Anda di halaman 1dari 60

Trauma Maksilofacial

Terjadi sekitar 6% dari seluruh trauma. Penderita laki-


laki >> perempuan (produktif 21-30 tahun). 50 %
trauma maksilofacial disertai cedera lainnya.
Tulang maksilofacial terdiri dari : os orbita, os
zygomaticus dan os eithmoidalis
Jenis dan tingkat keparahan trauma:
1. Posisi anatomi wajah
2. Luas daerah yang terkena trauma
3. Resistensi, apakah ada pergeseran kepala,
jaringan lunak, atau apakah ada kontak dengan
tulang.
4. Sudut arah datangnya trauma
Jaringan keras
a. Fraktur dentoalveolar : trauma pada jaringan
keras gigi dan pulpa
Trauma pada tulang pendukung gigi
b. Fraktur pada tulang penyusun wajah
- Fr. 1/3 atas : fr. Frontal dan fr. Orbita
- Fr. 1/3 tengah: fr. Maksila : Le Fort I, II dan III
- Fr. 1/3 bawah : fr. Mandibula, berdasarkan
letaknya : Midline, Parasymphaseal
symphysis, angle, ramus, proc.
condyles,proc. coroid, dan proc. alveolaris
Klasifikasi fraktur maxilla
a. Le Fort I
Fraktur transversal yang melalui
lantai rongga sinus maxilladi atas
gigi, sehingga memisahkan
procesus alveolaris, palatum dan procesus
pterygoid & struktur tengkorak wajah di atasnya

b. Le Fort II
Pataha fraktur berbentuk
pyramida. Garis fraktur berjalan
diagonal dari lempeng pterygoid
melewati maxilla menuju tepi
inferior orbita & ke atas melewati sisi medial
orbitahingga mencapai hidung, sehingga
memisahkan alveolus maxilla, dinding medial
orbita dan hidung sebagai bagian tersendiri

c. Le Fort III
Fraktur yang melewati suture
zygomatica frontalis, berlanjut ke
dasar orbita hingga setara
nasofrontale. Pada tipe ini,
tulang-tulang wajah terpisah dari cranium

# Fraktur panfasial adalah fraktur yang mencakup dua


dari tiga area wajah yaitu tulang frontal, tulang wajah
tengah dan mandibula.

# Tulang-tulang penyusun orbita:


1. Os. frontal
2. Os. Zygomaticum
3. Os. Maxilla
4. Os. Sphenoid
5. Os. Ethmoid
6. Os. Lacrimal
7. Os. Palatine
Terdapat 2 fissura (orbita superior, orbita onferior)
dan 1 foramen (canalis optic)

Penanganan
1. Primary Survey
a. Airway : clear/not, cervical spine control 
bebaskan jalan napas
b. Breathing : regular/irregular, frekuensi napas 
oksigenasi
c. Circulation: tekanan darah dan nadi 
resusitasi
d. Disability: GCS, pupil isokor/unisokor 
penilaian kesadaran
e. Exposure: suhu/axilar
2. Secondary Survey
a. Anamnesis: keluhan utama, MOT, HOT
b. Keadaan umum : compos mentis, sakit sedang,
status gizi baik
c. Tanda-tanda vital
d. Status generalisata : head to toe
e. Status lokalisata
1) Inspeksi
- Muka: asimetris, edema, hematoma,
nyeti spontan
- Laserasi: contusion, abrasi, vulnus,
asimetris, edema
- Mata: subconjunctival hemorage,
hematom periorbita, penurunan visus,
gerak bola mata, diplopia
- Depresi frontonasal, deviasi septum nasi
- Malar edema, malar depresi
- Bloody rhinorrhea, bloody otorrhea
- Intra oral: merdarahan aktif, maloklusi,
avulsi gigi
2) Palpasi
- Nyeri tekan, krepitasi
- Step off:
a) Rima orbita Note: Avulsi:
superior kulit dan jaringan
b) Rima orbita bawah kulit
inferior terkelupas, tapi
c) Frontonasalis sebagian masih
d) Zygomaticum ada houngan
e) Unstable dengan tubuh
maxilla Maloklusi:
f) Unstable ketidaksejajaran
mandibula antara maxilla
g) Maloklusi/ dan mandibula
avulsi yang diukur dari
- Hypoesthesia/ molar 1 maxilla
hiperesthesia dan molar 2
3. Plan of Diagnostik: foto Rontgenmandibula
posisi waters,
skull AP/Lat

Tanda dan gejala


1. Faktur frontalis:
- Umumnya bersifat depressed ke dalam atau
hanya berupa garis fraktur linear yang dapat
meluas ke daerah wajah yang lain
- Rupture duramater  jika mengenai dinding
posterior sinus  rinore mengandung LCS
- Nyeri tekan
- Palpasi: krepitasi (depresi pada regio glabella)
2. Fraktur orbita:
- Erat hubungannya dengan fraktur maxilla
mendorong bola mata ke dalam secara
mendadak
- Enoftalmus, exoftalmus
- Diplopia
- Asimetris pada muka
- Gangguan saraf sensoris pada distribusi cabang
ke 2 N. trigeminus
- Bias timbul komplikasi ocular
3. Fraktur mandibula
- Nyeri pada pergerakan rahang
- Pembengkakan
- Laserasi pada kulit mandibula
- Anesthesia dapat terjadi pada satu sisi bibir
bawah, gusi, gigi (N. alveolaris rusak)
- Gangguan jalan napas kerusakan hebat pada
mandibula seperti peribahan posisi, trismus,
hematoma & edema jaringan lunak
4. Fraktur zygomaticus
- Fraktur os. Zygoma
- Pipi lebih rata
- Perlekatan lig. Cathal lateral rendah
- Diplopia
- Edema orbita
- Perdaraham subkonjungtiva lateral
- Emfiema subkutis
- Pistaksis karena terjadi pada antrum
- Trismus
5. Fraktur maxilla
Le Fort I (Guerin’s)
- Floating jaw (pergerakan rahang atas)
- Hiposthesia N. infraorbital terjadi karenaadanya
edema
- Palpasi: Gerakan tidak normal akibat fraktur
dirasakan dengan jari

Note: Blow out fracture: displacement dari


tulang orbita, orbital tissue dan bulbus oculi kea
rah luar dari rongga orbita yang dapat
menyebabkan enofthalmus dan diplopia, yang
merupakan akibat tekanan hidrolik pada bola
mata dan dapat berupa tekanan mendadak bola
mata
Blow in fracture: displacement dari tulang orbita
atau dinding orbita kea rah dalam menyebabkan
volume orbita menurun
Le Fort II
- Edema kedua periorbital
- Ekimosis seperti rawon sign
- Hypoesthesia di N. infraorbital
- Maloklusi
- Deformitas saat palpasi di daerah infraorbital dan
sutura nasofrontal
- Keluarnya LCS dan epistaksis
Le Fort III
- Dsifungsi craniofacial
- Remuknya wajah
- Mobilitas tulang zygomatica -maxilla kompleks
- Keluarnya LCS
- Edema dan ekimosis periorbital

