Anda di halaman 1dari 30

TONSILITIS

I. PENDAHULUAN

Penyakit pada tonsil


tonsil palatina (tonsil) merupakan permasalahan yang
umum ditemukan pada anak. Penderita tonsilitis merupakan pasien yang
sering datang pada praktek dokter ahli bagian telinga hidung tenggorok-
 bedah kepala dan leher (THT-KL), dokter anak, maupun tempat pelayanan
pela yanan
kesehatan lainnya. Tonsilitis juga merupakan salah satu penyebab
ketidakhadiran anak di
di sekolah. Ahli THT-KL memainkan peranan penting
dalam menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan tonsilitis. (1)

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di Indonesia masih merupakan


 penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Tonsilitis kronis
 pada anak dapat disebabkan karena anak seringmenderita ISPA atau
tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat.Berdasarkan data medical record
tahun 2010 di RSUP dr M. Djamil Padang bagian THT-KL subbagian laring
faring ditemukan tonsilitis sebanyak 465 dari 1.110 kunjungan di Poliklinik
subbagian laring-faring dan yang menjalani tonsilektomi sebanyak 163
kasus.(1)

Tonsilitis atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah


 peradagan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial),
tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil Tuba Eustachius (lateral band
dinding faring/Gerlach’s tonsil).(2)
faring/Gerlach’s tonsil).

Tonsilitis disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena infeksi bakteri


atau virus, kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada
 penderita diabetes mellitus akut. Ketidaktepatan terapi antibiotik pada
 penderita tonsilitis akut akan mengubah mikroflora pada tonsil, mengubah

1
struktur pada kripta tonsil, dan adanya infeksi virus menjadi faktor
 predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronik.(2)

Penyebaran infeksi melalui udara (air


(air bone droplets),
droplets), tangan dan
ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak. (2)

II. DEFINISI

Tonsilitis adalah peradagan tonsil palatina yang merupakan bagian dari


cincin Waldeyer. Tonsil hampir selalu diartikan sebagai tonsil
 palatina.Tonsilitis akut merupakan infeksi tonsil yang sifatnya akut,
sedangkan tonsilitis kronik merupakan tonsilitis yang terjadi berulang kali
(kronik).(1,2,3)

III. EPIDEMIOLOGI

Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, meskipun jarang terjadi


 pada anak-anak usia kurang dari dua tahun. Tonsilitis akibat infeksi
Streptococcus secara khusus terjadi pada anak-anak usia 6-15 tahun. Kasus
terbanyak ditemukan pada anak-anak usia sekolah, yang berkontak dengan
anak lain yang menderita tonsilitis akibat bakteri maupun virus.(1, 3, 4)

IV. ANATOMI & FISIOLOGI TONSIL


a. Embriologi

Pembentukan tonsil berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi


kantong faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua
diserap dan bagian dorsal menetap kemudian menjadi epitel tonsil. Pilar
tonsil dibentuk dari arkus brakial ke-2 dan ke-3. Secara nyata perkembangan
tonsil terlihat pada usia 14 minggu kehamilan dengan terjadinya infiltrasi
sel-sel limfatik ke dalam mesenkim di bawah mukosa yang dibentuk di
dalam fossa tonsil. Pembentukan kripta tonsil terjadi pada usia 12-18
minggu kehamilan. Kapsul dan jaringan ikat lain tonsil terbentuk pada usia
kehamilan 20 minggu dengan demikian terbentuk massa jaringan tonsil.

2
Secara histologi tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau
trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa, folikel
germinativum sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda serta jaringan
interfolikel jaringan limfoid dari berbagai stadium.(1)

 b. Anatomi

Tonsil bersama adenoid, tonsil lingual,pita lateral faring, tonsil tubaria


dan sebaran jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan limfoid
yang dikenal dengan cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer
Waldeyer ini merupakan
 pertahanan terhadap infeksi. Tonsil dan adenoid merupakan bagian
terpenting dari cincin Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada
usia puberitas.(1)

Gambar 1. Anatomi faring & tonsil(5)

Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada
kedua sudut orofaring. Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang
dibentuk otot palatoglossus, posterior oleh pilar posterior dibentuk otot
 palatofaringeus, bagian medial oleh ruang orofaring, bagian lateral dibatasi
oleh otot konstriktor faring superior, bagian superior oleh palatum molle,

3
 bagian inferior oleh tonsil lingual yang disebut sebagai fossa tonsil.
Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh jaringan alveolar yang tipis dari fasia
faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke
dalam tonsil membentuk kantong yang dengan kripta. (1)
yang dikenal dengan

