b. Le Fort II
Pataha fraktur berbentuk
pyramida. Garis fraktur berjalan
diagonal dari lempeng pterygoid
melewati maxilla menuju tepi
inferior orbita & ke atas melewati sisi medial
orbitahingga mencapai hidung, sehingga
memisahkan alveolus maxilla, dinding medial
orbita dan hidung sebagai bagian tersendiri
c. Le Fort III
Fraktur yang melewati suture
zygomatica frontalis, berlanjut ke
dasar orbita hingga setara
nasofrontale. Pada tipe ini,
tulang-tulang wajah terpisah dari cranium
Penanganan
1. Primary Survey
a. Airway : clear/not, cervical spine control
bebaskan jalan napas
b. Breathing : regular/irregular, frekuensi napas
oksigenasi
c. Circulation: tekanan darah dan nadi
resusitasi
d. Disability: GCS, pupil isokor/unisokor
penilaian kesadaran
e. Exposure: suhu/axilar
2. Secondary Survey
a. Anamnesis: keluhan utama, MOT, HOT
b. Keadaan umum : compos mentis, sakit sedang,
status gizi baik
c. Tanda-tanda vital
d. Status generalisata : head to toe
e. Status lokalisata
1) Inspeksi
- Muka: asimetris, edema, hematoma,
nyeti spontan
- Laserasi: contusion, abrasi, vulnus,
asimetris, edema
- Mata: subconjunctival hemorage,
hematom periorbita, penurunan visus,
gerak bola mata, diplopia
- Depresi frontonasal, deviasi septum nasi
- Malar edema, malar depresi
- Bloody rhinorrhea, bloody otorrhea
- Intra oral: merdarahan aktif, maloklusi,
avulsi gigi
2) Palpasi
- Nyeri tekan, krepitasi
- Step off:
a) Rima orbita Note: Avulsi:
superior kulit dan jaringan
b) Rima orbita bawah kulit
inferior terkelupas, tapi
c) Frontonasalis sebagian masih
d) Zygomaticum ada houngan
e) Unstable dengan tubuh
maxilla Maloklusi:
f) Unstable ketidaksejajaran
mandibula antara maxilla
g) Maloklusi/ dan mandibula
avulsi yang diukur dari
- Hypoesthesia/ molar 1 maxilla
hiperesthesia dan molar 2
3. Plan of Diagnostik: foto Rontgenmandibula
posisi waters,
skull AP/Lat
Penatalaksanaan
1. Penanganan awal (ABCDE)
2. Konservatif:
a. Resusitasi (oksigenasi, cairan kristaloid)
b. Antibiotic: Antibiotik profilaksis meminimalisir
risiko infeksi, indikasi:
- Semua trauma maxillofacial dengan luka
terbuka (open dound)
- Sebagai p[rofilaksis prosedur operasi baik
elektif maupun emergency
Penggunaan antibiotic, pemilihannya
tergantung pada:
- Pola mikroba local (flora normal maupun
pathogen)
- Pketrum dan kemampuan antibiotic
c. Analgetik manajemen nyeri
d. H2RA
3. Operatif (ORIF) dapat dilakukan <14 hari pasca
trauma, indikasi : gangguan fungsi dan estetik
Komplikasi
1. Tergantung jenis fraktur
2. Secara umum komplikasi dapat berupa
a. Komplikasi aesthetic
b. Komplikasi fungsi (maloklusi, malunion/non
union, infeksi)
3. Fr. Mandibula: infeksi, malunion/non union,
maloklusi, nerve injury
4. Fr. TMJ: ankylosis, malunion avascular necrosis
5. Fr. Maxilla: maloklusi, facial deformity, airway
compromise (nasal obstruction), lacrimal ductus
obstruction
6. Fr. NOE: nasal obstruction, enophtalmus
7. Fr. Zygoma: globe disposition, facial deformity,
ocular dan nerve injury
8. Fr. Orbita: ocular injury, dystopia, enophtalmus
9. Fr. Nasal: nasal deformity, upper airway problem
LUKA
Klasifikasi Luka :
- Luka akut : luka yang sembuh secara fisiologis
sesuai proses penyembuhan luka.
