Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

HEMATOSINUS

Oleh

Pudyastuti Rachyanti

131421160005

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN


BANDUNG
2016
2

I. ANATOMI

II.1 Anatomi Sinus Maxillaris

Sinus Maxilla merupakan sinus paranasal yang terbesar dan yang pertama berkembang.
Sinus maxilla disebut juga antrum Highmore. Struktur ini adalah pada umumnya berisi cairan
pada kelahiran. Pertumbuhan dari sinus ini adalah biphasic dengan pertumbuhan selama 0-3
tahun dan 7-12 bulan. Saat lahir sinus maxilla bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian
berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa
(Mehra dan Murad, 2004). Sinus maxillaris berbentuk piramida. Dinding anterior sinus adalah
permukaan fasial os maxilla yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah permukaan
infratemporal maxilla, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maxilla berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara
ke hiatus semilunaris melalui infundibulum ethmoid.

Gambar 1. Anatomi Sinus Maxillaris


3

Salah satu hal dalam segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maxillaris
adalah Ostium sinus maxillaris terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, selain itu drainase sinus maxillaris juga harus melalui infundibulum
yang sempit.

Vaskularisasi dan Persarafan


Dipersarafi cabang kedua n. Trigeminus yaitu n. Palatinus mayor, nasalis posterolateral
dan semua n. Alveolaris superior, yang merupakan cabang n. Infraorbitalis.
Suplai darah dari arteri maxillaris melaui arteri infraorbitalis, arteri palatina mayor,
arteri alveolaris posterosuperior dan anterosuperior.

II.2 Anatomi Maksilofasial


Secara umum tulang tengkorak/kraniofasial terbagi menjadi dua bagian yaitu
neurocranium atau tulang – tulang yang membungkus otak dan viscerocranium atau tulang –
tulang yang membentuk wajah/maksilofasial (James&Leslie, 2010)

Neurocranium dibentuk oleh:

1. Os. Frontale
2. Os. Parietale
3. Os. Temporale
4. Os. Sphenoidale
5. Os. Occipitale
6. Os. Ethmoidale
Viscerocranium dibentuk oleh:

1. Os. Maksila
2. Os. Mandibula
3. Os. Palatinum
4. Os. Nasale
5. Os. Zygomaticum
6. Os. Lacrimale
7. Concha nasalis inferior
8. Vomer
4

Neurocranium terdiri atas tulang – tulang pipih yang berhubungan satu dengan yang
lain melalui sutura – sutura. Tulang – tulang yang tebal berhubungan dengan tulang – tulang
berdinding tipis. Tulang – tulang pembentuk wajah atau viscerocranium terdiri atas tulang –
tulang yang berbentuk tonjolan dan lengkungan yang sangat rentan untuk terjadinya fraktur
jika mendapat suatu trauma. Tulang – tulang tersebut dihubungkan oleh sutura – sutura yang
juga dapat menjadi suatu garis fraktur (James & Leslie, 2010)

Gambar 2. Anatomi kraniofasial (James & Leslie, 2010)

Tulang-tulang kraniofasial terdiri atas tulang yang memiliki ketebalan berbeda. Tulang-
tulang yang tebal berhubungan dengan tulang- tulang berdinding tipis. Tulang dengan struktur
yang tebal disebut sebagai 'buttress' yang menopang/penyangga proporsi kraniofasial dalam
ukuran tinggi, lebar dan proyeksi antero-posterior. Buttress pada maksila meliputi tulang
nasomaksilaris pada medial, tulang zigomatikomaksilaris pada lateral dan tulang
pterygomaksilaris pada posterior. Ketiga buttress ini menghasilkan suatu sistem penyangga unit-
unit fungsi pada oral, nasal dan orbital.
5

Gambar 3. Buttress vertikal dan horizontal (Miloro, 2004)

Vaskularisasi dan Persarafan

Vaskularisasi daerah muka terutama berasal dari arteri karotis yang menyediakan suplai darah
ke wajah. Percabangan yang penting antara lain lingualis, fasialis, maksilaris interna dan
temporalis superficial. Sementara persarafan pada area maksilofasila terdiri dari :

1. Nervus Optalmikus
Percabangan pertama dari n. Trigeminus yang berfungsi menghantarkan rangsangan
sensorik di kulit dahi, bulu mata atas, dan konjungtiva.
2. Nervus Maksilaris
Cabang kedua daro n.trigeminus yang mempersarafi bagian sensorik belakang sisi
hidung, bulu mata bawah, pipi, dan bibir atas.
3. Nervus Mandibularis
Cabang ketiga dari n. Trigeminus yang mempersarafi bagian motorik dan sensorik otot-
otot mastifikasi, kulit dari bibir bawah, dagu, regio temporal dan bagian aurikula.
4. Nervus Fascialis
Mempersarafi semua otot-otot ekspresi wajah
5. Nervus Aurikularis Mayor
6

Cabang dari pleksus cervicalis yang mempersarafi angulus mandibula, kulit di atas
kelenjar parotis dan prosesus mastoideus.

