakumulasi di
jaringan tonnsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal
pada folikel limfoid.5
Fisiologi dan Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:3
1. Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif
2. Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang bersal dari diferensiasi
limfosit B.
Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-sama dengan
adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada kedua organ tersebut.
Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan adenoid. Tonsil berfungsi
mematangkan sel limfosit B dan kemudian menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju
mukosa dan kelenjar sekretori di seluruh tubuh. Antigen dari luar, kontak dengan permukaan
tonsil akan diikat dan dibawa sel mukosa ( sel M ), antigen presenting cells (APCs),
sel makrofag dan sel dendrit yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum germinativum.
Kemudian sel Th ini akan melepaskan mediator yang akan merangsang sel B. Sel B
membentuk imunoglobulin (Ig)M pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian
sel B menjadi sel memori. Imunoglobulin (Ig)G dan IgA secara fasif akan berdifusi ke
lumen. Bila rangsangan antigen rendah akan dihancurkan oleh makrofag. Bila konsentrasi
antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada sentrum germinativum
sehingga tersensititasi terhadap antigen, mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler.
Regulasi respon imun merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan
pembentukan imunoglobulin.3
Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai
mengalami involusi pada saat puberitas, sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel
T terhadap sel B relatif meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel
kripta retikuler terjadi perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan
rusaknya aktifitas sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan ini
menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi. Kepadatan
sel B pada sentrum germinativum juga berkurang.3

2.2 Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Tonsilitis disebabkan peradangan pada tonsil yang diakibatkan oleh bakteri,
virus,dan jamur.6

2.3 Etiologi
Tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri streptococcus beta hemolyticus,
streptococcus viridans, dan streptococcus pyogenes . Streptocoocus pyogenes merupakan
patogen utama pada manusia yang menimbulkan invasi lokal, sistemik dan kelainan
imunologi.6
Gambar 3.Etiologi Tonsilitis 6

Gambar 4. gambaran tonsilitis akut. Etiologi disebabkan oleh (a) Streptococcus beta
hemoliticus grup A (b) Lesi eksudatif terlihat pada kedua tonsil (c) infeksi mononukleosis.7
2.4 Faktor Risiko

a. Faktor usia, terutama pada anak

b. Penurunan daya tahan tubuh

c. rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu)

d. Higiene ronga mulut yang kurang baik. 6

2.5. Klasifikasi

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, tonsilitis dapat diklasifikasikan menjadi dua


jenis, yaitu sebagai berikut :7

1. Tonsilitis Akut

Tonsilitis akut merupakan suatu inflamasi akut yang terjadi pada tonsila palatina, yang
terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh adanya infeksi maupun virus. Tonsilitis akut
dapat dibagi menjadi :

 Acute superficial tonsilitis, disebabkan oleh infeksi virus dan biaanya merupakan
perluasan dari faringitis serta hanya mengenai lapisan lateral
 Acute folicular tonsilitis, infeksi menyebar sampai ke kripta sehingga teisi dengan
material purulen, ditandai dengan binti-bintik kuning pada tonsil
 Acute parenchymatous tonsilitis, infeksi mengenai hampir seluruh bagian tonsil
sehingga tonsil terlihat hiperemis dan membesar
 Acute membranous tonsilitis, merupakan stase lanjut dari tonsilitis folikular dimana
eksudat dari kripta mnyatu membentuk membran di permukaan tonsil.

Gambar 5. Acute parenchymatous tonsilitis7


2. Tonsilitis Kronis

Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut atau
subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hiperplasia parenkim atau
degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil
yang reatif kecil aakibat pembentukan sikatrik yang kronis. Biasanya nyeri tenggorok dan
nyeri pada saat menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan biasanya menetap.7

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala tonsilitis akut awalnya mengeluh rasa kering ditenggorokan, kemudian berubah
menjadi rasa nyeri di tenggorokan, kemudian berubah menjadi rasa nyeri saat menelan. Rasa
nyeri semakin lama semakin bertambah sehingga anak menjadi tidak mau makan. Nyeri
hebat ini dapat menyebar sebagai referred pain ke sendi-sendi dan telinga. Nyeri pada
telinga (otalgia) tersebar melalui nervus glossofaringeus (IX). Rasa nyeri kepala, demam,
plummy voice/hot potato voice., mulut berbau (foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam
kavum oris akibat nyeri telan yang hebat (ptialismus). Tonsilitis viral lebih menyerupai
commond cold yang disertai rasa nyeri tenggorokan.6

Gejala tonsilitis kronis dibagi menjadi :6

 Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak ditenggorok, sulit atau nyeri
menelan.
 Gejala sistemik, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris,
nyeri otot dan persendian.
 Gejala klinis tonsil dengan debris di kripta ( tonsilitis folikularis kronis), udema atau
hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa), tonsil fibrotic dan kecil (tonsilitis fibrotic
kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak
antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka
gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :

T0 : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat

T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial tonsil
melewati ¼ jarak pilar anterior uvula

T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial tonsil
melewati ¼ jarak pilar anterior uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula

T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial tonsil
melewati ½ jarak pilar anterior uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula

T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial tonsil
melewati ¾ jarak pilar anterior uvula atau lebih.6

Gambar 6. Gambaran hipertrofi tonsil (a) Tonsil kanan yang mengalami hipertrofi (b) Kissing
tonsils, tonsil menyebabkan Obstructive Sleep Apnea (OSA)7

2.7 Patofisiologi
1. Snow, James B, dan John jacob Ballenger. 2003. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head
and Neck Surgery 16th Edition. Chicago: William & Willkins.
2. Brodsky L, Poje Ch. Tonsillitis, tonsilectomy and adenoidectomy. In: Bailey BJ, Johnson
JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and Neck Surgery,
4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006:p.1183-98.
3. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala & leher. Edis 6. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2008:h.217-25.
4. Adam GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adam GL, Boies LR Jr,
Higler PA editors. Boies Buku ajar penyakit THT. Edisi Bahasa Indonesia, Alih bahasa
Wijaya C. Jakarta EGC.1997;
320-55.
5. Pasha, R. 2008. Otolarhingology, Head and Neck surgery. Clinical Reference Guide.
Singular: Thompson Learning.
6. Soepardi, E.A. dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penernit FKUI ; hal 223-4.
7. Onerci, T.M.2009. Diagnosis in Ortorhinology, Ab Illustrate Guide. New York: Spinger.

Anda mungkin juga menyukai