Anda di halaman 1dari 24

Bab 33: Rinosinusitis Akut trauma, paparan terhadap obat-obatan atau

senyawa kimia beracun, serta perubahan


Abstrak akibat pembedahan.
Bab ini mendiskusikan rinosinusitis Tabel 33.1 Faktor Predisposisi dan
secara mendalam, diawali dengan diskusi Kontributor Terjadinya Rinosinusitis
terkait definisi rinosinusitis beserta Faktor Pejamu
epidemiologi dan dampak ekonominya, serta Kondisi kongenital
patofisiologi dari rinosinusitis akut akibat Contoh: cystic fibrosis, immotile cilia
virus dan juga bakteri. Selanjutnya syndrome
dilakukan diskusi terkait komponen- Kondisi alergi atau imun
komponen yang perlu ditanyakan pada Contoh: Alergi terhadap lingkungan, HIV,
anamnesis, temuan-temuan pada agen imunosupresif (misal kemoterapi),
pemeriksaan fisik, serta indikasi pencitraan transplan sumsum tulang
radiologi pada keadaan rinosinusitis akut. Abnormalitas anatomis pada sinus paranasal
Kemudian dilakukan pembahasan terkaot Contoh: Middle turbinate concha bullosa,
modalitas manajemen dan juga komplikasi obstructing frontal recess cells, deviasi
dari rinosinusitis akut. septum nasal yang berat
Kondisi inflamasi sistemik
Sinusitis didefinisikan sebagai Contoh: Wegener granulomatosus,
inflamasi dari sinus paranasal, sementara sarkoidosis
rinitis didefinisikan sebagai inflamasi di Adanya neoplasma
dalam rongga hidung. Pada tahun 1996, Faktor Lingkungan
Task Force on Rhinosinusitis yang Agen infeksius
disponsori oleh the American Academy of Contoh: virus, bakteri patogen
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. the Trauma
American Rhinologic Society, serta the Contoh: Edema mukosa dan inflamasi,
American Academy of Otolaryngologic perubahan anatomi tulang
Allergy merekomendasikan untu mengganti Paparan terahap zat iritatif
Iatrogenik
istilah sinusitis menjadi rinosinusitis.
Contoh: Medikasi, pembedahan
Rekomendasi ini didasarkan akibat fakta
bahwa rinitis umumnya mendahului
sinusitis, serta kejadian sinusitis tanpa rinitis Pada pasien rinosinusitis tertentu,
sangatlah jarang. beberapa faktor pejamu dan faktor
Terdapat beberapa faktor potensial lingkungan dapat hadir secara bersamaan.
yang dianggap berkontribusi dalam Misalnya, pasien dengan cystic fibrosis yang
terjadinya rinosinusitis, termasuk diantarnya telah mengalami perubahan anatomis akibat
faktor pejamu dan faktor lingkungan (tabel operasi sebelumnya dapat datang dengan
33.1). Contoh karakteristik pejamu yang keluhan berupa infeksi bakteri akut pada
berkontribusi terhadap terjadinya rongga sinonasal. Oleh karena itu,
rinosinusitis termasuk keadaan kongenital mendefinisikan rinosinusitis berdasarkan
seperti cystic fibrosis atau immotile cilia etiologi menjadi sangat rumit. Oleh karena
syndome, keadaan alergi atau perubahan hal inilah, the Task Force on Rhinosinusitis
fungsi imun, kelainan anatomis, penyakit meminta untuk mengklasifikasikan penyakit
sistemik, serta mekanisme neural. Beberapa ini berdasarkan faktor temporal (tabel 33.2).
faktor eksternal yang dapat menyebabkan Rinosinusitis akut didefinisikan dengan
rinosinusitis yaitu agen-agen infeksius, adanya keadaan sakit hingga 4 minggu.
Diagnosis rinosinusitis kronik dapat
ditegakkan jika kondisi tersebut telah dan prevalensi yang meningkat. Berdasarkan
berlangsung selama minimal 3 bulan. Istilah Summary Health Statistics for U.S. Adults
rinosinusitis subakut digunakan ketika National Health Interview Survey tahun
durasi penyakit adalah di antara 4 dan 12 2009, lebih dari 29.3 juta dewasa di Amerika
minggu. Ketika terdapat >4 episode Serikat terdiagnosis menderita rinosinusitis
rinosinusitis bakterial akut (ABRS) dalam 1 oleh tenaga kesehatan. Fakta ini
tahun dengan adanya resolusi gejala di menunjukkan bahwa rinosinusitis terjadi
antara episode, maka diagnosisnya menjadi pada sekitar 12.6% populasi Amerika
rinosinusitis akut rekuren. Serikat. Laporan sebelumnya menyatakan
bahwa prevalensi rinosinusitis hampir dua
Tabel 33.2 Klasifikasi Temporal Rinosinusitis
kali lipat lebih tinggi pada perempuan
Istilah Durasi Gejala
Rinosinusitis akut Hingga 4 minggu
(20.9%) dibandingkan pada laki-laki
Rinosinusitis subakut 4 minggu 12 minggu (11.6%). Faktor demografi lainnya, seperti
Rinosinusitis kronis Lebih 12 minggu faktor geografis dan suku bangsa juga dapat
Rinosinusitis akut > 4 episode akut dalam 1 memiliki peran. Frekuensi rinosinusitis pada
rekuren tahun dengan resolusi umumnya lebih rendah pada Amerika
gejala diantara episode Serikat bagian barat 12.1%) dibandingkan
dengan bagian selatan (19.5%). Ras kulit
putih non-hispanik (17.5%) dan ras kulit
The Task Force on Rhinosinusitis hitam non-hispanik (15.7%) memiliki
mengkaji ulang definisi, diagnosis, prevalensi sekitar dua kali lipat
manajemen, dan hasil analisis dari dibandingkan ras hispanik (8.6%). Meskipun
rinosinusitis dengan tujuan untuk survei sebelumnya belum menunjukkan
memfasilitasi penanganan pasien serta adanya relevansi antara status kemiskinan
penelitian. Usaha ini dilanjutkan oleh dengan frekuensi rinosinusitis, variasi
asosiasi lain pada tahun 2004 (disponsori regional dalam frekuensi rinosinusitis dapat
oleh the American Academy of disebabkan karena adanya perbedaan
Otolaryngology-Head and Neck Surgery, the kualitas udara, termasuk adanya polutan dan
American Rhinologic Society, the American juga alergen pada udara.
Academy of Otolaryngologic Allergy, the
American Academy of Allergy; Asthma, dan
Immunology; and the College of Allergy;
Beban Ekonomi pada Rinosinusitis Akut
Asthma, and Immunology) serta pada tahun
2007 (disponsori oleh the Academy of Dampak ekonomi dari rinosinusitis
Otolaryngology-Head and Neck Surgery cukup mengejutkan. Referensi dalam topik
Foundation). Tujuan bab ini adalah untuk ini terbatas, namun terdapat investigasi
menggunakan sumber-sumber tersebut berdasarkan National Health Interview
sebagai tambahan pada literatur terkini Surveys pada tahun 1996 dan 1998 yang
untuk mengkaji ulang rinosinusitis akut, dipublikasikan pada tahun 1999 dan 2004.
termasuk diantaranya epidemiologi, Direct annual health care cost pada tahun
patofisiologi, presentasi klinis, peranan 1996 adalah sebesar $5.8 miliar, dengan
pencitraan, rekomendasi manajemen terkini, 30% digunakan untuk menangani pasien
serta komplikasi. anak dengan usia < 12 tahun. Hampir 90%
pengeluaran diasosiasikan dengan adanya
Epidemiologi kunjungan ambulatori atau emergensi. Pada
Rinosinusitis merupakan masalah tahun 1996, terdapat 16.7 juta penanganan
kesehatan yang signifikan dengan insidensi primer sinusitis pada rawat jalan, rumah
sakit, serta instalasi gawat darurat.
Mayoritas pasien rawat jalan ditangan oleh
dokter layanan primer (64.9% oleh dokter
kedokteran keluarga dan penyakit dalam,
serta 15.4% oleh dokter anak). Secara
menyeluruh, kunjungan rawat jalan pada
kasus sinusitis sebagai diagnosis primer
menyumbang 36% pengeluaran medis total
pada tahun 1996, dan obat-obatan yang
digunakan dalam mengatasi kondisi ini
menambah tambahan sebesar 17%. Pada
tahun 1992, warga Amerika menghabbiskan
$200 juta pada obat-obatan dengan resep
serta > $2 miliar pada obat-obatan bebas
untuk menangani sinusitis. The Integrated
Health Interview Series for 1997 to 2006
menunjukkan bahwa 55.8% pasien dengan
sinusitis menghabiskan biaya > $500 per
tahun untuk penanganan kesehatan, dan
jumlah yang lebih tinggi digunakan oleh
pasien dengan penyakit kronis seperti
bronkitis kronis, alergi musim semi (hay
fever), penyakit ulkus, dan asma.
Indirect costs untuk rinosinusitis,
sesuai perkiraan, tidak signifikan dan juga
meningkat. Jumlah hari keterbatasan
kegiatan (restricted activity days) akibat
rinosinusitis meningkat dari sekitar 50 juta
per tahun pada tahun 1986 hingga 1988,
menjadi 61.2 juta per tahun pada tahun 1997
hingga 2006. Berdasarkan estimasi
produktivitas hari kerja tahun 2007, fakta ini
ditranslasikan menjadi lost opportunity cost
sebesar $18.3 miliar. Berdasarkan data
survei tahun 2006, pasien dengan sinusitis
tidak masuk kerja sebanyak 5.67 hari per
tahun, sementara pasien tanpa sinusitis tidak
masuk kerja sebanyak 3.74 hari per tahun.