- Luka kronik : luka yang tidak sembuh sesuai
fisiologis penyembuhan luka. Problem luka yang
dapat ditemukan nekrotik, eksudat dan infeksi.
Penanganan Luka Kronik :
a. Nekrotik : dilakukan debridement.
b. Eksudat : dilakukan modern dressing
menggunakan produk absorban
c. Infeksi : dilakukan debridement dan pemberian
antibiotik.
2. Simple continous
3. Matras
Horizontal Vertikal
4. Subkutikuler
Note :
Perbedaan skin avulsi
dan skin loss?
Skin avulsi :
terlepasnya sebagian
jaringan dan masih
memiliki hubungan
dengan jaringan
5. Figure of eight tubuh.
Skin loss : terlepasnya
(hemoragic suture)
jaringan dan sudah
tidak memiliki
hubungan dengan
jaringan tubuh.
Dokumentasi
Pre operasi Post operasi
EPISTAKSIS
Epistaksis adalah
perdarahan dari hidung
akibat pecahnya pembuluh
darah. Perdarahan yang
terjadi di hidung dapat
disebabkan oleh kelainan
lokal atau kelainan
sistemik. Kelainan lokal
misalnya trauma, kelainan
anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal,
benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan.
Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular,
kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan
atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.
Pada umumnya
terdapat dua
sumber
perdarahan,
yaitu dari bagian
anterior dan
posterior.
Epistaksis
anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach,
merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai
anak-anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan
sederhana.
Epistaksis
posterior, berasal
dari arteri
sphenopalatina
dan arteri ethmoid
posterior.
Perdarahan
cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri,
sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi
dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular.
Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Perdarahan keluar dari depan atau belakang
hidung
Beratnya perdarahan, frekuensi, lamanya
perdarahan,
Penyebab perdarahan
Riwayat perdarahan hidung sebelumnya,
Keluhan mengenai kelainan pada kepala dan
leher yang berkaitan dengan gejala- gejala yang
terjadi pada hidung,
Riwayat penyakit lain seperti hipertensi, kelainan
perdarahan, dan
Riwayat pengobatan.
2. Pemeriksaan fisik
Pengukuran tekanan darah
Rinoskopi anterior
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi,
dinding lateral hidung dan konkha inferior harus
diperiksa dengan cermat
Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi
posterior penting pada pasien dengan epistaksis
berulang dan sekret hidung
Tampon anterior Tampon posterior
PTOSIS
Pembedahan
Bila levator excursion : 10-15 mm dan Ptosis
ringan (2-3 mm)
Levator plication, Tarsal conjunctival mullerectomy
dan Levator advancement.
Bila levator excursion : Baik tetapi ptosis
moderate (3-5 mm)
Levator plication atau levator advancement
Bila ptosis berat (>5 mm)
frontal Sling
Levator Plication
Fassanella-mulerectomy
Frontal Sling
D. Manifestasi Klinis
Tidak ada prepusium di bagian ventral,
sedangkan prepusium berlebihan di bagian
dorsal
Sering disertai korde (angulasi ke arah ventral)
Kadang kadang ada stenosis uretra dan anomali
testis maldesensus atau hernia inguinalis
E. Klasifikasi
a. Anterior
Granular
Subkoronal
Penille distal
b. Medius
Midshaft
Penis proksimal
c. Posterior
Penoskrotal
Skrotal
Perineal
F. Tindakan
Operatif
Koreksi korde (ortoplasti)
Membuat neouretra (Uretroplasti)
Membuat glans (Glansplasty)
Epispadia
EPISPADIA
A. Definisi
Terbukanya lempeng uretra secara parisal atau
komplit pada permukaan dorsal phallus
B. Etiologi
Epispadia primer: kegagalan perkembangan
kloaka anterior
Kompleks exstrophy-epispadia: kegagalan
migrasi mesoderm kloaka
C. Faktor resiko
Hormonal
Genetik
Lingkungan
D. Patogenesis
E. Klasifikasi
Granular
Penille
penopubic
F. Manifestasi Klinis
Uretra terbuka pada saat lahir, posisi dorsal
Terdapat penis yg melengkung ke arah dorsal,
tampak jelas pada saat ereksi
Terdapat chordae
Terdapat lekukan pada ujung penis
Inkontinesia urin timbul pd epispadia penopubis (
95%) dan penis (75%) karena perkemangan
yang salah dari sfingter urinarius
G. Tindakan operatif
Pelepasan chordee dan pembagian lig.
