Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN KASUS TONSILITIS DI RUANG NURI


RSUD-ANUTAPURA PROVINSI SULAWESI TENGAH

DISUSUN OLEH :
DIAJENG DITA NUR PRAMESTI HERIYANTO
NIM. 202101095

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns. Netty Vonny Yanty, S.Kep Ns. Katrina Feby Lestari. S.Kep.,M.P.H
NIP.197511302005012008 NIP.0909029102

PROGRAM STUDI S1-KEPERAWATAN


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
2023
LAPORAN PENDAHULUAN

1. DEFINISI

Penyakit tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang


disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus. Selain virus dan
bakteri, penyakit ini juga bisa disebabkan karena kegagalan atau
ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada saat pertama kali
menderita (tonsilitis akut) sehingga penyakit ini semakin
meradang jika timbul untuk kedua kalinya dan menjadi tonsilitis
kronis. Penyakit ini dapat mengenai semua umur namun
umumnya menyerang pada anak-anak (Ramadhan et al., 2017).
Tonsilitis diartikan sebagai peradangan pada tonsil palatina
yang ditandai dengan peradangan tonsil, sakit tenggorok,
gangguan menelan, dan pembesaran ringan kelenjar limfe di
leher. Peradangan biasanya meluas hingga ke adenoid maupun
tonsil lingual (melibatkan cincin Waldeyer) dan seringkali
bersamaan dengan faringitis yang dinamakan faringotonsilitis.
Penyebaran infeksi ini ditransmisikan melalui udara (air borne
droplet), tangan, dan ciuman (Klarisa dan Fardizza F, 2014).
Berdasarkan pengertian di atas kesimpulan dari penulis
adalah tonsilitis merupakan suatu peradangan pada tonsil yang
disebabkan oleh bakteri ataupun virus, prosesnya bisa akut atau
kronis.

2. ANATOMI FISIOLOGI

Tonsil terdiri dari tonsil lingual, tonsil faringeal (adenoid)


dan tonsil palatina. Tonsil palatine merupakan sepasang massa
jaringan lunak dibagian belakang faring. Terdapat satu buah
tonsil palatine pada tiap sisi.Tiap tonsil merupakan jaringan
limfoid yang dilapisi epitel respirasi yang berinvaginasi dan
membentuk kripta / kriptus (Klarisa C & Fardizza F, 2014).
Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di
dalam fosa tonsil.Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan
celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang
kedua.Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar
lidah.Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah yang disebut kriptus. Tonsil mendapat darah
dari a. palatine minor, a. palatine asendens, cabang tonsil a.
maksila eksterna, a. faring asendens dan a. lingualis dorsal. Tonsil
lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, disebelah
anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu
sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat ini
kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan
secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid
lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
(Rusmarjono & Hermani B, 2012).
Tonsil merupakan bagian dari sistem limfatik yang
berperan dalam imunitas, bersama dengan tonsil lingual dan
tonsil palatine membentuk cincin Waldeyer selaku agregat
limfoid pertama pada saluran aerodiestif. Tonsil akan
menghasilkan limfosit dan aktif mensintesis immunoglobulin
saat terjadinya infeksi di tubuh. Tonsil akan membengkak
saat berespon terhadap infeksi. (Klarisa C & Fardizza F , 2014)

3. ETIOLOGI

Gejala umum tonsilitis kronis yaitu sakit tenggorok,


disfagia, dan demam. Penyakit tonsil mempengaruhi struktur
terkait anatomi lainnya seperti celah telinga tengah, sinus
paranasal, dan gabungan saluran pernafasan dengan bagian atas
saluran pencernaan. Anak-anak yang mengalami tonsilitis kronis
memiliki pembesaran tonsil dan pembuluh darah membesar pada
permukaan tonsil (Triola, Zuhdi, & Vani, 2020).

Tanda-tanda maupun gejala tonsilitis yang sering


ditemukan diantaranya perasaan mudah lelah dan lesu, sulit
berkonsentrasi, rasa tidak

enak pada tenggorokan, sulit menelan hingga rasa sakit saat


menelan, nafas atau mulut berbau serta terkadang muncul juga
gangguan pada telinga dan siklus tidur seseorang. Pengaruh non
mikroba juga menjadi penyebab dari penyakit ini seperti refluks
esofagus, imunomodulator dan radikal bebas. Radikal bebas
sendiri merupakan molekul tidak stabil dan sangat reaktif
sehingga bisa menyebabkan kerusakan jaringan terutama di
membrane sel (Liwikasari, 2018).
Peradangan tonsil akan mengakibatkan pembesaran yang
menyebabkan kesulitan menelan atau seperti ada yang
mengganjal di tenggorok. Pada anak biasanya keadaan ini juga
dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur karena
pengaruh besarnya tonsil mengganggu pernafasan bahkan
keluhan sesak nafas juga dapat terjadi

apabila pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan. Jika


peradangan telah ditanggulangi, kemungkin tonsil kembali
pulih seperti semula atau

bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula. Apabila tidak


terjadi penyembuhan yang sempurna pada tonsil, dapat terjadi
infeksi berulang. Apabila keadaan ini menetap, bakteri patogen
akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi peradangan yang
kronis atau yang disebut dengan tonsilitis kronis (Maulana Fakh,
Novialdi, & Elmatris, 2016)