Efek rinosinusitis pada kualitas kehidupan
serta gangguan fungsi keseharian lebih sulit
untuk dikuantitatifkan namun tetap relevan
dalam lingkup indirect cost, dimana pasien
dengan rinosinusitis mengalami gangguan
kualitas dan fungsi akibat gejala fisik yang
signifikan.
Patofisiologi dan Mikrobiologi Rinosinusitis Viral Akut
Untuk memahami patofisiologi Mayoritas rinosinusitis akut
rinosinusitis secara menyeluruh, seseorang memiliki etiologi akibat infeksi (tabel 33.3).
harus memahami konsep inflamasi dan Patogen yang paling sering adalah virus.
infeksi. Inflamasi merupakan suatu kaskade Penelitian pungsi sinus pada pasien
yang terdiri dari proses-proses serta sinyal- rinosinusitis akut community acquired
sinyal dimana mediator (seperti leukosit) menunjukkan bahwa virus yang paling
dapt mengeliminasi agen asing dan sering teridentifikasi adalah rhinovirus 15%,
memperbaiki kerusakan jaringan. Inflamasi influenza virus 5%, parainfluenza virus 3%,
akut ditandai dengan adanya eksudasi cairan serta adenovirus 2%. Patogenesis infeksi
serta protein plasma dari pembuluh darah yang sering (oleh rinovirus) telah dijabarkan
dengan emigrasi leukosit, terutama neutrofil, pada akhir abad ke-20 oleh kelompok
dimana sel-sel ini berkumpul untuk Gwaltney dari University of Virginia.
melawan agen yang mengganggu. Inflamasi Rinovirus masuk ke dalam tubuh melalui
akut dapat diidentifikasi dalam hitungan hidung dengan cara inokulasi langsung atau
menit hingga jam karena adanyanya suatu melalui partikel airborne berukuran besar.
pencetus atau suatu gangguan. Inflamasi Partikel virus mengalir pada aliran mukus ke
kronis muncul ketika kondisi inflamasi tetap daerah adenoid, kemudian menempel pada
terjadi dalam hitungan minggu hingga bulan. reseptor khusus (rhinovirus receptor
Tanda dari inflamasi kronis adalah adanya intercellular adhesion molecule 1) pada sel
limfosit, makrofag, eosinofil, serta basofil, limfoepitel yang berada di folikel limfoid.
dan juga adanya peningkatan vaskularitas, Kemudian akan terjadi inisiasi reaksi
fibrosis, dan nekrosis jaringan. Inflamasi inflamasi, dan gejala rinosinusitis virus
subakut dideskripsikan sebagai periode akut/common acute viral rhinosinusitis
interval ketika terjadi pola inflamasi yang (AVRS) seperti nyeri tenggorokan, obstruksi
saling tumpang tindih. Infeksi didiagnosis hidung, serta rinore akan muncul dalam
secara tradisional ketika mikroorganisme beberapa jam setelah pajanan terhadap virus.
hadir di pejamu, berinteraksi secara
langsung dengan jaringan pejamu, dan Meskipun secara historis virus
bereplikasi. Hal ini menyebabkan terjadinya dianggap sebagai penyebab predominan
ekspresi penyakit pada pejamu. Infeksi terjadinya rinitis, keterlibatan sinus
bakteri ditandai dengan adanya > 1 bakteri paranasal pada keadaan klinis AVRS cukup
per high density field, yang dianggap sama sering ditemukan dan didokumentasikan
dengan setidaknya 1000 colony forming secara radiologis pada anak dan dewasa.
units/mL. Penelitian ini terutama dilakukan pada akhir
1980 dan awal 1990 ketika orang-orang
Secara histopatologis, rinosinusitis membandingkan modalitas pencitraan
akut merupakan proses dengan computed tomography (CT) dan magnetic
predominansi eksudatif. Pemeriksaan resonance imaging (MRI) yang relatif baru
spesimen jaringan menunjukkan adanya dengan modalitas pencitraan standar yaitu
infiltrat sel inflamasi yang bercampur foto ronsen polos. Abnormalitas seperti air-
dengan predominansi neutrofil. Perdarahan, fluid levels, sekresi aerosol, serta penebalan
ulkus, serta adanya bakteri ataupun jamur mukosa paling sering ditemukan pada sinus
dapat ditemukan. maksila 87%, sinus etmoid 65%, sinus
frontal 32%, serta sinus sfenoid 39%.
Temuan ini diasosiasikan dengan adanya
eksositosis mucin oleh sel goblet pada epitel dan adanya membersihkan hidung (nose-
sinus paranasal sinus ketika sel tersebut blowing) yang menyebabkan deposit bakteri
terstimulasi oleh mediator inflamasi pada pada sinus paranasal.
keadaan infeksi virus akut.
Konsep terkait transisi AVRS
menjadi ABRS sangat penting terutama
dalam membahas presentasi pasien dan juga
Rinosinusitis Bakterial Akut/Acute evaluasi yang akurat terkait progresi gejala
Bacterial Rhinosinusitis (ABRS) untuk tujuan diagnostik. Satu episode AVRS
Kemunculan klasik ABRS adalah kapapnpun dapat mengalami komplikasi
ketika pasien dengan AVRS mengalami berupa infeksi bakteri, namun membedakan
infeksi bakteri sekunder (superimposed). dua keadaan tersebut pada presentasi awal
Hanya sekitar 0.5% hingga 2.0% kasus tidak mungkin dilakukan. Kriteria
AVRS yang terkomplikasi dengan adanya diagnostik yang lebih spesifik sesuai dengan
infeksi bakteri. Namun, masih ada sektiar 20 perjalanan infeksi akan didiskusikan lebih
juta kasus ABRS yang terjadi tiap tahunnya jauh pada bagian selanjutnya dari bab ini,
di Amerika Serikat. AVRS dapat mendukung dan sangat berhubungan dengan
terjadinya ABRS dengan beberapa rekomendasi penanganan rinosinusitis akut.
mekanisme. Mukosa yang terinflamasi dan
bengkak dapat mengobstruksi ostium sinus
dan menggangu drainase mukus. Fungsi Mikrobiologi ABRS
mukosilier dan juga pemberisihan mukus
juga dipengaruhi secara langsung oleh Pengetahuan mengenai mikrobiologi
inflamasi; defisit fungsi ini diperparah yang terlibat dalam ABRS community-
dengan adanya peningkatan produksi acquired pada dewasa didasarkan pada
mukus. Adanya stasis mukus mendukung kultur mukus dari sinus maksila karena sinus
infeksi bakteri yang berkolonisasi di hidung ini merupakan sinus paranasal dengan akses
yang paling mudah. Mayoritas infeksi ABRS Rinosinusitis nosokomial memiliki
disebabkan oleh isolat bakteri tunggal, prevalensi bakteri gram negatif lebih tinggi
namun sekitar kasus disebabkan karena dibandingkan pada ABRS community-
infeksi polimikroba dan sering dijumpai acquired. Contoh organisme yang
pada kasus anak. Spesies bakteri yang paling ditemukan pada infeksi nosokomial
sering diisolasi dari sinus maksila dengan termasuk Pseudomonas aeruginosa,
ABRS tanpa komplikasi adalah Klebsiella pneumoniae, Enterobacter
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus species, Proteus mirabilis, Serratia
injluenzae, serta Moraxella catarrhalis marcescens, serta bakteri kokus gram positif
(tabel 33.3). Frekuensi relatif isolat bakteri seperti streptokokus dan stafilokokus.
pada ABRS bersifat reproduksibel (dapat Selama bertahun-tahun kami telah
diulang); S. pneumoniae diidentifikasi pada mengetahui bahwa pasien yang berisiko
20% sampai 43% kasus, H. infiuenzae pada tinggi terkena rinosinusitis nosokomial
22% sampai 35%, dan M. catarrhalis pada 2 memerlukan perawatan intensif dengan
sampai 10% dari kasus. H. influenzae yang perpanjangan waktu perawatan dan juga
diidentifikasi umumnya berupa organisme perpanjangan waktu penggunaan intubasi
nontypeable. Pada beberapa dekade terakhir endotrakeal atau tube nasogastrik. Intubasi
di abad ke-20, terdapat peningkatan yang nasotrakeal lebih berisiko untuk
sangat besar terkait prevalensi H. influenzae menyebabkan sinusitis nosokomial
yang memproduksi -lakatamase menjadi dibandingkan dengan intubasi orotrakeal.
lebih dari 50%; namun pada abad ke-21, Sinusitis nosokomial terjadi pada 25%
prevalensi telah menjadi stabil pada angka pasien yang memerlukan intubasi
sekitar 40% dari isolat. S. pneumoniae yang nasotrakeal selama > 5 hari.