Penatalaksanaan
1. Penanganan awal (ABCDE)
2. Konservatif:
a. Resusitasi (oksigenasi, cairan kristaloid)
b. Antibiotic: Antibiotik profilaksis meminimalisir
risiko infeksi, indikasi:
- Semua trauma maxillofacial dengan luka
terbuka (open dound)
- Sebagai p[rofilaksis prosedur operasi baik
elektif maupun emergency
Penggunaan antibiotic, pemilihannya
tergantung pada:
- Pola mikroba local (flora normal maupun
pathogen)
- Pketrum dan kemampuan antibiotic
c. Analgetik manajemen nyeri
d. H2RA
3. Operatif (ORIF)  dapat dilakukan <14 hari pasca
trauma, indikasi : gangguan fungsi dan estetik

Komplikasi
1. Tergantung jenis fraktur
2. Secara umum komplikasi dapat berupa
a. Komplikasi aesthetic
b. Komplikasi fungsi (maloklusi, malunion/non
union, infeksi)
3. Fr. Mandibula: infeksi, malunion/non union,
maloklusi, nerve injury
4. Fr. TMJ: ankylosis, malunion avascular necrosis
5. Fr. Maxilla: maloklusi, facial deformity, airway
compromise (nasal obstruction), lacrimal ductus
obstruction
6. Fr. NOE: nasal obstruction, enophtalmus
7. Fr. Zygoma: globe disposition, facial deformity,
ocular dan nerve injury
8. Fr. Orbita: ocular injury, dystopia, enophtalmus
9. Fr. Nasal: nasal deformity, upper airway problem
LUKA

Definisi: Diskontinuitas jaringan akibat trauma atau


pembedahan.

Identifikasi luka: Ukuran luka, tepi luka, dasar luka,


problem pada luka.

Fase penyembuhan luka :


- Fase inflamasi (0-5 hari)
Terjadi proses inflamasi yaitu akumulasi PMN,
platelet agregasi dan pelepasan benang-benang
fibrin&makrofag sebagai pertahanan awal jika terjadi
infeksi dan persiapan pembentukan jaringan baru.
- Fase proliferasi (5-21 hari)
Terjadi granulasi (mengisi ruang kosong pada luka),
angiogenesis (pembentukan kapiler baru untuk
suplai oksigen ke dalam jaringan), dan kontraksi
(menarik kedua tepi luka agar saling berdekatan).
- Fase remodelling (21 hari-1 tahun)
Tahap akhir, terjadi pembentukan kolagen. Akhir
dari penyembuhan luka didapatkan parut luka yang
matang.

Klasifikasi Luka :
- Luka akut : luka yang sembuh secara fisiologis
sesuai proses penyembuhan luka.
- Luka kronik : luka yang tidak sembuh sesuai
fisiologis penyembuhan luka. Problem luka yang
dapat ditemukan nekrotik, eksudat dan infeksi.
Penanganan Luka Kronik :
a. Nekrotik : dilakukan debridement.
b. Eksudat : dilakukan modern dressing
menggunakan produk absorban
c. Infeksi : dilakukan debridement dan pemberian
antibiotik.

Step Ladder Penyembuhan Luka :


- Secondary healing : luka yang dapat sembuh secara
spontan.
- Primary healing : penutupan luka dengan
penjahitan.
- Skin graft : teknik memindahkan kulit sebagian (split
thickness) atau keseluruhan (full thickness) tebal
kulit (epidermis dan dermis).
- Skin flap : teknik memindahkan kulit beserta jaringan
dibawahnya. Terbagi menjadi flap lokal, flap regional
dan free flap.
Konsep perawatan luka :
Perawatan berbasis suasana lembab akan sembuh 2
kali lebih cepat. Pada keadaan lembab, invasi neutrofi
l yang diikuti oleh makrofag, monosit, dan limfosit ke
daerah luka berlangsung lebih dini.
Luka kering - di basahkan.
Luka basah  di keringkan.
Modern Dressing :
Perawatan luka modern memiliki prinsip menjaga
kelembapan luka dengan menggunakan bahan
seperti hydrogel yang berfungsi menciptakan
lingkungan luka tetap lembab, melunakkan serta
menghancurkan jaringan nekrotik tanpa merusak
jaringan sehat, yang kemudian terserap ke dalam
struktur gel dan terbuang bersama pembalut
(debridemen autolitik alami).
Jenis modern dressing lain, yakni :
- Ca Alginat, kandungan Ca-nya dapat membantu
menghentikan perdarahan.
- Hidroselulosa yang mampu menyerap cairan dua
kali lebih banyak dibandingkan Ca Alginat.
- Hidrokoloid yang mampu melindungi dari
kontaminasi air dan bakteri, dapat digunakan untuk
balutan primer dan sekunder. Penggunaan jenis
modern dressing disesuaikan dengan jenis luka.
- Untuk luka yang banyak eksudatnya dipilih bahan
balutan yang menyerap cairan seperti foam,
sedangkan pada luka yang sudah mulai tumbuh
granulasi, diberi gel untuk membuat suasana
lembab yang akan membantu mempercepat
penyembuhan luka.
Teknik menjahit :
1. Simple interuptus

2. Simple continous

3. Matras
Horizontal Vertikal

4. Subkutikuler
Note :
Perbedaan skin avulsi
dan skin loss?
Skin avulsi :
terlepasnya sebagian
jaringan dan masih
memiliki hubungan
dengan jaringan
5. Figure of eight tubuh.
Skin loss : terlepasnya
(hemoragic suture)
jaringan dan sudah
tidak memiliki
hubungan dengan
jaringan tubuh.
Dokumentasi
Pre operasi Post operasi
EPISTAKSIS

Epistaksis adalah
perdarahan dari hidung
akibat pecahnya pembuluh
darah. Perdarahan yang
terjadi di hidung dapat
disebabkan oleh kelainan
lokal atau kelainan
sistemik. Kelainan lokal
misalnya trauma, kelainan
anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal,
benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan.
Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskular,
kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan
atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.

Pada umumnya
terdapat dua
sumber
perdarahan,
yaitu dari bagian
anterior dan
posterior.
Epistaksis
anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach,
merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai
anak-anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan
sederhana.

Epistaksis
posterior, berasal
dari arteri
sphenopalatina
dan arteri ethmoid
posterior.
Perdarahan
cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri,
sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi
dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular.

Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
 Perdarahan keluar dari depan atau belakang
hidung
 Beratnya perdarahan, frekuensi, lamanya
perdarahan,
 Penyebab perdarahan
 Riwayat perdarahan hidung sebelumnya,
 Keluhan mengenai kelainan pada kepala dan
leher yang berkaitan dengan gejala- gejala yang
terjadi pada hidung,
 Riwayat penyakit lain seperti hipertensi, kelainan
perdarahan, dan
 Riwayat pengobatan.
2. Pemeriksaan fisik
 Pengukuran tekanan darah
 Rinoskopi anterior
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi,
dinding lateral hidung dan konkha inferior harus
diperiksa dengan cermat
 Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi
posterior penting pada pasien dengan epistaksis
berulang dan sekret hidung
Tampon anterior Tampon posterior
PTOSIS

Ptosis (yunani : jatuh) merupakan keadaan jatuhnya


kelopak mata sehingga batasnya berada dibawah
posisi normal. Normalnya 1 mm- 2 mm diatas limbus
kornea. Ptosis adalah
kondisi dimana
pelpebra superior
menurun sehingga
posisi kelopak
dibawah kedudukan
normal pelpebra
superior yaitu 2 mm dari tepi limbus atas dan pelpebra
inferior berposisi di tepi limbus bawah.
Klasifikasi Ptosis
A. Congenital : Disebabkan kelemahan atau tidak
berkembang musculus levator palpebrae superioris
(LPS) : Simple congenital ptosis, Congenital ptosis
with associated weakness of superior rectus
muscle, Blepharophimosis syndrome, Congenital
synkinetic ptosis (Marcus Gunn jaw winking ptosis)
B. Acquired :
1. Neurogenic : 3rd nerve palsy, Horner’s
syndrome, Jaw-wink ptosis
2. Myogenic : Localized dystrophy (most
common), other muscle diseases (myotonic
dystrophy)
3. Aponeurotic : disinsertion of aponeurosis
4. Mechanical : Lid tumor
5. Neuromyogenic : Myasthenia
C. Pseudo-ptosis : Microphthalmic eye,
anophthalmos, phthisis bulbi, hypotropia,
contralateral lid retraction, contralateral proptosis
Diagnosis
1. Anamnesis
Durasi, usia, keparahan, derajat ptosis yang terjadi
sepanjang hari, riwayat trauma, operasi
sebelumnya dan juga riwayat keluarga dari pasien
ptosis. Penglihatan ganda: myasthenia gravis
(MG). Keluhan disfonia, dispnea, disfagia, atau
kelemahan otot proximal mengacu pada MG
sistemik. Evaluasi klinis: bandingkan foto lama
pasien dengan tampilan klinis saat berobat.
2. Pemeriksaan Pada Mata
3. Ukur lipatan supratarsal dan simetrisitas
4. Evaluasi kontur kelopak mata
5. Lakukan penilaian ptosis
6. Ukur fungsi levator
7. Periksa visus
8. Periksa oto-otot ekstra okuler

Penilaian Ptosis Normalnya 9-10


 Mata menghadap kedepan
mm, dan
 Mengukur bagian bawah
dikatakan ptosis
kelopak mata bawah, dan
pengukuran dilakukan
apabila <9 mm
ditengah kelopak.
Derajat Ptosis

Marginal Reflex distance


Margin Reflex Distance (MRD) adalah jarak antara
tepi kelopak mata atas dengan reflek kornea yang
diukur dengan mistar atau penggaris dan dinyatakan
dalam milimeter (mm). Jika tepi kelopak mata atas
tepat pada sentral pupil dinyatakan dengan 0. Jika
tepi kelopak mata atas jatuh melewati sentral pupil
dinyatakan dalam tanda minus.

Pembedahan
 Bila levator excursion : 10-15 mm dan Ptosis
ringan (2-3 mm)
Levator plication, Tarsal conjunctival mullerectomy
dan Levator advancement.
 Bila levator excursion : Baik tetapi ptosis
moderate (3-5 mm)
Levator plication atau levator advancement
 Bila ptosis berat (>5 mm)
frontal Sling
Levator Plication

Terapi pilihan untuk


ptosis baik ringan
sedang sampai berat
Dapat digunakan pada
individu dengan
levator excursion > 6
mm

Fassanella-mulerectomy
Frontal Sling

 Prinsip dari sling adalah mengikat kelopak mata


atas ke otot frontalis dengan bahan sintetic
maupun autologous seperti fasia lata
 Bila fungsi levator poor (<5 mm) atay absent
HIPOSPADIA
A. Definisi
Kelainan kongenital berupa muara uretra yang
terletak di ventral penis dan proksimal ujung penis.
B. Etiologi
 Faktor genetik
Pada bayi kembar homozigot dengan 1 placenta,
kebutuhan HCG menjadi tidak adekuat
 Faktor endokrin
Kekurangan hormon androgen
Mutasi gen 5-a-reduktase yang mengubah
testosteron menjadi dihidrotestosteron
 Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang mengakibatkan
gangguan endokrin
C. Patogenesis

D. Manifestasi Klinis
 Tidak ada prepusium di bagian ventral,
sedangkan prepusium berlebihan di bagian
dorsal
 Sering disertai korde (angulasi ke arah ventral)
 Kadang kadang ada stenosis uretra dan anomali
testis maldesensus atau hernia inguinalis
E. Klasifikasi
a. Anterior
 Granular
 Subkoronal
 Penille distal
b. Medius
 Midshaft
 Penis proksimal
c. Posterior
 Penoskrotal
 Skrotal
 Perineal
F. Tindakan
Operatif
 Koreksi korde (ortoplasti)
 Membuat neouretra (Uretroplasti)
 Membuat glans (Glansplasty)

Usia yang ideal untuk


dilakukan operasi adalah
pada usia 6-12 bulan.

Epispadia
EPISPADIA
A. Definisi
Terbukanya lempeng uretra secara parisal atau
komplit pada permukaan dorsal phallus
B. Etiologi
 Epispadia primer: kegagalan perkembangan
kloaka anterior
 Kompleks exstrophy-epispadia: kegagalan
migrasi mesoderm kloaka
C. Faktor resiko
 Hormonal
 Genetik
 Lingkungan
D. Patogenesis
E. Klasifikasi
 Granular
 Penille
 penopubic
F. Manifestasi Klinis
 Uretra terbuka pada saat lahir, posisi dorsal
 Terdapat penis yg melengkung ke arah dorsal,
tampak jelas pada saat ereksi
 Terdapat chordae
 Terdapat lekukan pada ujung penis
 Inkontinesia urin timbul pd epispadia penopubis (
95%) dan penis (75%) karena perkemangan
yang salah dari sfingter urinarius
G. Tindakan operatif
 Pelepasan chordee dan pembagian lig.
Suspensorium
 Diseksi corpora di tempat menempel sehingga
menembus pubis
 Pemanjangan uretra dan corpora
LABIOPALATOSCHIZIS

A. Definisi
Labioskizis, yang umum dikenal dalam
masyarakat sebagai bibir sumbing/celah bibir,
dengan atau tanpa celah langit-langit/palatum
(palatoskizis) adalah malformasi wajah yang umum
di masyarakat.