Gambar 2. Cavum oris dan Oropharynx tampak Anterior (5)

Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga
epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun
 pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan
mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan
epitel kripta yang semakin longgar
longgar akibat peradangan kronis dan
dan obstruksi
obstruksi
kripta mengakibatkan debris dan antigen tertahan di dalam kripta tonsil. (1)

Vaskularisasi

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. karotis eksterna,


yaitu(1) :

1) a.maksilaris eksterna (a. fasialis); cabangnya a. tonsilaris dan a. palatina


asendens
2) a. maksilaris interna; cabangnya a. palatina desendens
3) a. lingualis; cabangnya a. lingualis dorsalis
4) a. faringeal asendens

4
Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil (1):

1) Anterior : A. lingualis dorsal.


2) Posterior : A. palatina asenden.
3) Diantara keduanya: A. tonsilaris.

Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil (1):

1) a. faringeal asenden
2) a. palatina desenden.

Gambar 3. Perdarahan Tonsil (1)

Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor


superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri
 palatina asenden, mengirimkan cabang melalui m. konstriktor posterior
menuju tonsil. Arteri faringeal asendens juga memberikan cabangnya ke
tonsil melalui bagian luar m. kosntriktor superior. Arteri lingualis dorsal
naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior, dan
 plika posterior. Arteri palatina desenden atau arteri palatina posterior
memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk
anastomosis dengan a. palatina asendens. Kutub bawah tonsil bagian

5
anterior (a. lingualis dorsal) dan bagian posterior (a. palatina asenden), di
antara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh. A. tonsilaris. Kutub atas
tonsil diperdarahi oleh a. faringeal asendens dan a. palatina desendens. (1, 5)

Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan


 pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena disekitar kapsul tonsil,
vena lidah, dan pleksus faringeal.(1 5)
,

Aliran getah bening menuju rangkaian getah bening servikal profunda


(deep jugular node).
node ). Bagian superior di bawah m. sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks, dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil
hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen sedangkan pembuluh
getah bening aferen tidak ada. (1)

 Innervasi

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui


ganglion sfenoplatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus (saraf
IX).(1)

c. Histologi
Epithelium
Folikel
Kripte Limfoid

Parenkim
Tonsil

Hemikapsul Kripte

Gambar 4. Histologi Tonsil (6)

Secara mikroskopis tonsil memiliki tiga komponen yaitu jaringan ikat,


 jaringan interfolikuler, jaringan germinativum. Jaringan ikat berupa
trabekula yang berfungsi sebagai penyokong tonsil. Trabekula merupakan

6
 perluasan kapsul tonsil ke parenkim tonsil. Jaringan ini mengandung
 pembuluh darah, syaraf, saluran limfatik efferent. Permukaan bebas tonsil
ditutupi oleh epitel statified squamous. (1)

Jaringan germinativum terletak dibagian tengah jaringan tonsil,


merupakan sel induk pembentukan sel-sel limfoid. Jaringan interfolikel
t ingkat pertumbuhan.(1)
terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai tingkat

Pada tonsilitis kronis terjadi infiltrasi limfosit ke epitel permukaan


tonsil. Peningkatan jumlah sel plasma di dalam subepitel maupun di dalam
 jaringan interfolikel. Hiperplasia dan pembentukan fibrosis dari jaringan
ikat parenkim dan jaringan limfoid mengakibatkan terjadinya hipertrofi
tonsil.(1)

d. Fisiologi& Imunologi

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk


diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
(1, 3)
mempunyai 2 fungsi utama yaitu :

1) Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif


2) Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang bersal
dari diferensiasi limfosit B.

Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-


sama dengan adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada
kedua organ tersebut. Limfosit T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil
dan adenoid. Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian
menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar sekretori
di seluruh tubuh. (1)

Antigen dari
dari luar, kontak dengan
dengan permukaan
permukaan tonsil akan diikat dan
dibawa sel mukosa (sel M), antigen presenting cells (APCs), sel makrofag
dan sel dendrit yang terdapat pada tonsil ke sel
s el Th di sentrum germinativum.
Kemudian sel Th ini akan melepaskan mediator yang akan merangsang sel

7
B. Sel B membentuk imunoglobulin IgM pentamer diikuti oleh
 pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori.
Imunoglobulin IgG dan IgA secara fasif akan berdifusi ke lumen. Bila
rangsangan antigen rendah akan dihancurkan oleh makrofag. Bila
konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan respon proliferasi sel B pada
sentrum germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen,
mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun
merupakan fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan
imunoglobulin. (1, 5)
 pembentukan imunoglobulin.

Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil


mulai mengalami
mengalami involusi pada saat puberitas, sehingga
sehingga produksi
produksi sel B
menurun dan rasio sel T terhadap sel B relatif meningkat. Pada Tonsilitis
yang berulang dan inflamasi epitel kripta retikuler terjadi perubahan
epitel squamous stratified yang mengakibatkan rusaknya aktifitas sel imun
dan menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan ini menurunkan
aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi
produksi antibodi. Kepadatan
sel B pada sentrum germinativum juga berkurang. (1)

V. KLASIFIKASI

Adapun jenis-jenis dari tonsilitis, yakni:

1. Tonsilitis Akut

Tonsilitis akut merupakan suatu infeksi pada tonsil yang


ditandai nyeri tenggorok, nyeri menelan, panas, dan malaise.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran tonsil, eritema dan
eksudat pada permukaan tonsil, kadang ditemukan adanya limadenopati
servikal. Korblut, menjelaskan gejala tonsilitis akut
akut akan berkurang
berkurang 4-6
hari. Penyakit ini biasanya akan sembuh setelah 7-14 hari. Tonsilitis
akut berdasarkan penyebab infeksi, yaitu (1, 2):

8
a. Tonsilitis Viral

Tonsilitis yang disebabkan oleh virus. Gejala lebih menyerupai


common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang
yang
sering Epstein Barr, influenza, para influenza, coxasakie,
echovirus, rhinovirus. Douglas seperti dikutip Kornbult
menemukan bahwa kebanyakan tonsilitis virus terjadi pada usia
 prasekolah sedangkan infeksi bakteri terjadi pada anak yang lebih
 besar.(1, 2)

b. Tonsilitis Bakterial

Tonsilitis akut bakterial paling banyak disebabkan


Streptococcus β hemoliticus.
hemoliticus. Lebih kurang 30%-40% tonsilitis
akut disebabkan oleh Streptococcus
Streptococcus β hemoliticus grup A. Brook,
menyatakan dalam mendiagnosis tonsilitis keterlibatan
Streptococcus β hemoliticus
hemoliticus grup A harus tetap dipertimbangkan
disamping bakteri lain yang juga dapat ditemukan pada
 pemeriksaan bakteriologi.(1, 2)

Gambar 5. Tonsilitis Akut dengan Detritus(1)

Infiltrasi bakteri ke dalam jaringan tonsil akan menimbulkan


reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk eksudat dikenal dengan detritus. Eksudat yang terbentuk
 biasanya tidak melengket ke jaringan di bawahnya. Bentuk

9
tonsilitis akut dengan eksudat yang jelas disebut dengan tonsilitis
folikularis. Bila eksudat yang terbentuk membentuk alur-alur maka
akan terjadi tonsilitis lakunaris. Infeksi tonsil dapat juga melibatkan
faring, seluruh jaringan limfoid tenggorok. Terlihat lidah kotor dan
 juga lapisan mukosa tipis di rongga mulut.(1)

2. Tonsilitis Kronik

Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai


akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran tonsil
membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan
obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan
ditemukan tonsil yang relatif
kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis. Brodsky, menjelaskan
durasi maupun beratnya keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan.
Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4
minggu dan kadang dapat menetap. Brook dan Gober, seperti dikutip
oleh Hammouda menjelaskan tonsilitis kronis adalah suatu kondisi
yang merujuk kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi
tonsil yang berulang. (1 7)
,

Gambar 6. Tonsilitis kronik dengan eksudasi purulen yang menutupi


kedua tonsil. Pada uvula dan arkus tampak hiperemis dan edema. (8)

Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil


mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam
kripta, juga terjadi penurunan integritas epitel kripta sehingga

10
memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil. Bakteri yang
yang masuk
ke dalam parenkim tonsil akan mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil.
Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada kripta,
namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat
ganda. Bakteri yang menetap di dalam kripta tonsil menjadi sumber
infeksi yang berulang terhadap tonsil. (1)

Pada tonsillitis kronik dapat ditemukan nyeri menelan persisten,


anoreksia, disfagia, dan eritem pharyngotonsillar. Karakteristik lain
 juga dapat ditemukan sekret tonsil yang malodorous dan pembesaran
kelenjar limfe nodi jugulodigastrik. (9)

3. Tonsilitis Rekuren

Tonsilitis rekuren merupakan peradangan pada tonsil yang ditandai


gejala episode tonsilitis akut pada saat pasien datang dimana ada
riwayat penyembuhan lengkap diantara episode akut tersebut. Menurut
Brodsky, tonsilitis rekuren didefiniskan sebagai tonsilitis akut yang
 berulang lebih dari 4 kali dalam satu tahun, atau lebih dari 7 kali dalam
d alam
1 tahun, 5 kali setiap tahun selama 2 tahun, atau 3 kali setahun selama 3
tahun. (1, 9)

