Anda di halaman 1dari 18

UJIAN AKHIR

FRAKTUR MAKSILOFASIAL

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan
Pada Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun Oleh:
Sitaresmi Dutaning Sri Pawenang
42180287

Dosen Pembimbing Klinik :


dr. Arin Dwi Iswarini, Sp.THT-KL., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2019
I. LATAR BELAKANG
Trauma wajah merupakan kasus yang sering terjadi, menimbulkan masalah pada
medis dan kehidupan sosial. Meningkatnya kejadian tersebut disebabkan bertambahnya
jumlah kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.1
Trauma tumpul yang cukup keras merupakan etiologi dari trauma tersebut. Trauma
merupakan urutan keempat penyebab kematian, dapat terjadi pada semua usia terutama 1-
37 tahun.
Fraktur pada sepertiga tengah tulang wajah sering terjadi dan merupakan trauma
yang membahayakan. Fraktur pada bagian ini memerlukan pemeriksaan yang teliti dan
penatalaksanaan yang tepat. Dewasa ini di Indonesia mulai berkembang bedah plastik
rekonstruksi dan kepala leher di bidang THT-KL termasuk di antaranya penanganan
trauma pada maksilofasial.

II. ANATOMI
Secara umum tulang tengkorak/kraniofasial terbagi menjadi dua bagian yaitu Neurocranium
adalah tulang-tulang yang membungkus otak dan Viscerocranium adalah tulang - tulang
yang membentuk wajah/maksilofasial.
Neuroccranium dibentuk oleh :
 Os. Frontale
 Os. Parietale
 Os. Temporale
 Os. Sphenoidale
 Os. Occipitalis
 Os. Ethmoidalis
Viscerocranium dibentuk oleh
 Os. Maksilare  Os. Zygomatikum
 Os. Palatinum  Os. Concha nasalis inferior
 Os. Nasale  Vomer
 Os. Lacrimale  Os. Mandibula
Gambar 1. Tulang-tulang kraniofasial

Tulang dengan struktur yang tebal disebut sebagai ‘buttress’ yang menopang /
menyangga proporsi kraniofasial dalam ukuran tinggi, lebar dan proyeksi antero-posterior.
Konsep buttress (Gambar 2) mewakili bidang dengan tulang yang lebih kuat yang
mendukung unit fungsional wajah (otot, mata, oklusi gigi, saluran pernafasan) dalam
hubungan yang optimal dan menentukan bentuk wajah dengan memproyeksikan jaringan
lunak diatasnya.
5 Sistem buttress vertikal mempunyai 7 komponen yaitu
a) Di medial, sepasang nasomaksilaris, buttress mulai dari alveolus maksilaris
anterior sampai ke apertura piriformis dan orbita medial, melewati os nasal dan
lakrimal ke os frontal.
b) Pada lateral, sepasang zigomatikomaksilaris, buttress mulai dari alveolus
maksilaris lateral ke maksilaris lateral, malar dari zigoma kemudian ke Tulang -
tulang kraniofasial terdiri atas tulang yang memiliki ketebalan berbeda.
c) Buttress horizontal, yaitu rima orbita superior, rima orbita inferior,
maksiloalveolar dan palatum, prosesus zigoma os temporal, pinggir sayap os
sfenoid dan pterigoid plate dari sfenoid.
Gambar 2. Buttress vertikal dan horizontal