B. Etiopatogenesis
Teratogen lingkungan dan faktor genetik
keduanya terlibat dalam asal-usul bibir sumbing
dan langit-langit mulut. Paparan intrauterine
terhadap fenitoin antikonvulsan dikaitkan dengan
peningkatan 10 kali lipat insidensi bibir sumbing.
Ibu merokok selama kehamilan menggandakan
insiden bibir sumbing. Teratogen lain, seperti
alkohol, antikonvulsan, dan asam retinoat,
berhubungan dengan pola malformasi yang
meliputi bibir sumbing dan langit-langit mulut,
tetapi belum secara langsung berhubungan
dengan celah yang terisolasi.

C. Klasifikasi
Kriens mempresentasikan organisasi akronim
palindromik dari sumbing. Singkatan: Akronim
LAHSHAL menunjukkan anatomi bilateral bibir (L),
alveolus (A), palatum keras (H), dan lunak (S),
dengan konvensi dari kanan ke kiri. Huruf kecil
mewakili celah struktur yang tidak lengkap; suatu
periode menandakan tidak ada sumbing. Bibir
sumbing bilateral dengan sumbing unilateral
lengkap dari palatum sekunder, dengan sumbing
bibir dan alveolus yang tidak lengkap di satu sisi
akan diwakili sebagai LAHSal. Sistem ini saat ini
digunakan untuk pendaftaran hasil dari American
Cleft Palate and Craniofacial Association (ACPA).

Sistem LAHSAL
Celah langit-langit mulut dapat terjadi sendiri
atau terkait dengan unilateral atau bilateral bibir
sumbing. Celah bisa lengkap atau tidak lengkap,
dan jika tidak lengkap dapat melibatkan palatum
mole saja atau palatum mole dan bagian dari
palatum durum. Submucous cleft palate (SMCP)
adalah suatu kondisi di mana mukosa sebagian
besar masih utuh (terpisah, secara klasik, dari bifid
uvula), tetapi otot-ototnya mirip dengan yang
terlihat pada langit-langit sumbing yang lengkap.
Salah satu metode untuk menggambarkan tipe
celah adalah teknik striped-Y. Ini membagi celah
menjadi lengkap dan tidak lengkap.
Klasifikasi Kernahan. Area yang terkena sumbing diberi label 1-9,
yang masing-masing mewakili struktur anatomi yang berbeda: 1:
Bibir kanan; 2: Alveolus kanan; 3: Premaxilla kanan; 4: Bibir kiri; 5:
Alveolus kiri; 6: Premaxilla kiri; 7: Palatum durum; 8: Palatum mole;
9: Celah submukosa.

Pada tahun 1931, Victor Veau menerbitkan


Divisi Palatine, yang menggambarkan
pendekatannya terhadap evaluasi dan
pengelolaan celah palatum. Klasifikasi celah
palatal Veau yang sangat sederhana terdiri dari
empat bentuk morfologis yaitu:
1. Celah pada palatum mole saja
2. Celah palatum mole dan palatum durum yang
mencapai foramen insisivus
3. Celah alveolar yang lengkap pada satu sisi saja
yang juga secara umum mengikutsertakan bibir
4. Celah alveolar pada kedua sisi yang sering
dikaitkan dengan bibir sumbing kedua sisi.

Klasifikasi Veau
Tidak terdapat sistem terminologi dan
klasifikasi yang secara universal dapat diterima
bersama, tetapi ada skema klasifikasi yang
diterapkan oleh departemen bedah otolaringologi-
kepala dan leher Universitas Iowa. Bibir sumbing
dibagi menjadi unilateral kiri atau kanan, atau
bilateral (kelompok 1), dapat juga lengkap (dengan
ekstensi mencapai dasar hidung) atau tidak
lengkap. Bibir sumbing saja dapat terjadi, namun
celah yang terjadi pada daerah alveolus selalu
dikaitkan dengan bibir sumbing. Celah pada
palatum dapat dibagi menjadi primer (terlibatnya
anterior foramen insisivum, kelompok 4) atau
sekunder (terlibatnya posterior dari foramen
insisivum, kelompok 2), dan kelompok 3 yaitu
pasien dengan bibir sumbing dan celah palatum.

Klasifikasi Iowa

D. Gejala Klinik
Adanya celah pada palatum dapat
menimbulkan beberapa masalah yaitu gangguan
pada fungsi bicara, penelanan, pendengaran,
keadaan malposisi gigi-geligi, fungsi pernafasan,
perkembangan wajah dan gangguan psikologis
dari orang tua pasien serta adanya gangguan
fisiologis lainnya yaitu adanya gangguan pada
faring yang berhubungan dengan fossa nasal,
pendengaran, dan bicara.
Pada jenis bibir sumbing, celah langit-langit
digambarkan sebagai unilateral (satu palatal shelf
melekat pada septum nasal) atau bilateral.
Jangkauan dari bibir sumbing bisa diklasifikasikan
sebagai bibir sumbing yang lengkap, tidak
lengkap, atau bentuk mikroform. Pada jenis bibir
sumbing yang lengkap, ada gangguan pada
mukosa bibir hingga ke dasar hidung dengan
deformitas nasal terkait. Bibir sumbing bilateral
yang tidak lengkap bisa sangat asimetris.
A B
A.bibir sumbing unilateral complete; B.bibir sumbing
bilateral complete

A B C
Gambar 10. A.Bibir sumbing mikroform; B.bibir sumbing
unilateral incomplete; C.bibir sumbing bilateral incomplete

E. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
menyeluruh, diagnosis bibir sumbing dan celah
palatum dapat ditegakkan. Keluhan-keluhan umum
selain keluhan estetik antara lain gangguan
bersuara, berbicara dan berbahasa, gangguan
menyusu/makan, gangguan pertumbuhan wajah,
pertumbuhan gigi, dan infeksi pendengaran. Pada
pemeriksaan fisik kepala dan leher, dapat
ditemukan asimetri wajah, gangguan
perkembangan telinga, gangguan pendengaran,
celah dan anomali septum, atresia koana,
gangguan rongga mulut dan gigi, fonasi, dan
menelan.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat
mendeteksi celah bibir dan alveolus tidak seperti
celah palatum, yang sulit didiagnosis melalui
penyaringan rutin. Pemeriksaan dan tes tambahan
dapat mengkonfirmasi adanya kelainan bentuk. Ini
termasuk presentasi cephalic anak, indeks massa
tubuh ibu yang rendah, dan pemeriksaan
sebaiknya sekitar minggu ke-20 kehamilan.