Kebanyakan pada anak tidak ditemukan adanya keluhan diantara


episode, dengan gambaran maupun ukuran tonsil yang kembali normal.
Letak tonsil, jumlah dari kripte, dan celahnya tampaknya sebagai
tempat berkembangnya bakteri. Pengobatan secara cepat pada tonsilitis
akut mungkin saja tidak berhasil dalam mencegah infeksi lanjutan. (1, 9)

VI. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya


secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara  foodborn 
 foodborn  yaitu
melalui mulut masuk bersama makanan. (4)

11
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk
 bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita
tonsilits kronis jumlah kuman yang paling sering adalah Streptococcus Beta
 Hemoliticus group A  (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal
 pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi infeksius yang
memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan
 Haemophilus influenzae,
influenzae , Staphylococcus aureus,
aureus, S. Pneumoniae dan
Morexella catarrhalis.(3, 10)

Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan tenggorok
didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis
Kronis yaitu Streptococcus Alfa 
Alfa  kemudian diikuti Staphylococcus aureus,
aureus ,
Streptococcus beta Hemolitikus group A,
A , Staphylococcus epidermidis 
epidermidis  dan
kuman gram negatif berupa Enterobacter, 
Enterobacter,   Pseudomonas aeruginosa,
aeruginosa ,
 Klebsiella dan
 Klebsiella dan E. Coli.(4)
 E. Coli.

Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan


yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab
 penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes
simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi
dengan Coxackievirus A,
A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi
 pada tonsil.  Epstein-Barr  yang
  yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat
menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan
obstruksi jalan nafas yang akut. Infeksi jamur seperti Candida sp tidak
 jarang terjadi khususnya di kalangan bayi atau pada anak-anak dengan
immunocompromised .(3)

Tonsilitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana


kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil
menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
 pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi)

12
dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya
menurun. (4)
 pada saat keadaan umum tubuh menurun.

Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superkistal bereaksi dimana


terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
 jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
 pengerutan sehingga kripte melebar. Secara klinis kripte ini akan tampak
diisi oleh  Detritus 
 Detritus  (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan
 bakteri yang menutupi kripte 
kripte  berupa eksudat yang berwarna kekuning-
kuningan). Proses ini terus meluas hingga menembus kapsul sehingga
terjadi perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak,
 proses ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula.(1, 2, 11)

VII. GEJALA KLINIS

Gejala klinis tonsilitis akut maupun kronik dapat ditemukan adanya


nyeri tenggorok, di mana pada tonsilitis kronik didahului gejala tonsilitis
akut seperti nyeri tenggorok yang tidak hilang sempurna. adapun gejala
 pada tonsilitis akut ditandai dengan nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam,
dan malaise. Halitosis akibat debris yang tertahan di dalam kripta tonsil,
i nfeksi berikutnya. (1, 2)
yang kemudian dapat menjadi sumber infeksi

Tabel 1. Perbedaan Tonsilitis (1, 2, 7, 9)

Tanda Tonsilitis Tonsilitis Tonsilitis


Akut Kronis Rekuren
Warna Hiperemis (+) Hiperemis (-) Hiperemis (+)
Edema (+) (-) (+)
Kripte Melebar (-) Melebar (+) Melebar (+)
Detritus (+/-) (+) (+)
Perlengketan (-) (+) (+)
Onset 7-14 Hari >4 minggu Ada fase sembuh
diantara 2 fase
akut/lebih

13
Gambar 7. Sistem Derajat Tonsil. (11)

Tabel 2. Derajat Tonsilitis(12)

Derajat Tonsil Keterangan


Keterangan
Derajat 0 Post tonsilektomi
Derajat I Tonsil pada fossa tonsilar, hampir tidak tampak
dibelakang arkus anterior
Derajat II Tonsil tampak dibelakangarkus anterior.
Derajat III Melewati linea paramediana, tetapi belum mencapai
linea mediana.
Derajat IV Mencapai linea mediana

Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi sehingga


timbul gangguan menelan, obstruksi sleep
obstruksi  sleep apnue dan gangguan suara. Pada
 pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar dalam berbagai
ukuran, dengan pembuluh darah yang dilatasi pada permukaan tonsil,
arsitektur kripta yang rusak seperti sikatrik, eksudat pada
pada kripta tonsil dan
sikatrik pada pilar.(1)