Suspensorium
Diseksi corpora di tempat menempel sehingga
menembus pubis
Pemanjangan uretra dan corpora
LABIOPALATOSCHIZIS
A. Definisi
Labioskizis, yang umum dikenal dalam
masyarakat sebagai bibir sumbing/celah bibir,
dengan atau tanpa celah langit-langit/palatum
(palatoskizis) adalah malformasi wajah yang umum
di masyarakat.
B. Etiopatogenesis
Teratogen lingkungan dan faktor genetik
keduanya terlibat dalam asal-usul bibir sumbing
dan langit-langit mulut. Paparan intrauterine
terhadap fenitoin antikonvulsan dikaitkan dengan
peningkatan 10 kali lipat insidensi bibir sumbing.
Ibu merokok selama kehamilan menggandakan
insiden bibir sumbing. Teratogen lain, seperti
alkohol, antikonvulsan, dan asam retinoat,
berhubungan dengan pola malformasi yang
meliputi bibir sumbing dan langit-langit mulut,
tetapi belum secara langsung berhubungan
dengan celah yang terisolasi.
C. Klasifikasi
Kriens mempresentasikan organisasi akronim
palindromik dari sumbing. Singkatan: Akronim
LAHSHAL menunjukkan anatomi bilateral bibir (L),
alveolus (A), palatum keras (H), dan lunak (S),
dengan konvensi dari kanan ke kiri. Huruf kecil
mewakili celah struktur yang tidak lengkap; suatu
periode menandakan tidak ada sumbing. Bibir
sumbing bilateral dengan sumbing unilateral
lengkap dari palatum sekunder, dengan sumbing
bibir dan alveolus yang tidak lengkap di satu sisi
akan diwakili sebagai LAHSal. Sistem ini saat ini
digunakan untuk pendaftaran hasil dari American
Cleft Palate and Craniofacial Association (ACPA).
Sistem LAHSAL
Celah langit-langit mulut dapat terjadi sendiri
atau terkait dengan unilateral atau bilateral bibir
sumbing. Celah bisa lengkap atau tidak lengkap,
dan jika tidak lengkap dapat melibatkan palatum
mole saja atau palatum mole dan bagian dari
palatum durum. Submucous cleft palate (SMCP)
adalah suatu kondisi di mana mukosa sebagian
besar masih utuh (terpisah, secara klasik, dari bifid
uvula), tetapi otot-ototnya mirip dengan yang
terlihat pada langit-langit sumbing yang lengkap.
Salah satu metode untuk menggambarkan tipe
celah adalah teknik striped-Y. Ini membagi celah
menjadi lengkap dan tidak lengkap.
Klasifikasi Kernahan. Area yang terkena sumbing diberi label 1-9,
yang masing-masing mewakili struktur anatomi yang berbeda: 1:
Bibir kanan; 2: Alveolus kanan; 3: Premaxilla kanan; 4: Bibir kiri; 5:
Alveolus kiri; 6: Premaxilla kiri; 7: Palatum durum; 8: Palatum mole;
9: Celah submukosa.