Gambaran tiga dimensi neonatal-variasi deformitas celah

Dalam hal identifikasi sumbing, konseling


genetik keluarga termasuk amniosentesis harus
dilakukan. Untuk tujuan ini, kemajuan kehamilan
dan riwayat keluarga harus diketahui. Paparan
faktor teratogenik, keberadaan anggota keluarga
dengan sumbing atau cacat lahir lainnya, masalah
perkembangan, dan sindrom genetik adalah
parameter penting untuk dijelajahi selama
konseling. Dalam kasus di mana sumbing
didiagnosis sebelum lahir, tim sumbing akan
terlibat dalam manajemen sehingga keluarga
dapat mengetahui tentang sifat kelainan bentuk
tubuh serta strategi perawatannya. Dukungan
psikologis dan emosional keluarga adalah
prosedur yang sangat penting pada saat ini karena
efek yang sangat negatif setelah diagnosis
terkonfirmasi.
F. Tatalaksana
Masalah celah bibir dan palatum melibatkan
anak dan orang tua, bersifat kompleks, bervariasi,
dan membutuhkan penanganan yang lama.
Penanganan anak kelainan celah bibir dengan
atau tanpa celah palatum dan kelainan celah
palatum memerlukan kerjasama tim, seperti bagian
anak, THT, bedah, gigi, ortopedi, ahli rehabilitasi
suara dan pendengaran, dan beberapa bidang lain
seperti bedah saraf, mata, prostodontik, perawat,
dan psikolog. Jadi penanganan pasien CLP perlu
kerjasama para spesialis tersebut dalam teamwork
yang harmonis dengan diatur dalam suatu
protokol.
1. Pasien Baru Lahir
Bertemu pekerja sosial untuk diberi penerangan
agar keluarga penderita tidak stress dan
menerangkan harapan nyata yang bisa didapat
dengan perawatan menyeluruh bagi anaknya.
Perlu dijelaskan juga mengenai protocol yang
harus dijalani kelak. Edukasi mengenai cara
memberi minum bayi agar tidak banyak
tumpah. Dibuatkan record psikososial pasien,
dari sini diambil sebagai bagian record CLP
pada umumnya.
2. Pasien Umur 3 Bulan
 Operasi bibir dan hidung
 Pencetakan model gigi
 Evaluasi telinga
 Pemasangan grommets bila perlu
3. Pasien Umur 10-12 Bulan
 Operasi palatum
 Evaluasi pendengaran dan telinga
4. Pasien Umur 1-4 Tahun
 Evaluasi bicara, dimulai 3 bulan pasca
operasi, follow up dilakukan oleh speech
pathologist
 Evaluasi pendengaran dan telinga
5. Pasien Umur 4 Tahun
Kalau bicara tetap jelek dipertimbangkan
repalatorafi atau/dan pharyngoplasty.
6. Pasien Umur 6 Tahun
 Evaluasi gigi dan rahang, pembuatan model
 Melakukan nasoendoscopy bagi yang
memerlukan
 Evaluasi pendengaran
7. Pasien Umur 9-10 Tahun
Alveolar bone graft
8. Pasien umur 12-13 Tahun
Final touch untuk operasi-operasi yang dulu
pernah dilakukan, bila masih ada kekurangan.
9. Pasien Umur 17 Tahun
 Evaluasi tulang-tulang muka
 Operasi advamcement osteotomy Le Fort I
Masalah yang paling langsung disebabkan
oleh celah orofacial adalah akan kesulitan makan.
Karakteristik anatomi bibir sumbing dan langit-
langit sangat menghalangi kemampuan bayi untuk
menyusu. Hisap intraoral yang buruk dapat
menghasilkan tersedak, emisi susu melalui hidung,
dan asupan udara yang berlebihan. Proses
menyusui juga bisa sangat menegangkan bagi
orang tua dari bayi-bayi yang sering kesulitan
menemukan metode pemberian makan yang
efektif. Rujukan awal ke spesialis pemberian
makanan bayi atau perawat yang terkait dengan
tim sumbing dapat memfasilitasi untuk
menyelesaikan masalah ini. Anak-anak itu
membutuhkan dot dan botol khusus yang
memungkinkan susu dikirim ke bagian belakang
tenggorokan untuk ditelan. Selain itu, kami dapat
menggunakan pelat gigi khusus (palatal
prosthesis) untuk menutup sisi sumbing. Prostesis
semacam itu bisa efektif dalam meningkatkan
volume asupan cairan, mengurangi waktu makan,
dan meningkatkan pertumbuhan dan perolehan
yang memadai pada bayi dengan bibir sumbing
dan langit-langit mulut. Beberapa bayi mungkin
tidak memiliki energi untuk mengisap dari dot, dan
di sini metode cangkir dan sendok mungkin bisa
membantu.

A B C
Gambar 12. A. Botol spesial untuk pemberian makan pasien
sumbing; B. Pemberian makan dengan sendok untuk pasien
sumbing; C. Botol spesial untuk pasien celah palatum.
HEMANGIOMA

A. Definisi
Hemangioma merupakan tumor pembuluh
darah yang muncul pada bayi tahun pertama
kelahiran dengan ciri pertumbuhan post natal yang
cepat kemudian mengalami regresi selama masa
kanak.

B. Epidemiologi
Sekitar 80% hemangioma berkembang
sebagai tumor tunggal, 20% sebagai tumor
multiple. Kasus pada bayi berkulit putih lebih
banyak pada bayi berkulit gelap. Hemangioma 3-5
kali lebih banyak pada bayi perempuan.

C. Klasifikasi
Klasifikasi kelainan vaskuler berdasarkan
International Society for the Study of Vascular
Anomalies (ISSVA)
D. Etiologi
Adanya GLUT1 dan berbagai antigen yang
berhubungan dengan plasenta menunjukan bahwa
hemangioma berasal dari sel-sel plasenta yang
terembolisasi, melibatkan perubahan imunofenotip
terhadap sel-sel primitive yang membentuk tumor.

Gambar 1. Histopatologi hemangioma pada fase proliferasi


berupa sel endotel matur dengan turnover lambat,
mengandung banyak sel mast,dikelilingi membran basalis
yang tipis.

E. Patogenesis
Pembentukan hemangioma terdiri atas tiga
fase, yaitu proliferasi, involusi, dan involusi akhir.
 Fase Proliferasi. Hemangioma berkembang
cepat mulai dari tahun pertama kelahiran (0-1
tahun), terbentuk dari sel-sel endothelial dan
perisit yang membelah dan terbungkus dalam
bentuk sinusoid yang saling berhubungan. Fase
proliferasi ini berlangsung selama 3-9 bulan.
 Fase Involusi. Terjadi regresi bertahap meliputi:
degenerasi, apoptosis dan pergantian
hemangioma oleh jaringan fibrofatty. Apoptosis
dimulai pada saat hemnagioma mencapai
puncak pertumbuhannya sebelum usia 1 tahun.
 Fase Involusi Akhir. Merupakan fase terakhir
perkembangan hemangioma. Sebanyak 50% dari
lesi akan terinvolusi pada umur 5 tahun dan 75%
dari lesi pada umur 7 tahu. Selama fase tersebut,
jumlah sel mast akan turun sampai kembali
normal dan menyisakan jaringan ikat longgal dan
berberntuk saperti pembuluh darah halus.

