Anda di halaman 1dari 34

2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tonsilitis


Tonsillitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan
bagian dari cincin Waldeyer.1,2 Peradangan ini ditandai dengan
peradangan tonsil, sakit tenggorok, gangguan menelan, dan
pembesaran ringan kelenjar limfe leher. Penyebaran infeksi ini
ditransmisikan melalui udara (air borne droplets), tangan, dan
ciuman.1
2.1.1 Epidemiologi
Tonsilitis akut banyak diderita anak-anak berusia 3 sampai 10
tahun dan anak remaja berusia 15 sampai 25 tahun.2 Tonsilitis difteri
sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa
masih mungkin menderita penyakit ini.1
Data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi Indonesia
menunjukkan prevalensi tonsilitis kronik 36 kasus/1000 anak (3,8%)
dan merupakan peringkat tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut
(4,6%).8
2.1.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi berdasarkan klasifikasi tonsilitis dapat dilihat di halaman 15.

Faktor resiko tonsilitis meliputi :

1. Faktor usia, terutama pada anak.


2. Penurunan daya tahan tubuh.
3. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.2
2.1.3 Patofisioligi
3

Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut.


Tonsil berperan sebagai filter, menyelimuti organisme yang
berbahaya tersebut. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk
antibodi terhadap infeksi yang datang akan tetapi kadang-kadang
tonsil sudah kelelahan menahan infeksi.
Mikroorganisme menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel
terkikis maka jaringan limfoid superfisial mengadakan reaksi.
Terdapat peradangan dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak
kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit,
bakteri dan epitel yang terlepas. Tonsillitis akut dengan detritus
disebut tonsillitis falikularis, dan bila bercak detritus berdekatan
menjadi satu maka disebut tonsillitis lakunaris.
Pada tonsilitis membranosa, bercak melebar lebih besar
sehingga terbentuk pseudomembran. Pada tonsillitis kronik terjadi
proses radang berulang sehingga epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis dan digantikan jaringan parut pada proses penyembuhan.
Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antar kelompok melebar
(kriptus) dan diisi oleh detritus. Proses ini meluas hingga menembus
kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar
limfe submandibula.

2.1.4 Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan nyeri pada tenggorokan. Gejala


lainnya tergantung penyebab tonsilitis.
4

1. Penderita tonsilitis akut awalnya mengeluh rasa kering di


tenggorokan, kemudian berubah menjadi rasa nyeri di
tenggorokan dan nyeri saat menelan. Rasa nyeri semakin lama
semakin bertambah sehingga anak menjadi tidak mau makan.
Nyeri hebat ini dapat menyebar sebagai referred pain ke sendi-
sendi dan telinga. Nyeri pada telinga (otalgia) tersebut tersebar
melalui nervus glossofaringeus (IX). Keluhan lainnya berupa
demam yang dapat sangat tinggi sampai menimbulkan kejang
pada bayi dan anak-anak. Rasa nyeri kepala, badan lesu dan nafsu
makan berkurang sering menyertai pasien tonsilitis akut. Suara
pasien terdengar seperti orang yang mulutnya penuh terisi
makanan panas. Keadaan ini disebut plummy voice/ hot potato
voice. Mulut berbau (foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam
kavum oris akibat nyeri telan yang hebat (ptialismus). Tonsilitis
viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri
tenggorokan.
2. Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh ada penghalang/
mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan
pernafasan berbau (halitosis).
3. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) gejala
yang timbul adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan
kepala, sakit tenggorokan, badan lemah, gusi mudah berdarah dan
hipersalivasi.2