14
VIII. DIAGNOSIS

Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsilitis


 berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang
mengganjal di tenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi
 pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas,
napas , yang
 paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertrofi. Gejala-gejala
konstitusi dapat ditemukan seperti demam, tetapi tidak mencolok. Pada anak
dapat ditemukan adanya pembesaran kelenjar limfa submandibular. (2 13)
,

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang


tidak rata, kripte melebar dan beberapa kripte terisi oleh detritus.. Pada
umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh
dimasukkan ke dalam kategori tonsilitis kronik. (10)

 Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi dari tonsil dapat dilakukan dengan


 pemeriksaan sediaan swab secara gram dengan pewarnaan Ziehl-Nelson
atau dengan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Pemeriksaan ini dapat
dapat
diambil dari swab permukaan tonsil maupun jaringan inti tonsil.(1)

Daerah tenggorok banyak mengandung flora normal. Permukaan tonsil


mengalami kontaminasi dengan flora normal di saluran nafas atas. Patogen
yang didapatkan dari daerah ini bisa jadi bukan merupakan bakteri yang
menginfeksi tonsil. Pemeriksaan kultur dari permukaan tonsil saja tidak
selalu menunjukkan bakteri patogen yang sebenarnya. (1)

Pemeriksaan kultur dari inti tonsil dapat memberikan gambaran


 penyebab tonsilitis yang lebih akurat. Bakteri yang menginfeksi tonsil
adalah bakteri yang masuk ke parenkim tonsil. Bakteri ini sering menumpuk
di dalam kripta tersumbat.(1)

15
Pemeriksaan swab dari permukaan tonsil dilakukan pada saat pasien
telah dalam narkose. Permukaan tonsil diswab dengan lidi kapas steril.
Sebelumnya tidak dilakukan tindakan aseptik anti septik pada tonsil.
Pemeriksaan bakteriologi dari inti tonsil dilakukan dengan mengambil swab
sesaat setelah tonsilektomi. Tonsil yang telah diangkat disiram dengan
cairan salin steril kemudian diletakkan pada tempat yang steril. Tonsil
dipotong dengan menggunakan pisau steril dan jaringan dalam t onsil diswab
memakai lidi kapas steril.(1)

Spesimen yang telah diambil dimasukkan


dimasukkan ke dalam
dalam media
media transportasi
yang steril. Biakan bakteri aerob dan anaerob fakultatif dapat dilakukan
dengan menggunakan agar darah, agar coklat, eosin-methilene blue (EMB).
Tempat pembiakan ini di inkubasi pada suhu 37°C, 5% CO 2.(1)

Gaffney, melakukan pemeriksaan bakteriologi inti tonsil dengan


menggunakan aspirasi jarum halus pada tonsil. Teknik pengambilan dengan
aspirasi jarum halus dilakukan pada orang dewasa dengan posisi duduk
kemudian tonsil dianestesi lokal menggunakan silokain semprot. Pada anak-
anak dilakukan dalam narkose umum setelah pengangkatan tonsil. (1)

 Pemeriksaan Histopatologi

Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey


terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis
Kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga
kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan-sedang infiltrasi limfosit,
adanya Ugra’s abses dan infiltrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal
tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronik. (11)

16
IX. DIAGNOSIS BANDING
1. Faringitis

Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh


virus, bakteri, alergi, trauma dan toksin. Infeksi bakteri dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini
melepaskan toksin ekstraseluler yang dapat menimbulkan demam
reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena
fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen
antibody.(2, 10, 13)

A B

Gambar 8. A. Pharynx posterior dengan peteki dan eksudat. B. Pemeriksaan


 bakteriologi Streptococcus pyogenes.(15)
Streptococcus pyogenes.
Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa demam, nyeri
tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan tampak
tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di
 permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada
 palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan
nyeri pada penekanan. (2, 13, 14)

2. Difteri

Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.


diphteriae. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung
t ergantung
 pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc
darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Tonsilitis

17
difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 5 tahun. (2)

A B

Gambar 9. A. Karakteristik membran tipis pada infeksi difteri di pharynx


 posterior. B. Gambaran mikrobiologi Corynebacterium
Corynebacterium diphtheriae gram
(16)
 positif dengan pewarnaan
pewarnaan metilen
metilen blue.