II. Definisi Hematosinus

Hematosinus adalah suatu gejala dimana terdapatnya akumulasi darah pada sinus akibat
ketidakmampuan proses drainase darah keluar dari rongga sinus. Berdasarkan anatomi sinus
maxilla, ostium sinus maxilla terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
normalnya hanya tergantung dari gerak silia, yang mana drainase harus melalui infundibulum
yang sempit. Jika terjadi cedera pada kepala yang dapat menyebabkan fraktur maka berpotensi
terjadi robekan mukosa sinus maxillaris sesuai dengan tempat fraktur, yang mana karena
tingginya tekanan dan jumlah darah yang banyak, maka sebagian akan menjadi hemtosinus dan
sebagian dapat keluar menjadi epistaksis dan hematemesis.

III. Etiologi Hematosinus

Etiologi yang menyebabkan terjadinya hematosinus adalah fraktur maxilla dan fraktur
kompleks zygomaticus yang dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan akibat olah
raga, akibat benda tumpul dan anak peluru. Tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu
lintas. Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang
yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.

Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain:

1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya
kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
7

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan

IV. Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya, hematosinus terjadi akibat trauma yang berpotensi terjadi


fraktur maxilla dan fraktur kompleks zygoma.

IV.1. Fraktur Maxilla

Mathog menggunakan klasifikasi fraktur maksila menjadi 3, yaitu fraktur Le Fort I, II,
dan III. Klasifikasi ini berdasarkan pengamatan Le Fort bahwa fraktur-fraktur kerangka tulang
wajah memiliki pola stereotipik.

Gambar 4. Fraktur maksila

1) Fraktur maksila Le Fort I


Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian bawah antara
maksila dan palatum/arkus alveolar kompleks. Garis fraktur berjalan ke belakang
melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral atau bilateral. Kerusakan pada
fraktur Le Fort akibat arah trauma dari anteroposterior bawah yang dapat mengenai:
 Nasomaksila dan zigomatikomaksila vertikal buttress.
 Bagian bawah lamina pterigoid
 Anterolateral maksila
8

 Palatum durum
 Dasar hidung
 Septum
 Apertura piriformis

Gambar 5. Fraktur Le Fort I (Transversal)

2) Fraktur maksila Le Fort II


Fraktur Le Fort II (fraktur piramid) membentuk patahan fraktur berbentuk piramida.
Garis fraktur berjalan melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar
orbita, pinggir infraorbita, dan menyebrang ke bagian atas dari sinus maksila juga ke
arah lamina pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina. Fraktur pada lamina kribriformis
dan atap sel etmoid dapat merusak sistem lakrimalis.

Gambar 6. Fraktur Le Fort II (Piramidal)


9

3) Fraktur maksila Le Fort III


Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang paling berat, di
mana seluruh perleketan rangka wajah pada kranium terputus. Fraktur ini memisahkan
secara lengkap antara tulang dan tulang kranial. Garis fraktur berjalan melalui sutura
nasofrontal diteruskan sepanjang taut etmoid (ethmoid junction) melalui fisura orbitalis
superior melintang kearah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan sutura
tempo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif yang disebut
kelainan dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini sering menimbulkan komplikasi intra
kranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak atap sel etmoid dan lamina
kribriformis.

Gambar 7. Fraktur Le Fort III (Craniofacial dysjunction)

Gejala klinik
1. Fraktur Le Fort I
Extra Oral :
a. Pembengkakan pada muka disertai vulnus laceratum.
b. Deformitas pada muka, muka terlihat asimetris.
c. Hematoma atau ekimosis pada daerah yang terkena fraktur, kadang-kadang terdapat
infraorbital ekimosis dan subconjunctival ecchymosis.
d. Penderita tidak dapat menutup mulut karena gigi posterior rahang atas dan rahang
bawah telah kontak terlebih dahulu.
10

Intra Oral :
a. Ekimosis pada mucobucal rahang atas.
b. Vulnus laceratum, pembengkakan gingiva, kadang-kadang disertai goyangnya gigi dan
lepasnya gigi.
c. Perdarahan yang berasal dari gingiva yang luka atau gigi yang luka, gigi fraktur atau
lepas.
d. Open bite maloklusi sehingga penderita sukar mengunyah.