Pemeriksaan fisik

a. Tonsilitis akut: pada pemeriksaan ditemukan tonsil yang udem


(ukuran membesar), hiperemis dan terdapat detritus yang
memenuhi permukaan tonsil baik berbentuk folikel, lakuna, atau
5

pseudomembran. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang


jelas disebut tonsilitis folikularis, bila bercak-bercak detritus ini
menjadi satu, membentuk alur alur maka akan terjadi tonsilitis
lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk
membran semu (pseudomembran) yang menutupi ruang antara
kedua tonsil sehingga tampak menyempit. Palatum mole, arkus
anterior dan arkus posterior juga tampak udem dan hiperemis.
Kelenjar submandibula yang terletak di belakang angulus
mandibular terlihat membesar dan ada nyeri tekan.
b. Tonsilitis kronik: pada pemeriksaan fisik ditemukan tampak
tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus
melebar, dan kriptus berisi detritus. Tanda klinis pada tonsilitis
kronis yang sering muncul adalah kripta yang melebar,
pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang
mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada
seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran
kelenjar limfe submandibular.
c. Tonsilitis difteri: pada pemeriksaan ditemukan tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama
makin meluas dan membentuk pseudomembran yang melekat
erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
d. Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan
mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan
jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran
tonsil dapat dibagi menjadi:
 T0: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat.
 T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati pilar anterior
sampai ¼ jarak pilar anterior uvula.
6

 T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume


orofaring atau batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar
anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula.
 T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar
anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula.
 T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar
anterior-uvula sampai uvula atau lebih.2

Pemeriksaan penunjang

a. Darah lengkap
b. Usap tonsil untuk pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan
gram
c. Pemeriksaan penunjang lanjutan : Usap tonsil untuk pemeriksaan
kultur bakteri.2
7

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis Klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan untuk diagnosis definitif ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang.

Klasifikasi tonsilitis: 1,2

1. Tonsilitis Akut

a. Tonsilitis viral

Pasien dengan tonsilitis akut karena virus cukup diberikan


terapi suportif. Anjurkan istirahat, minum cukup, analgetik,
dan gejala berat dapat diberikan antivirus. Virus Epstein Barr
adalah penyebab paling sering. Jika terjadi infeksi virus
coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan
tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat
nyeri dirasakan pasien.

b. Tonsilitis bakterial

Peradangan akut tonsil yang dapat disebabkan oleh


kuman Group A Beta Hemoliticus Streptococcus (GABHS)
yang dikenal sebagai strept
throat, pneumococcus, Streptococcus
viridan dan Streptococcus pyogenes. Haemophilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan
menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
8

polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Masa inkubasi


2-4 hari.

2. Tonsilitis Membranosa

a. Tonsilitis difteri

Tonsilitis ini disebabkan oleh kuman Corynebacterium


diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini
akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam
darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat
dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Gejalanya
terbagi menjadi 3 golongan besar, umum, lokal dan gejala
akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi
lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala
lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk
pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga
bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat endotoksin
dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada
jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi
kordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan
otot palatum dan otot pernafasan, pseudomembran yang
meluas ke faringolaring dapat menyebabkan sumbatan jalan
nafas atas yang merupakan keadaan gawat darurat serta pada
ginjal dapat menimbulkan albuminuria.

b. Tonsilitis septik
9

Penyebab tonsilitis septik adalah Streptococcus


hemoliticus yang terdapat dalam susu sapi sehingga
menimbulkan epidemi. Oleh karena itu di Indonesia susu sapi
dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum
maka penyakit ini jarang ditemukan.

c. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)

Penyebab penyakit ini adalah


bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada
penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C.

d. Penyakit keganasan

Pembesaran tonsil dapat merupakan manifestasi dari suatu


keganasan seperti limfoma maligna atau karsinoma tonsil.
Biasanya ditemukan pembesaran tonsil yang asimetris.

3. Tonsilitis Kronik

Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari


rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut
yang tidak adekuat.