Gejala klinik terbagi dalam tiga golongan yaitu : umum, lokal, dan
gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi
lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri
menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
 bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk membrane semu (pseudomembran) yang melekat erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jika infeksinya
 berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian
 besarnya sehingga lehernya menyerupai leher sapi ( Bull
 Bull neck ).
). Gejala
akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu
 pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cardio,
cardio,
 pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan
otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria. (2, 14)

3. Hipertrofi Adenoid

Adenoid adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang


terletak pada dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian

18
cincin Waldeyer. Secara fisiologik adenoid ini membesar pada anak
usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sama sekali pada
usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran napas bagian atas maka
dapat terjadi hipertrofy adenoid. Akibat dari hypertrophy ini akan
timbul sumbatan Koana dan tuba eustachi. Akibat sumbatan di Koana
 pasien akan bernapas melalui mulut. Akibat sumbatan tuba Eustachi
akan terjadi otitis media akut berulang, otitis media kronik, dan
akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik. (2)

Gambar 10. Choana posterior sinistra yang mengalami


mengalami obstruksi oleh
massa jaringan adenoid pada pemeriksaan nasoendoskopi (8)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik,
 pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan
velum palatum molle pada waktu fonasi, pemeriksaan rinoskopi
 posterior. Pemeriksaan digital untuk meraba adanya adenoid dan
 pemeriksaan radiologic dengan membuat foto lateral kepala (lebih
sering dilakukan pada anak). Terapi pada hipertrofy adenoid dilakukan
terapi bedah adenoidektomi dengan cara kuretase memakai adenotom. (2)

4. Tumor Tonsil

 Neoplasma bukanlah penyebab dari tonsilitis akut maupun kronik,


tetapi seringkali menjadi penanda akan adanya etiologi infeksi. Pasien
yang mendapat penanganan faringitis infeksi yang tidak membaik, perlu

19
dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi adanya neoplasma. Gejala
umum dari tumor tonsil antara lain, nyeri tonsil unilateral, disfagia,
odinofagia, penurunan berat bedan, dan otalgia. (9, 14)

Gambar. Tumor jinak tonsil sinistra (8)

Pada pemeriksaan fisis, massa faring yang asimetris adalah


karakteristik penemuan yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Massa tersebut bisa ulseratif, ditutupi oleh mukosa atau fungi dan hanya
dapat dideteksi dengan palpasi. Adenopati servikal muncul pada
 penyakit lanjut yang telah bermetastasis pada limfonodus
lim fonodus lokoregional.
Faktor risiko meliputi penggunaan tembakau dan alkohol. Human
pada sebagian kecil kasus.(14)
 papilloma virus juga menjadi etiologinya pada

Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri


tenggorok dan kesulitan menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada
 pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur X-ray dan biopsi.
biopsi.

X. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan untuk tonsilitis terdiri atas terapi medikamentosa dan


operatif, yakni(2, 11, 17) :

1. Medikamentosa

Terapi medikamentosa diterapi sesuai dengan penyebabnya. Pada


tonsilitis viral dilakukan penatalaksanaan berupa istirahat, minum yang

20
cukup, analgetika, dan obat antiviral jika menunjukkan gejala yang berat. (2)

Pada tonsilitis bakterial diberikan obat antibiotik spektrum luas


 penisilin, eritromisin, antipiretik dan obat kumur yang mengandung
desinfektan. Pemberian antibiotik yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis
Kronis yaitu cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin (terutama jika
disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam kalvulanat
(jika bukan disebabkan mononukleosis). (2)

2. Operatif

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,


gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.(9, 10)

Indikasi Tonsilektomi

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat


 perbedaan prioritas
prior itas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat
ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi
relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa
usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsile ktomi. (1, 2,17)

1) Indikasi Absolut (2, 3, 10, 17 18)


,

a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia,


gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonar.
 b) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

21
2) Indikasi Relatif ((2, 3, 10, 17)
a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
 b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis.
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β laktamase resisten.

Dugaan keganasan dan obstruksi saluran napas merupakan indikasi absolut


untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang
dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi
semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana seperti
halitosis, debris kriptus dari tonsil (cryptic tonsilitis) dan pada keadaan yang
lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak
enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat
 berdasarkan terdapat dari beratnya satu atau le bih dari gejala tersebut dan pasien
seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena
gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam
nyawa.(17)

Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-


head and Neck Surgery Clinical 1995  adalah(2):
Clinic al Indicators Compendium 1995 adalah

a) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali pertahun walaupun telah


mendapat terapi yang adekuat.
 b) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofacial.
c) Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
 jalan napas, sleep
sle ep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara dan
cor pulmonal.
d) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilits, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengan pengobatan.

22
e)  Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
pengobatan.
f) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptokokus
 beta hemolitkus.
g) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
h) Otitis media difusa/otitis media supuratif.

5. Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebabkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut
adalah(14, 17, 24):
1. Gangguan perdarahan.
2. Risiko anastesi yang besar atau penyakit berat.
3. Anemia.
4. Infeksi akut yang berat.

6. Persiapan pasien Tonsilektomi

Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus


disadari bahwa mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan
yang pertama kali bagi pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan
 pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan perhatian khsuus terhadap
adanya gangguan yang bersifat diturnkan terutama kecenderungan
terjadinya pendarahan. Di samping itu riwayat saudara pasien yang
mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna.
Pemeriksaan lab seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin,
 jumlah trombosit, pemeriksaan hitung darah lengkap dan urinalisa
sebaiknya dilakukan. Selain itu pemeriksaan antistreptolisisn titer O
(ASO) dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi serta sebagai salah satu
indikasi tonsilektomi. Antistreptolisisn meningkat pada minggu pertama

23
dan mencapapi puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah
infeksi. Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam serum
darah lebih dari 200 IU/mL. Selain itu pemeriksaan radiologi dada dan
elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum pembedahan. (10)

7. Teknik Operasi Tonsilektomi

Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah


dilakukan pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan
menggunakan jari tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang
terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi. (17, 19)

a) Diseksi : Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag,


tonsil dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi
 pada membran mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau
gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan
menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.
 b) Guilotin : Teknik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat
dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera
oleh infeksi berulang.
c) Elektrokauter : Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat
digunakan pada teknik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya
 perdarahan, tetapi dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
d) Laser tonsilektomi : Diindikasikan pada penderita gangguan
koagulasi. Teknik yang dilakukan sama dengan yang dilakukan pada
teknik diseksi.

8. Komplikasi Tonsilektomi(18, 19)

Komplikasi tonsilektomi dapat terjadi saat pembedahan atau pasca


 pembedahan. Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan
trauma akibat alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung
 pada keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin

24
lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya
infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang
lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma
dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan
sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena
kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon
tekan. Perdarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh
darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan
kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fossa
tonsil diletakkan tampon atau  gelfoam,
 gelfoam, kemudian pilar anterior dan pilar
 posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri
karotis eksterna.

Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi


 pada cara  guillotine 
 guillotine  lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat
umumnya berupa kerusakan jaringan disekitarnya seperti kerusakan
 jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau dislokasi
sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya
yaitu immediate,
immediate, intermediate,
intermediate, dan late complication.
complication.

Komplikasi segera (immediate


(immediate complication)
complication) pasca bedah dapat
 berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anatesi.
Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan
yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup
 berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk
 belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas
menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostatis yang tidak
cermat atau terlepasnya ikatan.

Yang terpenting pada perawatan pasca tonsilektomi adalah :

1. Baringkan pasien pada satu sisi tanpa bantal.

25
2. Ukur nadi dan tekanan darah secara teratur.
3. Awasi adanya gerakan menelan karena pasien mungkin menelan darah
yang terkumpul di faring dan,
4.  Napas yang berbunyi menunjukkan adanya lendir atau darah di
tenggorok. Bila diduga ada perdarahan, periksa fossa tonsil. Bekuan
darah di fossa tonsil diangkat, karena tindakan ini dapat menyebabkan
 jaringan berkontraksi dan perdarahan berhenti spontan. Bila
 perdarahan belum berhenti, dapat dilakukan penekanan dengan tampon
yang mengandung adrenalin 1:1000. Selanjutnya bila masih gagal
dapat dicoba dengan pemberian hemostatik topikal di fossa tonsil dan
hemostatik parenteral dapat diberikan. Bila dengan cara di atas
 perdarahan belum berhasil dihentikan, pasien dibawa ke kamar operasi
dan dilakukan perawatan perdarahan seperti saat operasi.

Mengenai hubungan perdarahan primer dengan cara operasi,


laporan di berbagai kepustakaan menunjukkan hasil yang berbeda-
 beda, tetapi umumnya perdarahan primer lebih sering dijumpai pada
cara  guillotine.
 guillotine. Komplikasi yang berhubungan dengan tindakan
anastesi segera pasca bedah umumnya dikaitkan dengan perawatan
terhadap jalan napas. Lendir, bekuan darah atau kadang-kadang
tampon yang tertinggal dapat menyebabkan asfiksi.

Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian ( intermeddiate


complication)
complication) dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem
uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia. Perdarahan sekunder
adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya
terjadi pada hari ke 5. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah
infeksi serta trauma akibat makanan, dapat juga oleh karena ikatan
 jahitan yang terlepas jaringan granulasi yang menutupi fossa tonsil
terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah
dibawahnya terbuka dan terjadi perdarahan.

