FRAKTUR MAKSILOFASIAL
Disusun Oleh:
Sitaresmi Dutaning Sri Pawenang
42180287
II. ANATOMI
Secara umum tulang tengkorak/kraniofasial terbagi menjadi dua bagian yaitu Neurocranium
adalah tulang-tulang yang membungkus otak dan Viscerocranium adalah tulang - tulang
yang membentuk wajah/maksilofasial.
Neuroccranium dibentuk oleh :
Os. Frontale
Os. Parietale
Os. Temporale
Os. Sphenoidale
Os. Occipitalis
Os. Ethmoidalis
Viscerocranium dibentuk oleh
Os. Maksilare Os. Zygomatikum
Os. Palatinum Os. Concha nasalis inferior
Os. Nasale Vomer
Os. Lacrimale Os. Mandibula
Gambar 1. Tulang-tulang kraniofasial
Tulang dengan struktur yang tebal disebut sebagai ‘buttress’ yang menopang /
menyangga proporsi kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar dan proyeksi antero-posterior.
Konsep buttress (Gambar 2) mewakili bidang dengan tulang yang lebih kuat yang
mendukung unit fungsional wajah (otot, mata, oklusi gigi, saluran pernafasan) dalam
hubungan yang optimal dan menentukan bentuk wajah dengan memproyeksikan jaringan
lunak diatasnya.
5 Sistem buttress vertikal mempunyai 7 komponen yaitu
a) Di medial, sepasang nasomaksilaris, buttress mulai dari alveolus maksilaris
anterior sampai ke apertura piriformis dan orbita medial, melewati os nasal dan
lakrimal ke os frontal.
b) Pada lateral, sepasang zigomatikomaksilaris, buttress mulai dari alveolus
maksilaris lateral ke maksilaris lateral, malar dari zigoma kemudian ke Tulang -
tulang kraniofasial terdiri atas tulang yang memiliki ketebalan berbeda.
c) Buttress horizontal, yaitu rima orbita superior, rima orbita inferior,
maksiloalveolar dan palatum, prosesus zigoma os temporal, pinggir sayap os
sfenoid dan pterigoid plate dari sfenoid.
Gambar 2. Buttress vertikal dan horizontal
III. DEFINISI
Trauma maksilofasial adalah trauma yang menyebabkan cedera pada jaringan
lunak serta jaringan keras di daerah wajah, mulut dan dentoalveolar. Cedera pada pada
jaringan lunak dapat berupa abrasi, kontusio, luka bakar dan laserasi. Cedera
dentoalveolar dapat berupa fraktur tulang alveolar serta fraktur pada gigi geligi yang
dapat disertai dengan kegoyangan gigi, pergeseran letak gigi, dan avulsi. Sedangkan
fraktur wajah meliputi fraktur mandibula, fraktur midface atau wajah bagian tengah, dan laserasi
wajah. Fraktur maksilofasial sendiri merupakan suatu rudapaksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya, yang menyebabkan diskontinuitas tulang dan jaringan.
Trauma maksilofasial merupakan cedera pada wajah atau rahang yang disebabkan
oleh tekanan fisik, adanya benda asing, gigitan binatang ataupunmanusia. Luka bakar
yang terjadi pada wajah juga dikategorikan termasuk dalamtrauma maksilofasial, yang
dapat disebabkan oleh karena benda panas, gesekan,elektrik, radiasi, atau zat kimia
(Mitchell, 2006). Bentuk luka bermacam-macam tergantung penyebabnya, misalnya luka
sayat atau vulnus scisssum disebabkan oleh benda tajam, luka tusuk yang disebut vulnus punctum
akibat benda runcing, luka robek atau laserasi disebut vulnus laceratum merupakan luka yang
tepinya tidak rata atau compang-camping yang disebabakan oleh benda yang permukaannya
tidak rata, luka lecet akibat gesekan yang disebut eskoriasi dan luka akibat panas dan zat
kimia menyebabkan vulnus kombusi.