2.1.6 Penatalaksanaan

1. Istirahat cukup
2. Makan makanan lunak dan menghindari makan makanan yang
mengiritasi
10

3. Menjaga kebersihan mulut


4. Pemberian obat topikal dapat berupa obat kumur antiseptik
5. Pemberian obat oral sistemik:

a. Pada tonsilitis viral istirahat, minum cukup, analgetika,


antivirus diberikan bila gejala berat. Antivirus metisoprinol
(isoprenosine) diberikan pada infeksi virus dengan dosis 60-
100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang
dewasa dan pada anak <5tahun diberikan 50mg/kgBB dibagi
dalam4-6 kali pemberian/hari.
b. Tonsilitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
GABHS, diberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin
50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau Amoksisilin 50 mg/
kgBB dosis dibagi 3 kali/ hari selama 10 hari dan pada dewasa
3×500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4×500 mg/hari.
Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena steroid
telah menunjukkan perbaikan klinis yang dapat menekan reaksi
inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa Deksametason
3×0,5 mg pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi 3 kali pemberian selama 3 hari.
c. Pada tonsilitis difteri, Anti Difteri Serum diberikan segera tanpa
menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit
tergantung umur dan jenis kelamin. Antibiotik penisilin atau
eritromisin 25-50 mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk simptomatis
dan pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat
tidur selama 2-3 minggu.
d. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
diberikan antibiotik spektrum luas selama 1 minggu, dan
pemberian vitamin C serta vitamin B kompleks.
11

e. Pengobatan tonsilitis kronik:

6. Diberikan obat-obatan simptomatik dan obat kumur yang


mengandung desinfektan.
7. Indikasi tonsilektomi.

8. Konseling dan Edukasi

Memberitahu individu dan keluarga untuk:

 Melakukan pengobatan yang adekuat karena risiko


kekambuhan cukup tinggi.
 Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan
bergizi dan olahraga teratur.
 Berhenti merokok.
 Selalu menjaga kebersihan mulut.
 Mencuci tangan secara teratur.
 Menghindari makanan dan minuman yang mengiritasi.

9. Rencana Tindak Lanjut

Memberikan laporan ke Dinkes setempat jika terdapat kasus


tonsilitis difteri.

Kriteria Rujukan

Segera rujuk jika terjadi:

 Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia,


meningitis, glomerulonefritis, demam rematik akut.
 Adanya indikasi tonsilektomi.
12

 Pasien dengan tonsilitis difteri. 2

Tonsilektomi

Tonsilektomi adalah prosedur bedah untuk menghilangkan tonsil


dan kapsulnya secara komplit dengan memotong ruang
peritonsiler diantara kapsul tonsil dan dinding otot yang dilakukan
dengan/ tanpa adenoidektomi.10

Indikasi tonsilektomi pada anak 1-18 tahun seperti yang


ditetapkan The American Academy of Otolaryngology – Head and
Neck Surgery tahun 2011 adalah :

1. Bila terdapat infeksi tenggorokan berulang dengan frekuensi 7


kali dalam setahun terakhir atau paling sedikit 5 episode per
tahun dalam 2 tahun atau 3 episode per tahun dalam 3 tiga
tahun dengan berdasarkan catatan medis dalam tiap episode
sakit tenggorok dan ada salah satu gejala berikut: demam
>38.3°C, adenopati servikal (KGB nyeri atau diameter > 2 cm),
eksudat tonsil, atau hasil tes GABHS.10
2. Watchful waiting dilakukan untuk infeksi tenggorok berulang
dengan frekuensi kurang dari kriteria tonsilektomi diatas.
3. Perhatikan bagi anak yang tidak memenuhi kriteria namun
termasuk dalam yang dipertimbangkan untuk tonsilektomi:
alergi terhadap multipel antibiotik, stomatitis, faringitis dan
adenitis, atau riwayat dengan abses peritonsilar.
4. Perhatikan pula pada anak dengan gangguan tidur dan bernafas
yang lebih baik bila dilakukan tonsilektomi, apalagi bila
13

terdapat enuresis, retardasi pertumbuhan, dan performa sekolah


yang menurun.1,10-14

Bukti yang mendukung dilakukannya tonsilektomi untuk


mengatasi kekambuhan nyeri tenggorok masih kontroversial.15

Menurut Health Technology Assessment, Kemenkes tahun


2004, indikasi tonsilektomi yaitu: 2

Indikasi absolut:

1. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran


nafas, disfagia berat, gangguan tidur, dan komplikasi
kardiopulmonar.
2. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan
medis dan drainase.
3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
patologi anatomi.

Indikasi relatif:

1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahundengan


terapi antibiotik adekuat.
2. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis.
3. Tonsilitis kronik atau berulang pada
karier streptococcus yang tidak membaik dengan pemberian
antibiotik laktamase resisten.