2. Fraktur Le Fort II
Extra Oral :
a. Pembengkakan hebat pada muka dan hidung, pada daerah tersebut terasa sakit.
b. Dari samping muka terlihat rata karena adanya deformitas hidung.
c. Bilateral circum echymosis, subconjuctival echymosis.
d. Perdarahan dari hidung yang disertai cairan cerebrospinal.
Intra Oral :
a. Mulut sukar dibuka dan rahang bawah sulit digerakkan ke depan.
b. Adanya maloklusi open bite sehingga penderita sukar mengunyah.
c. Palatum mole sering jatuh ke belakang sehingga dorsum lidah tertekan sehingga timbul
kesukaran bernafas.
d. Terdapatnya kelainan gigi berupa fraktur, avultio, luxatio.
e. Pada palpasi, seluruh bagian rahang atas dapat digerakkan, pada bagian hidung terasa
adanya step atau bagian yang tajam dan terasa sakit.

3. Fraktur Le Fort III


Extra Oral :
a. Pembengkakan hebat pada muka dan hidung.
b. Perdarahan pada palatum, faring, sinus maxillaries, hidung, dan telinga.
c. Terdapat bilateral circum echymosis dan subconjuctival echymosis.
d. Pergerakan bola mata terbatas dan terdapat kelainan N.opticus dan saraf motorik dari
mata yang menyebabkan diplopia, kebutaan dan paralisis bola mata yang remporer.
e. Deformitas hidung sehingga mata terlihat rata.
f. Adanya cerebrospinal rinorhea dan umumnya bercampur darah.
g. Paralisis N. Fasialis yang sifatnya temporer atau permanen yang menyebabkan Bell’s
Palsy.
11

Intra Oral :
a. Mulut terbuka lebih lebar karena keadaan open bite yang berat.
b. Rahang atas dapat lebih mudah digerakkan.
c. Perdarahan pada palatum dan faring.
d. Pernafasan tersumbat karena tertekan oleh dorsum lidah.

Diagnosis
Diagnosis untuk menegakkan fraktur maksila dapat dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis
Jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan sebelum pasien tiba di IGD.
Pengetahuan tentang mekanisme cedera memungkinkan dokter untuk mencurigai
cedera yang terkait selain cedera primer. Waktu diantara cedera atau penemuan korban
dan inisiasi pengobatan merupakan informasi yang amat berharga yang mempengaruhi
resusitasi pasien.
Mendapatkan riwayat yang adekuat dari pasien trauma maksilofasial adalah sulit,
karena biasanya mereka tidak mampu merespon dengan baik. Keadaan tidak sadar
(koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering terjadi dalam
menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan adalah
keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi, atau pekerja pada unit gawat
darurat. Penting dicatat mengenai tanggal, waktu, tempat kejadian, dan peristiwa yang
khusus. Apabila cedera disebabkan karena kecelakaan mobil, apakah korban bertindak
sebagai pengemudi atau penumpang, apakah ia memakai sabuk pengaman yang putus?
Apabila pasien merupakan korban kejahatan, apakah digunakan senjata tertentu?
Apakah pasien jatuh atau tidak sadar. Kondisi medis resiko tinggi, alergi, dan tanggal
imunisasi tetanus juga harus dicatat. Penting juga dicatat ada tidaknya tanda-tanda
kecanduan alkohol dan obat-obatan, karena tingkat kesadaran dipengaruhi oleh obat-
obatan tersebut. Informasi mengenai waktu makan dan minum yang terakhir sangat
penting apabila akan dilakukan anestesi umum.

Menurut Hupp dkk (2008), langkah pertama pada setiap proses diagnostik adalah
memperoleh sebuah riwayat trauma yang akurat. Riwayat trauma yang akurat
sebaiknya diperoleh dari pasien, yang meliputi informasi tentang who, when, where,
12

and how. Operator harus menanyakan pertanyaan-pernyataan kepada pasien, orangtua


pasien, atau seseorang yang menyertainya, antara lain :

