Anda di halaman 1dari 11

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tonsilitis Kronik


Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting
dari cincin Waldeyer. Jaringan limfoid yang mengelilingi faring, pertama kali
digambarkan anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang ahli anatomi
Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah
mukosa dinding faring posterior dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil
Gerlach’s).5
Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Palatoglosus mempunyai
origo seperti kipas dipermukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral
lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertikal dan diatas melekat
pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas kebawah
sampai kedinding atas esofagus. Otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan
harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar
bertemu diatas untuk bergabung dengan palatum mole. Di inferior akan berpisah
dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan lateral dinding faring.13
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil akan
mengalami peningkatan ukuran secara cepat pada saat usia 1-3 tahun, dengan
puncak perkembangan tonsil terjadi saat usia 3 tahun dan 7 tahun.14 Adanya dua
puncak perkembangan tonsil maka disebut sebagai perkembangan tonsil bifasik.
Kemudian tonsil akan mulai mengalami penurunan ukuran saat masa pubertas
yaitu sekitar usia 10 tahun.14,15 Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah
yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilaris. Bagian luar tonsil
terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap
kali makan.

Hubungan antara tonsilitis kronik hipertrofi dan prestasi belajar pada siswa kelas IV Sekolah Dasar di Kota Bekasi
Melati Hidayanti
Tonsilitis kronik secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada
tonsila palatina lebih dari 3 bulan.16
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil
berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini
akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang
akan tetapi kadang-kadang tonsil sudah kelelahan menahan infeksi atau virus.17
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superfisial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit poli morfonuklear.18 Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil
yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan
leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsilitis akut dengan detritus
disebut tonsilitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka
terjadi tonsilitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan
ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit
tenggorokannya sehingga berhenti makan. Tonsilitis dapat menyebabkan
kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah didalam
daerah sub mandibular, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit,
sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat
pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorok akan terasa mengental. Hal-
hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.
Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh
dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan
kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan.
Peradangan pada tonsil disebut dengan tonsilitis, penyakit ini merupakan salah
satu gangguan Telinga Hidung & Tenggorok ( THT ). Kuman yang difagosit oleh
imunitas selular tonsil dan adenoid terkadang tidak mati dan tetap bersarang
disana serta menyebabkan infeksi tonsil yang kronis dan berulang (tonsilitis
kronik). Infeksi yang berulang ini akan menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja
terus dengan memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga ukuran tonsil dan
adenoid akan membesar dengan cepat melebihi ukuran yang normal.18

Hubungan antara tonsilitis kronik hipertrofi dan prestasi belajar pada siswa kelas IV Sekolah Dasar di Kota Bekasi
Melati Hidayanti
Penyebab tonsilitis menurut dan adalah infeksi kuman Streptococcus beta
hemolyticus, Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes. Dapat juga
disebabkan oleh infeksi virus.
Telah dilakukan penelitian di Bagian Ilmu Kesehatan THT RS Dr. Kariadi
(1985) tentang kadar Anti Streptolisin Titer-O (ASO) pada penderita tonsilitis
kronis dijumpai kadar rata-rata adalah 442,69 U, dimana 95,5% mempunyai kadar
ASO sama atau lebih dari 200 U. Juga dilakukan penelitian yang sama Di Bagian
Ilmu Kesehatan THT RS Dr. Kariadi, mengenai hubungan kadar ASO pada
penderita tonsilitis kronis. Ditemukan bahwa pada kadar ASO lebih dari 400 U,
selalu terdapat kuman Streptokokus β hemolitikus grup A, baik di dalam maupun
di permukaan tonsil.3
Untuk membedakan gambaran klinis antara infeksi Streptococcus ß
hemoliticus group A dengan infeksi virus digunakan Kriteria Centor modifikasi
Mc Isaac. Kriteria ini dikembangkan oleh RM Centor dan kawan-kawan yang
dimodifikasi oleh MC Isaac. Penilaian terhadap penderita terdiri atas ada riwayat
demam, terdapat pembesaran tonsil atau eksudat pada tonsil, pembesaran kelenjar
servikal anterior, dan tidak ada batuk. Bila terdapat lebih dari 3 gejala,
kemungkinan besar adalah infeksi oleh Streptococcus ß hemoliticus group A.
sehingga memerlukan pengobatan antibiotik, 2-3 gejala memerlukan pemeriksaan
lanjut apakah infeksi oleh Streptococcus ß hemoliticus group A dan kurang dari 2
gejala, umumnya disebabkan infeksi virus.3
Infeksi Streptococcus β hemoliticus group A penting bukan hanya kuman ini
sering dijumpai pada tonsilofaringitis tetapi lebih penting lagi karena
komplikasinya secara sistemik dapat sebagai fokal infeksi bagi organ-organ jauh
seperti ginjal, jantung, sendi, dan mata.
Fokal infeksi adalah sumber kuman di dalam tubuh, kuman atau produk-
produknya dapat menyebar jauh ke tempat lain dan dapat menimbulkan penyakit.
Fokal infeksi hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan asimtomatik, tetapi
dapat menimbulkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh dari
sumber infeksi. Penyebaran kuman dapat secara perkontinuitatum, limfogen dan