Kontraindikasi tonsilektomi:
14

Kontraindikasi absolut:

1. Penyakit darah: leukemia, anemia aplastik, hemofilia dan


purpura
2. Penyakit sistemik yang tidak terkontrol: diabetes melitus,
penyakit

jantung dan sebagainya.

Kontraindikasi relatif:

1. Palatoschizis
2. Anemia (Hb <10 gr%)
3. Infeksi akut saluran nafas atau tonsil (bukan abses
peritonsiler)
4. Poliomielitis epidemik
5. Usia di bawah 3 tahun (sebaiknya ditunggu sampai 5 tahun)

2.1.7 Komplikasi 1,2

Tonsilitis akut sering menimbulkan komplikasi otitis media


akut, sinusitis, abses peritonsil (Quincy throat), abses parafaring,
bronkitis, glomerulonefritis akut, miokarditis, artritis, serta
septikemia akibat infeksi v. Jugularis interna (sindrom Lemierre).
Hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernafas melalui mulut,
tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya OSAS
(Obstructive Sleep Apnea Syndrome).

Tonsilitis difteri dapat menyebabkan laringitis difteri yang


berlangsung cepat dan menyebabkan gejala sumbatan. Miokarditis
15

dapat mengakibatkan decompensasio cordis. Kelumpuhan otot dapat


terjadi meliputi kelumpuhan otot palatum mole, akomodasi mata,
faring, laring, dan otot-otot pernafasan. Komplikasi ke ginjal berupa
albuminuria.

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah


sekitarnya berupa rinitis kronik, sinusitis, atau otitis media secara per
kontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau
limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, miositis, nefritis,
uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.

2.1.8 Prognosis 1
Prognosis pada umumnya bonam jika pengobatan adekuat dan
kebersihan mulut baik.

2.2 Definisi Faringitis


Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh
virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain.2

2.2.1 Epidemiologi
16

Di USA, faringitis terjadi lebih sering terjadi pada anak-anak


daripada pada dewasa. Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi
pusat pelayanan kesehatan karena faringitis. Anak-anak dan orang
dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran
pernafasan atas termasuk faringitis. Sekitar 15-30 % faringitis terjadi
pada anak usia sekolah, terutama usia 4-7 tahun, dan sekitar 10% nya
diderita oleh dewasa. Secara global di dunia ini viral faringitis
merupakan penyebab utama seseorang absen bekerja atau sekolah.1,2
Penyebab tersering dari faringitis ini yaitu GABHS. Bakteri
penyebab tersering yaitu Streptococcus pyogenes. Sedangkan,
penyebab virus tersering yaitu rhinovirus dan adenovirus. Masa
infeksi GABHS paling sering yaitu pada akhir musim gugur hingga
awal musim semi. Bakteri ini banyak menyerang anak usia sekolah,
orang dewasa, dan jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun.1
2.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Banyak mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis,


virus (40-60%) bakteri (5-40%). Virus merupakan penyebab
faringitis yang paling banyak teridentifikasi, antara lain Rhinovirus
(±20%) dan coronaviruses (±5%). Selain itu juga ada Influenza virus,
Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus type 1 &
2, Coxsackie virus A, cytomegalovirus dan Epstein-Barr
virus (EBV). Selain itu infeksi HIV juga dapat menyebabkan
terjadinya faringitis.1

Faringitis yang disebabkan oleh bakteri biasanya oleh grup


S.pyogenes dengan 5-15% penyebab faringitis pada orang dewasa.
GABHS merupakan penyebab faringitis yang utama pada anak-anak
berusia 5-15 tahun, ini jarang ditemukan pada anak berusia <3tahun.
Bakteri penyebab faringitis yang lainnya (<1%) antara lain Neisseria
17

gonorrhoeae, Corynebacterium diptheriae, Corynebacterium


ulcerans, Yersinia eneterolitica, Treponema pallidum,
dan Mycobacterium tuberculosis.1

Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang


yang menderita faringitis. Faktor resiko penyebab faringitis yaitu
udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan
yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.1

Faktor risiko faringitis :

1. Paparan udara yang dingin.


2. Menurunnya daya tahan tubuh.
3. Konsumsi makanan yang kurang gizi.
4. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam
lambung, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring.2

2.2.3 Patofisiologi

Pada infeksi faringitis, virus atau bakteri secara langsung


menginvasi mucosa pada rongga tenggorokan, menyebabkan suatu
respon inflamasi lokal. berbeda halnya dengan virus, seperti
rhinovirus,dapat mengiritasi mukosa rongga tenggorokan.