Klasifikasi Veau
Tidak terdapat sistem terminologi dan
klasifikasi yang secara universal dapat diterima
bersama, tetapi ada skema klasifikasi yang
diterapkan oleh departemen bedah otolaringologi-
kepala dan leher Universitas Iowa. Bibir sumbing
dibagi menjadi unilateral kiri atau kanan, atau
bilateral (kelompok 1), dapat juga lengkap (dengan
ekstensi mencapai dasar hidung) atau tidak
lengkap. Bibir sumbing saja dapat terjadi, namun
celah yang terjadi pada daerah alveolus selalu
dikaitkan dengan bibir sumbing. Celah pada
palatum dapat dibagi menjadi primer (terlibatnya
anterior foramen insisivum, kelompok 4) atau
sekunder (terlibatnya posterior dari foramen
insisivum, kelompok 2), dan kelompok 3 yaitu
pasien dengan bibir sumbing dan celah palatum.
Klasifikasi Iowa
D. Gejala Klinik
Adanya celah pada palatum dapat
menimbulkan beberapa masalah yaitu gangguan
pada fungsi bicara, penelanan, pendengaran,
keadaan malposisi gigi-geligi, fungsi pernafasan,
perkembangan wajah dan gangguan psikologis
dari orang tua pasien serta adanya gangguan
fisiologis lainnya yaitu adanya gangguan pada
faring yang berhubungan dengan fossa nasal,
pendengaran, dan bicara.
Pada jenis bibir sumbing, celah langit-langit
digambarkan sebagai unilateral (satu palatal shelf
melekat pada septum nasal) atau bilateral.
Jangkauan dari bibir sumbing bisa diklasifikasikan
sebagai bibir sumbing yang lengkap, tidak
lengkap, atau bentuk mikroform. Pada jenis bibir
sumbing yang lengkap, ada gangguan pada
mukosa bibir hingga ke dasar hidung dengan
deformitas nasal terkait. Bibir sumbing bilateral
yang tidak lengkap bisa sangat asimetris.
A B
A.bibir sumbing unilateral complete; B.bibir sumbing
bilateral complete
A B C
Gambar 10. A.Bibir sumbing mikroform; B.bibir sumbing
unilateral incomplete; C.bibir sumbing bilateral incomplete
E. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
menyeluruh, diagnosis bibir sumbing dan celah
palatum dapat ditegakkan. Keluhan-keluhan umum
selain keluhan estetik antara lain gangguan
bersuara, berbicara dan berbahasa, gangguan
menyusu/makan, gangguan pertumbuhan wajah,
pertumbuhan gigi, dan infeksi pendengaran. Pada
pemeriksaan fisik kepala dan leher, dapat
ditemukan asimetri wajah, gangguan
perkembangan telinga, gangguan pendengaran,
celah dan anomali septum, atresia koana,
gangguan rongga mulut dan gigi, fonasi, dan
menelan.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat
mendeteksi celah bibir dan alveolus tidak seperti
celah palatum, yang sulit didiagnosis melalui
penyaringan rutin. Pemeriksaan dan tes tambahan
dapat mengkonfirmasi adanya kelainan bentuk. Ini
termasuk presentasi cephalic anak, indeks massa
tubuh ibu yang rendah, dan pemeriksaan
sebaiknya sekitar minggu ke-20 kehamilan.
A B C
Gambar 12. A. Botol spesial untuk pemberian makan pasien
sumbing; B. Pemberian makan dengan sendok untuk pasien
sumbing; C. Botol spesial untuk pasien celah palatum.
HEMANGIOMA
A. Definisi
Hemangioma merupakan tumor pembuluh
darah yang muncul pada bayi tahun pertama
kelahiran dengan ciri pertumbuhan post natal yang
cepat kemudian mengalami regresi selama masa
kanak.
B. Epidemiologi
Sekitar 80% hemangioma berkembang
sebagai tumor tunggal, 20% sebagai tumor
multiple. Kasus pada bayi berkulit putih lebih
banyak pada bayi berkulit gelap. Hemangioma 3-5
kali lebih banyak pada bayi perempuan.