III. DEFINISI
Trauma maksilofasial adalah trauma yang menyebabkan cedera pada jaringan
lunak serta jaringan keras di daerah wajah, mulut dan dentoalveolar. Cedera pada pada
jaringan lunak dapat berupa abrasi, kontusio, luka bakar dan laserasi. Cedera
dentoalveolar dapat berupa fraktur tulang alveolar serta fraktur pada gigi geligi yang
dapat disertai dengan kegoyangan gigi, pergeseran letak gigi, dan avulsi. Sedangkan
fraktur wajah meliputi fraktur mandibula, fraktur midface atau wajah bagian tengah, dan laserasi
wajah. Fraktur maksilofasial sendiri merupakan suatu rudapaksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya, yang menyebabkan diskontinuitas tulang dan jaringan.
Trauma maksilofasial merupakan cedera pada wajah atau rahang yang disebabkan
oleh tekanan fisik, adanya benda asing, gigitan binatang ataupunmanusia. Luka bakar
yang terjadi pada wajah juga dikategorikan termasuk dalamtrauma maksilofasial, yang
dapat disebabkan oleh karena benda panas, gesekan,elektrik, radiasi, atau zat kimia
(Mitchell, 2006). Bentuk luka bermacam-macam tergantung penyebabnya, misalnya luka
sayat atau vulnus scisssum disebabkan oleh benda tajam, luka tusuk yang disebut vulnus punctum
akibat benda runcing, luka robek atau laserasi disebut vulnus laceratum merupakan luka yang
tepinya tidak rata atau compang-camping yang disebabakan oleh benda yang permukaannya
tidak rata, luka lecet akibat gesekan yang disebut eskoriasi dan luka akibat panas dan zat
kimia menyebabkan vulnus kombusi.

Gejala Klinis
Secara garis besar, patah tulang wajah akan menimbulkan gejala:
- Nyeri tekan lokal
- Hematom lokal
- Gangguan oklusi rahang
- Gangguan faal rahang bawah
- Gangguan sensibilitas n. Supraorbitalis, n. Infraorbitalis, n. Mandibularis
- Mata juling disertai bengkak atau hematom orbita
- Arkus zigomatikus kiri kanan tidak simetris
- Perubahan bentuk hidung

Klasifikasi
A. Fraktur Dentoalveolar
Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh saat
bermain atau dapat pula terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Struktur
dentoalveolar dapat terkena trauma yang langsung maupun tidak langsung. Trauma
langsung biasanya dapat menyebabkan trauma pada gigi insisif sentral maksila karena
berhubungan dengan posisinya yang terekspos.
Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan fraktur dentoalveolar ialah oklusi
yang abnormal, adanya overjet lebih dari 4mm, inklinasi gigi insisal ke arah labial,
bibir yang inkompeten, pendeknya bibir atas, dan bernafas lewat hidung. Kondisi
tersebut dapat dilihat pada individu dengan kelainan maloklusi kelas II divisi I Angle,
atau pada orang dengan kebiasaan buruk menghisap ibu jari.
B. Fraktur pada Tulang Penyusun Wajah
Berdasarkan lokasi anatomis fraktur pada tulang wajah dibagi menjadi tiga yaitu,
fraktur sepertiga bawah wajah, fraktur sepertiga tengah wajah dan fraktur sepertiga atas
wajah.
a. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah
Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah. Klasifikasi Fraktur
Mandibula berdasarkan lokasi anatominya :
1. Midline : fraktur diantara incisal sentral.
2. Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar
yang berbatasan dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3).
3. Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus.
4. Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter
hingga perlekatan poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar.
5. Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis
apikal pada sigmoid notch.
6. Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus.
7. Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibular
hingga regio ramus.
8. Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.

b. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah


Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang
palatina, dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan
tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital.
Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar sesuai dengan
perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah
ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena fraktur. Fraktur tulang sepertiga
tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort:
Le Fort sendiri merupakan alur fraktur yang diprediksi mengikuti tipe
tertentu trauma. Tiga tipe yang dominan dapat dijelaskan yaitu fraktur
 Le Fort I (horizontal) yang dihasilkan dari trauma langsung pada bagian bawah
rima alveolar maksilaris pada arah bawah. Fraktur mulai dari septum nasi ke rima
pirifomis lateral, berjalan secara horizontal ke atas apeks gigi, menyeberang di
bawah zigomaticomaksilaris junction, dan melewati pterigomaksilaris junction
untuk sampai ke pterigoid plate.
 Fraktur Le Fort II (piramidal) hasil dari trauma pada mid maksila.6 Seperti fraktur
yang mempunyai bentuk piramidal dan melewati nasal bridge atau di bawah sutura
nasofrontal melalui prosesus frontal dari maksila, di bagian inferolateral melewati
os lakrimal dan lantai serta rima orbita inferior atau dekat dengan foramen orbita
inferior dan ke inferior melalui dinding anterior sinus maksila. Ini kemudian
berjalan di bawah zigoma, ke fisura pterigomaksilaris dan melalui pterigoid plate.
 Le Fort III (transversa), juga dinamakan craniofasial disjunction, dapat mengikuti
trauma pada nasal bridge atau maksila bagian atas.3 Ini hasil dari trauma langsung
dari anterior ke sepertiga tengah wajah atau dari inferior trauma ke simfisis
mandibular menjalar ke midface melalui segmen dentoalveolar mandibular.6
Fraktur ini mulai dari sutura nasofrontal dan frontomaksilaris dan meluas bagian
posterior sepanjang dinding medial orbita melalui alur nasolakrimal dan os etmoid.
Kemudian, fraktur berlanjut sepanjang fisura orbita inferior dan ke superolateral
melalui dinding orbita lateral, melewati zigomaticofrontal junction dan arkus
zigoma. Intra nasal, cabang dari fraktur meluas melalui dasar dari perpendicular
plate dari etmoid, melalui vomer dan melalui penghubung dari pterigoid plate ke
dasar dari sfenoid.