Infeksi/peradangan streptococcus ditandai oleh pelepasan dan


invasi toksin ekstra seluler lokal dan enzim protease.

Bakteri S. Pyogenes memiliki sifat penularan yang tinggi


dengan droplet udara yang berasal dari pasien faringitis. Droplet ini
dikeluarkan melalui batuk dan bersin. Jika bakteri ini hinggap pada
sel sehat, bakteri ini akan bermultiplikasi dan mensekresikan toksin.
18

Toksin ini menyebabkan kerusakan pada sel hidup dan inflamasi pada
orofaring dan tonsil. Kerusakan jaringan ini ditandai dengan adanya
tampakan kemerahan pada faring. Periode inkubasi faringitis hingga
gejala muncul yaitu sekitar 24-72 jam.

Beberapa strain dari S. Pyogenes menghasilkan eksotoksin


eritrogenik yang menyebabkan bercak kemerahan pada kulit pada
leher, dada, dan lengan. Bercak tersebut terjadi sebagai akibatdari
kumpulan darah pada pembuluh darah yang rusak akibat pengaruh
toksin.9

2.2.4 Klasifikasi

1) Faringitis akut

a. Faringitis viral

Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari


kemudian akan menimbulkan faringitis. Demam disertai
rinorea, mual, nyeri tenggorokan dan sulit menelan. Pada
pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus
influenza, Coxsachievirus, dan cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan
lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit
berupa maculopapular rash.1

Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga


menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak.
Epstein-Barr virus (EBV) menyebabkan faringitis yang
disertai produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat
pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama
19

retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis yang


disebabkan HIV menimbulkan keluhan nyeri tenggorok,
nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak
faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di
leher dan pasien tampak lemah.1

b. Faringitis bakterial

Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai


demam dengan suhu yang tinggi dan jarang disertai dengan
batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya.
Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada
palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar,
kenyal dan nyeri pada penekanan.1

c. Faringitis fungal

Keluhan nyeri tenggorokan dan nyeri menelan. Pada


pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan mukosa
faring lainnya hiperemis.1

2) Faringitis kronik

Terdapat dua bentuk faringitis kronik yaitu faringitis kronik


hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor predisposisi
proses radang kronik di faring adalah rhinitis kronik, sinusitis,
iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang
merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab
20

terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang bernafas melalui


mulut karena hidungnya tersumbat.1

a. Faringitis Kronik Hiperplastik

Pasien mengeluh mula-mula tenggorokan kering gatal dan


akhirnya batuk yang berdahak. Pada faringitis kronik
hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior
faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan
lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa
dinding posterior tidak rata dan berglanular.1

b. Faringitis Kronik Atrofi

Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan


rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak
diatur suhu serta kelembapannya sehingga menimbulkan
rangsangan serta infeksi pada faring. Pasien umumnya
mengeluhkan tenggorokan kering dan tebal serta mulut
berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi
oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
kering.1

2.2.5 Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan nyeri tenggorokan, sakit jika


menelan dan batuk. Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis
tergantung pada mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis
besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala umum seperti lemas,
anorexia, demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.
21

Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:

1. Faringitis viral (umumnya oleh Rhinovirus): diawali dengan


gejala rinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis.
Gejala lain demam disertai rinorea dan mual.
2. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai
demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
3. Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
4. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal
dan akhirnya batuk yang berdahak.
5. Faringitis kronik atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal
serta mulut berbau.
6. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak
berespon dengan pengobatan bakterial non spesifik.
7. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika,
ditanyakan riwayat hubungan seksual.2

Pemeriksaan fisik

a. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil


hiperemis, eksudat (virus
influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan
eksudat). Pada coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di
orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.
b. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar,
faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya.
Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan
faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar,
kenyal dan nyeri pada penekanan.
22

c. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih diorofaring


dan pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
d. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar
limfa di bawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan
bergranular (cobble stone).
e. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring
ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
kering.
f. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma
perkejuan pada mukosa faring dan laring.
g. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:

1) Stadium primer

Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring


berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus
pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak
nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibular.