C. Klasifikasi
Klasifikasi kelainan vaskuler berdasarkan
International Society for the Study of Vascular
Anomalies (ISSVA)
D. Etiologi
Adanya GLUT1 dan berbagai antigen yang
berhubungan dengan plasenta menunjukan bahwa
hemangioma berasal dari sel-sel plasenta yang
terembolisasi, melibatkan perubahan imunofenotip
terhadap sel-sel primitive yang membentuk tumor.
E. Patogenesis
Pembentukan hemangioma terdiri atas tiga
fase, yaitu proliferasi, involusi, dan involusi akhir.
Fase Proliferasi. Hemangioma berkembang
cepat mulai dari tahun pertama kelahiran (0-1
tahun), terbentuk dari sel-sel endothelial dan
perisit yang membelah dan terbungkus dalam
bentuk sinusoid yang saling berhubungan. Fase
proliferasi ini berlangsung selama 3-9 bulan.
Fase Involusi. Terjadi regresi bertahap meliputi:
degenerasi, apoptosis dan pergantian
hemangioma oleh jaringan fibrofatty. Apoptosis
dimulai pada saat hemnagioma mencapai
puncak pertumbuhannya sebelum usia 1 tahun.
Fase Involusi Akhir. Merupakan fase terakhir
perkembangan hemangioma. Sebanyak 50% dari
lesi akan terinvolusi pada umur 5 tahun dan 75%
dari lesi pada umur 7 tahu. Selama fase tersebut,
jumlah sel mast akan turun sampai kembali
normal dan menyisakan jaringan ikat longgal dan
berberntuk saperti pembuluh darah halus.
F. Gambaran Klinis
Hemangioma dapat muncul dibagian tubuh
mana saja. Biasanya hemangioma di kulit tampak
pada neonatus usia 2 minggu, berupa bercak
makula atau telangiektasis berwarna kemerahan.
Sedangkan yang terletak agak di dalam seperti
subkutal atau visceral, baru muncul pada usia 2
hingga 3 bulan. Sebanyak 60% muncul di daerah
kraniofasial, badan 25%, dan ekstremitas 15%.
G. Diagnosis
Anamnesis. Kapan muncul lesi, dan apakah lesi
tersebut cepat membesar dan meningkat selama
tahun pertama kelahiran, apakah lesi tersebut
mengalami ase involusi.
Pemeriksaan fisik. Dilakukan secara
menyeluruh untuk mencari kelainan yang
menyertai seperti hemangioma intrahepatik yang
dapat menebabkan hepatomegali, gagal jantung
kongestif, dan anemia.
Pencitraan berguna untuk mengonfirmasi
diagnosis klinis hemangioma, memperkirakan
luas lesi, dan menentukan kelayakan reseksi lesi
dengan tindakan pembedahan. CT scan dan MRI
untuk lebih memastikan struktur organ dalam
yang terlibat. USG bisa digunakan untuk
mengeetahui apakah lesi bersifat aliran tinggi
atau aliran rendah. MRI dengan kontrak adalah
modalitas pencitraan yang paling bisa diandalkan
untuk mengetahui struktur lesi.
H. Penatalaksanaan
Observasi. Observasi dan konsultasi ke dokter
spesialis bedah plasitik sangat penting apabila
lesi tersebut besar, tumbuh cepat, ada ulserasi,
ada pendarahan, lokasi lesi yang berpotensi
tersangkut, teerkait kardiovaskuler, ada obstruksi
jalan napas, ada gangguan penglihaan, terjadi
trombositopenia, dan timbul nyeri, serta
kemungkinan komplikasi lainnya.
Farmakologi. Kortikosteroid, propanolol,
interferon α-2a, Vinkristin
Flashlamp Pulsed-Dry Laser. Dapat
menghaluskan permukaan kulit, seperti bagian
yang mengalami ulserasi dan hemangioma fase
involusi akhir yang meninggalkan bekas eritema
atau berupa telangiektasis.