Hubungan antara tonsilitis kronik hipertrofi dan prestasi belajar pada siswa kelas IV Sekolah Dasar di Kota Bekasi
Melati Hidayanti
hematogen.19 Fokal infeksi secara periodik dapat menyebabkan bakteriemia atau
toksemia.
Beberapa ahli membagi komplikasi tonsilitis akibat infeksi Streptococcus β
hemoliticus group A menjadi tiga tipe yaitu komplikasi supuratif, toxin-mediated
dan non supuratif. Komplikasi supuratif adalah peradangan yang bersifat lokal
terjadi di sekitar tonsil dan faring, dapat berupa abses parafaring, abses peritonsil.
Penyakit yang diakibatkan oleh toksin yang merupakan salah satu produk dari
kuman (toxin-mediated) berupa scarlet fever, streptococcal toxin shock syndrome.
Komplikasi non supuratif disebut juga delayed antibody mediated disease yang
dapat menimbulkan demam rematik, penyakit jantung rematik dan
glomerulonefritis akut.
Pada radang kronis tonsil terdapat 2 bentuk, yaitu hipertrofi tonsil dan atrofi
tonsil. Karena proses radang berulang, maka selain epitel mukosa terkikis,
jaringan limfoid juga terkikis, sehingga pada proses penyembuhan, jaringan
limfoid diganti oleh jaringan ikat fibrosa. Jaringan ikat ini sesuai dengan sifatnya
akan mengalami pengerutan, sehingga ruang antar kelompok jaringan limfoid
melebar. Hal ini secara klinik tampak sebagai pelebaran kriptus, dan kriptus ini
diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga terbentuk kapsul, akhirnya
timbul perlengketan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak, proses
ini disertai dengan proses pembesaran kalenjar limfe submandibularis.20
Pada tonsilitis kronis telah terjadi penurunan fungsi imunitas dari tonsil.
Penurunan fungsi tonsil ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten
pada jaringan tonsil sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten
berakibat peningkatan insiden sel yang mengekspresikan IL-1β, TNF-α, IL-6, IL-
8, IL-2, INF-γ, IL-10, dan IL-4. Secara sistematik proses imunologis di tonsil
terbagi menjadi 3 kejadian yaitu :21
1) respon imun tahap I,
2) respon imun tahap II, dan
3) migrasi limfosit.
Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring
mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai

Hubungan antara tonsilitis kronik hipertrofi dan prestasi belajar pada siswa kelas IV Sekolah Dasar di Kota Bekasi
Melati Hidayanti
barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier
epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa
bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti
makrofag dan sel dendritik. Respons imun tonsila palatina tahap II terjadi setelah
antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel
limfoid.22 Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan
limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus
dari darah ke tonsil melaui HEV dan kembali ke sirkulasi melalui limfe. Tonsil
berperan tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa
molekul adhesi (ICAM-1 dan L-selectin), kemokin, dan sitokin. Kemokin yang
dihasilkan kripte akan menarik sel B untuk berperan didalam kripte.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada
anamnesis dapat diperoleh keterangan dari penderita mengenai nyeri tenggorok
atau nyeri menelan ringan yang bersifat kronik, rasa mengganjal di tenggorokan,
mulut berbau, badan lesu, nafsu makan berkurang, sakit kepala, mendengkur, dan
kadang disertai sesak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsil yang membesar,
tonsil tidak hiperemi, kripta melebar dan terisi detritus.

Tabel 1. Perbedaan tonsilitis akut, eksaserbasi akut, dan kronis.


Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronis Tonsilitis Kronik
Eksaserbasi Akut
Hiperemia dan edema Hiperemia dan edema Membesar/mengecil tidak
hiperemis
Kripte tak melebar Kripte melebar Kripte melebar
Detritus (+/-) Detritus (+) Detritus (+)
Perlengketan (-) Perlengketan (+) Perlengketan (+)
Antibiotika, analgetika, Sembuhkan radangnya, Bila mengganggu
obat kumur lakukan 2-6 minggu lakukan tonsilektomi
setelah peradangan
tenang
(Sumber: Derake A, Carr MM. Tonsillectomy. Dalam : Godsmith AJ, Talavera F,
Allen Ed.eMedicine.com.inc.2002:1– 10)

Standar pemeriksaan klinis untuk tonsil telah dibuat oleh banyak pusat
penelitian dan kesehatan. Biasanya, meskipun tidak selalu, hipertrofi obstruktif

Hubungan antara tonsilitis kronik hipertrofi dan prestasi belajar pada siswa kelas IV Sekolah Dasar di Kota Bekasi
Melati Hidayanti
terjadi pada tonsil dan adenoid, dimana keadaan ini harus segera ditangani.
Permasalahan yang timbul adalah apabila obstruksi adenoid telah tampak, namun
pembesaran tonsil masih +1 atau +2. Pada kasus ini, keputusan klinik yang tepat
harus dibuat. Kecuali bila hipertrofi tonsil tampak signifikan, maka operasi tonsil
in situ dapat dilakukan.23 Standar klasifikasi derajat pembesaran tonsil dibuat
berdasarkan rasio tonsil terhadap orofaring (dari sisi medial ke lateral) di antara
pillar anterior.23
1) 0 : bila tonsil berada di dalam fosa
2) +1 : < 25% tonsil menutupi orofaring
3) +2 : 25 – 50% tonsil menutupi orofaring
4) +3 : 50 – 75% tonsil menutupi orofaring
5) +4 : > 75% tonsil menutupi orofaring
Gangguan fungsi normal pada penderita tonsilitis kronik dengan hipertrofi
dan dampaknya terhadap kualitas hidup telah banyak diteliti. Penderita tonsilitis
kronik hipertrofi yang terganggu fungsi respirasi dan deglutisi mengalami
penurunan kualitas hidup, meningkatkan biaya perawatan kesehatan dan
kehilangan waktu untuk sekolah atau bekerja. Pada obstructive sleep apnea
syndrome (OSAS), dimana angka prevalensi 1 – 3 % pada anak TK dan usia
sekolah, menimbulkan permasalahan menyangkut kesulitan bernafas malam hari
terutama saat tidur, gangguan emosional, gangguan perilaku, dan gangguan
neurokognitif.24
Hipertrofi dan hiperplasia tonsilar obstruktif merupakan salah satu bentuk
tonsilitis kronik yang paling sering memberikan indikasi untuk dilakukan
tonsilektomi pada anak. Penderita mengalami obstruksi jalan napas pada saat tidur
dalam berbagai derajat. Gejala yang muncul berupa snoring yang keras (dengan
periode napas yang tidak teratur), batuk dan tersedak saat tidur, sering terbangun
dan kualitas tidur menurun, disfagia, hipersomnolen sepanjang hari, dan
perubahan perilaku. Keadaan jangka panjang yang serius bagi penderita ini adalah
pertumbuhan terhambat dan kor pulmonal, meskipun jarang.

Hubungan antara tonsilitis kronik hipertrofi dan prestasi belajar pada siswa kelas IV Sekolah Dasar di Kota Bekasi
Melati Hidayanti
2.2. Prestasi Belajar
Belajar adalah suatu perubahan dalam kepribadian yang menyatakan diri
sebagai suatu pola baru dari reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan,
kepandaian, atau suatu pengertian. Hal ini akan dapat menjadikan suatu tolok ukur
pada setiap perubahan yang terjadi, sehingga individu akan sadar bahwa dirinya
sedang belajar dari apa yang ia kerjakan.25
Ada 4 fase dalam proses belajar yaitu fase penerimaan (stimulasi/rangsang
diterima oleh pelajar), fase penguasaan (stimulasi yang diterima diusahakan
menjadi milik pribadinya), fase pengendapan disini berhubungan dengan ingatan
dan pengungkapan kembali disebut juga fase reproduksi. Secara umum yang
dijadikan indikator mutu pendidikan adalah prestasi belajar.
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Secara
sederhana dari pengertian belajar sebagaimana yang dikemukakan oleh pendapat
di atas, dapat diambil suatu pemahaman tentang hakekat dari aktivitas belajar
adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri individu. Ditambahkan bahwa
prestasi belajar merupakan hasil yang mengakibatkan perubahan dalam diri
individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar.
Prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh
seseorang. Maka prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh
seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar. Prestasi belajar adalah usaha
maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar.
Hasil belajar adalah menunjuk pada prestasi belajar, sedangkan prestasi belajar itu
merupakan indikator adanya dan derajat perubahan tingkah laku siswa.26
Setelah menelusuri uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa prestasi
belajar adalah hasil atau taraf kemampuan yang telah dicapai siswa setelah
mengikuti proses belajar mengajar dalam waktu tertentu baik berupa perubahan
tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan dan kemudian akan diukur dan
dinilai yang kemudian diwujudkan dalam angka atau pernyataan.23