c. Fraktur Sepertiga Atas Wajah


Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita,
rima orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat
depressed ke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas
ke daerah wajah yang lain. Fraktur Sepertiga Atas Wajah dibagi menjadi Fraktur
Frontobasal - Fraktur Sinus Frontalis dan Fraktur Orbita.
d. Lain-lain
1. Fraktur Zigomatikus
Kira-kira 6 % dari fraktur tulang zygoma tidak menunjukkan kelainan.
Trauma dari depan yang langsung merusak pipi menyebabkan perubahan tempat
dari tulang zygoma itu ke arah posterior, ke arah medial atau ke arah lateral
sehingga terjadi impresi yang mendesak bola mata menyebabkan terjadinya
diplopia. Fraktur ini tidak mengubah posisi dari rima orbita inferior ke arah atas
atau ke arah bawah. Diagnosis ditegakkan secara klinis dengan foto rontgen
menurut Waters yaitu posisi temporooksipital. Tulang zygoma dibentuk oleh
tulang temporal, tulang frontal, tulang sphenoid dan tulang maksila yang
membentuk penonjolan pada pipi di bawah mata sedikit ke arah lateral.
Gejala fraktur zygoma antara lain:
- pipi menjadi lebih rata (dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum
trauma)
- diplopia dan terbatasnya gerakan bola mata
- edema periorbita dan ekimosis
- perdarahan subkonjungtiva, ptosis
- enophtalmus (fraktur dasar orbita atau dinding orbita)
- terdapatnya hipestesia atau anestesia karena kerusakan saraf infra-orbitalis
- terbatasnya gerakan mandibula
- emfisema subkutis
- epistaksis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

2. Fraktur nasal

IV. ETIOLOGI
Kecelakaan lalulintas merupakan penyebab utama terjadinya trauma
maksilofasial. Beberapa literatur melaporkan bahwa terdapat hubungan antara posisi
duduk pengemudi atau penggunaan sistem penahan terhadap keparahan dari cedera
maksilofasial yang dialami pasien kecelakaan lalu lintas dengan penyebab lainnya seperti
trauma ketika bermain di taman, kecelakaan sewaktu bekerja atau industri, kecelakaan
sewaktu berolahraga, dan lain-lain. Kecelakaan akibat arus listrik dapat terjadi karena
arus listrik mengaliri tubuh, karena adanya loncatan arus, atau karena ledakan tegangan
tinggi, antara lain akibat petir.pada kecelakaan tersengat arus listrik di daerah kepala,
penderita dapat pingsan lama dan mengalami henti nafas.dapat juga terjadi
oedemotak.akibat samping yang lama timbulnya katarak.destruksi terjadi dekat luka
masuk dan keluar arus listrik paling kuat.
Kecelakaan akibat bahan kimia biasanya luka bakar dan ini dapat terjadiakibat
kelengahan, pertengkaran, kecelakaan kerja, kecelakaan di industri,kecelakan dil
laboratorium dan akibat penggunaan gas beracun pada peperangan.Bahan kimia dapat
bersifat oksidator seperti fenol dan fosfor putih, juga larutan basa seperti kalium
hidroksida menyebabkan denaturasi protein. Asam sulfatmerusak sel karena bersifat
cepat menarik air. Gas yang dipakai dalam peperangan menimbulkan luka bakar
dan menyebabkan anoksia sel bila berkontak dengan kulit atau mukosa. beberapa bahan
dapat menyebabkan keracunan sistemik. Asam fluorida dan oksalat dapat
menyebabkan hipokalsemia. Asam tanat, kromat, formiat, pikrat, dan posfor dapat
merusak hati dan ginjal kalau diabsorbsi tubuh. Lisol dapat
menyebabkan methemoglobenemia