Terapi Lain. Seperti thermal/cryotherapy,
skleroterapi, laser intralesi menggunakan laser
KTP (Kalium Titanyl Phosphatase), laser YAG,
laser karbondioksida, dan kateter embolisasi
dengan tetap mempertimbangkan efektivitas,
efisiensi, efikasi, dan efek samping.
Terapi Bedah. Pembedahan dapat dilakukan
berdaraskan siklus fase hemangioma tersebut.
- Fase Proliferasi (Bayi)
Pada fase ini, pembedahan dilakukan
dengan indikasi adanya kemungknan bstruksi,
deformitas, dan pendarahan atau ulserasi yang
tidak berespon dengan pengobatan
medikamentosa dan laser. Biasanya daerah
yang dibedah adalah kepala, meliputi periorbita
dan subglotis.
- Fase Involusi (Awal Kanak-kanak)
Pada fase ini rata-rata anak berusia 3
tahun, mulai mengenal anggota tubuhnya
sendiri, termasuk perbedaan fisiknya.
Pertimbangan estetika sangat penting saat
pembedahan fase ini, termasuk teknik reseksi
dan cara mmenjahitnya.
- Fase Involusi Akhir
Pembedahan dapat diindikasikan pada
beberapa keadaan, seperti hemangaioma
dengan kulit rusak, bentuk permukaan
abnormal, dan hemangioma di bibir dan dagu.
I. Prognosis
Pada umumnya, prognosis tergantung letak
lesi, kecepatan diagnosis, dan keteetapan
tindakan, baik secra obat-obatan maupun tindakan
invasive seperti pembedahan.
J. Komplikasi
- Gangguan penglihatan
- Obstruksi saluran napas
- Perdarahan
- Trombositopenia
- Psikososial
DOSIS DAN RESEP OBAT
1. Paracetamol
Dosis : 10-15 mg/Kg BB/ Hari pemberian 3-6x
sehari
Tablet : 500 mg
Syrup : 120 mg/ 5ml
Vial : 1 gr/ 100 ml
Sediaan lain: Drops 60 mg/ 0,6 ml, supositoria
125 mg/2 ml, 250 mg/4 ml
2. Ibuprofen
Dosis : 30-50 mg/Kg BB/hari pemberian 3-4 kali
pemberian
Tablet : 200 mg
Kapsul : 400 mg
Suspense : 100 mg/5 ml, 200 mg/5 ml
3. Allopurinol
Dosis : anak : 10-20 mg/Kg BB/Hari atau 100- 400
mg/Hari (Max : 400 mg/hari)
Dewasa : 100-300 mg/hari
Tablet : 100 mg, 300 mg
4. Amlodipine
Dosis : 2,5 mg- 10 mg/ hari
Tablet : 5 mg, 10 mg
5. Amoxicilin
Dosis : anak : 20-40 mg/Kg BB terbagi 3 dosis
Dewasa : 250 mg- 500 mg/ hari terbagi dalam 3
dosis
Tablet : 125 mg, 250 mg, 500 mg
Sirup : 125 mg/5 ml
6. Dexametasone
Dosis : 0,02-0,05 mg/Kg BB
Tablet 0,5 mg, 0,75 mg
Injeksi : 5 mg/ml
7. Citirizine
Dosis : anak : 0,25 mg/Kg BB/kali (2 kali perhari)
Dewasa : 1x 10 mg/hari
Tablet : 5 mg, 10 mg
Sirup : 5 mg/5 ml
Drop : 30 ml
8. Asam mafenamat
Dosis : anak : 25 mg/Kg BB/ hari
Dewasa : 500 mg/6 jam sesuai kebutuhan
Tablet : 250 mg, 500 mg
Sirup : 50 mg/5 ml
9. Natrium Diclofenak
Dosis : 75- 100 mg/Kg BB/Hari 2-3 dosis perhari
Tablet : 25 mg, 50 mg, 75 mg, 100 mg
Suppositoria : 50 mg
10. Ranitidin
Dosis : 2-4 mg/Kg BB/Hari
Ampul : 50 mg/2 ml
Tablet : 150 mg