a. Siapa pasien tersebut? Jawabannya meliputi nama pasien, umur, alamat, nomor
telepon, dan data demografi lainnya.
b. Kapan trauma itu terjadi? Pertanyaan ini merupakan salahsatu pertanyaan
penting karena beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa semakin cepat
gigi avulsi dapat direposisi, maka semakin baik prognosisnya. Sama halnya
dengan hasil yang diperoleh dari perawatan fraktur alveolar yang disebabkan
oleh penanganan yang terlambat.
c. Dimana trauma itu terjadi? Pertanyaan ini penting karena kemungkinan terdapat
kontaminasi bakteri atau kimia.
d. Bagaimana trauma itu terjadi? Trauma yang alami dapat memberikan perkiraan
tentang hasil cedera jaringan akan seperti apa nantinya. Sebagai contoh,
penumpang mobil yang terlempar ke depan dashboard dengan kekuatan besar,
selain dapat merusak beberapa gigi juga dapat menyebabkan cedera leher yang
tersembunyi.
e. Perawatan apa yang telah diberikan sejak trauma terjadi (bila ada)? Dari
pertanyaan ini didapatkan informasi mengenai kondisi awal dari daerah cedera.
Seperti pertanyaan, bagaimana gigi yang avulsi disimpan sebelum diberikan
kepada dokter gigi?
f. Apakah ditemukan adanya gigi atau serpihan gigi ditempat kejadian trauma?
Sebelum diagnosis dan rencana perawatan ditentukan, harus terlebih dahulu
diketahui jumlah gigi pasien sebelum trauma terjadi. Jika selama pemeriksaan
klinis ditemukan adanya gigi atau mahkota gigi yang hilang dan tidak dapat
diperkirakan apakah gigi atau mahkota gigi tersebut hilang di tempat kejadian,
maka diperlukan pemeriksaan radiografi pada jaringan lunak sekitar mulut,
dada, dan regio perut untuk memastikan ada atau tidaknya gigi atau mahkota
gigi tersebut di dalam jaringan.
13

Menunjukkan terjadinya pergeseran gigi molar ke dalam sinus maksilaris


akibat dari fraktur maksila

2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi: Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema, dan
hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan belakang
mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada pergigian posterior. Palpasi: Palpasi
harus dilakukan secara serentak (kanan dan kiri bersama-sama), seksama, dan
sistematis. Pemeriksa tanpa gangguan kesadaran dapat diperiksa dalam posisi berbaring
atau duduk. Manipulasi Digital: Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara
memegang dengan kuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan keempat jari
lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala pasien tidak bergerak.
Jika maksila digerakkan maka akan terdengar suara krepitasi jika terjadi fraktur.
Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea: Cairan serebrospinal dapat mengalami
kebocoran dari fossa kranial tengah atau anterior (pneumochepalus) yang dapat dilihat
pada kanal hidung ataupun telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior
biasanya terjadi pada cedera yang parah. Hal tersebut dapat dilihat melalui
pemeriksaaan fisik dan radiologi. Maloklusi Gigi: Jika mandibula utuh, adanya
maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat ke arah fraktur maksila. Informasi tentang
kondisi gigi terutama pola oklusal gigi sebelumnya akan membantu diagnosis dengan
tanda maloklusi ini. Pada Le Fort III pola oklusal gigi masih dipertahankan, namun jika
maksila berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang dan bawah akan terjadi
maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain.
14

3. Pemeriksaan penunjang
Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis, pemeriksaan radiologi
dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pada fraktur, terdapat tanda radiologi,
yaitu tanda langsung dan tidak langsung. Tanda langsung: nonanatomic linear
lucencies, defek kortikal, fragmen tulang tumpang tindih menyebabkan "double-
density", wajah asimetris. Tanda tidak langsung: pembengkakan jaringan lunak, udara
pada periorbital atau intrakranial, cairan dalam sinus paranasal. Pemeriksaan radiologi
dapat berupa foto polos, namun CT scan merupakan pilihan untuk pemeriksaan
diagnostik. Teknik yang dipakai pada foto polos diantaranya; waters, caldwell,
submentovertex, dan lateral view. Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa yang
mungkin akan kita dapat dari foto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas
pada sinus maksila, pemisahan pada rima orbita inferior, sutura zigomatikofrontal, dan
daerah nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid.
Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur maksila
adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat digunakan untuk
mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya cairan pada sinus maksila
bilateral menimbulkan kecurigaan adanya fraktur maksila.

Gambar 8. Foto waters. Tampak adanya fraktur dan hematosinus maksilaris kiri.
15

Gambar 9. CT Scan kepala tampak fraktur pada dinding anterior sinus


maksilaris kiri

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada fraktur maksila meliputi penegakan airway, kontrol pendarahan,


penutupan luka pada jaringan lunak, dan menempatkan segmen tulang yang fraktur sesuai
dengan posisinya melalui fiksasi intermaksilari.
 Fiksasi Maksilomandibular. Teknik ini merupakan langkah pertama dalam pengobatan
fraktur maksila untuk memungkinkan restorasi hubungan oklusal yang tepat dengan
aplikasi arch bars serta kawat interdental pada arkus dental atas dan bawah. Prosedur
ini memerlukan anestesi umum yang diberikan melalui nasotracheal tube. Untuk ahli
bedah yang sudah berpengalaman dapat pula diberikan melalui oral endotracheal tube
yang ditempatkan pada gigi molar terakhir. Tracheostomy biasanya dihindari kecuali
terjadi perdarahan masif dan cedera pada kedua rahang, karena pemakaian fiksasi rigid
akan memerlukan operasi selanjutnya untuk membukannya.
 Akses Fiksasi. Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada tempat-tempat
tertentu dengan pertimbangan nilai estetika selain kemudahan untuk mencapainya.
Untuk mencapai maksila anterior dilakukan insisi pada sulkus gingivobukal, rima
16