V. DIAGNOSIS
Diagnosis pada penyakit yang mendasari keluhan hoarseness ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Riwayat trauma yang akurat sebaiknya diperoleh dari pasien, yang meliputi
informasi tentang who, when, where, and how. Pemeriksa harus menanyakan pertanyaan-
pernyataan kepada pasien, orangtua pasien, atau seseorang yang menyertainya, antara
lain:

1. Siapa pasien tersebut?


2. Dimana trauma itu terjadi? Pertanyaan ini penting karena kemungkinanterdapat
kontaminasi bakteri atau kimia.
3. Kapan waktu trauma terjadi ?
4. Bagaimana trauma itu terjadi? Trauma yang alami dapat memberikan perkiraan
tentang hasil cedera jaringan akan seperti apa nantinya.
5. Perawatan apa yang telah diberikan sejak trauma terjadi (bila ada)? Dari pertanya
an ini didapatkan informasi mengenai kondisi awal dari daerah cedera.Apakah
ditemukan adanya gigi atau serpihan gigi ditempat kejadian trauma?
6. Bagaimana status kesehatan umum pasien? Penting diketahui tentang riwayat
kesehatan umum dari pasien tersebut sebelum dilakukan perawatan, yang meliputi
ada atau tidaknya alergi terhadap obat, kelainan jantung, kelainandarah, penyakit
umum lainnya, dan riwayat penyakit terakhir yang diderita sebelum trauma.

Pada pasien yang mendapat cedera pada daerah kepala, biasanya sulit atau tidak
memungkinkan untuk menjelaskan riwayat trauma yang telah terjadi. Pada situasi ini,
riwayat trauma dapat diperoleh dari petugas unit gawat darurat, perawat, orang yang
mendampingi yang pasien, atau siapapun yang melihat dengan jelas bagaimana trauma
terjadi. Mendapatkan riwayat yang adekuat dari pasien trauma maksilofasial adalah sulit,
karena biasanya mereka tidak mampu merespon dengan baik. Keadaan tidak sadar
(koma), syok, amnesia, dan intoksikasi merupakan hambatan yang sering terjadi dalam
menjalin komunikasi dengan pasien. Sumber terbaik yang dapat digunakan adalah
keluarga dekat yang menemaninya, temannya, polisi, atau pekerja pada unit gawat
darurat.

Pemeriksaan Klinis

Perhatian harus segera diarahkan terhadap saluran pernapasan, adekuasi dari ventilasi,
dan kontrol perdarahan eksternal. Sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital,
gangguan saluran pernapasandan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus ditangani
terlebih dahulu. Kemudian baru dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan status
neurologis (paling tidak mengenai tingkat kesadaran, yaitu orientasi terhadap waktu dan
tempat). Pembukaan mata merupakan alat pemeriksan yang berharga untuk menentukan
tingkat kesadaran dan dinilai berdasarkan kemampuan pasien membuka matanya jika diberi
stimuli tertentu, termasuk stimuli yang menyakitkan, apabila diperlukan. Durasi amnesia
paska trauma merupakan indikator yang baik untuk menunjukkan tingkat kerusakan otak,
bila ada. Pasien yang mengalami cedera maksilofasial biasanya disertai dengan
tersumbatnya jalan pernapasan akibat perdarahan eksternal, perdarahan internal, atau benda
asing. Pemeriksaan fisik baru dapat dilakukan setelah pasien dalam kondisi stabil,
perdarahan dan jalan pernapasan telah ditangani. Adapun pemeriksaan fisik tersebut
meliputi.