Hubungan antara tonsilitis kronik hipertrofi dan prestasi belajar pada siswa kelas IV Sekolah Dasar di Kota Bekasi
Melati Hidayanti
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar untuk mencapai prestasi
belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka perlu diperhatikan beberapa
faktor yang mempengaruhi prestasi belajar antara lain; faktor yang terdapat dalam
diri siswa (faktor intern), dan faktor yang terdiri dari luar siswa (faktor ekstern).
Faktor-faktor yang berasal dari dalam diri anak bersifat biologis sedangkan faktor
yang berasal dari luar diri anak antara lain adalah faktor keluarga, sekolah,
masyarakat dan sebagainya.
a. Faktor dari dalam diri siswa (Faktor Intern)
Faktor intern adalah faktor yang timbul dari dalam diri individu itu
sendiri, adapun yang dapat digolongkan ke dalam faktor intern yaitu
kecerdasan/ intelegensi, bakat, minat dan motivasi.
b. Faktor dari luar diri siswa (Faktor Ekstern)
Faktor ekstern adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi
belajar yang sifatnya di luar diri siswa, yaitu beberapa pengalaman-
pengalaman, keadaan keluarga, lingkungan sekitarnya dan sebagainya.
Pengaruh lingkungan ini pada umumnya bersifat positif dan tidak
memberikan paksaan kepada individu.
Prestasi belajar yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi berbagai
faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam maupun dari luar diri individu.
Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar dalam
rangka membantu mereka dalam mencapai prestasi belajar yang sebaik-baiknya.
Suryabrata (2002) mengemukakan bahwa rapor merupakan rangkuman
terakhir yang diberikan oleh guru mengenai kemajuan hasil belajar atau prestasi
belajar murid-muridnya selama masa tertentu (4-6 bulan).
Prestasi belajar juga dapat diukur secara langsung dengan jalan menyuruh
pelajar mereproduksi hal-hal yang telah diterima sebagai pelajaran, dapat juga
dengan memberikan ulangan atau tes. Penilaiannya dinyatakan dalam bentuk
lambang atau angka yang diperoleh dari hasil ulangan mengenai seluruh bidang
studi atau sejumlah materi pelajaran tertentu kemudian dilaporkan.27
Intelegensi adalah kemampuan individu menggunakan pikirannya untuk
mempelajari dan menyesuaikan diri dalam memecahkan persoalan-persoalan baru

Hubungan antara tonsilitis kronik hipertrofi dan prestasi belajar pada siswa kelas IV Sekolah Dasar di Kota Bekasi
Melati Hidayanti
ataupun persyaratan dari tuntutan yang dihadapinya secara cepat, tepat dan
berhasil. Pengukuran taraf intelegensi dapat dilakukan dengan tes intelegensi
menurut metode Wechsler Intelegence Scale for Children-Revised (WISC-R).2
Penggolongan taraf intelegensi menurut Wechsler:
≥ 130 : luar biasa (genius)
120-129 : cerdas sekali (very superior)
110-119 : cerdas (superior)
90-109 : biasa/sedang (average)
80-89 : bodoh (dull average)
70-79 : bodoh sekali/anak pada batas (boderline)
≤ 69 : retardasi mental

Para ahli psikologi berpendapat bahwa intelegensi merupakan salah satu


faktor penting yang menentukan berhasil atau gagalnya belajar seseorang terutama
pada waktu anak masih sangat muda. Pada anak yang memiliki kecerdasan normal
tetapi tidak termasuk retardasi mental, dengan Intelegence Quotient (IQ) 75-85
mengalami kesukaran/lamban belajar.2

2.3. Hubungan Tonsilitis Kronik Hipertrofi dengan Prestasi Belajar


Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai
gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif
sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA
merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan episode obstruksi saluran
napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya asupan oksigen
secara periodik. Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara epidemiologi
merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering tidak
terdiagnosis.28,29
Pada anak, perubahan fisiologi mendasar yang terjadi pada OSA adalah
hipoksia dan hiperkapnea akibat obstruksi, yang kemudian menstimulasi
baroreseptor dan kemoreseptor perifer. Terganggunya kontinuitas tidur dan
penurunan rapid-eye-movement bermanifestasi pada keadaan mudah mengantuk