Gejala Klinis
Secara garis besar, patah tulang wajah akan menimbulkan gejala:
- Nyeri tekan lokal
- Hematom lokal
- Gangguan oklusi rahang
- Gangguan faal rahang bawah
- Gangguan sensibilitas n. Supraorbitalis, n. Infraorbitalis, n. Mandibularis
- Mata juling disertai bengkak atau hematom orbita
- Arkus zigomatikus kiri kanan tidak simetris
- Perubahan bentuk hidung
Klasifikasi
A. Fraktur Dentoalveolar
Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh saat
bermain atau dapat pula terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Struktur
dentoalveolar dapat terkena trauma yang langsung maupun tidak langsung. Trauma
langsung biasanya dapat menyebabkan trauma pada gigi insisif sentral maksila karena
berhubungan dengan posisinya yang terekspos.
Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan fraktur dentoalveolar ialah oklusi
yang abnormal, adanya overjet lebih dari 4mm, inklinasi gigi insisal ke arah labial,
bibir yang inkompeten, pendeknya bibir atas, dan bernafas lewat hidung. Kondisi
tersebut dapat dilihat pada individu dengan kelainan maloklusi kelas II divisi I Angle,
atau pada orang dengan kebiasaan buruk menghisap ibu jari.
B. Fraktur pada Tulang Penyusun Wajah
Berdasarkan lokasi anatomis fraktur pada tulang wajah dibagi menjadi tiga yaitu,
fraktur sepertiga bawah wajah, fraktur sepertiga tengah wajah dan fraktur sepertiga atas
wajah.
a. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah
Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah. Klasifikasi Fraktur
Mandibula berdasarkan lokasi anatominya :
1. Midline : fraktur diantara incisal sentral.
2. Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar
yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3).
3. Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus.
4. Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter
hingga perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar.
5. Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis
apikal pada sigmoid notch.
6. Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus.
7. Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibular
hingga regio ramus.
8. Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.
2. Fraktur nasal
IV. ETIOLOGI
Kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya trauma
maksilofasial. Beberapa literatur melaporkan bahwa terdapat hubungan antara posisi
duduk pengemudi atau penggunaan sistem penahan terhadap keparahan dari cedera
maksilofasial yang dialami pasien kecelakaan lalu lintas dengan penyebab lainnya seperti
trauma ketika bermain di taman, kecelakaan sewaktu bekerja atau industri, kecelakaan
sewaktu berolahraga, dan lain-lain. Kecelakaan akibat arus listrik dapat terjadi karena
arus listrik mengaliri tubuh, karena adanya loncatan arus, atau karena ledakan tegangan
tinggi, antara lain akibat petir.pada kecelakaan tersengat arus listrik di daerah kepala,
penderita dapat pingsan lama dan mengalami henti nafas.dapat juga terjadi
oedemotak.akibat samping yang lama timbulnya katarak.destruksi terjadi dekat luka
masuk dan keluar arus listrik paling kuat.