1. Pemeriksaan Kepala
- Pasien dibersihkan dari semua darah dan benda asing.
- Inspeksi meliputi seluruh cedera yang mengenai jaringan lunak dan dicatat, begitu
juga dengan cedera yang mengenai tulang. Seluruh luka laserasi dan avulsi harus
dicatat kedalaman dan keterkaitannya dengan struktur vital, seperti saraf, glandula
parotis dan sebagainya.
- Palpasi untuk memeriksa ada atau tidaknya step atau jarak, discontinuitas, pergeseran,
dan hilangnya penonjolan. Harus dilakukan palpasi secara hati-hatiterhadap kranium,
sambungan daerah fronto-orbital, naso-orbital kompleks, artikulasi zygomatik, dan mandibula.
2. Pemeriksaan Wajah Bagian Tengah
- Evaluasi adanya mobilitas maksila, kepala pasien distabilisasikan dengan cara
menekan kening pasien cukup kuat dengan satu tangan. Dengan ibu jari dan telunjuk
tangan lainnya mencengkram maksila pada satu sisi, dan digerakkan dengan tekanan
yang stabil sehingga dapat diperoleh kepastian ada atau tidaknya dapatkan mobilitas
maksila. Hal ini untuk memperkirakan adanya mobilitas dari maksila sebagai struktur
maksila itu sendiri atau hubungannya dengan zygoma atau tulang nasal.
- Evaluasi adanya fraktur atau cedera pada saraf yaitu dengan pemeriksaan manual atau
digital adalah dengan mempalpasi dimulai dari superior ke inferior. Lebih baik
memeriksa pasien yang mengalami fisik dari arah belakang apabila memungkinkan.
Pemeriksaan dimulai dari aspek medial dari cincin supraorbital secara bilateral.
Tulang nasal dans aluran nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri
(bidigital). Palpasi diteruskan ke arah lateral menyilang cincin supraorbital menuju
sutura zygomatikofrontalis. Jaringan lunak yang menutupinya digeser dan sutura
dipalpasi apakah terjadi kelainan atau tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari medial
ke lateral untuk mengevaluasi sutura zygomatikomaksilaris. Bagian-bagian yang
mengalami nyeri tekan, dan baal juga dicatat, karena hal ini menunjukkanadanya
fraktur atau cedera pada saraf. Arcus zygomatikus dipalpasi bilateral dan diamati
apakah terdapat tanda-tanda asimetri, dari aspek posterior atau superior. Vestibulum
nasi juga diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum, dan adanya perdarahan
atau cairan.
- Pemeriksaan mata secara lengkap, karena trauma dapat mengakibatkan kehilangan
penglihatan. Hampir fraktur tengah wajah mengenai daerah mata. Pemeriksaan yang
akurat sulit dilakukan pada pasien yang mengalami cedera neurologis. Pemeriksaan
dapat dilakukan dengan menggunakan hitungan jari, deteksi gerakan, atau
penggunaan.
- Pemeriksaan telinga untuk mencari hematoma aurikuler. Mastoid harus diperiksa dari
kemungkinan adanya ekimosis yang disertai dengan hemotimpanum dan otorrhea,
karena merupakan indikasi terjadinya fraktur basis tulang kranial. Adanya laserasi
dari daerah telinga bagian luar merupakan tanda waspada terhadap kemungkinan cedera
pada kondil mandibula.
- Pemeriksaan Hidung. Dicari kerusakan dan pergerakan tulang hidung harus dicatat.
Adanya fraktur septum hidung dan hematoma dapat menyebabkan obstruksi hidung. Hematoma
septum hidung harus didiagnosa dan dievakuasi segera untuk menghindari terjadinya
nekrosis tulang rawan septum hidung yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan
bentuk hidung.
- Pemeriksaan tiga saraf utama trigeminal harus diperiksa untuk kemungkinan terjadinya
anestesi atau parestesi. Saraf kranialis ketiga, empat, lima,enam dan tujuh dites untuk
mengetahui apakah terjadi palsi. Dapatkah pasienmengangkat alisnya dan meretraksi
sudut mulut? Apakah bola mata bisa bergerak bebas, dan apakah pupil bereaksi
terhadap sinar dan berakomodasi?
3. Pemeriksaan Mandibula.
- Evaluasi Lokasi mandibula terhadap maksila apakah tetap digaris tengah, terjadi
pergeseran lateral, atau inferior? Pergerakan mandibula juga dievaluasi dengan jalan