26
Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari
 pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan
 perdarahan primer. Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari
kedua uvula mengalami edem. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila
dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah yang
memperdarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi
melalui bakterimia dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan
sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya
merupakan nyeri alih dari fossa tonsil, tetapi kadang-kadang
merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui
tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi,
karena secara anatomik fossa tonsil berhubungan dengan ruang
 parafaring.

Dengan kemajuan teknik anastesi, komplikasi paru jarang


terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan
tonsil.  Late complication  pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan
 parut di palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan
menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan
tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila
cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses
 peritonsilar.

XI. KOMPLIKASI
1. Abses peritonsil

Abses peritonsiler merupakan suatu akumulasi pus yang


terlokalisasi pada jaringan peritonsil yang diakibatkan oleh tonsillitis
yang supuratif.Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, terdapat juga
odinofagia (nyeri menelan yang hebat), biasanya pada posisi yang sama
dan juga nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau
(foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia),

27
dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta
dengan nyeri tekan.(13, 20)
 pembengkakan kelenjar submandibular dengan

Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle


aspiration). Aspirasi yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas,
dan material dapat dikirim untuk dibiakkan. (13)

Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan


sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil
dan otot-otot yang mengelilingi  faringeal bed . Hal ini paling sering
terjadi pada penderita dengan serangan berulang.

2. Abses parafaring

Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di


sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding
lateral faring sehingga menonjol ke arah medial. Abses dapat
dievakuasi melalui insisi servikal.(17)

3. Abses intratonsilar

Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil.


Biasanya diikuti dengan penutupan kripte pada Tonsilitis folikular akut.
Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat
membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotik dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan
tonsilektomi.(17)

4. Tonsilolith (kalkulus tonsil)

Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronik bila kripte


diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan
magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu yang
dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi
dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah

28
rasa tidak nyaman lokal atau foreign
atau  foreign body sensation.
sensation . Hal ini didiagnosa
dengan mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya
 permukaan yang tidak rata pada perabaan.(17, 14)

5. Kista tonsilar

Disebabkan oleh blokade kripte tonsil dan terlihat sebagai


 pembesaran kekuningan di atas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa
disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainase. (17)

6. Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis

Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal


antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33%
diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus β hemolitikus pada swab
tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil
ini mengindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesis
terjadinya penyakit glomerulonefritis.(14)

XII. PROGNOSIS

Perkembangan medis membuat komplikasi yang menyangkut tonsilitis


 berupa kematian sangatlah jarang. Tonsilitis dapat sembuh dalam beberapa
hari dengan istirahat dan pengobatan suportif. Penanganan gejala-gejala
yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila
antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antiviotik tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila
 penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-
gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami
infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada
telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi
sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia. (17)

29
XIII. KESIMPULAN

Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di fosa tonsil pada
kedua sudut orofaring. Tonsilitis atau yang lebih sering dikenal dengan
amandel adalah peradagan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer.

Tonsilitis akut merupakan suatu infeksi pada tonsil yang ditandai


nyeri tenggorok, nyeri menelan, panas, dan malaise. Pemeriksaan fisik
dapat ditemukan pembesaran tonsil, eritema dan eksudat pada permukaan
tonsil, kadang ditemukan adanya limadenopati servikal.

Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat


infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat
hiperplasia parenkim obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan
tonsil yang relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis. Tonsilitis
rekuren merupakan peradangan pada tonsil yang ditandai gejala episode
tonsilitis akut pada saat pasien datang dimana ada riwayat penyembuhan
lengkap diantara episode akut tersebut.

Tonsilitis akut maupun kronis merupakan permasalahan yang sering


dijumpai pada praktek dokter maupun pelayanan kesehatan lainnya.
Penyebab tonsillitis akibat infeksi. Adapun infeksi terbanyak dari berbagai
literatur dikatakan bahwa Streptococcus β haemolyticus group A. Pemilihan
antibiotik dalam penatalaksanaan tonsillitis perlu memperhatikan bakteri
 penyebab sesuai dengan bukti empiris yang ada. Hal ini akan mengurangi
resistensi bakteri terhadap antibiotik. Kultur pada tonsillitis diambil dari
swab permukaan tonsil dan inti tonsil. Terdapat perbedaan hasil kultur
 bakteri yang berasal dari permukaan tonsil demgan inti tonsil.

Penatalaksanaan untuk tonsilitis terdiri atas terapi medikamentosa dan


operatif. Pada terapi medikamentosa diterapi sesuai dengan penyebabnya.
Tindakan operatif tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang
atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.

30

Anda mungkin juga menyukai