2) Stadium sekunder

Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat


eritema yang menjalar ke arah laring.

3) Stadium tersier

Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.2

Pemeriksaan penunjang
23

1) Pemeriksaan darah lengkap.


2) Terinfeksi jamur, menggunakan slide dengan pewarnaan KOH.
3) Pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan gram.

Pemeriksaan penunjang lanjutan (bila diperlukan)

1. Kultur resistensi dari swab tenggorok.


2. Rapid Antigen Test (RAT) bila dicurigai faringitis akibat infeksi
bakteri GABHS.2

2.2.6 Diagnosis

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan.

Klasifikasi faringitis:

1. Faringitis Akut

 Faringitis Viral

Dapat disebabkan oleh rinovirus, adenovirus, Epstein Barr


Virus (EBV), virus
influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus, dan lain-lain.
Pada adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis
terutama pada anak.

 Faringitis Bakterial

Infeksi GABHS merupakan penyebab faringitis akut pada


orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
24

Faringitis akibat infeksi bakteri GABHS dapat diperkirakan


dengan menggunakan Skor Centor, yaitu :

 Demam
 Adenopati servikal anterior
 Eksudat tonsil
 Tidak adanya batuk

Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor 1. Bila skor 0-1 maka
pasien tidak mengalami faringitis akibat infeksi GABHS, bila skor 1-
3 maka pasien memiliki kemungkinan 40% terinfeksi GABHS dan
bila skor 4 pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi GABHS.2

McIsaac et al memodifikasi skor Centor berdasarkan umur pasien.


Pasien usia muda lebih sering terinfeksi GAS dibanding usia yang
lebih tua. Skor McIsaac menambah kriteria pada skor Centor untuk
pasien usia kurang dari 15 tahun dengan skor 1, dan skor -1 untuk
usia lebih dari 45 tahun. Skor centor dengan modifikasi dapat dilihat
di tabel 2.1. 16

Tabel 2.1. Skor Centor dengan Modifikasi. 16

Kriteria Poin

Tidak adanya batuk 1

Demam (> 38oC) 1


25

Adenopati servikal anterior 1

Tonsil bengkak atau


1
bereksudat

Usia

3-14 1

15-44 0

> 45 -1

Pada pasien yang beresiko terinfeksi GABHS (Skor Centor 3-4)


dapat disarankan menggunakan rapid antigen test (RAT). Jika RAT
telah dilakukan, tidak perlu melakukan kultur tenggorok untuk
diagnosis GABHS.17

 Faringitis Fungal

Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.

 Faringitis Gonorea

Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.


26

1. Faringitis Kronik

 Faringitis Kronik Hiperplastik

Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa


dinding posterior faring.

 Faringitis Kronik Atrofi

Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis


atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta
kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi
pada faring.

1. Faringitis Spesifik

 Faringitis Tuberkulosis

Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada infeksi


kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring
primer. Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang
mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Cara
infeksi endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberculosis
miliaris.

 Faringitis Luetika

Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring,


seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik tergantung
stadium penyakitnya.2
27

2.2.7 Penatalaksanaan

Pada viral faringitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum


yang cukup dan berkumur dengan air yang hangat. Analgetika
diberikan jika perlu. Antivirus metisoprinol (isoprenosine) diberikan
pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi
dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak <5
tahun diberikan 50 mg/kgBb dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.1

Pada faringitis akibat bakteri, American College of


Physicians (ACP)/Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) membuat guideline untuk penanganan faringitis
berdasarkan skor Centor yang dipaparkan di tabel 2.2.16