resisten terhadap makrolid kini menjadi
kekhawatiran yang semakin meresahkan dan
diasosiasikan dengan peningkatan risiko Skenario Khusus Acute Fulminant
gagal terapi. Bakteri anaerob hanya Invasive Fungal Sinusitis
menyebabkan 2% sampai 6% dari kasus
ABRS, dan beberapa merupakan patogen Sinusitis invasif yang bersifat akut
gigi. Staphylococcus aureus and S. pyogenes fulminans akibat jamur ditandai dengan
memiliki peran menarik dalam ABRS. adanya penyebaran jamur secara cepat dari
Secara umum, mereka hanya menyebabkan mukosa sinonasal ke bagian orbital, jaringan
<5 % kasus, (meskipun S. aureus sering lunak, serta parenkim otak melalui invasi
dioverestimasi karena penghitungan langsung dan invasi melalui pembuluh
didasarkan pada kultur dari swab hidung, darah. Pasien yang menderita penyakit ini
bukan dari kultur sinus secara endoskopi umumnya memiliki kondisi terkait gangguan
atau dari aspirasi sinus secara langsung. S. fungsi neutrofil, misalnya keganasan
auerus dan S. pyogenes memiliki hematologi, anemia aplastik, diabetes,
kecenderungan lebih tinggi untuk AIDS, transplantasi organ, imunosupresi
menyebabkan komplikasi rinosinusitis akut, iatrogenik akibat kemoterapi. Etiologi
seperti ekstensi penyakit ke bagian tersering adalah spesies Aspergillus dan
intrakranial atau orbital. Mucormycosis. Pada populasi pasien khusus
dengan penurunan kemampuan respon imun
Skenario Khusus Mikrobiologi ABRS terhadap organisme infeksius tersebut, tanda
Nosokomial dan gejala penyakit dapat muncul secara
samar. Temuan fisik yang paling sering
ditemukan pada endoskopi sinonasal adalah
adanya perubahan mukosa hidung dan sinus rasa penuh pada telinga, nyeri telinga, dan
dimana terjadi angioinvasi oleh organisme sakit kepala.
jamur dengan hasil akhir hipoperfusi
jaringan. Diskolorisasi berwarna putih
mensugestikan adanya iskemia jaringan,
sementara diskolorisasi berwarna hitam
merupakan temuan tahap akhir yang
menunjukkan nekrosis jaringan. Penurunan
perdarahan mukosa dan juga adanya daerah-
daerah dengan sensasi anestetik pada wajah
dan rongga mulut dapat menandakan adanya
proses invasif. Lokasi kelainan mukosa yang
sering ditemukan adalah bagian turbinat
middle atau inferior, septum nasal, serta
palatum. Diagnosis baku emas untuk
penyakit ini adalah permanent section
dengan pewarnaan perak Gomori
methamine yang menunjukkan adanya
gambaran hifa pada submukosa dengan atau
tanpa invasi angiosentrik dan juga nekrosis
jaringan, dengan infiltrat inflamasi yang
minimal (gambar 33.1A-C). Karena
diagnosis segera pada kondisi ini sangat
diperlukan, diperlukan tindakan frozen
section dengan evaluasi histopatologi pada
lesi mencurigakan untuk memfasilitasi
reseksi bedah dan inisiasi terapi antijamur
secara segera. Metode potasium hidroksida-
calcofluor white merupakan teknik
diagnostik alternatif dengan hasil cepat,
dimana potasium hidroksida digunakan
untuk meluruhkan material pejamu,
sementara calcofluor white berfungsi
sebagai pencerah optik yang berikatan
dengan dinding sel pada hifa dan akan
menimbulkan luoresensi ketika dilihat
menggunakan mikroskop fluoresens.
Presentasi Klinis dan Evaluasi
Gejala terkait rinosinusitis telah
dikenali secara luas. Gejala yang sering
ditemukan yaitu obstruksi hidung, discharge
nasal, purulensi nasal, postnasal drip,
tekanan dan nyeri pada wajah, perubahan
sensasi penciuman, batuk, demam, halitosis,
kelelahan, nyeri gigi, nyeri tenggorokan,
Anamnesis Pasien yang sesuai dan membantu membedakan
ABRS dari ABRS. Laporan selanjutnya
Ketika pasien datang dengan mengganti model ini dengan konsep baru
kumpulan gejala yang konsisten dengan dan menekankan adanya tiga gejala kardinal
rinosinusitis akut, tenaga kesehatan harus yaitu: discharge hidung yang purulen,
mendokumentasikan semua gejala yang obstruksi hidung, dan/atau nyeri wajah,
relevan. Klarifikasi terkait tingkat keparahan tekanan pada wajah, atau rasa penuh pada
gejala serta perjalanan penyakit pasien wajah (tabel 33.4). Logika dibalik
sangat penting untuk menegakkan diagnosis perubahan interpretasi gejala untuk
yang akurat serta membantu menentukan diagnosis ABRS ini didasarkan pada
rencana tereapi yang sesuai. Penilaian nyeri tingginya sensitivitas dan (relatif) tingginya
pada pasien sangat disarankan. Nyeri spesifisitas indikator-indikator tersebut
merupakan satu dari tiga gejala kardinal untuk menandakan adanya ABRS, terutama
pada kriteria diagnosis ABRS, dan nyeri jika gejala tersebut terjadi selama > 10 hari.
juga merupakan alasan utama mengapa Adanya drainase nasal discharge yang
pasien mencari pertolongan. purulen, baik dari laporan pasien ataupun
Laporan konsensus oleh the Task dari hasil pemeriksaan fisik di bagian faring
Force on Rhinosinusitis pada tahun 1996 posterior atau di intranasal dekat ostium
menyatakan adanya stratifikasi gejala mayor sinus, memiliki korelasi dengan adanya
dan gejala minor untuk membantu bakteri pada aspirasi antrum. Temuan
memfasilitasi penegakkan diagnosis ABRS purulen juga memiliki korelasi dengan
adanya bukti radiografik ABRS. Obstruksi pada ABRS. Pasien dengan AVRS dapat
nasal diasosiasikan dengan pengukuran mengalami demam pada beberapa hari
objektif seperti rinomanometri atau nasal pertama, namun hal ini tidak menandakan
peak flow rate. Nyeri wajah dan nyeri gigi adanya infeksi bakteri sekunder. Namun,
juga bersifat prediktif terhadap ABRS sesuai jika pasien datang dengan 3 gejala kardinal
dengan hasil kultur dan temuan radiografi, yang tampak parah atau dengan demam
namun lokasi yang ditemukan tidak dalam 3-4 hari pertama, maka diagnosis
berkorelasi dengan lokasi spesifik sinus ABRS dapat dipertimbangkan dari awal.
yang terserang. Jika terdapat gejala yang menandakan
progresivitas (bukan lagi ABRS tanpa
Tabel 33.4 Tiga Gejala Kardinal untuk Mendiagnosis ABRS
komplikasi) meskipun durasi gejala masih
1. Nasal discharge yang purulen
2. Obstruksi nasal singkat, terapi harus segera diinisiasi secara
3. Nyeri, tekanan, atau rasa penuh pada wajah dini.
Tenaga kesehatan harus melakukan
Setelah anamnesis dari gejala secara anamnesis medis dan riwayat sosial secra
mendalam didapatkan, pemeriksa seringkali mendalam. Adanya kondisi komorbid yang
sudah dapat membedakan ABRS dengan signifikan seperti diabetes mellitus, status
AVRS atau dari rinosinusitis akut akibat imunokompromis, penyakit paru, atau
penyebab non-infeksi. Berdasarkan penyakit kongenital harus dipertimbangkan
pedoman tahun 2007, diagnosis ABRS pada saat menentukan rencana terapi.
ditegakkan ketika 3 gejala kardinal muncul Riwayat atopi ataupun rinitis alergi perenial
selama 10 hari atau lebih dari onset gejala juga harus dipertimbangkan pada saat
saluran pernapasan atas, atau jika gejala atau perencanaan terapi. Trauma sebelumnya
tanda rinosinusitis akut mengalami pada hidung atau wajah, operasi wajah, atau
perburukan dalam 10 hari setelah sempat operasi sinonasal dapat memengaruhi gejala
membaik sebelumnya (double worsening). yang dialami pasien serta perjalanan
Pada 3 hingga 4 hari pertama, AVRS tidak penyakit. Pengkajian ulang yang
dapat dibedakan dari AVRS yang mengalami menyeluruh terkait obat-obatan yang
transisi menjadi ABRS. Discharge purulen dikonsumsi pasien serta obat-obatan alergi
tidak mengindikasikan adanya bakteri pada yang dikonsumsi juga harus dilakukan
mukus, namun lebih menunjukkan adanya sebelum memberikan dekongestan atau
neutrofil sebagai penanda adanya inflamasi anestesi lokal untuk memfasilitasi
akut tanpa memandang agen etiologi. Rinore pemeriksaan dan juga sebelum meresepkan
jernih dapat mengindikasikan adanya AVRS, obat. Pemahaman tentang riwayat sosial
rinosinusitis alergi, atau penyebab pasien, termasuk paparan terhadap asap
rinosinusitis lain non-alergi seperti rinitis rokok, serta kondisi lingungan rumah dan
vasomotor. Pada hari ke-10 atau lebih, lingkungan kerja diperlukan untuk
inflamasi dan edema dari AVRS dapat masih memberikan edukasi komprehensif untuk
ada, namun kondisi secara umum pasien. Faktor-faktor ini juga menandakan
seharusnya sudah membaik. Jika gejala kemungkinan kondisi yang mendasari yang
menjadi semakin parah dalam 10 hari, maka menyebabkan pasien memiliki predisposisi
hal ini sugestif menandakan ABRS. terjadinya rinosinusitis dan ABRS.