F. Gambaran Klinis
Hemangioma dapat muncul dibagian tubuh
mana saja. Biasanya hemangioma di kulit tampak
pada neonatus usia 2 minggu, berupa bercak
makula atau telangiektasis berwarna kemerahan.
Sedangkan yang terletak agak di dalam seperti
subkutal atau visceral, baru muncul pada usia 2
hingga 3 bulan. Sebanyak 60% muncul di daerah
kraniofasial, badan 25%, dan ekstremitas 15%.

Gambar 2. Hemangioma dapat ditemukan di lokasi tubuh


manapun
Gambaran klinis hemangioma pada tiap fase
adalah sebagai berikut
 Fase Proliferasi. Hemangioma yang muncul di
permukaan kulit menyebabkan kulit akan tampak
meninggi, menebal, berbatas tegas, konsistensi
lunak, dan berwarna kemerahan. Apabila muncul
dibagian subdermis dan subkutis, akan terlihhat
sedikit peninggian kulit dan berwarna agak
kebiruan. Hemangioma fase ini tumbuh cepat
pada 6-8 bulan pertama
 Fase Involusi. Gambaran klinis berinvolusi yaitu
warna merah hemangioma mulai memudar
keunguan, kulit secara bertahap emucat, dan
tegangan permukaan tumor terasa berkurang.
Fase involusi berlanjut terasa berkurang. Fase
involusi berlanjut sampai anak berusia lebih dari
5 tahun. Sebagian besar bekas-bekas warna
hilang pada usia 5-7 tahun
 Fase Involusi Akhir. Gambaran klinis nya bisa
bermacam-macam antara lain mendekati kulit
normal (50%), agak kepucatan, kekuningan,
keriput, sisa fibrosis jaringan lemak, dan ada juga
yang meninggalkan bekas bila hemangioma
tersebut sebelumnya mengalami perlukaan dan
ulserasi.

G. Diagnosis
 Anamnesis. Kapan muncul lesi, dan apakah lesi
tersebut cepat membesar dan meningkat selama
tahun pertama kelahiran, apakah lesi tersebut
mengalami ase involusi.
 Pemeriksaan fisik. Dilakukan secara
menyeluruh untuk mencari kelainan yang
menyertai seperti hemangioma intrahepatik yang
dapat menebabkan hepatomegali, gagal jantung
kongestif, dan anemia.
 Pencitraan berguna untuk mengonfirmasi
diagnosis klinis hemangioma, memperkirakan
luas lesi, dan menentukan kelayakan reseksi lesi
dengan tindakan pembedahan. CT scan dan MRI
untuk lebih memastikan struktur organ dalam
yang terlibat. USG bisa digunakan untuk
mengeetahui apakah lesi bersifat aliran tinggi
atau aliran rendah. MRI dengan kontrak adalah
modalitas pencitraan yang paling bisa diandalkan
untuk mengetahui struktur lesi.
H. Penatalaksanaan
 Observasi. Observasi dan konsultasi ke dokter
spesialis bedah plasitik sangat penting apabila
lesi tersebut besar, tumbuh cepat, ada ulserasi,
ada pendarahan, lokasi lesi yang berpotensi
tersangkut, teerkait kardiovaskuler, ada obstruksi
jalan napas, ada gangguan penglihaan, terjadi
trombositopenia, dan timbul nyeri, serta
kemungkinan komplikasi lainnya.
 Farmakologi. Kortikosteroid, propanolol,
interferon α-2a, Vinkristin
 Flashlamp Pulsed-Dry Laser. Dapat
menghaluskan permukaan kulit, seperti bagian
yang mengalami ulserasi dan hemangioma fase
involusi akhir yang meninggalkan bekas eritema
atau berupa telangiektasis.
 Terapi Lain. Seperti thermal/cryotherapy,
skleroterapi, laser intralesi menggunakan laser
KTP (Kalium Titanyl Phosphatase), laser YAG,
laser karbondioksida, dan kateter embolisasi
dengan tetap mempertimbangkan efektivitas,
efisiensi, efikasi, dan efek samping.
 Terapi Bedah. Pembedahan dapat dilakukan
berdaraskan siklus fase hemangioma tersebut.
- Fase Proliferasi (Bayi)
Pada fase ini, pembedahan dilakukan
dengan indikasi adanya kemungknan bstruksi,
deformitas, dan pendarahan atau ulserasi yang
tidak berespon dengan pengobatan
medikamentosa dan laser. Biasanya daerah
yang dibedah adalah kepala, meliputi periorbita
dan subglotis.
- Fase Involusi (Awal Kanak-kanak)
Pada fase ini rata-rata anak berusia 3
tahun, mulai mengenal anggota tubuhnya
sendiri, termasuk perbedaan fisiknya.
Pertimbangan estetika sangat penting saat
pembedahan fase ini, termasuk teknik reseksi
dan cara mmenjahitnya.
- Fase Involusi Akhir
Pembedahan dapat diindikasikan pada
beberapa keadaan, seperti hemangaioma
dengan kulit rusak, bentuk permukaan
abnormal, dan hemangioma di bibir dan dagu.

I. Prognosis
Pada umumnya, prognosis tergantung letak
lesi, kecepatan diagnosis, dan keteetapan
tindakan, baik secra obat-obatan maupun tindakan
invasive seperti pembedahan.

J. Komplikasi
- Gangguan penglihatan
- Obstruksi saluran napas
- Perdarahan
- Trombositopenia
- Psikososial
DOSIS DAN RESEP OBAT