infraorbital, lantai orbital, dan maksila atas melalui blepharoplasty (insisi subsiliari).
Daerah zigomatikofrontal dicapai melalui batas lateral insisi blepharoplasty. Untuk
daerah frontal, nasoetmoidal, orbita lateral, arkus zigoma dilakukan melalui insisi
koronal bila diperlukan.
 Stabilisasi Plat dan Sekrup. Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih disukai. Pada Le
Fort I, plat mini ditempatkan pada tiap buttress nasomaxillary dan
zygomaticomaxillary. Pada Le Fort II, fiksasi tambahan dilakukan pada nasofrontal
junction dan rima infraorbital. Pada Le Fort III, plat mini ditempatkan pada artikulasi
zigomatikofrontal untuk stabilisasi. Plat mini yang menggunakan sekrup berukuran 2
mm dipakai untuk stabilisasi buttress maksila. Ukuran yang sedemikian kecil dipakai
agar plat tidak terlihat dan teraba. Pengeboran untuk memasang sekrup dilakukan
dengan gurdi bor yang tajam dengan diameter yang tepat. Sebelumnya sekrup
didinginkan untuk menghindari terjadinya nekrosis dermal tulang serta dilakukan
dengan kecepatan pengeboran yang rendah. Fiksasi maksilomandibular dengan traksi
elastis saja dapat dilakukan pada fraktur Le Fort tanpa mobilitas. Namun, apabila dalam
beberapa hari oklusi tidak membaik, maka dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi
internal.
 Cangkok Tulang Primer. Tulang yang rusak parah atau hilang saat fraktur harus diganti
saat rekonstruksi awal. Bila gap yang terbentuk lebih dari 5 mm maka harus digantikan
dengan cangkok tulang. Cangkok tulang diambil dari kranium karena aksesibilitasnya
(terutama jika diakukan insisi koronal), morbiditas tempat donor diambil minimal, dan
memiliki densitas kortikal tinggi dengan volum yang berlimpah. Pemasangan
cangkokan juga dilakukan dengan plat mini dan sekrup. Penggantian defek dinding
antral lebih dari 1.5 cm bertujuan untuk mencegah prolaps jaringan lunak dan kelainan
pada kontur pipi.
 Pelepasan Fiksasi Maksilomandibular. Setelah reduksi dan fiksasi semua fraktur
dilakukan, fiksasi maksilomandibular dilepaskan, oklusi diperiksa kembali. Apabila
terjadi gangguan oklusi pada saat itu, berarti fiksasi rigid harus dilepas, MMF dipasang
kembali, reduksi dan fiksasi diulang.
 Resuspensi jaringan lunak. Pada saat menutup luka, jaringan lunak yang telah terpisah
dari rangka dibawahnya ditempelkan kembali.
 Fraktur Sagital dan Alveolar Maksila. Pada fraktur ini dapat terjadi rotasi pada segmen
alveolar denta, dan merubah lebar wajah. Sebagian besar terjadi mendekati garis tengah
17

pada palatum dan keluar di anterior diantara gigi-gigi kuspid. Fraktur sagital dan juga
tuberositi dapat distabilkan setelah fiksasi maksilomandibular dengan fiksasi sekrup
dan plat pada tiap buttress nasomaksilari dan zigomatikomaksila.
 Perawatan Postoperatif Fraktur Maksila. Manajemen paska operasi terdiri dari
perawatan secara umum pada pasien seperti kebesihan gigi dan mulut, nutrisi yang
cukup, dan antibiotik selama periode perioperasi.

Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa perdarahan ekstensif serta gangguan
pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan pembengkakan jaringan lunak.
Infeksi pada luka maksilari lebih jarang dibandingkan pada luka fraktur mandibula. Padahal
luka terkontaminasi saat tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur.
Infeksi akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat obstruksi
sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga
terjadi rinorea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi akibat perdarahan
dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir dapat berupa j

Prognosis
Fiksasi intermaksilari merupakan pengobatan paling sederhana dan salah satu yang
paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan sesegera mungkin setelah
terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah akibat fraktur dapat kita eliminasi.
Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat membatasi pergeseran wajah bagian tengah
menuju ke bawah dan belakang, sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari.
Sedangkan fraktur yang baru akan ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah
mengalami penyembuhan secara parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full open
reduction, bahkan kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi.