Demam tidak termasuk dalam tanda Pemeriksaan Fisik


kardinal ABRS karena hanya memiliki Meskipun diagnosis AVRS dan
sensitivitas dan spesifisitas sebesar 50% ABRS dapat ditegakkan secara akurat
berdasarkan riwayat pasien, namun dilakukan pada pasien dengan riwayat
pemeriksaan fisik yang cermat tetap harus disfungsi paru karena adanya potensi
dilakukan. Tanda-tanda vital harus dicatat, inflamasi jalan napas bawah yang
kemudian dilakukan pemeriksaan kepala dan bersamaan dengan infeksi jalan napas
leher, dimulai dari bagian wahat. Adanya bagian atas. Pemeriksaan neurologis lengkap
bengkak, kemerahan, atau edema yang termasuk pemeriksaan syaraf kranial
terlokalisasi pada pipi ataupun adanya diindikasikan jika terdapat kekhawatiran
edema periorbital mensugestikan adanya ABRS dengan komplikasi berupa ekstensi
ABRS dengan komplikasi berupa ekstensi intrakranial.
ke jaringan lunak. Palpasi dan perkusi pada
wajah dan gigi di bagian maksila dapat
membantu untuk melokalisir nyeri. Evaluasi Endoskopi
Pemeriksaan mata termasuk penilaian
konjungtiva, pemeriksaan visus, evaluasi Kultur dari meatus tengah dibantu
fungsi otot ekstraokular, inspeksi ada dengan endoskopi memiliki korelasi kuat
tidaknya proptosis, serta funduskopi atau dengan kultus yang diambil secara langsung
pemeriksaan Tonopen jika ada indikasi. dengan cara aspirasi sinus maksila. Kultur
Pemeriksaan otoskopi dapat menunjukkan dari sekret hidung atau nasofaring tidak
adanya otitis media serosa atau otitis media merepresentasikan kultur pada sinus
akut. Rinoskopi anterior merupakan maksila. Swab secara blind dari rongga
pemeriksaan yang paling sederhana dan hidung tidak direkomendasikan untuk
paling spesifik untuk mendeteksi adanya dilakukan karena sering terkontaminasi oleh
perubahan patologis pada jalan napas bakteri normal yang berkoloni disana.
sinonasal. Hidung dievaluasi sebelum dan Kultur dengan bantuan endoskopi tidak
setelah pemberian dekongestan topikal. perlu dilakukan untuk menegakkan
Sebelum pemberian dekongestan topikal diagnosis atau terapi dari ABRS tanpa
seperti oksimetazolin atau neosinefrin, komplikasi. Seringnya, evaluasi awal pasien
dilakukan inspeksi jalan hidung anterior ABRS dilakukan oleh tenaga kesehatan
serta turbinat inferior. Setelah inspeksi, primer yang tidak terlatih dalam
kemudian hidung diberikan dekongestan, menggunakan endoskopi untuk area
barulah dapat terlihat turbinat tengah dan sinonasal, dan hal ini dapat memperburuk
dapat dilakukan inspeksi pus di bagian penanganan pasien. Peran penting endoskopi
meatus tengah, disertai juga hiperemi, adalah untuk mengkaji terapi pasien dengan
edema, serta krusta. Pembesaran turbinat, gejala kronis ataupun refrakter, dan juga
adanya polip hidung, adanya massa, serta untuk pasien yang berisiko akan segera
adanya deviasi septum hidung dapat mengalami komplikasi rinosinusitis
membatasi lingkup pemeriksaan ini. (impending) ataupun sudah mengalami
Visualisasi adanya postnasal drainage yang komplikasi rinosinusitis (existing). Indikasi
purulen pada saat pemeriksaan orofaring konsultasi endoskopi ke dokter spesialis
merupakan tanda yang sensitif dan spesifik otolaringologi adalah untuk pasien
untuk ABRS. Analisis vokal dapat simtomatik yang tidak mengalami perbaikan
menunjukkan suara dengan kualitas setelah terapi empiris, pasien dengan
hiponasal (sengau) yang disebabkan karena penyakit unilateral, pasien dengan gejala
berkurangnya resonansi akibat adnya yang parah dan sangat menggangu, pasien
berkurangnya aeration/udara pada sinus yang dicurigai mengalami komplikasi,
paranasal. Auskultasi dada penting pasien dengan riwayat operasi sinonasal,
atau pasien dengan status imunokompromis
(tabel 33.5). Endoskopi sinonasal dapat Sinar X
dilakukan dengan menggunakan endoskopi
fleksibel ataupun kaku/rigid. Endoskopi Seri foto ronsen sinus polos terdiri
fiberoptik fleksibel akan terasa lebih dari 3 posisi, yaitu posisi lateral, Caldwell
nyaman bagi pasien dan membantu akses (tampak posterior-anterior dengan derajat
yang lebih baik untuk pasien yang tidak sinar sentral sebesar 15o), dan Waters atau
dioperasi. Endoskopi sinonasal kaku akan tampak oksipitomental (garis orbitomeatal
menghasilkan kualitas gambar yang lebih berada dalam 37o derajat dari garis
superior, membantu dalam mengambil horizontal). Radiograf diambil dengan
kultur ataupun sampel jaringan jika ada pasien dalam posisi tegak karena foto polos
indikasi, serta dapat mengontrol epistaksis mendiagnosis adanya ABRS dengan adanya
jika terjadi epistaksis. Kultur dapat diambil air-fluid levels. Temuan lain dalam
dengan menggunakan swab steril atau pencitraan yang konsisten dengan ABRS
menggunakan suction yang dihubungkan adalah adanya opasifikasi sinus dan
dengan alat pemerangkap (trap device) yang penebalan mukosa. Keuntungan relatif dari
steril. foto polos sinus adalah harga yang murah,
dosis radiasi yang rendah (1.4 cGy per foto),
Tabel 33.5 Indikasi Endoskopi Sinonasal pada Rinosinusitis
danAkutkemungkinan pemeriksaan secara
Tidak ada perbaikan setelah terapi empiris portabel pada perawatan intensif. Suatu
Penyakit unilateral penelitian prospektif dengan hasil pungsi
Gejala yang berat antrum sebagai baku emas untuk diagnosis
Kecurigaan adanya komplikasi ABRS ABRS menunjukkan bahwa adanya
Pembedahan sinonasal sebelumnya
opasifikasi komplit, air-fluid levels, atau
Status imunokompromis
keduanya pada radiografi sinus maksila
memiliki sensitivitas sebesar 73% dan
Pencitraan spesifisitas 80%. Penelitian serupa yang
mengevaluasi foto polos dengan CT sebagai
Modalitas untuk pencitraan yang baku emas untuk diagnosis sinusitis maksila
dapat digunakan untuk mengevaluasi hidung akut melaporkan sensitivitas foto polos
dan sinus paranasal aalah ronsen polos/plain sebesar 67% dan spesifisitas sebesar 87%.
film radiography, CT, dan MRI (tabel 33.6). Nilai duga positif (positive predictive value)
Ultrasound pernah digunakan dalam dan negatif dari foto polos adalah sebesar
evaluasi penyakit sinus maksila, namun 82.5% dan 76.9%. Sensitifitas foto polos
sensitivitasnya rendah. Ultrasound memiliki dalam mendiagnosis sinusitis etmoid,
kapasitas terbatas dalam menggambarkan frontal, dan sfenoid adalah rendah yaitu 0
sinus paranasal secara akurat kareana sinus hingga 58.9% untuk sinus etmoid, 1.9
dikelilingi oleh tulang dan mengandung hingga 54% untuk sinus frontal, dan 0
udara. Penting untuk memahami kelebihan hingga 38% untuk sinus sfenoid. Hasil foto
serta kekurangan dari masing-masing teknik polos yang negatif tidak menyingkirkan
pencitraan agar dapat mengaplikasikannya kemungkinan sinusitis. Hingga saat ini,
dalam praktik secara cost-effective dan sebagian besar dokter sepakat bahwa foto
sesuai dengan algoritme. Informasi yang ronsen polos memiliki nilai yang terbatas
didapatkan dari suatu tes harus dalam rinosinusitis akut.
menghasilkan data yang dapat digunakan
dalam membantu penentuan keputusan
klinis.
Computed Tomography (CT)
CT dianggap sebagai baku emas evaluasi variasi anatomi. Beberapa
dalam evaluasi radiografi sinus paranasal. keterbatasan CT adalah harga yang agak
CT sinus standar tanpa kontrak dengan mahal dan juga adanya peningkatan dosis
potongan koronal 3 mm dapat memberikan radiasi (5 hingga 6 cGy) yaitu bisa mencapai
infomasi yang cukup terkait anatomi tulang, 10x dosis radiasi dari foto polos. CT
sehingga membantu memahami struktur multidetektor merupakan teknologi yang
sinus paranasal yang bersifat kompleks. memfasilitasi penurunan radiasi total pada
Temuan pada CT yang memiliki korelasi sinus karena pasien dipindai dalam satu
dengan ABRS adalah adanya opasifikasi plane, sementara gambaran triplanar
pada kavitas sinus, air-fluid levels, dan sisanya didapatkan dari rekonstruksi data
penebalan mukosa yang sedang hingga asli. Sebagai tambahan, meskipun temuan
berat. Sistem staging objektif yang paling pada CT bersifat konsisten dengan diagnosis
disepakati dalam mengevaluasi sinus ABRS, namun temuan tersebut tidak dapat
paranasal menggunakan CT adalah sistem membedakan AVRS dari ABRS. Temuan
klasifikasi Lund-Mackay yang pada CT tidak selalu berkorelasi dengan
mengkuantifikasi penyakit sinus dengan gejala lokal yang diderita pasien.
jumlah sinus dengan adanya opasifikasi
(derajat apapun) sebagai tambahan dari
Dengan menggunakan adanya air- lebih mahal. CT tetap menjadi modalitas
fluid level atau opasifikasi total suatu sinus pilihan dalam kasus adanya kecurigaan
pada CT, didapatkan nilai duga positif sinusitis dengan komplikasi, namun MRI
(positive predictive value) sebesar 90% dianggap sebagai baku emas untuk
untuk mendiagnosis ABRS jika mendiagnosis komplikasi intrakranial.