1. Paracetamol
Dosis : 10-15 mg/Kg BB/ Hari pemberian 3-6x
sehari
Tablet : 500 mg
Syrup : 120 mg/ 5ml
Vial : 1 gr/ 100 ml
Sediaan lain: Drops 60 mg/ 0,6 ml, supositoria
125 mg/2 ml, 250 mg/4 ml
2. Ibuprofen
Dosis : 30-50 mg/Kg BB/hari pemberian 3-4 kali
pemberian
Tablet : 200 mg
Kapsul : 400 mg
Suspense : 100 mg/5 ml, 200 mg/5 ml
3. Allopurinol
Dosis : anak : 10-20 mg/Kg BB/Hari atau 100- 400
mg/Hari (Max : 400 mg/hari)
Dewasa : 100-300 mg/hari
Tablet : 100 mg, 300 mg
4. Amlodipine
Dosis : 2,5 mg- 10 mg/ hari
Tablet : 5 mg, 10 mg
5. Amoxicilin
Dosis : anak : 20-40 mg/Kg BB terbagi 3 dosis
Dewasa : 250 mg- 500 mg/ hari terbagi dalam 3
dosis
Tablet : 125 mg, 250 mg, 500 mg
Sirup : 125 mg/5 ml
6. Dexametasone
Dosis : 0,02-0,05 mg/Kg BB
Tablet 0,5 mg, 0,75 mg
Injeksi : 5 mg/ml
7. Citirizine
Dosis : anak : 0,25 mg/Kg BB/kali (2 kali perhari)
Dewasa : 1x 10 mg/hari
Tablet : 5 mg, 10 mg
Sirup : 5 mg/5 ml
Drop : 30 ml
8. Asam mafenamat
Dosis : anak : 25 mg/Kg BB/ hari
Dewasa : 500 mg/6 jam sesuai kebutuhan
Tablet : 250 mg, 500 mg
Sirup : 50 mg/5 ml
9. Natrium Diclofenak
Dosis : 75- 100 mg/Kg BB/Hari 2-3 dosis perhari
Tablet : 25 mg, 50 mg, 75 mg, 100 mg
Suppositoria : 50 mg
10. Ranitidin
Dosis : 2-4 mg/Kg BB/Hari
Ampul : 50 mg/2 ml
Tablet : 150 mg
11. Cefadroxil
Dosis : 25-50 mg/Kg BB /hari
Capsul : 500 mg
Sirup : 125 mg/5 ml
12. Cefixime
Dosis : 1,5 – 3 mg/Kg BB/hari
Capsul : 100 mg, 200 mg
Sirup : 100 mg/5 ml
13. Ceftriaxone
Dosis : 20-50 mg/Kg BB/hari 2x1
Vial 1 gr
14. Cefotaxime
Dosis : 20-50 mg/Kg BB/hari 2x1
Vial 1 gr, 0,5 gr
15. Ketorolac
Dosis: 0,5 mg/Kg BB/kali
Ampul : 30 mg/ml, 10 mg/ml
16. Lidocaine HCL 2%
Dosis : 3 - 4,5 mg/Kg BB/kali
Sediaan : Lidocaine HCL 2% 20 mg/2 ml
RESEP

Resep adalah suatu permintaan tertulis dari


dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada
apoteker untuk membuatkan obat dalam bentuk
sediaan tertentu dan menyerahkannya kepada
pasien. Resep merupakan perwujudan akhir dari
kompetensi, pengetahuan dan keahlian dokter dalam
menerapkan pengetahuannya dalam bidang
farmakologi dan terapi.

Resep dituliskan dalam kertas resep dengan


ukuran yang ideal yaitu lebar 10-12 cm dan panjang
1-18 cm.

Kaidah penulisan resep

Setelah menetapkan diagnosis kerja, maka dokter


akan menentukan terapi salah satunya terapi dengan
obat. Untuk menuliskan suatu resep banyak hal yang
meminta perhatian dokter :

1. Satuan berat untuk obat 1 gram (1 g) tidak ditulis 1


gr, (gr = grain = 65 mg)
2. Angka dosis tidak ditulis sebagai perhitungan
desimal
3. Jumlah obat yang diterima pasien ditulis dengan
angka romawi
4. Nama obat ditulis dengan jelas
5. Dokter telah punya pengalaman dengan obat yang
ditulis dalam resep
6. Obat sama dengan nama dagang yang berbeda
dimungkinkan bioavailabilitasnya beda.
7. Harus hati-hati bila akan memberikan beberapa
obat seara bersamaan, pastikan tidak ada
inkompatibilatas/interaksi yang merugikan
8. Dosis diperhitungkan dengan tepat
9. Dosis disesuaikan dengan kondisi organ
10.Terapi dengan obat (narkotika) diberikan hanya
untuk indikasi yang jelas
11.Ketentuan tentang obat ditulis dengan jelas
12.Hindari pemberian obat terlalu banyak
13.Hindari pemberian obat dalam jangka waktu lama
14.Edukasi pasien untuk cara penggunaan obat
khusus, atau tuliskan dalam kertas yang terpisah
dengan resep obat.

Penulisan resep
- Inscriptio : Izin praktek (SIP) dokter, tanggal
penulisan resep
- Invocatio : Tanda R/ pada bagian kiri setiap
penulisan resep (Recipe = harap diambil
- Prescriptio/ Ordonatio: Nama obat yang
diinginkan, bentul sediaan obat, dosis obat, dan
jumlah obat yang diminta
- Signature, disingkat S : Petunjuk penggunaan
obat bagi pasien yang terdiri dari tanda cara pakai,
regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu
pemberian
- Subscriptio : Tanda tangan/ paraf dokter penulis
resp yang berperan sebagai legalitas dan
keabsahan resep
- Pro : Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan
berat badan pasien
Contoh penulisan resep
LUKA BAKAR

Definisi
Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat
sentuhan permukaan tubuh dengan dengan benda-
benda yang menghasilkan panas baik kontak secara
langsung maupun tidak langsung.
Luka bakar pada kehamilan
dengan luas 60% tau lebih :
Klasifikasi Luka Bakar terminasi kehamilan
 Dewasa : rule of nne
 Anak : Modifikasi rule of nine
Luka bakar berat
Kriteria luka bakar
berat:
 TBSA ≥25%
 TBSA ≥20% pada
anak usia dibawah 10
tahun dan dewasa
usia diatas 40 tahun
 TBSA ≥10% pada
luka bakar full-
thickness
 Semua luka bakar
yang mengenai
daerah mata, wajah,
telinga, tangan, kaki,
atau perineum yang
dapat menyebabkan
Bula: Jaringan nekrotik gangguan fungsi atau
berisi cairan kosmetik.
Eskar: jaringan nekrosis  Semua luka bakar
akibat denaturasi protein listrik
jaringan kulit  Semua luka bakar
yang disertai trauma
berat atau trauma
inhalasi
Derajat luka bakar

Jaringan a/ susunan kulit


Epidermis : Stratum korneum, lucidum, granulosum,
spongiosum dan basal
Dermis
Subkutis

Fase Luka bakar


 Fase akut (0 – 48 jam s/d 72 jam) Problem yang
terjadi sejak kejadian
- Problem pernapasan dan cairian
- Resusitas Baxter
- Problem luka
 Fase sub akut (72 jam s/d 21-32 hari)
Problem yang terjadi saat perawatan
- Problem luka, infeksi dan SIRS
- Dalam perawatan (silver sulfadiazine)

 Fase Kronik (21-32 hari s/d 6-12 bulan) Problem


setelah rawat jalan
Problem jaringan parut :
- Hipertropic scar : Pertumbuhan jaringan parut
secara berlebihan namun belum melewati batas
luka
- Keloid : Pertumbuhan jaringan parut secara
berlebihan dan melewati batas luka
- Kontraktur : Kontraksi yang menetap pada kulit
dan jaringan dibawahnya  keterbatasan gerak