Kecelakaan akibat bahan kimia biasanya luka bakar dan ini dapat terjadiakibat
kelengahan, pertengkaran, kecelakaan kerja, kecelakaan di industri,kecelakan dil
laboratorium dan akibat penggunaan gas beracun pada peperangan.Bahan kimia dapat
bersifat oksidator seperti fenol dan fosfor putih, juga larutan basa seperti kalium
hidroksida menyebabkan denaturasi protein. Asam sulfatmerusak sel karena bersifat
cepat menarik air. Gas yang dipakai dalam peperangan menimbulkan luka bakar
dan menyebabkan anoksia sel bila berkontak dengan kulit atau mukosa. beberapa bahan
dapat menyebabkan keracunan sistemik. Asam fluorida dan oksalat dapat
menyebabkan hipokalsemia. Asam tanat, kromat, formiat, pikrat, dan posfor dapat
merusak hati dan ginjal kalau diabsorbsi tubuh. Lisol dapat
menyebabkan methemoglobenemia
V. DIAGNOSIS
Diagnosis pada penyakit yang mendasari keluhan hoarseness ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Riwayat trauma yang akurat sebaiknya diperoleh dari pasien, yang meliputi
informasi tentang who, when, where, and how. Pemeriksa harus menanyakan pertanyaan-
pernyataan kepada pasien, orangtua pasien, atau seseorang yang menyertainya, antara
lain:
Pada pasien yang mendapat cedera pada daerah kepala, biasanya sulit atau tidak
memungkinkan untuk menjelaskan riwayat trauma yang telah terjadi. Pada situasi ini,
riwayat trauma dapat diperoleh dari petugas unit gawat darurat, perawat, orang yang
mendampingi yang pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimana trauma
terjadi. Mendapatkan riwayat yang adekuat dari pasien trauma maksilofasial adalah sulit,
karena biasanya mereka tidak mampu merespon dengan baik. Keadaan tidak sadar
(koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering terjadi dalam
menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan adalah
keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi, atau pekerja pada unit gawat
darurat.
Pemeriksaan Klinis
Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernapasan, adekuasi dari ventilasi,
dan kontrol perdarahan eksternal. Sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital,
gangguan saluran pernapasandan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus ditangani
terlebih dahulu. Kemudian baru dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan status
neurologis (paling tidak mengenai tingkat kesadaran, yaitu orientasi terhadap waktu dan
tempat). Pembukaan mata merupakan alat pemeriksan yang berharga untuk menentukan
tingkat kesadaran dan dinilai berdasarkan kemampuan pasien membuka matanya jika diberi
stimuli tertentu, termasuk stimuli yang menyakitkan, apabila diperlukan. Durasi amnesia
paska trauma merupakan indikator yang baik untuk menunjukkan tingkat kerusakan otak,
bila ada. Pasien yang mengalami cedera maksilofasial biasanya disertai dengan
tersumbatnya jalan pernapasan akibat perdarahan eksternal, perdarahan internal, atau benda
asing. Pemeriksaan fisik baru dapat dilakukan setelah pasien dalam kondisi stabil,
perdarahan dan jalan pernapasan telah ditangani. Adapun pemeriksaan fisik tersebut
meliputi.
1. Pemeriksaan Kepala
- Pasien dibersihkan dari semua darah dan benda asing.
- Inspeksi meliputi seluruh cedera yang mengenai jaringan lunak dan dicatat, begitu
juga dengan cedera yang mengenai tulang. Seluruh luka laserasi dan avulsi harus
dicatat kedalaman dan keterkaitannya dengan struktur vital, seperti saraf, glandula
parotis dan sebagainya.
- Palpasi untuk memeriksa ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas, pergeseran,
dan hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-hatiterhadap kranium,
sambungan daerah fronto-orbital, naso-orbital kompleks, artikulasi zygomatik, dan mandibula.
2. Pemeriksaan Wajah Bagian Tengah
- Evaluasi adanya mobilitas maksila, kepala pasien distabilisasikan dengan cara
menekan kening pasien cukup kuat dengan satu tangan. Dengan ibu jari dan telunjuk
tangan lainnya mencengkram maksila pada satu sisi, dan digerakkan dengan tekanan
yang stabil sehingga dapat diperoleh kepastian ada atau tidaknya dapatkan mobilitas
maksila. Hal ini untuk memperkirakan adanya mobilitas dari maksila sebagai struktur
maksila itu sendiri atau hubungannya dengan zygoma atau tulang nasal.
- Evaluasi adanya fraktur atau cedera pada saraf yaitu dengan pemeriksaan manual atau
digital adalah dengan mempalpasi dimulai dari superior ke inferior. Lebih baik
memeriksa pasien yang mengalami fisik dari arah belakang apabila memungkinkan.
Pemeriksaan dimulai dari aspek medial dari cincin supraorbital secara bilateral.