dibandingkan dengan kultur dari aspirasi
sekret sinus. Namun, penggunakan CT
dalam menegakkan diagnosis ABRS tanpa Terapi
komplikasi dianggap tidak cost-effective dan
tidak direkomendasikan secara universal. Antibiotik merupakan obat yang
Peranan CT dalam sinusitis akut pada paling sering direkomendasikan dalam
literatur bersifat sangat spesifik dan pengobatan rinosinusitis akut dengan jumlah
konsisten. CT sebaiknya hanya boleh 21% antibiotik diberikan pada pasien
dilakukan ketika ada kecurigaan komplikasi dewasa dan 9% diberikan pada pasien anak.
rinosinusitis akut atau jika ada kecurigaan Suatu penelitian menunjukkan bahwa tenaga
adanya diagnosis alternatif. Komplikasi kesehatan memesan, mensuplai,
rinosinusitis akut meliputi keterlibatan memberikan, atau meresepkan kembali
orbital, intrakranial, atau jaringan lunak. setidaknya 1 antibiotik dari 82.74%
Diagnosis alternatif nyeri wajah misalnya kunjungan pasien dengan rinosinusitis akut.
adalah neoplasma. CT juga dapat digunakan Peresepan antibiotik nyatanya dianggap
ketika pasien memiliki komorbiditas atau melebihi prediksi insidensi ABRS.
kondisi klinis yang mempredisposi pasien Penggunakan antimikroba yang sesuai pada
untuk mengalami komplikasi, misalnya ABRS memerlukan pengetahuan terkait
pasien dengan diabetes, keadaan perjalanan penyakit tanpa pengobatan dan
imunokompromis, atau riwayat trauma juga keuntungan pemberian antimikroba
ataupun operasi pada wajah. Kontras iodin dalam menentukan hasil klinis dalam
dapat membantu mengidentifikasi ekstensi beragam skenario (tabel 33.7).
ekstra sinus jika memang ada kecurigaan
yang mengarah kesana.
Manajemen Medis pada AVRS
Manajemen AVRS terfokuskan pada
Magnetic Resonance Imaging (MRI) kontrol gejala karena keadaan ini adalah
MRI yang dengan gadolinium tidak keadaan yang self-limiting, dan tidak ada
dapat menunjukkan struktur anatomi tulang bukti yang menyatakan bahwa penggunaan
sebaik CT, namun menunjukkan diferensiasi obat-obatan akan menurunkan kejadian
jaringan lunak secara sangat baik. Inflamasi ABRS. Obat-obatan analgesik dan
akibat bakteri dan virus tetap tidak bisa antipiretik akan membantu meredakan nyeri
dibedakan satu sama lain pada MRI, namun dan demam yang merupakan 2 gejala mayor
kedua hal tersebut dapat dibedakan secara yang menyebabkan pasien mencari
mudah dari konkresi jamur ataupun pertolongan. Irigasi nasal dengan cairan
neoplasma. MRI merupakan modalitas salin hipertonik membantu dalam
terbaik untuk mengetahui ekstensi penyakit meredakan gejala dan menurunkan
yang melewati sinus paranasal menuju penggunaan obat-obatan anti nyeri pada
orbital dan juga kompartemen intrakranial. AVRS. Cairan ini menipiskan mukus dan
Kekurangan dari MRI yaitu diperlukan membantu pembersihan mukosilier. Pilihan
waktu yang lebih lama dan juga harga yang obat-obatan dekongestan yaitu obat
dekongestan yang diadministrasikan secara digunakan dengan durasi > 3 hari. Terapi
sistemik ataupun topikal, namun steroid sistemik tidak menunjukkan
dekongestan topikal memiliki potensi yang efektivitas pada AVRS dan memiliki risiko
lebih tinggi sehingga meredakan gejala adanya perubahan perilaku, peningkatan
secara lebih baik. Meskipun secara teoretis selera makan, dan kenaikan berat badan
dekongestan dianggap dapat membantu meskipun diberikan dalam jangka pendek.
mengembalikan patensi ostium sinus, hal ini Steroid nasal topikal memiliki absorpsi
belum dibuktikan. Dokter harus sistemik yang minimal sehingga memiliki
menginformasikan kemungkinan terjadinya risiko efek samping sistemik yang sangat
rinitis medikamentosa jika dekongestan rendah. Bukti kegunaan steroid nasal topikal
dalam kasus AVRS masih lemah. Jika klinisi harus melihat keseluruhan gambaran
memang terdapat komponen alergi pada saat klinis, termasuk usia pasien serta
presentasi klinis, maka penggunaan steroid komorbiditas untuk menentukan rencana
nasal topikal dapat menjadi lebih benefisial. terapi.
Antihistamin merupakan kelas obat-obatan
lain yang dapat menguntungkan jika Pada kasus ABRS derajat ringan
dicurigai ada peran dari alergi. Meskipun tanpa komplikasi, antibiotik dapat ditunda
efek mengeringkan dari antihistamin dapat karena hasil randomized clinical trials
diinginkan pada beberapa skenario klinis, (RCTs) menunjukkan bahwa presentasi
namun tidak ada penelitian yang terjadinya perbaikan secara spontan pada
menunjukkan peran obat ini dalam pasien yang menerima plasebo tinggi, dan
menurunkan durasi penyakit atau dalam keuntungan dari penambahan antibiotik
menurunkan potensi konversi AVRS hanya sedikit. Pada era dimana terjadi
menjadi ABRS. Antihistamin, terutama kekhawatiran penggunaan antibiotik yang
antihistamin generasi pertama, memiliki berlebihan dan juga masalah yang mungkin
risiko mengantuk dan berefek pada perilaku. terjadi, termasuk resistensi obat dan
Efek samping ini lebih jarang ditemukan peningkatan virulensi bakteri, maka
pada antihistamin generasi kedua. Mukolitik disarankan untuk mengikuti pedoman
digunakan untuk menipiskan mukus untuk tersebut. Sebuah meta-analisis dari 13 RCT
membantu pembersihan mukosilier, dan pada tahun 2007 menunjukkan kesembuhan
penggunaan obat ini dapat menurunkan nilai klinis komplit yang spontan pada 8% pasien
gejala jika dibandingkan dengan plasebo. setelah 3-5 hari didiagnosis ABRS (95% CI,
5% hingga 14%), pada 35% pasien setelah
7-12 hari (95% CI, 24% hingga 48%), dan
pada 45% pasien setelah 14-15 hari (95%
Manajemen Medis pada ABRS CI, 23% hingga 70%). Angka perbaikan
Pada pasien yang datang dengan klinis secara spontan adalah sebesar 30%
ABRS tanpa komplikasi dengan keluhan pada hari ke-3 hingga ke-5 (95% CI, 0%
nyeri yang ringan dan demam kurang dari hingga 99%), 73% pada hari ke-7 hingga ke-
38.3 oC (101 oF) dan pada pasien yang 12 (95% CI, 56% hingga 85%), dan stabil
diyakini akan melakukan follow-up, klinisi pada hari ke-14 dan ke-15. Terapi
dapat membatasi manajemen hanya pada antimikroba tidak memiliki efek
meredakan gejala dan dapat menunda kesembuhan klinis pada hari ke-3 hingga
pemberian antibiotik hingga 7 hari setelah hari ke-5 setelah diagnosis ABRS, angka
diagnosis. Pedoman tahun 2007 kesembuhan absolut meningkat sebesar 15%
menekankan bahwa pilihan observasi ini pada hari ke-7 hingga ke-12 (95% CI, 4%
hanya dapat digunakan jika terdapat sebuah hingga 25%) dengan jumlah number needed
sistem yang memungkinkan terjadinya to treat sebanyak 7 pasien, dan tidak ada
reevaluasi untuk menilai apakah penyakit keuntungan statistik pada hari ke-14 dan ke-
tersebut tetap bertahan atau malah 15. Efek antibiotik pada perbaikan klinis
mengalami perburukan. Pemberian sangat mirip dengan efek pada angka
antibiotik dilakukan jika keadaan pasien kesembuhan. Data ini berkorelasi/sejalan
tidak membaik dalam 7 hari atau mengalami dengan pengkajian sistematik sebelumnya
perburukan kapanpun pada masa observasi. yang menunjukkan adanya perbaikan
Meskipun tingkat keparahan penyakit spontan pada 62% hingga 69% pasien
memiliki peran besar dalam menentukan setelah 7 hingga 14 hari didiagnosis ABRS,
apakah pasien dapat diobservasi atau tidak, dengan angka kesembuhan spontan 19%
hingga 39%, dan peningkatan absolut dalam terjadinya rinitis medikamentosa. Potensi
hasil akhir yang diinginkan ketika diberikan dekongestan topikal lebih superior
antibiotik sebesar 13% hingga 19%. Namun dibandingkan dengan dekongestan sistemik
tentu saja antibiotik memiliki efek samping dan telah dibuktikan dengan hasil MRI.
yang harus dipertimbangkan ketika Penelitian-penelitian telah mendukung
meresepkan antibiotik. Jumlah number penggunaan kortikosteroid topikal pada
needed to harm adalah sebesar 9 pasien, pasien dengan ABRS dengan hasil
dengan efek samping yang paling sering peningkatan kontrol gejala, namun tidak ada
berupa gangguan gastrointestinal, namun bukti yang mendukung penggunaan
juga meliputi ruam kulit, duh vagina, sakit kortikosteroid sistemik untuk penyakit ini.