Hubungan antara tonsilitis kronik hipertrofi dan prestasi belajar pada siswa kelas IV Sekolah Dasar di Kota Bekasi
Melati Hidayanti
sepanjang hari.Tingginya insidensi OSA pada anak dengan hipertrofi tonsil
disebabkan volume jaringan limfoid yang meningkat pada usia 6 bulan sampai
dengan masa pubertas, dan mencapai maksimum pada usia anak sekolah. Meski
demikian, OSA tidak selalu muncul walaupun terjadi penyempitan saluran napas,
karena pada keadaan normal, tonsil yang hipertrofi tidak mengalami kolaps
sewaktu tidur.30
Derajat keparahan gangguan ini dibagi menjadi 3 tingkatan berdasarkan
indeks apnea dan saturasi oksigen, yaitu ringan, sedang, dan berat. Indeks apnea
adalah jumlah periode apnea yang terjadi dalam 1 jam tidur.31
a. Derajat ringan apabila saturasi oksigen > 85% atau indeks apnea 5-20.
b. Derajat sedang apabila nilai saturasi oksigen 65-84% atau indeks
apnea 21-40.
c. Derajat berat bila saturasi oksigen < 65% atau indeks apnea > 40.
Polisomnografi (PSG) multichannel merupakan pemeriksaan gold standard
untuk menegakkan diagnosis OSA. Data PSG normatif menunjukkan bagaimana
karakter OSA pada anak berbeda dengan dewasa. Dari pernyataan American
Thoracic Society, bahwa apnea obstruktif dengan berbagai durasi harus di nilai
skoring. Apnea Index yang dihitung lebih dari satu dalam satu jam menunjukkan
klinis yang signifikan. Mengingat pada anak, OSA secara berkala menyebabkan
hipopnea persisten dengan hipoventilasi daripada apnea obstruksi total, maka
penting untuk mengukur kadar CO 2 pada puncak tidal. Bila meningkat,
menunjukkan hipoventilasi telah terjadi.30
Dalam keadaan hipoksia maka otak merupakan salah satu organ yang pertama
terkena akibatnya. Hipoksia dapat menyebabkan mengantuk, gelisah, perasaan
sakit yang samar-samar, sakit kepala, anoreksia, nausea, takikardi dan hipertensi
pada hipoksia yang berat.2
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada anak dengan
tonsilitis kronik hipertrofi dapat terganggu fungsi fisiologisnya bahkan terkadang
sampai tidak sekolah karena sakit yang selanjutnya mempengaruhi proses dan
hasil belajarnya. Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan obstruksi
saluran nafas atas yang dapat mengakibatkan gangguan pada kondisi fisiologis

Hubungan antara tonsilitis kronik hipertrofi dan prestasi belajar pada siswa kelas IV Sekolah Dasar di Kota Bekasi
Melati Hidayanti
dan psikologis sehingga proses belajar menjadi terganggu yang pada akhirnya
mempengaruhi prestasi belajar.

Tabel 2. Ringkasan pustaka


Peneliti Lokasi Studi Subjek Variabel Lama Studi dan
Penelitian Desain Studi yang Hasil Studi
Diteliti
Farokah Semarang Analisis Siswa Variabel Lama studi: 2
cross kelas II tergantung: bulan
sectional Sekolah Prestasi
Dasar Belajar Hasil: Terdapat
hubungan antara
Variabel tonsilitis kronik
bebas: dengan prestasi
Tonsilitis belajar siswa
kronik
Carole Philadelph Multi Anak Adenotonsil Lama studi: 7
L, et al. ia center, usia 5-9 ektomi pada bulan
single- tahun anak yang
blind, mengalami Hasil:
randomized, obstructive Penatalaksanaan
controlled sleep apnea adenotonsilekto
trial mi tidak
meningkatkan
fungsi eksekutif
secara
signifikan,
tetapi terdapat
penurunan
gejala
Li A, Hong Studi Anak Obstructive Lama studi: 1
Hui S, Kong prospektif usia 6-7 sleep apnea tahun
Wong E, tahun
Cheung Besar tonsil
A, Fok tidak ada
TF korelasi dengan
keparahan
obstructive
sleep apnea

Hubungan antara tonsilitis kronik hipertrofi dan prestasi belajar pada siswa kelas IV Sekolah Dasar di Kota Bekasi
Melati Hidayanti

Anda mungkin juga menyukai