Tulang nasal dans aluran nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri
(bidigital). Palpasi diteruskan ke arah lateral menyilang cincin supraorbital menuju
sutura zygomatikofrontalis. Jaringan lunak yang menutupinya digeser dan sutura
dipalpasi apakah terjadi kelainan atau tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari medial
ke lateral untuk mengevaluasi sutura zygomatikomaksilaris. Bagian-bagian yang
mengalami nyeri tekan, dan baal juga dicatat, karena hal ini menunjukkanadanya
fraktur atau cedera pada saraf. Arcus zygomatikus dipalpasi bilateral dan diamati
apakah terdapat tanda-tanda asimetri, dari aspek posterior atau superior. Vestibulum
nasi juga diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum, dan adanya perdarahan
atau cairan.
- Pemeriksaan mata secara lengkap, karena trauma dapat mengakibatkan kehilangan
penglihatan. Hampir fraktur tengah wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan yang
akurat sulit dilakukan pada pasien yang mengalami cedera neurologis. Pemeriksaan
dapat dilakukan dengan menggunakan hitungan jari, deteksi gerakan, atau
penggunaan.
- Pemeriksaan telinga untuk mencari hematoma aurikuler. Mastoid harus diperiksa dari
kemungkinan adanya ekimosis yang disertai dengan hemotimpanum dan otorrhea,
karena merupakan indikasi terjadinya fraktur basis tulang kranial. Adanya laserasi
dari daerah telinga bagian luar merupakan tanda waspada terhadap kemungkinan cedera
pada kondil mandibula.
- Pemeriksaan Hidung. Dicari kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus dicatat.
Adanya fraktur septum hidung dan hematoma dapat menyebabkan obstruksi hidung. Hematoma
septum hidung harus didiagnosa dan dievakuasi segera untuk menghindari terjadinya
nekrosis tulang rawan septum hidung yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan
bentuk hidung.
- Pemeriksaan tiga saraf utama trigeminal harus diperiksa untuk kemungkinan terjadinya
anestesi atau parestesi. Saraf kranialis ketiga, empat, lima,enam dan tujuh dites untuk
mengetahui apakah terjadi palsi. Dapatkah pasienmengangkat alisnya dan meretraksi
sudut mulut? Apakah bola mata bisa bergerak bebas, dan apakah pupil bereaksi
terhadap sinar dan berakomodasi?
3. Pemeriksaan Mandibula.
- Evaluasi Lokasi mandibula terhadap maksila apakah tetap digaris tengah, terjadi
pergeseran lateral, atau inferior? Pergerakan mandibula juga dievaluasi dengan jalan
memerintahkan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada
penyimpangan juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah dan jarak
interinsisal dicatat.
- Apabila ada meatus akustikus eksternus penuh dengan darah dan cairan, jari telunjuk
dapat dimasukkan dengan telapak mengarah ke bawah dan ke depan untuk melakukan
palpasi endaural terhadapcaput condilus pada saat istirahat dan bergerak. Pada fraktur
subcondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan yang Amat sangat atau caput
mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari
prosesuskondilaris sampai ke simphisis mandibula. Sekali lagi nyeri tekan atau baal,
dan kelainan kontinuitas harus dicatat.
4. Pemeriksaan Tenggorokan dan Rongga Mulut
- Pertama kali yang dilihat secara intraoral adalah oklusi. Dapatkah gigi dioklusikan
seperti biasanya? Dataran oklusal dari maksila dan mandibular diperiksa
kontinuitasnya, dan adanya step deformitas. Bagian yang gigi yang mengalami
pergeseran karena trauma atau alveoli yang kosong karena gigi avulsi, juga dicatat.
Apabila pasien menggunakan protesa, maka protesa tersebut harus dilepas dan
diperiksa apakah ada rusak atau tidak.
- Jaringan lunak mulut diperiksa dalam kaitannya dengan luka, kontusio, abrasi,
ekimosis, dan hematom. Lidah disisihkan, sementara itu dasar mulut dan orofaring
diperiksa, apakah terdapat serpihan-serpihan gigi, restorasi, dan beku darah. Arcus
zygomatikus dan basisnya dipalpasi bilateral.