kepala, pusing, dan lelah. Satu analisis Penggunaan antihistamin pada pasien ABRS
memperkirakan bahwa pada 100 pasien non-atopik tidak didukung. Bahkan, terdapat
yang menerima antibiotik untuk ABRS akan kekhawatiran bahwa efek kolinergik dapat
mengalami diare, mual muntah, atau memperparah kongesti dan memperpanjang
keduanya 15 hari (pada kasus terbaik) proses infeksi. Penggunaan antihistamin
hingga 89 hari (pada kasus terburuk) generasi ke-2 hanya diberikan pada pasien
dibandingkan dengan plasebo dengan yang memiliki komponen alergi dalam
gangguan pencernaan hanya 8.5 hari. proses perjalan penyakitnya. Meskipun
secara teoretis penggunaan mukolitik akan
Untuk meredakan gejala pada ABRS, menguntungkan pada kasus infeksi dengan
terapi yang diberikan adalah sama dengan flegm dan mukus, namun literatur tidak
pada AVRS. Meskipun seseorang dapat menemukan bukti yang mendukung
mempertimbangkan terapi adjungtif untuk penggunaan obat-obatan ini dalam kasus
ABRS berupa analgesik, antipiretik, irigasi ABRS.
salin untuk hidung, dekongestan,
kortikosteroid, antihistamin, dan mukolitik, Pasien yang datang dengan ABRS
terapi-terapi tersebut belum disetujui secara derajat sedang hingga berat ataupun pasien
spesifik oleh Food and Drug Administration dengan suhu tubuh > 38.3 oC (101 oF)
untuk digunakan pada kasus rinosinusitis dianggap memiliki penyakit derajat berat
akut. Salin hipertonik (3% hingga 5%) dan harus diobati dengan antibiotik oral
sudah menunjukkan adanya keuntungan sejak awal. Idealnya, antibiotik yang
yang cukup pada kasus ABRS yaitu dengan digunakan harus efektif, cost-effective, dan
adanya penurunan gejala serta penurunan memiliki efek samping yang minimal.
penggunaan obat-obatan. Jika dibandingkan Amoksisilin merupakan antibiotik lini
dengan salin isotonik, penggunaan salin pertama yang direkomendasikan untuk
hipertonik dalam irigasi sinonasal memiliki semua pasien. Amoksisilin bersifat aman,
efek anti-inflamasi yang lebih superior serta murah, efektif, dan memiliki spektrum
memiliki kemampuan untuk menipiskan mikrobiologis yang sempit. Meta-analisis
mukus sehingga membantu pembersihan telah mengkonfirmasi bahwa pengobatan
mukosilier (meskipun isu ini masih tetap dengan amoksisilin menurunkan durasi dari
kontroversial). Penggunaan dekongestan gejala. Perbandingan durasi pemberian
topikal direkomendasikan dalam manajemen antibiotik selama 5 dan 10 hari tidak
ABRS karena memberikan perbaikan dalam menunjukkan adanya perbedaan dalam
hasil akhir dan meredakan kongesti pada resolusi gejala, namun pemberian dalam
mukosa sinonasal sesuai hasil MRI dari durasi yang lebih panjang diasosiasikan
penelitian-penelitian, namun harus diingat dengan peningkatan efek samping. Alternatif
bahwa dekongestan topikal memiliki risiko yang dianjurkan untuk pasien dengan alergi
penisilin adalah trimetoprim- kelompok eritromisin, linkosamid, dan
sulfametoksazol atau antibiotik makrolid. makrolid. Antibiotik yang tergabung dalam
Penting untuk diingat bahwa dalam kelompok tersebut diresepkan pada 24.32%
peresepan antibiotik dengan dosis 1x/hari kunjungan kasus ABRS, dan jumlah
dalam jangka pendek akan memberikan peresepan obat kelompok tersebut melebihi
angka compliance yang paling tinggi. peresepan sefalosporin, sulfonamid dan
Edukasi terhadap pasien terkait dengan trimetorpim, serta tetrasiklin padahal
perjalanan penyakit rinosinusitis akut, kesemuanya memiliki efektifitas yang lebih
pentingnya menyelesaikan regimen tinggi.
antibiotik, dan terapi adjungtif tambahan
untuk mengontrol gejala seperti hidrasi dan
analgesi, merupakan bagian penting dari Manajemen Pasien yang Gagal Pada
perencanaan terapi dengan pasien. Terapi Primer ABRS
Terdapat skenario klinis tertentu Terapi terbaru dari pedoman 2007
yang memerlukan perhatian khusus dalam merekomendasikan penggunaan obat dengan
pemilihan antibiotik. Jika pasien pernah batasan 7 hari setelah diagnosis awal untuk
diobati menggunaakan antibiotik menentukan ada tidaknya kegagalan terapi.
sebelumnya dan relatif baru (dalam 4 hingga Kegagalan terapi meliputi adanya
6 minggu terakhir), maka pasien tersebut perburukan (worsening), yaitu progresi dari
memiliki risiko tinggi terinfeksi oleh bakteri tanda dan gejala awal atau munculnya tanda
yang bersifat resisten, sehingga obat dan gejala yang baru, dan juga meliputi
fluorokuinolon atau amoksisislin-klavulanat kegagalan perbaikan/tidak ada perbaikan
dosis tinggi (4g/250mg/hari) harus (failure to improve), yaitu keadaan dimana
digunakan sesuai dengan Sinus and Allergy tidak ada reduksi dari tanda dan gejala
Health Partnership (SAHP) Antimicrobial ABRS. Tidak ada perbaikan tidak bisa
Treatment Guidelines tahun 2004 karena ditetapkan pada pasien yang menjalani
dikatakan bahwa amoksisilin-klavulanat pengobatan ABRS dengan keluhan yang
memiliki perhitungan efektivitas tertinggi persisten namun ada perbaikan secara
pada kedua grup (yang belakangan ini perlahan. 7 hari dipilih sebagai batasan
mengkonsumsi antibiotik dan yang tidak). karena berdasarkan penelitian yang
Pasien yang memiliki anak yang dititipkan menunjukkan bahwa pada hari ke-7 hingga
di tempat penitipan anak berisiko terinfeksi ke-12 setelah diagnosis, 73% pasien acak
oleh S. pneumonia yang resisten penisilin, yang diberikan plasebo dan 85% pasien
dan pada grup ini harus dipertimbangkan yang menerima antibiotik mengalami
untuk pemberian amoksisilin dosis tinggi. perbaikan secara klinis. Sedangkan pada hari
Pedoman SAHP menunjukkan antibiotik ke-3 hingga ke-5 setelah diagnosis, hanya
dengan urutan efektivitas dari tinggi ke 30% dari pasien plasebo dan 41% dari
rendah untuk manajemen ABRS adalah pasien yang menerima antibiotik yang
sefpodoksim proksetil, sefuroksim aksetil, mengalami perbaikan klinis. Oleh karena
sefdinir, trimetoprim-sulfametoksazol, itu, batasan sejumlah 5 hari akan
doksisiklin, dan azitromisin, klaritromisin, menyebabkan banyaknya positif palsu. Jika
atau eritromisin. List ini merupakan list pasien gagal terapi pada hari ke-7, maka
penting, karena ada penelitian pada tahun pasien tersebut harus direevaluasi terkait
2002 yang menunjukkan bahwa kelas adanya komplikasi ABRS, bakteri resisten
antibiotik yang kedua tersering untuk obat, atau penyebab non-bakteri. Jika pasien
diresepkan setelah penisilin adalah pada awalnya diobservasi, maka klinisi
selanjutnya harus memberikan terapi berupa sensitivitas. Pasien yang terkena penyakit ini
amoksisilin atau terapi alternatif lain yang umumnya secara inheren memiliki
sesuai jika pasien memiliki alergi penisilin trombositopenia atau koagulopati akibat
(trimetoprim-sulfametoksazol atau penyakit yang mereka derita. Keadaan ini
antibiotik). Pasien yang mengkonsumsi harus ditangani dengan cara transfusi
antibiotik seperti amoksisilin dan pasien platelet dan faktor pembekuan pada saat
dengan gagal terapi lebih mungkin terinfeksi preoperasi dan intraoperasi untuk
oleh bakteri yang memiliki penurunan meminimalisasi perdarahan. Tindakan
suseptibilitas. Organisme penyebab yang adjungtif untuk menangani penyakit ini
harus dicurigai, terutama pada pasien termasuk strategi untuk memperbaiki defisit
dengan terapi antibiotik sebelumnya, adalah imun, misalnya seperti koreksi diabetik
H. influenzae yang memproduksi beta- ketoasidosis, transfusi sel darah putih, atau
laktamase atau M. catarrhalis, serta S. pemberian granulosit colony-stimulating
pneumoniae dengan penurunan suseptibilitas factor. Angka mortalitas untuk kondisi ini
terhadap beta-laktam, makrolid, tetrasiklin, mendekati 100% jika terdapat keterlibatan
dan trimetoprim-sulfametoksazol. Terapi intrakranial yang simptomatik, namun
antibiotik yang optimal yang secara keseluruhan adalah sebesar 20%.
direkomendasikan oleh pedoman 2007 untuk Angka mortalitas juga memiliki hubungan
ABRS dengan kegagalan terapi adalah kuat dengan kondisi yang mendasari,
amoksisilin-klavulanat dosis tinggi (4g/hari) terutama pasien dengan diabetes, dimana
atau fluorokuinolon respirasi (levofloksasin, angka mortalitasnya secara signifikan lebih
moksifloksasin, gemifloksasin). tinggi (40%) dibandingkan dengan pasien
Sefalosporin dan makrolid diperkirakan dengan keganasan hematologi (11%). Hal
tidka memberikan perlindungan yang ini terjadi kemungkinan karena lebih
adekuat. tingginya insidensi Mucormycosis
dibandingkan Aspergillus pada pasien
diabetes, sementara hal sebaliknya terjadi
Manajemen Sinusitis Jamur Invasif Akut pada pasien dengan keganasan hematologis.