Tabel 2.2. Guideline ACP/CDC untuk penanganan faringitis


GABHS.16

Risiko faringitis Guideline American College of Physicians/


Skor Centor
GABHS Centers for Disease Control and Prevention

Tidak perlu pemeriksaan lanjutan atau terapi


0 1-2,5%
antibiotik

Tidak perlu pemeriksaan lanjutan atau terapi


1 5-10%
antibiotik

2 11-17% Terapi antibiotik bila RAT positif


28

Terapi antibiotik bila RAT positif, atau terapi


3 28-35%
antibiotik empiris

4 51-53% Terapi antibiotik empiris

Pilihan antibiotik yang direkomendasikan oleh American Academy of


Pediatrics dipaparkan dalam tabel 2.3.

Tabel 2.3. Rekomendasi regimen antibiotik untuk faringitis


GABHS.18

Nama Obat Dosis Durasi

Individu tidak alergi Penisilin

Anak-anak: 2 hingga 3x 250 mg


Penisilin V, oral 10 hari
sehari
29

50 mg/kg satu kali sehari (maks: 1000


Amoksisilin, oral mg), atau 25 mg/kg (maks: 500 mg) 10 hari
dua kali sehari

< 27 kg: 600.000 U, > 27 kg:


Benzatin penisilin G, IM 1 dosis
1.200.000 U

Individu alergi Penisilin

2 kali 20 mg/kg/dosis (maks: 500


Sefaleksin, oral 10 hari
mg/dosis) sehari

Sefadroksil, oral 1×30 mg/kg sehari (maks: 1g) 10 hari

3×7 mg/kg/dosis (maks: 300


Klindamisin, oral 10 hari
mg/dosis)

Azitromisin, oral 1×12 mg/kg (maks: 500 mg) 5 hari

2×7,5 mg/kg sehari (maks: 250


Klaritromisin, oral 10 hari
mg/dosis)
30

Terapi antibiotik sebaiknya jangan diberikan pada pasien sakit


tenggorok dengan gejala minimal (skor Centor 0-2). Pertimbangkan
manfaat antibiotik pada pasien dengan skor Centor 3-4, terhadap efek
samping obat, efek antibiotik pada mikrobiota, peningkatan resistensi
antibiotik, perlakuan medis, dan biaya.. Pencegahan komplikasi
bukanlah indikasi untuk terapi antibiotik pada sakit tenggorok. Bila
ada indikasi antibiotik, The European Society for Clinical
Microbiology and Infectious Diseases merekomendasikan
menggunakan Penicillin V 2/3 kali sehari dalam 10 hari.17 Dapat pula
diberikan Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal
atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari
dan pada dewasa 3×500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4×500
mg/hari.1 Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena
steroid telah menunjukan perbaikan klinis karena dapat menekan
reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason
8-16 mg/IM sekali dan pada anak-anak 0,08-0,3 mg/kgBB/IM sekali.
Beberapa sumber tidak merekomendasikan penggunaan
kortikosteroid karena dapat berpotensi menyebabkan efek samping.19

Analgetik dan antipiretik dapat diberikan berupa ibuprofen atau


parasetamol. Anjurkan pasien untuk berkumur-kumur dengan
menggunakan air hangat atau antiseptik.1 Zink glukonas tidak
direkomendasikan untuk diberikan pada sakit tenggorok.

Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan


melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras
argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan simptomatis
diberikan obat kumur, jika diperlukan dapat diberikan obat batuk
antitusif atau ekspetoran. Penyakit pada hidung dan sinus paranasal
31

harus diobati. Pada faringitis kronik atrofi pengobatannya ditujukan


pada rhinitis atrofi dan untuk faringitis kronik atrofi hanya
ditambahkan dengan obat kumur dan pasien disuruh menjaga
kebersihan mulut.1,2

Selain antibiotik, kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi


inflamasi sehingga mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang
diberikan dapat berupa deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama
3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 x/hari
selama 3 hari.