IV.2. Fraktur Zygomaticomaxillary Complex

ZMC memegang peranan penting dalam struktur, fungsi, dan keindahan penampilan
pada rangka wajah. ZMC membentuk kontur pipi normal dan memisahkan isi rongga orbita
dari fossa temporal dan sinus maxilaris, juga mempunyai peranan dalam penglihatan dan
pengunyahan. Zygomatic arch adalah tempat insersio otot masseter serta melindungi otot
temporalis dan processus coronoid.
18

1-5, Temporal, frontal, maxillary, orbital, and infraorbital processes of zygoma; 6. frontal bone; 7, maxillary bone; 8,
temporal bone; 9, greater wing of sphenoid bone; 10, zygomatic process of temporal bone; 11, zygomatic temporal suture;
12, zygomatic process of maxilla; 13, zygomatic maxillary suture; 14, orbital surface of maxilla; 15, infraorbital foramen.

ZMC terdiri dari 4 struktur pendukung (buttress), yaitu :

1. Zygomaticomaxillary buttress
2. Frontozygomatic buttress
3. Infraorbital buttress
4. Zygomatic arch buttress

ZMC mempunyai 4 perlekatan pada tengkorak, yaitu :

1. Sutura zygomaticofrontal (perlekatan daerah superior pada os frontale)


2. Sutura zygomaticomaxillary (perlekatan daerah medial pada maksila)
3. Sutura Zygomaticotemporal (perlekatan daerah lateral pada os temporal)
4. Sutura Zygomaticosphenoidal (perlekatan pada sayap terbesar os sphenoid)

Fraktur ZMC juga dikenal sebagai fraktur tetrapod dan merupakan merupakan fraktur fasial
yang paling sering terjadi. Tingginya insiden dari fraktur ZMC berhubungan dengan lokasi
zigoma yang lebih menonjol dan berstruktur konveks. Predileksi terutama pada laki-laki,
dengan perbandingan 4:1 dengan perempuan dan memuncak pada usia 20-30 tahun.

Fraktur ZMC terdiri dari :

 fraktur stable after elevation:


19

(a) hanya arkus (pergeseran ke medial),


(b) rotasi pada sumbu vertikal, bisa ke medial atau ke lateral.
 Fraktur unstable after elevation:
(a) hanya arkus (pergeseran ke medial);
(b) rotasi pada sumbu vertikal, medial atau lateral;
(c) dislokasi en loc, inferior, medial, posterior, atau lateral;
(d) comminuted fracture

Patofisiologi

Fraktur ZMC biasanya melibatkan dinding bawah orbita tepat diatas nervus alveolaris
inferior, sutura zigomatikofrontal, sepanjang arkus pada sutura zigomatikotemporal, dinding
lateral zigomatikomaksila, dan sutura zigomatikosplenoid yang terletak di dinding lateral
orbita, sedangkan dinding medial orbita tetap utuh.2 Bilateral fraktur zigoma jarang terjadi,
hanya sekitar 4 % dari 2067 kasus yang diteliti oleh Ellis dkk.
20

Impingement of temporalprocess of zygoma on coronoid process of mandible as result of depressed zygomatic complex
fracture B and C. Downward displacement of frontal process of zygoma and its attached lateral palpebral ligament
with separation of zygomaticofrontal suture. Lateral canthus of eyelid and eyeball are depressed. On upward gaze.
involved eyeball remains fixed due to incarceration of inferior rectus and inferior oblique muscles between bony fracture
fragments of orbital floor. D, Fractures of infraorbital process, floor of orbit, and lateral maxillary sinus involving
infraorbital canal, infraorbital foramen, and nerve

Diagnosis

Diagnosa dari fraktur zigoma didasarkan pada pemeriksaan klinis dan pemeriksaan
penunjang. Riwayat trauma pada wajah dapat dijadikan informasi kemungkinan adanya fraktur
pada kompleks zigomatikus selain tanda-tanda klinis. Tetapi pemeriksaan klinis seringkali sulit
dilakukan karena adanya penurunan kesadaran, oedem dan kontusio jaringan lunak dari pasien
yang dapat mengaburkan pemeriksaan klinis, dan pula tidak ada indikator yang sensitif
terhadap adanya fraktur zigoma.

Dari anamnesis dapat ditanyakan kronologis kejadian trauma, arah dan kekuatan dari
trauma terhadap pasien maupun saksi mata. Trauma dari arah lateral sering mengakibatkan
fraktur arkus zigoma terisolasi atau fraktur zigoma komplek yang terdislokasi inferomedial.
Trauma dari arah frontal sering mengakibatkan fraktur yang terdislokasi posterior maupun
inferior.

Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan dari arah
frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan simetri dan ketinggian pupil yang
merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita dan aspek lateral orbita, adanya
21

ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva, abnormal sensitivitas nervus, diplopia dan


enoptalmus; yang merupakan gejala yang khas efek pergeseran tulang zigoma terhadap
jaringan lunak sekitarnya. Tanda yang khas dan jelas pada trauma zigoma adalah hilangnya
tonjolan prominen pada daerah zigomatikus. Selain itu hilangnya kurvatur cembung yang
normal pada daerah temporal berkaitan dengan fraktur arkus zigomatikus. Deformitas pada tepi
orbita sering terjadi jika terdapat pergeseran, terutama pada tepi orbital lateral dan infraorbita.
Ahli bedah juga meletakkan jari telunjuk dibawah margin infraorbita, sepanjang zigoma,
menekan ke dalam jaringan yang oedem untuk palpasi secara simultan dan mengurangi efek
visual dari oedem saat melakukan pemeriksaan ini.

Gejala Klinis
1. Pipi menjadi lebih rata (jika dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma).
2. Diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata.
3. Edema periorbita dan ekimosis.
4. Perdarahan subkonjungtiva.
5. Enopthtalmos (fraktur dasar orbita atau dinding orbita).
6. Ptosis.
7. Terdapatnya hipestesia atau anestesia karena kerusakan saraf infraorbitalis.
8. Terbatasnya gerakan mandibula.
9. Emfisema subkutis.
10. Epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiografis terlihat adanya kabut dan opasitas di dalam sinus maksilaris
yang terkena. Pengamatan yang lebih cermat pada dinding lateral antrum pada regio pendukung
(buttres) (basis os zygomaticum) sering menunjukkan diskontinuitas atau step. Pergeseran
yang umumnya terjadi adalah inferomedial yang mengakibatkan masuknya corpus zygoma ke
dalam sinus maksilaris dan mengakibatkan berkurangnya penonjolan malar.7
22

Gambar.(kiri) pergeseran yang biasa terjadi pada fraktur ZMC adalah ke arah inferomedial. (kanan) sesudah dilakukan
reduksi, elemen fraktur distabilisasi dengan kawat tunggal pada sutura zygomaticofrontalis.

Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan diagnosa,


mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan.4 CT scan pada potongan axial
maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma,
untuk mendapatkan pola fraktur, derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital. Secara
spesifik CT scan dapat memperlihatkan keadaan pilar dari midfasial: pilar nasomaxillary,
zygomaticomaxillary, infraorbital, zygomaticofrontal, zygomaticosphenoid, dan
zygomaticotemporal.6 Penilaian radiologis fraktur zigoma dari foto polos dapat menggunakan
foto waters, caldwel, submentovertek dan lateral. Dari foto waters dapat dilihat pergeseran pada
tepi orbita inferior, maksila, dan bodi zigoma. Foto caldwel dapat menunjukkan region
frontozigomatikus dan arkus zigomatikus. Foto submentovertek menunjukkan arkus
zigomatikus.4
23

Penatalaksanaan

Kira-kira 6% fraktur tulang zigoma tidak menunjukkan kelainan. Fraktur ZMC


biasanya memerlukan pengungkitan dan pergeseran lateral pada waktu reduksi. Fraktur dengan
pergeseran minimal dan sedang yang tidak mengakibatkan gangguan penglihatan bisa
direduksi secara pengangkatan, disertai insersi pengait tulang atau trakeal melalui kulit.

Apabila pergeseran tulang lebih parah, beberapa jalur lain bisa dipilih misalnya metode
Gilles (jalan masuk melalui kulit dengan melakukan diseksi mengikuti fascia temporalis
profundus ke aspek medial corpus zygomaticus dan arcus zygomaticus), melalui insisi pada
regio sutura zygomaticofrontalis dan peroral, baik di sebelah lateral tuberositas atau melalui
antrum.

Gillies approach to reduction of a zygomatic arch fracture

Reduksi yang memuaskan bisa disapatkan dengan cara apa saja, dan faktor kritis adalah
pengangkatan corpus zygomaticus yang mengalami pergeseran, harus memadai dan
dipertahankan. Mengisi antrum dengan menggunakan kasa yang mengandung obat melalui
jendela nasoantral, merupakan teknik yang umum digunakan.

Reduksi yang lebih akurat dengan stabilisasi segmen yang diangkat dengan pengawatan
sutural langsung atau penempatan pelat adaptasi (zygomaticofrontal) kadang lebih disukai.
Walaupun pelat memberikan fiksasi yang bersifat kaku, jaringan lunak tipis yang menutupinya
memungkinkan pelat menjadi menonjol dan teraba sehingga nantinya harus dikeluarkan.