Fulminans Medis dan Pembedahan Keterlambatan diagnosis pada pasien
diabetes akan menyebabkan penyakit tingkat
Manajemen sinusitis jamur invasif lanjut (advanced) pada saat diagnosis.
akut fulminans memerlukan kombinasi
modalitas terapi dan modalitas pembedahan
dengan pendekatan multidisipliner. Terapi Komplikasi
antijamur sistemik dengan amfoterisin atau
vorkonazol diperlukan, namun terapi Rinosinusitis akut memiliki tiga
sistemik saja tidak cukup untuk mengobati kemungkinan perjalanan penyakit: resolusi,
kondisi ini. Debridemen agresif secara dini terjadinya sekuele, atau terjadinya
menggunakan endoskopi sinonasal pada rinosinusitis kronis. Sekuele pada
seluruh jaringan yang terlibat perlu rinosinusitis akut dapat diklasifikasikan
dilakukan pada pasien dengan pasien yang secara luas menjadi ekstrakranial yang
terbukti secara biopsi atau pada siapapun meliputi komplikasi lokal, ekstensi ke
dengan kecurigaan klinis yang tinggi. jaringan lunak, atau ekstensi ke orbita, serta
Tujuan dari debridemen adalah untuk intrakranial. Meskipun penggunaan
mereduksi fungal load, memperlambat antibiotik sudah sangat meluas, sebagian
progresi penyakit, serta mendapatkan kecil dari pasien masih tetap mengalami
spesimen untuk dilakukan kultur dan tes sekuele dari rinosinusitis akut, terutama
sekali pada kasus ABRS. Terdapat beberapa Sekuele yang relatif ringan pada
faktor yang telah diidentifikasi sebagai rinosinusitis akut adalah terjadinya anosmia.
faktor risiko terjadinya komplikasi ABRS. Rinosinusitis menyumbangkan 18% hingga
Mayoritas pasien yang dirawat karena 36% pada kejadian anosmia. Meskipun
komplikasi sekunder akibat ABRS hiposmia transien sering ditemukan pada
umumnya datang pada musim salju, yaitu kasus rinosinusitis akut, namun anosmia
dari Januari hingga Maret. Insidensi permanen dapat terjadi meskipun jarang.
musiman ini dapat disebabkan karena Perempuan lebih sering menderita hal ini,
adanya peningkatan insidensi infeksi virus dengan hasil suatu studi sejumlah 67%
pada musim gugur dan musim salju. Pada pasien wanita mengalami penurunan fungsi
populasi anak, kelompok usia yang memiliki olfaktori akibat virus. 2 penelitian terbaru
risiko tertinggi dirawat akibat komplikasi menunjukkan hasil yang menjanjikan berupa
ABRS adalah kelompok usia 3 hingga 6 adanya perbaikan fungsi penciuman pada
tahun. Namun, pada pasien anak yang >80% pasien, termasuk pasien dengan
masuk karena komplikasi orbital ABRS, rinosinusitis akut, yang diobati dengan
yang paling berisiko untuk terjadi ekstensi kortikosteroid sistemik.
intrakranial adalah usia 7 tahun atau lebih.
Pada populasi dewasa, ekstensi intrakranial Pot puffy tumor (PPT) yang pertama
lebih sering ditemukan pada pasien dengan kali dideskripsikan oleh Sir Percivall Pott
riwayat rinosinusitis kronis. Namun, pada pada tahun 1775, merupakan abses
populasi anak, keterlibatan intrakranial subperiosteal dari tulang frontal yang
muncul hampir secara eksklusif pada diasosiasikan dengan adanya osteomielitis
keadaan ABRS. Secara umum, kelompok tulang frontal. Patofisiologi penyakit ini
yang paling berisiko mengalami komplikasi diawali dengan infeksi bakteri, seringnya
intrakranial adalah laki-laki pada usia oleh S. aureus, streptococcus non-
remaja dan dewasa muda (10 hingga 29 enterokokus, serta anaerob oral, seringnya
tahun). Kelompok usia ini mungkin lebih polimikrobial, yang menyebar dari sinus
mudah terkena karena valveless diploic frontal ke tulang frontal, kemudian
system pada usia tersebut berada dalam menyebabkan inflamasi dan supurasi dari
keadaan paling vaskular, sehingga menjadi vena diploic yang tidak memiliki katup.
konduit yang baik dalam membantu Inflamasi dan supurasi ini mengalami
propagasi infeksi bakteri. Selain itu, propagasi ke sistem Haverian pada inner dan
dipercaya bahwa table posterior dari sinus outer table dari tengkorak, sehingga
frontal yang sedang mengalami maturasi menyebabkan demineralisasi lokal dan juga
merupakan barier yang lemah untuk nekrosis. Hal ini pada akhirnya akan
mencegah penyebaran organisme. Bayi menyebabkan perforasi pada anterior table
memiliki risiko tinggi untuk mengalami dari sinus frontal, memfasilitasi
meningitis karena memiliki lapisan arahnoid terbentuknya koleksi pus pada subperiosteal,
mater yang belum matur sehingga bakteri dan juga pembentukan jaringan granulasi
dapat ditransmisikan secara bebas. Informasi yang khas pada PPT. Penyakit ini ditangani
tambahan terkait komplikasi rinosinusitis dengan kombinasi pembedahan dan
dapat dibaca pada bab 38. pendekatan medis.
Ekstensi orbital dari rinosinusitis
akut merupakan komplikasi tersering pada
Komplikasi Ekstrakranial populasi pasien anak dan juga dewasa. Pada
era pre-antibiotik, 17% pasiein dengan
infeksi orbital meninggal akibat meningitis Indikasi dilakukannya intervensi bedah
dan 20% menjadi buta pada mata yang meliputi: pada grade I atau II namun
terkena. Pada tahun 1991, insidensi keadaan pasien tidak mengalami perbaikan
kebutaan menurun menjadi 10.5%, dan secara signifikan dalam 24-48 jam setelah
penelitian pada anak tahun 2009 yang pemberian antibiotik yang sesuai dan
mengkaji komplikasi orbital menunjukkan menyebabkan perlunya pengambilan kultur
insidensi terjadinya kebutaan sebesar 0.6%. untuk membantu dalam menentukan
Klasifikasi Chandler terkait dengan antibiosis, pada keadaan segera setelah
komplikasi orbital dari rinosinusitis pertama adanya perburukan visus mata, pada
kali diperkenalkan pada tahun 1970. keadaan pasien mengalami proptosis
Kelebihan dari sistem ini adalah penyusunan dan/atau optalmoplegia, dan pada keadaan
klasifikasi berupa pola progresi yang ditemukan abses pada CT. Abses
menjelaskan patogenesis ekstensi orbital subperiosteal harus dievaluasi secara
akibat ABRS berupa sesulitis preseptal (I) individu, dan rencana terapi harus
menjadi selulitis postseptal (II), kemudian disesuaikan tergantung dari situasi klinis.
pada akhirnya berkembang menjadi abses Kriteria rekomendasi untuk dilakukan
subperiosteal (III) dan juga abses orbital manajemen secara medis pada kasus abses
(IV). Selulitis preseptal ataupun periorbital subperiosteal medial adalah keadaan normal
(kelas I) merupakan komplikasi orbital yang pada visus, pupil, serta retina, tidak ada
paling sering ditemukan pada semua optalmoplegia, tekanan intraokular < 20
kelompok usia (70%). Kekurangan dari mmHg, proptosis < 5 mm, serta lebar abses
sistem klasifikasi ini adalah tidak sebesar < 4 mm. Pasien dengan penyakit ini
dimasukannya stadium paling lanjut dari akan memerlukan monitoring yang intens,
inflamasi orbital, yaitu adanya orbital apex dan jika terjadi perburukan atau tidak ada
syndrome, flegmon retrobulbar, abses perbaikan klinis dalam 48 hingga 72 jam,
retrobulbar, dan juga trombosis sinus maka kemungkinan pasien harus dilakukan
kavernous yang dapat disebabkan karena pencitraan ulang dan juga intervensi bedah.
komplikasi rinosinusitis akut. Intervensi bedah pada keterlibatan orbital
sekunder meliputi pembedahan sinus dengan
Manajemen keterlibatan orbital endoskopi untuk drainase dari sinus yang
sekunder ditentukan berdasarkan stadium terlibat dan juga untuk mendapatkan kultur.