11. Cefadroxil
Dosis : 25-50 mg/Kg BB /hari
Capsul : 500 mg
Sirup : 125 mg/5 ml
12. Cefixime
Dosis : 1,5 – 3 mg/Kg BB/hari
Capsul : 100 mg, 200 mg
Sirup : 100 mg/5 ml
13. Ceftriaxone
Dosis : 20-50 mg/Kg BB/hari 2x1
Vial 1 gr
14. Cefotaxime
Dosis : 20-50 mg/Kg BB/hari 2x1
Vial 1 gr, 0,5 gr
15. Ketorolac
Dosis: 0,5 mg/Kg BB/kali
Ampul : 30 mg/ml, 10 mg/ml
16. Lidocaine HCL 2%
Dosis : 3 - 4,5 mg/Kg BB/kali
Sediaan : Lidocaine HCL 2% 20 mg/2 ml
RESEP
Penulisan resep
- Inscriptio : Izin praktek (SIP) dokter, tanggal
penulisan resep
- Invocatio : Tanda R/ pada bagian kiri setiap
penulisan resep (Recipe = harap diambil
- Prescriptio/ Ordonatio: Nama obat yang
diinginkan, bentul sediaan obat, dosis obat, dan
jumlah obat yang diminta
- Signature, disingkat S : Petunjuk penggunaan
obat bagi pasien yang terdiri dari tanda cara pakai,
regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu
pemberian
- Subscriptio : Tanda tangan/ paraf dokter penulis
resp yang berperan sebagai legalitas dan
keabsahan resep
- Pro : Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan
berat badan pasien
Contoh penulisan resep
LUKA BAKAR
Definisi
Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat
sentuhan permukaan tubuh dengan dengan benda-
benda yang menghasilkan panas baik kontak secara
langsung maupun tidak langsung.
Luka bakar pada kehamilan
dengan luas 60% tau lebih :
Klasifikasi Luka Bakar terminasi kehamilan
Dewasa : rule of nne
Anak : Modifikasi rule of nine
Luka bakar berat
Kriteria luka bakar
berat:
TBSA ≥25%
TBSA ≥20% pada
anak usia dibawah 10
tahun dan dewasa
usia diatas 40 tahun
TBSA ≥10% pada
luka bakar full-
thickness
Semua luka bakar
yang mengenai
daerah mata, wajah,
telinga, tangan, kaki,
atau perineum yang
dapat menyebabkan
Bula: Jaringan nekrotik gangguan fungsi atau
berisi cairan kosmetik.
Eskar: jaringan nekrosis Semua luka bakar
akibat denaturasi protein listrik
jaringan kulit Semua luka bakar
yang disertai trauma
berat atau trauma
inhalasi
Derajat luka bakar
Fase Akut :
- Plan of Diagnostik
- Resusitasi Cairan : Resusitasi cairan baxter
Estimasi kebutuhan cairan
3 ml x Berat Badan (kg) x
%Luas luka bakar Indikasi Baxter :
+ maintenance untuk anak, - Dewasa : > 20 %
½ diberikan pada 8 jam luas luka
pertama dan ½ diberikan - Anak : 10 % luas
pada 16 jam berikutnya luka
Cairan maintenance pada - < 24 jam
anak (<16 tahun) “4:2:1” rule.
4 ml/kg/jam sampai 10 kg
2 ml/kg/jam dari 11-20 kg
1 ml/kg/jam untuk setiap kg lebih dari 20 kg
- Rawat Luka
Cuci dengan NCal o,9%
Oles betadine (Povidone iodine)
Tutup Tule (daniatule)
Topika (silver sulfadiazine)
Tutup Kasa Steril
Luka di buka Pada hari ke 5-7