memerintahkan pasien melakukan gerakan-gerakan tertentu, dan apabila ada
penyimpangan juga dicatat. Kisaran gerak dievaluasi pada semua arah dan jarak
interinsisal dicatat.
- Apabila ada meatus akustikus eksternus penuh dengan darah dan cairan, jari telunjuk
dapat dimasukkan dengan telapak mengarah ke bawah dan ke depan untuk melakukan
palpasi endaural terhadapcaput condilus pada saat istirahat dan bergerak. Pada fraktur
subcondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan yang Amat sangat atau caput
mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan posterior mandibula dipalpasi mulai dari
prosesuskondilaris sampai ke simphisis mandibula. Sekali lagi nyeri tekan atau baal,
dan kelainan kontinuitas harus dicatat.
4. Pemeriksaan Tenggorokan dan Rongga Mulut
- Pertama kali yang dilihat secara intraoral adalah oklusi. Dapatkah gigi dioklusikan
seperti biasanya? Dataran oklusal dari maksila dan mandibular diperiksa
kontinuitasnya, dan adanya step deformitas. Bagian yang gigi yang mengalami
pergeseran karena trauma atau alveoli yang kosong karena gigi avulsi, juga dicatat.
Apabila pasien menggunakan protesa, maka protesa tersebut harus dilepas dan
diperiksa apakah ada rusak atau tidak.
- Jaringan lunak mulut diperiksa dalam kaitannya dengan luka, kontusio, abrasi,
ekimosis, dan hematom. Lidah disisihkan, sementara itu dasar mulut dan orofaring
diperiksa, apakah terdapat serpihan-serpihan gigi, restorasi, dan beku darah. Arcus
zygomatikus dan basisnya dipalpasi bilateral.
- Maksila harus dicoba degerakkan dengan memberikan tekanan pada prosesus
alveolaris sebelah anterior dengan tetap menahan kepala. Akhirnya gigi-gigi dan
prosesus alveolaris dipalpasi untuk mengetahui nyeri tekan atau mobilitas. Pemeriksaan
ini meliputi evaluasi oklusi dan penghitungan gigi yang hilang. Adanya gigi yang
terhisap dan tertelan dapat dilihat dengan melakukan radiografi pada dada dan perut.
Gigi tiruan yang lepas juga dapat menyebabkan tersumbatnya jalan pernapasan.
Adanya step dan pergeseran oklusi merupakan indikasi terjadinya fraktur
dentoalveolar ataupun fraktur rahang. Gigitan terbuka lateral (open bite lateral) juga
dapat mengindikasikan adanya fraktur mandibular atau gangguan TMJ. Sedangkan
gigitan terbuka anterior (open bite anterior) mengindikasikan adanya fraktur Le Fort (I, II,
ataupun III).
Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Radiologis
Untuk diagnosis penderita yang mengalami trauma orofasial hanya diperlukan radiograf
oklusal dan periapikal saja. Detail dari cedera gigi (luksasi dan avulsi), dan sebagian
besar fraktur prosessus alveolaris paling baik dirontgen dengan cara ini. Meskipun
demikian, tidak dibenarkan untuk melakukan pembuatan radiografis untuk
mengetahui adanya fraktur bila bukti klinis kurang mendukung. Film
panoramik merupakan film skrining pilihan untuk kasus fraktur maksila dan mandibula.
Pemeriksaan radiograf mandibula secara umum memerlukan dua atau lebih
gambaran radiograf dari empat gambaran radiograf berikut, yaitu (1) panoramik, (2)
proyeksi Towne, (3) proyeksi posteroanterior , dan (4) proyeksioblik lateral kiri dan
kanan.
Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang perluasannya dan
kemungkinan keterlibatan struktur penting disekitarnya masih dipertanyakan, maka
bisa dilakukan CT. CT mempunyai keunggulan dalam hal tidak adanya gambaran
yang tumpang tindih dan bisa mempertahankan detail jaringan lunak.Kedua sifat
tersebut merupakan penunjang yang sangat penting dalam melakukandiagnosis yang
akurat dari fraktur fasial. Melakukan CT pada kepala merupakan prosedur
penyaringan standar untuk menentukan adanya fraktur kepala dan
dapatmenunjukkan adanya trauma intrakranial, misalnya hematom intra- atau extra-
serebral, daerah kontusio, dan edema cerebral.