Diagnostik Luka bakar


Diagnosis luka bakar harus disertai dengan :
1. Derajat kedalam :
 Epidermal
 Dermal – superficial
 Mid dermal
 Deep dermal
 Full thickness
2. Luas luka bakar
3. Penyebab
4. Cedera penyerta ; Trauma inhalasi dan atau
compartemen syndrome

Contoh diagnosis luka bakar :


Deep Dermal Burn Injury 75 % Ec. SCALP + Trauma
Inhalasi + Compartemen syndrome
Penatalaksanaan

Fase Akut :

- Plan of Diagnostik
- Resusitasi Cairan : Resusitasi cairan baxter
Estimasi kebutuhan cairan
3 ml x Berat Badan (kg) x
%Luas luka bakar Indikasi Baxter :
+ maintenance untuk anak, - Dewasa : > 20 %
½ diberikan pada 8 jam luas luka
pertama dan ½ diberikan - Anak : 10 % luas
pada 16 jam berikutnya luka
Cairan maintenance pada - < 24 jam
anak (<16 tahun) “4:2:1” rule.
4 ml/kg/jam sampai 10 kg
2 ml/kg/jam dari 11-20 kg
1 ml/kg/jam untuk setiap kg lebih dari 20 kg
- Rawat Luka
 Cuci dengan NCal o,9%
 Oles betadine (Povidone iodine)
 Tutup Tule (daniatule)
 Topika (silver sulfadiazine)
 Tutup Kasa Steril
 Luka di buka Pada hari ke 5-7

- Pasang kateter: Monitor cairan


Produksi urin : Dewasa : 0,5 – 1 cc /KgBB/Jam
Anak ; 1-2 cc /KgBB/Jam
- Lain-lain :
 NGT
 Tetanus Toxoid
 Timbang BB
 Jika terjadi kompartemen syndrome lakukan
 Escharotomy : Untuk luka bakar api

Note: Penangan awal dilokasi kejadian ke RS


 Kompres Air selama ±10 menit

 Fasciatomy : Untuk luka bakar listrik


Luka Bakar yang disertai Trauma Inhalasi
Adalah gangguan saluran pernapasan yang
diakibatkan luka bakar yang ditandai dengan (3-4
gejala):
1. Luka bakar mengenai wajah atau leher dan
perioral
2. Rambut-rambut wajah terbakar
3. Ada jelaga dalam saluran pada saluran napas
(hidung dan mulut )
4. Kebakaran diruang tertutup
5. Distress pernapasan /Sesak napas
6. Suara serak (Parau)
7. Sputum yang mengandung karbon
Note: Pemeriksaan gold standar : bronkoskopi
jika tidak : laringoskopi direct saat intubasi
Indikasi intubasi pada luka bakar :
 Trauma inhalasi
 Stridor
 Luka bakar yang melingkari leher  Pembengkakan
jaringan sekitar jalan napas

Luka bakar + SIRS ( Sistemic Inflamatory Respon


Syndrome)
SIRS: Respon terhadap beragam paparan klinis yang
berat, baik dengan keadaan infeksi maupun non
infeksi. Tanda dan gejala SIRS (2 dari 4 gejala):
- Suhu > 38 C atau < 36 C
- Nadi > 90 X/Menit
- Pernapas > 20 X/Menit PaCo2 > 32
- WBC > 12.000 atau < 4.000 x103/ml

Luka bakar yang disertai dengan SEPSIS


SEPSIS: respon sistemik host yang bersifat
eliminative terhadap infekis yang dapat berkembang
menjadi septic berat dan syok septic
- Biopsi Luka = > 103 Organisme/gram jaringan
- Kultur darah +
- Infeksi saluran kemih = >105 organisme /ml Urine
- Infeksi Pulmo

SIRS yang disertai focus infeksi  Sepsis


Biomarker Sepsis
- Prolaktin - CRP IL-6
- Lipopolysacarida bliding protein (LBP)
Syok sepsis terjadi akibat sepsis yang menunjukan
kelainan metabolism sirkulatorik dari selular yang jelas
yang jelas shingga meningkatkan resiko kematian
Daftar Pustaka:
 Australia and New Zealand Burn Association. Emergency
Management of Severe Burns (EMSB) Australia ANZBA 2013.
 Dahlan,M.R. 2019. Laporan Kasus: Tatalaksana Ptosis. Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran, Universitas Pandjajaran
 Jose, A. dkk. Management of maxillofacial trauma in emergency:
An update of challenges and controversies. J Emerg Trauma
Shock. 2016; 9(2): 73–80.
 Kartika, R.W. 2015. Perawatan Luka Kronis dengan Modern
Dressing. CDK 42(7): 546-550
 Kartika, R.W. 2015. Perawatan Luka Kronis dengan Modern
Dressing. CDK 42(7): 546-550
 Kemenkes RI. 2008. Daftar obat esensial nasional 2008: DOEN.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI
 Khairiza, R., dkk. NEGLECTED FRACTURE IN
MAXILLOFACIAL: CASE SERIES. Jurnal Plastik Rekonstruksi,
2020; Vol 7, No 2, 51-58
 Lubis, B.S., 2016, Penatalaksanaan Hemangioma, CDK-240/vol.
43 no. 5
 Lynham, A., dkk. Maxillofacial trauma. Australian Family
Physician Vol. 41, No. 4, april 2012
 Suryadi, I.A. 2013. Wound Healing Process and Wound Care.
Jurnal Medika Udayana 2(2): 1-19
 Utari, N.M.L. Diagnosis dan managemen Ptosis. ilmu kesehatan
mata, univeristas Udayana
 Zarasade,D.S.L. Ptosis Palpebra. SMF Bedah plastik rekonstruksi
dan estetik. RSUD Sutomo Surabaya
Note:
1. Perbedaan luka akut dan luka kronis?
2. Problem pada luka kronis? Dan bagaimana
penanganan problem luka kronis?
3. Perbedaan skin avulsi dan skin loss?
2. Apa itu trauma maxillofacial?
3. Bagaimana pemeriksaan status lokalis pada
trauma maxillofacial?
4. Sebutkan nama obat, dosis beserta sediaan obat
yang ada di Puskesmas!
5. Jelaskan algoritma penatalaksanaan epistaksis!
6. Tuliskan resep cocktail epistaksis!
7. Apa perbedaan epispadias dan hipospadia?
8. Apa itu lidocaine?
9. Jelaksan perawatan luka modern!
10. Jelaskan tipe-tipe hemangioma!
11. Jelaskan tentang anestesi infiltrasi!
12.Jelaskan protap operasi bibir sumbing!

Anda mungkin juga menyukai