Fraktur ZMC tertentu direduksi dengan insersi pengait (hook) tulang di bawah corpus
zygomaticus secara perkutan.
24

Intraoperative photograph of a titanium plating for rigid fixation of a zygomatic-maxillary buttress fracture in a complex
maxillary fracture.

Optimalnya fraktur ditangani sebelum oedem pada jaringan muncul, tetapi pada praktek
di lapangan hal ini sangat sulit. Keputusan untuk penanganan tidak perlu dilakukan terburu-
buru karena fraktur zigoma bukan merupakan keadaan yang darurat. Penundaan dapat
dilakukan beberapa hari sampai beberapa minggu sampai oedem mereda dan penanganan
fraktur dapat lebih mudah.

Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang, segi estetika
dan defisit fungsional. Perawatan fraktur zigoma bervariasi dari tidak ada intervensi dan
observasi meredanya oedem, disfungsi otot ekstraokular dan parestesi hingga reduksi terbuka
dan fiksasi interna. Intervensi tidak selalu diperlukan karena banyak fraktur yang tidak
mengalami pergeseran atau mengalami pergeseran minimal. Penelitian menunjukkan bahwa
25

antara 9-50% dari fraktur zigoma tidak membutuhkan perawatan operatif. Jika intervensi
diperlukan, perawatan yang tepat harus diberikan seperti fraktur lain yang mengalami
pergeseran yang membutuhkan reduksi dan alat fiksasi.4,6

Trauma dari depan yang langsung merusak pipi (tulang zigoma) menyebabkan
perubahan tempat dari tulang zigoma tersebut kearah posterior, kearah medial atau kearah
lateral. Fraktur ini tidak merubah posisi dari rima orbita inferior kearah atas atau kearah bawah.
Perubahan posisi dari orbita tersebut menyebabkan gangguan pada bola mata. Reduksi dari
fraktur zigoma ini difiksasi dengan kawat baja atau mini plate.

Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma (oleh Keen dan Goldthwaite)
Pada cara ini reduksi fraktur dilakukan melalui sulkus gingivobukalis. Dibuat sayatan
kecil pada mukosa bukal dibelakang tuberositas maksila. Elevator melengkung dimasukkan
dibelakang tuberositas tersebut dan dengan sedikit tekanan tulang zigoma yang fraktur
dikembalikan pada tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah dikerjakan dan memberikan
hasil yang baik.

Reduksi terbuka dari tulang zigoma


Tulang zigoma yang patah tidak bisa diikat dengan kawat baja dari Kirschner harus
ditanggulangi dengan cara reduksi terbuka dengan menggunakan kawat atau mini plate.
Laserasi yang timbul diatas zigoma dapat dipakai sebagai marka untuk melakukan insisi
permulaan pada reduksi terbuka tersebut. Adanya fraktur pada rima orbita inferior, dasar
orbita, dapat direkonstruksi dengan melakukan insisi dibawah palpebra inferior untuk
mencapai fraktur disekitar tulang orbita tersebut. Tindakan ini harus dikerjakan hati-hati
karena dapat merusak bola mata.
26

DAFTAR PUSTAKA

Boeis. Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC; 1997. p 519-20.

Hiat James L & Gartner Leslie. Textbook of Head and Neck Anatomy. 4th edition. Lippincot
William & Wilkins. 2010.

Joung de W, Sjamsuhidrajat R, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta: EGC: 2000. p 417-9.

Mehra, P. And Murad, H., 2004. Maxillary sinus disease of odontogenic origin.
Otolaryngologic Clinics of North America. Vol 37.347-364.

Michael Miloro. Peterson’s Principles of Oral and Maxillofacial Sugery. BC Decker Inc.
Hamilton. London. 2004.

Maxilla Fractur (Lefort Fractures). [Available from September, 19, 2015


http://www.fprmed.com/Pages/Trauma/Maxilla_Fracture.html]

Pramesthi E, Yusuf M. Penatalaksanaan fraktur maksilofasial dengan menggunaan mini plat.


Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan
Leher.Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. RSUD dr. Soetomo Surabaya.

Snell SR. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta. EGC 2006. p 470-1.

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Balai Penerbit FKUI. Fakultas
Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta: 2007. p 204-5.

Suardi NP, Jaya AA, Maliawan S, Kawiyana S. Fraktur pada tulang maksila. SMF/Bagian Ilmu
Bedah RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

UMW. Department Of Radiology. Facial and mandibular fracture. [Available from September,
24, 2015. http://www.rad.washington.edu/academics/academic-sections/msk/teaching-
materials/online-musculoskeletal-radiology-book/facial-and-mandibular-fractures]

Anda mungkin juga menyukai