Chandler. Seluruh pasien memerlukan Luas pembedahan tergantung dari derajat
pemberian antibiotik. Untuk pasien dengan keterlibatan sinus tersebut. Pendekatan
selulitis preseptal dengan usia > 3 tahun dan terhadap abses, jika ada, tergantung dari
dapat dilakukan follow-up, maka lokasi abses tersebut pada orbit. Banyak
pengobatan dilakukan dengan cara abses subperiosteal, terutama pada anak
pemberian antibiotik oral spektrum luas, kecil, terletak pada sepanjang dinding orbital
elevasi kepala, kompres hangat, dekongestan bagian medial yang disebabkan karena
topikal, serta irigasi salin. Pada penyakit adanya ekstensi dari sinus etmoid, dan dapat
yang lebih lanjut, terapi antibiotik intravena didrainase pada saat dilakukan
empiris dapat dimulai dengan pemberian etmoidektomi secara endoskopis.
antibiotik beta-laktamase dosis tinggi namun Keterbatasan utama dari pendekatan
dengan kewaspadaan kemungkinan adanya endoskopis pada keadaan akut adalah
resistensi, ataupun menggunakan kemungkinan adanya perdarahan, dan hal ini
sefalosporin generasi ke-3. Kebanyakan dapat mengganggu pengelihatan. Jika hal ini
kasus selulitis preseptal dan postseptal menjadi suatu kekhawatiran, maka insisi
(grade I dan II) dapat diterapi secara medis.
Lynch tradisional dapat dipertimbangkan panjang, gangguan kognitif, cranial nerve
sebagai pendekatan pada abses orbital palsy, afasia, epilepsi, hidrosefalus, serta
medial dan untuk melakukan etmoidektomi kehilangan pengelihatan dan pendengaran.
eksternal. Abses yang terletak di bagian
lateral, superior, atau inferior dari orbit
kemungkinan akan memerlukan tindakan Pertimbangan Khusus pada Populasi
etmoidektomi eksternal untuk drainase. Ahli Anak
optalmologi sering dilibatkan pada infeksi
orbital dengan derajat lebih rendah maupun
pada abses intraconal.

Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial terjadi pada
0.5% hingga 24% dari pasien yang dirawat
di rumah sakit akibat rinosinusitis.
Komplikasi intrakranial meliputi meningitis,
abses ekstradural, empiema subdural, abses
intraserebral, dan trombosis cavernous serta
sinus superior sagital (gambar 33.2A dan B).
Frekuensi relatif kejadian-kejadian ini
diperdebatkan dalam literatur. Infeksi sinus
paranasal dapat menyebar ke kompartemen
intrakranial secara langsung dengan proses
osteomielitis pada tengkorak, atau secara
retrograde thrombophlebitis dan septic
emboli, atau melalui defek post-traumatik,
kongenital, atau post-pembedahan yang
menghubungkan sinus dengan konten
intrakranial. Proporsi abses otak sekunder
yang disebabkan oleh penyebab otologik
atau sinogenik diperkirakan mendekati 2/3,
dan meskipun secara historis dikatakan lebih
banyak predominansi dari otologik, literatur
mensugestikan bahwa penyebab sinogenik
pun telah terjadi sama seringnya dengan
penyebab otologik. Meskipun telah banyak
kemajuan di bidang teknik pencitraan dalam
memfasilitasi deteksi dini serta
perkembangan obat-obatan dan
pembedahan, morbiditas serta mortalitas
dari komplikasi intrakranial masih tetap
stabil sejak tahun 1980an dengan angka
morbiditas 5% hingga 21% dan angka
mortalitas hingga 40%. Mobiditas yang
terjadi termasuk defisit neurologis jangka
Pasien anak sangat rentan terhadap
infeksi apapun karena sistem imun anak
sedang berevolusi dan mengalami maturasi.
Pasien anak sering mengalami infeksi
saluran napas atas sebanyak 6 hingga 8
episode per tahun, sementara pasien dewasa
umumnya hanya mengalami 1 hingga 3
episode per tahun. Konversi AVRS menjadi
ABRS adalah sebesar 0.5 hingga 2%, dan
anak-anak secara statistik terproyeksi
mengalami lebih banyak ABRS
dibandingkan pasien dewasa. Suatu
penelitian retrospektif skala besar yang
mengkaji pasien anak yang dirawat di rumah
sakit akibat kegagalan terapi ABRS berhasil
mengidentifikasi kelompok usia yang paling
sering mengalami kegagalan terapi adalah
antara usia 3 hingga 6 tahun. Hal ini
mungkin dapat dijelaskan karena usia itulah
anak pertama kali masuk ke lingkungan
penitipan anak, pre-school, dan TK,
sehingga terjadi paparan pertama terhadap
patogen yang dapat menyebabkan
rinosinusitis akut.
Pola komplikasi ABRS pada pasien Rinosinusitis merupakan penyakit
anak dapat dijelaskan dengan adanya yang sering dijumpai dan memiliki
perkembangan sinus dan juga maturasi sinus beban ekonomi yang besar di
pada masa kanak-kanak. Sinus maksila dan Amerika Serikat
labirin etmoid sudah ada pada saat lahir. Penyebab infeksi rinosinusitis akut
Karena komplikasi orbital dari sinusitis yang paling sering adalah virus.
sering diasosiasikan dengan terjadinya Kurang dari 5% infeksi oleh virus
sinusitis etmoid, anak-anak usia dini dapat berkembang menjadi ABRS.
sangatlah rentan untuk terjadi ekstensi Ketika ABRS terjadi, bakteri
orbital. Sinus sfenoid mulai mengalami patogenik yang sering menginfeksi
pneumatisasi pada usia 5 tahun, sementara adalah S. pneumoniae, M.
sinus frontal belum muncul hingga usia 7 catarrhalis, serta H. infiuenzae.
atau 8. Pada 5 tahun (atau lebih) kemudian, 3 gejala kardinal dari ABRS adalah
terjadi pneumatisasi dan mataurasi dari sinus discharge nasal purulen, obstruksi
frontal, dan pada usia itu pulalah terjadi nasal, dan/atau nyeri, tekanan, atau
komplikasi intrakranial, terutama yang rasa penuh pada wajah. Diagnosis
berhubungan dengan sinus frontal akan ABRS ditegakkan ketika ketiga
sering ditemukan pada usia pra-remaja dan gejala kardinal tersebut terjadi
usia remaja. selama 10 hari atau lebih setelah
awitan gejala gangguan saluran
napas atas, atau jika terjadi
Simpulan perburukan gejala sebanyak 2x
Meskipun ahli otolaringologi tidak (double-worsening) dalam 10 hari
sering menangani kasus AVRS dan ABRS sejak awitan.
tanpa komplikasi, namun perjalanan Endoskopi sinonasal diindikasikan
penyakitnya harus tetap diketahui. pada pasien ABRS simtomatik yang
Rinosinusitis akut bersifaat sering diterapi secara empiris namun tidak
ditemukan dan memiliki dampak ekonomi ada perbaikan, pada pasien yang
yang besar. Kepatuhan pada pedoman dalam dicurigai mengalami komplikasi,
menentukan rencana terapi dan evaluasi atau pada pasien imunokompromis
follow-up pasien rinosinusitis akut dan berisiko terjadi komplikasi.
diharapkan akan membantu meminimalisasi Pencitraan menggunakan CT pada
beban ekonomi dan beban kualitas sinus direkomendasikan jika
kehidupan terkait dengan penyakit ini, serta dicurigai adanya komplikasi ABRS
diharapkan dapat menghindari terjadinya atau jika dipertimbangkan ada
resistensi multi-obat ataupun bakteri dengan diagnosis alternatif. CT juga dapat
tingkat virulensi yang semakin tinggi. dilakukan ketika pasien memiliki
Pengetahuan terkait diagnosis dan komorbiditas yang menyebabkan
manajemen dari komplikasi ABRS yang predisposisi terjadinya komplikasi.
mengancam jiwa sangat diperlukan oleh ahli MRI merupakan modalitas
otolaringologi karena tentu saja akan pencitraan baku emas untuk
dilibatkan pada saat terjadi komplikasi. mendiagnosis ekstensi intrakranial
dari sinusitis.
Rekomendasi manajemen untuk
Highlight AVRS adalah analgesik dan
antipiretik, irigasi salin, serta
dekongestan topikal selama < 3 hari. terjadinya rinosinusitis kronis. Faktor
Kortikosteroid topikal dapat risiko terjadinya sekuele ABRS
digunakan sebagai tambahan dari adalah jenis kelamin laki-laki, usia
mukolitik atau antihistamin generasi 10 hingga 29 tahun, serta penyakit
ke-2 jika memang ada indikasi muncul pada bulan-bulan musim
secara klinis. dingin.
Antibiotik lini pertama untuk ABRS Komplikasi ABRS yang paling
adalah amoksisilin. Untuk pasien umum pada semua kelompok usia
dengan alergi penisilin, alternatif lini adalah ekstensi orbital, yang meliputi
pertama adalah trimetoprim- spektrum penyakit berupa selulitis
sulfametoksazol ataupun makrolid. preseptal hingga abses orbital.
Pasien yang mengkonsumsi Terdapat risiko kebutaan jika terjadi
antibiotik dalam 4 hingga 6 minggu ekstensi infeksi ke mata.
sebelumnya atau pasien yang Komplikasi intrakranial meliputi
memiliki anak yang dititipikan di meningitis, abses ekstradural, abses
penitipan anak memiliki risiko lebih subdural, abses intraparenkimal,
tinggi untuk terjadinya infeksi oleh trombosis kavernosus dan sinus
bakteri resisten, dan oleh karena itu sagital superior. Kejadian-kejadian
harus diberikan amoksisilin dosis ini memiliki risiko tinggi karena
tinggi, amoksisilin-klavulanat dosis memiliki angka morbiditas dan
tinggi, atau fluorokuinolon. mortalitas yang cukup tinggi dan
Hasil klinis yang mungkin terjadi memerlukan pendekatan agresif dan
pada ABRS adalah resolusi, multidisipliner.
terjadinya komplikasi, atau

Anda mungkin juga menyukai