VI. TATALAKSANA
Perawatan Elektif
Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah
penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, sistem mastikasi, dan fungsi
nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase
perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status nutrisi
pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien merasa
tidak nyaman. Tujuan dari terapi fraktur adalah untuk mengembalikan anatomi dan fungsi
dari tulang dan jaringan lunak dalam waktu yang singkat dengan resiko yang paling kecil.
Terapi fraktur harus dilakukan sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Syarat untuk mendapatkan hasil yang optimal :


 Reposisi fragmen ke posisi yang benar secara anatomis
 Kontak yang baik antara kedua fragmen selama masa penyembuhan
 Imobilisasi
Tahap-tahap terapi :
 Reposisi : Mengembalikan letak fragmen ke posisi yang benar secara anatomi.
 Imobilisasi/ Retensi : Dapat menggunakan IDW, miniplat ataupun sekrup.
 Fiksasi : Tujuannya adalah agar fragmen yang telah direposisi dan mendapat retensi
tidak bergerak selama masa awal penyembuhan, fiksasi ini dapat menggunakan metode
fiksasi maksilomandibular.
 Mobilisasi : Mobilisasi dini sehabis fraktur penting untuk mencegah ankilosis pada
sendi rahang pada kasus fraktur kondilus, mengembalikan jalan nafas orofaringeal dan
mengembalikan rasa percaya diri pasien sehingga dapat berkativitas dengan normal
(fungsi social)