Konseling dan edukasi yang diberikan untuk pasien dan keluarga


antara lain:

1) Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi


dan olahraga teratur.
2) Berhenti merokok bagi anggota keluarga yang merokok.
3) Menghindari makan makanan yang dapat mengiritasi tenggorok.
4) Selalu menjaga kebersihan mulut
5) Mencuci tangan secara teratur

Kriteria rujukan pada pasien faringitis adalah:

1. Faringitis luetika.
2. Timbul komplikasi: epiglotitis, abses peritonsiler, abses
retrofaringeal,

septikemia, meningitis, glomerulonefritis, demam rematik akut.2

2.2.8 Komplikasi
32

Komplikasi infeksi GABHS dapat berupa demam reumatik (3-


5 minggu setelah infeksi), Poststreptococcal
glomerulonephritis, toxic shock syndrome, dan abses peritonsiler.
Komplikasi umum faringitis terutama tampak pada faringitis karena
bakteri yaitu : sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis, dan
pneumonia. Kekambuhan biasanya terjadi pada pasien dengan
pengobatan yang tidak tuntas pada pengobatan dengan antibiotik,
atau adanya paparan baru.
Komplikasi infeksi mononukleus meliputi : ruptur lien,
hepatitis, sindrom Guillain Barré, ensefalitis, anemia hemolitik,
miokarditis, limfoma sel-B, dan karsinoma nasofaring.2
2.2.9 Prognosis

Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik,


namun hal ini bergantung pada jenis dan komplikasinya. Pasien
dengan faringitis biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu.2
33

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.


Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala&Leher. Ed. Ke-6. FKUI : Jakarta. 2007

2. Faqih DM, dkk. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Ed. Ke-1. IDI-Depkes RI : Jakarta. 2013

3. Sih TM1, Bricks LF. Optimizing the management of the main acute infections
in pediatric ORL: tonsillitis, sinusitis, otitis media. Braz J Otorhinolaryngol.
2008;74(5):755-62.

4. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed. Ke-6. EGC :
Jakarta. 2006.

5. Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman. Ed. Ke-7. EGC : Jakarta.2000

6. Sherwood LL. Fisiologi manusia:dari sel ke sistem. Ed. Ke-2. Jakarta: EGC.
2001
34

7. Putz R, Pabst R. Sobotta : Atlas Anatomi Manusia. Ed. Ke-22. Jilid 1.


EGC : Jakarta.2007

8. Rinny Olivia Sembiring. Identifikasi bakteri dan uji kepekaan terhadap


antibiotik pada penderita tonsilitis di Poliklinik THT-KL BLU RSU. Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado Periode November 2012-Januari 2013. Jurnal
eBM 1;2:2013

9. Corwin, EJ. Buku Saku Patofisologi. Ed.Ke-3. EGC : Jakarta. 2009

10. Baugh RF et al. Clinical practice guideline: tonsillectomy in


children. Otolaryngol Head Neck Surg. 2011 Jan;144(1 Suppl):S1-30.

11. American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery.


Clinical indicators compendium. Alexandria, Virginia, 1995.

12. Kaltai PJ et al. Intracapsular partial tonsillectomy for tonsillar


hypertrophy in children. Laryngoscope 2002;112:17-9

13. Paradise JL et al. Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent


throat infection in moderately affected children. Pediatrics 2002;110:1-7

14. Randel A. Practice Guidelines : AAO–HNS Guidelines for


Tonsillectomy in Children and Adolescents. Am Fam Physician. 2011 Sep
1;84(5):566-573

15. Neill RA, Scoville C. What are the indications for tonsillectomy in
children?. J Fam Pract. 2002 April;51(4):312-314.

16. Fine AM et al. Large-Scale Validation of the Centor and McIsaac


Scores to Predict Group A Streptococcal Pharyngitis. Arch Intern Med. 2012
Jun 11; 172(11): 847–852.

17. ESCMID Sore Throat Guideline Group. Guideline for the


management of acute sore throat. Clin Microbiol Infect. 2012 Apr;18 Suppl
1:1-28.
35

18. Regoli M et al. Update on the management of acute pharyngitis in


children. Ital J Pediatr. 2011; 37: 10.

19. Choby BA. Diagnosis and treatment of streptococcal pharyngitis. Am


Fam Physician. 2009;79(5):383-90.

Anda mungkin juga menyukai