- Maksila harus dicoba degerakkan dengan memberikan tekanan pada prosesus
alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala. Akhirnya gigi-gigi dan
prosesus alveolaris dipalpasi untuk mengetahui nyeri tekan atau mobilitas. Pemeriksaan
ini meliputi evaluasi oklusi dan penghitungan gigi yang hilang. Adanya gigi yang
terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan melakukan radiografi pada dada dan perut.
Gigi tiruan yang lepas juga dapat menyebabkan tersumbatnya jalan pernapasan.
Adanya step dan pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya fraktur
dentoalveolar ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka lateral (open bite lateral) juga
dapat mengindikasikan adanya fraktur mandibular atau gangguan TMJ. Sedangkan
gigitan terbuka anterior (open bite anterior) mengindikasikan adanya fraktur Le Fort (I, II,
ataupun III).
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologis
Untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma orofasial hanya diperlukan radiograf
oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi (luksasi dan avulsi), dan sebagian
besar fraktur prosessus alveolaris paling baik dirontgen dengan cara ini. Meskipun
demikian, tidak dibenarkan untuk melakukan pembuatan radiografis untuk
mengetahui adanya fraktur bila bukti klinis kurang mendukung. Film
panoramik merupakan film skrining pilihan untuk kasus fraktur maksila dan mandibula.
Pemeriksaan radiograf mandibula secara umum memerlukan dua atau lebih
gambaran radiograf dari empat gambaran radiograf berikut, yaitu (1) panoramik, (2)
proyeksi Towne, (3) proyeksi posteroanterior , dan (4) proyeksioblik lateral kiri dan
kanan.
Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang perluasannya dan
kemungkinan keterlibatan struktur penting disekitarnya masih dipertanyakan, maka
bisa dilakukan CT. CT mempunyai keunggulan dalam hal tidak adanya gambaran
yang tumpang tindih dan bisa mempertahankan detail jaringan lunak.Kedua sifat
tersebut merupakan penunjang yang sangat penting dalam melakukandiagnosis yang
akurat dari fraktur fasial. Melakukan CT pada kepala merupakan prosedur
penyaringan standar untuk menentukan adanya fraktur kepala dan
dapatmenunjukkan adanya trauma intrakranial, misalnya hematom intra- atau extra-
serebral, daerah kontusio, dan edema cerebral.
VI. TATALAKSANA
Perawatan Elektif
Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah
penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi
nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase
perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status nutrisi
pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien merasa
tidak nyaman. Tujuan dari terapi fraktur adalah untuk mengembalikan anatomi dan fungsi
dari tulang dan jaringan lunak dalam waktu yang singkat dengan resiko yang paling kecil.
Terapi fraktur harus dilakukan sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Agar, N. J. (2008). Hoarseness What is the voice trying to tell you? Australian Family
Physician Vol. 37, No. 4, 300-304.
Asyari, A., & dkk. (2017). Disfonia Akibat Polip Pita Suara. Majalah Kedokteran Andalas,
52-63.
Debajyoti, R., & Moran, N. (2017). The Evaluation of Hoarseness And Its Treatment.
IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS) Volume 16, Issue 8 Ver.
I, 12-15.
Gusmarina, A., & dkk. (2017). Karakteristik Pasien Disfonia di Poliklinik Telinga Hidung
Tenggorok–Bedah Kepala Leher RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2010-2013.
Artikel Penelitian, 93-99.
Stachler, R. J., & dkk. (2018). Clinical Practice Guideline: Hoarseness (Dysphonia)
(Update) Executive Summary. Guidelines Executive Summary Otolaryngology–Head
and Neck Surgery, 409-426.
Waheed Atilade, A., & dkk. (2018). Diagnosis and Management of Hoarseness in
Developing Country. Open Science Journal, 1-10.