Perawatan Fraktur Maksilofasial


Sebelum dilakukan debridement, diberikan antibiotik profilaks yang dilakukan di
ruangan emergency. Yang terbaik adalah golongan sefalosforin. Biasanya dipakai
sefalosforin golongan pertama. Pada fraktur terbuka, diberikan tambahan berupa golongan
aminoglikosida, seperti tobramicin atau gentamicin. Golongan sefalosforin golongan ketiga
dipertimbangkan di sini. Sedangkan pada fraktur yang dicurigai terkontaminasi kuman
clostridia, diberikan penicillin. Debridement dilakukan pertama kali pada daerah kulit.
Kemudian rawat perdarahan di vena dengan melakuan koagulasi. Buka fascia untuk menilai
otot dan tendon. Viabilitas otot dinilai dengan 4C, “Color, Contractility, Circulation and
Consistency. Lakukan pengangkatan kontaminasi canal medullary dengan saw atau rongeur.
Perawatan fraktur dapat dibedakan menjadi perawatan fraktur secara tertutup (closed)
atau terbuka (open). Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF)
disebut juga reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area
fraktur secara langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah
penggunaan arch bar.
1. Closed Reduction
Pada prinsipnya, terapi fraktur konservatif dapat menggunakan metode:
Yang dicekatkan ke gigi pasien sebagai pegangan (ligature dental, splint dental, arch
bar)
Splin protesa, digunakan pada rahang yang tidak bergigi, dapat dicekatkan dengan
sekrup osteosintesis ke tulang atau dengan circumferential wiring
Yang bertumpu ke struktur tulang ekstra oral (head chin splint dan gips pada fraktur
hidung)
Macam metode IDW (InterdentalWiring) untuk metode tertutup :
a. Ligatur Dental
Ligatur dental sering digunakan sebagai “terapi awal atau dini”. Kelemahannya adalah
kurangnya stabilitas dalam jangka waktu yang lama dan sering merusak struktur
periodonsium gigi. Karena itu, penggunaan ligature dental hanya bersifat sementara.
Pemasangan ligature dapat dilakukan dengan menggunakan kawat berdiameter 0,35 atau
0,4 mm. Tipe ligature dental yang sering digunakan adalah Ivy, Stout, Essig.
b. Arch Bar
Ada 2 tipe Arch bar yaitu direk dan indirek.
a. Tipe Direk
Arch bar langsung dipasang menggunakan bantuan kawat 0,35 atau 0,4 mm.
Keuntungan arch bar jenis ini adalah dapat langsung digunakan tanpa memerlukan proses
pembuatan di laboratorium, umumnya arch bar dipasang pada gigi-gigi di rahang atas dan
bawah, setelah proses ligasi selesai barulah dilakukan MMF. MMF dilakukan dengan
menggunakan karet (rubber) maupun menggunakan kawat 0,4 mm.
b. Tipe Indirek
Pada pasien sebelumnya dilakukan pencetakan dari rahang atas dan bawah dengan
menggunakan alginate, kemudian dilakukan pembuatan arch bar sesuai dengan bentuk
rahang pasien. Keuntungannya adalah bentuk arch bar sesuai dengan bentuk rahang dan
gigi pasien. Selain itu, pada model dan articulator dapat dapat dilakukan penyesuaian
oklusi. Kerugiannya adalah diperlukan tambahan waktu dan biaya untuk pembuatannya.
c. Splin Protesa
Digunakan pada fraktur rahang tidak bergigi, jika pasien mempunyai gigi tiruan
lengkap maka sebelumnya dapat dilakukan duplikasi dari gigi tiruan itu terlebih dahulu.
Selanjutnya prinsipnya adalah pemasangan protesa ke dalam mulut untuk digunakan
sebagai alat bantu guna mendapatkan oklusi dan artikulasi yang baik. Selain itu, MMF
juga dapat dilakukan lewat protesa ini. Protesa dapat difiksasi di mulut menggunakan
sekrup osteosintesi (umumnya diperlukan 3-4 sekrup per rahang).
2. Open Reduction
Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan dan reduksi terhadap
area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. Terapi fraktur dengan metode
open reduction diindikasikan pada :
a. Fraktur multiple dan comminuted
b. Fraktur terbuka
c. Fraktur pada rahang yang atrofi
d. Fraktur yang terinfeksi
e. Fraktur pada pasien yang tidak dapat dilakukan terapi konservatif seperti pada pasien
epilepsy, ketergantungan alcohol, keterbelakangan mental.
f. Terapi fraktur sebaiknya dilakukan secepat mungkin, penundaan perawatan akan
berakibat pada kalsifikasi tulang pada posisi yang salah dan juga meningkatkan resiko
infeksi. Meskipun secara umum fraktur oran dan maksilofasial sebaiknya dirawat
secara terbuka, namun tidak semuanya membutuhkan. Pada fraktur tanpa displacement
umumnya tidak perlu intervensi bedah. Material yang digunakan untuk fiksasi pada
terapi fraktur dengan open reduction antara lain kawat, pelat dan sekrup, miniplat,
mikroplat.

DAFTAR PUSTAKA

Agar, N. J. (2008). Hoarseness What is the voice trying to tell you? Australian Family
Physician Vol. 37, No. 4, 300-304.

Asyari, A., & dkk. (2017). Disfonia Akibat Polip Pita Suara. Majalah Kedokteran Andalas,
52-63.
Debajyoti, R., & Moran, N. (2017). The Evaluation of Hoarseness And Its Treatment.
IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS) Volume 16, Issue 8 Ver.
I, 12-15.

FEIERABEND, R. H., & MALIK, S. N. (2009). Hoarseness in Adults. American Academy


of Family Physicians Volume 80, Number 4, 363-370.

Gusmarina, A., & dkk. (2017). Karakteristik Pasien Disfonia di Poliklinik Telinga Hidung
Tenggorok–Bedah Kepala Leher RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2010-2013.
Artikel Penelitian, 93-99.

Stachler, R. J., & dkk. (2018). Clinical Practice Guideline: Hoarseness (Dysphonia)
(Update) Executive Summary. Guidelines Executive Summary Otolaryngology–Head
and Neck Surgery, 409-426.

Waheed Atilade, A., & dkk. (2018). Diagnosis and Management of Hoarseness in
Developing Country. Open Science Journal, 1-10.

Anda mungkin juga menyukai