4. PATOFISIOLOGI

Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau


mulut, amandel berperan sebagai filter atau penyaring yang
menyelimuti organisme berbahaya, sel-sel darah putih ini akan
menyebabkan infeksi ringan pada amandel. Hal ini akan memicu
tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan
datang, akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan
menahan infeksi atau virus. Infeksi bakteri dari virus inilah yang
menyebabkan tonsilitis. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila
epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan
reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada
korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus.
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang
terlepas, suatu tonsilitis akut dengan detritus disebut tonsilitis
falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka
terjadi tonsilitis lakunaris.
Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan
hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit
tenggorokannya sehingga nafsu makan berkurang. Radang pada
tonsil dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak,
dan kelenjar getah bening melemah di dalam daerah sub
mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh
sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang
berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang
tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang tidak
menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam. Bila
bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran
semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsilitis kronik
terjadi karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses
penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan
ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar
(kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan
jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfe submandibul

5. PATHWAY
Bakteri dalam Udara & Makanan Peradangan tonsil
Tonsilitis

Pembesaran tonsil obs Mekanik

Obst Jln nafas Nyeri

Bersihan jalan nafas tidak efektif


Tonsilektomi
Resiko pendarahan Kurang pemahaman

Darah di sal nafas Defisiensi pengetahuan

Bersihan jln nafas tidak efektif

6. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis yang muncul akan berbeda-beda pada


setiap kategori tonsilitis sebagai berikut. (Rusmarjono &
Soepardi, 2016).
a. Tonsilitis akut

1. Tonsilitis viral

Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common


cold yang disertai rasa nyeri tenggorok dan
beberapa derajat disfagia. Dan pada kasus berat
dapat meolak untuk minum atau makan melalui
mulut. Penderita mengalami malaise, suhu tinggi, dan
nafasnya bau.
2. Tonsilitis bacterial

Gejala dan tanda Masa inkubasi 2 – 4 hari. Gejala dan


tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok
dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh
yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi- sendi, tidak
nafsu makan dan rasa nyeri di telinga karena nyeri
alih (referred pain) melalui saraf N. glosofaringeus
(N. IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil
membengkak, hiperemis dan terdapat detritus
berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran
semu. Kelenjar sub-mandibula membengkak dan
nyeri tekan. (otalgia).
b. Tonsilitis Membranosa

1. Tonsilitis difteri

Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu


kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala,
tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta
keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak
berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk membran semu. Membran ini dapat
meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, lanng,
trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran
napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfa leher akan membengkak
sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher
sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester's.

2. Tonsilitis Septik Disebabkan oleh Streptococcus


hemoliticus
3. pada susu sapi, tapi di Indonesia jarang. Angina Plaut
Vincent

Gejala demam sampai dengan 39o C, nyeri kepala,


badan lemah, dan kadang-kadang terdapat
gangguan pencernaan. Rasa nyeri di
mulut,hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah.
Pada pemeriksaan tampak mukosa mulut dan faring
hiperemis, tampak membran putih keabuan di atas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi, serta terdapat bau
mulut dan kelenjar sub mandibula membesar.

7. KOMPLIKASI

Pada sebagian besar kasus, tonsilitis hanya menyebabkan sakit


tenggorokan dengan atau tanpa demam (pireksia). Biasanya berlangsung
beberapa hari dan mereda dengan atau tanpa antibiotik. Antibiotik telah
ditemukan mengurangi durasi tonsilitis satu atau dua hari, dan
mengurangi risiko terjadinya masalah lain (komplikasi). Tonsilitis sering
kali disebabkan oleh infeksi streptokokus, khususnya Streptococcus
Pyogenes (juga dikenal sebagai Streptococcus Grup A). Jarang sekali,
tonsilitis jenis ini dapat menyebabkan masalah yang lebih serius seperti
yang dibahas di sini.

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSA

Penegakan diagnosis dari tonsilitis dapat dilakukan melalui


anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dilakukan untuk menggali
riwayat dari keluhan-keluhan pasien, berupa keluhan lokal dan keluhan
sistemik. Keluhan lokal yang dapat dirasakan antara lain nyeri saat
menelan, rasa sakit dan mengganjal pada tenggorokan, halitosis (bau
mulut), demam, mendengkur, gangguan saat bernapas, hidung
tersumbat, dan batuk pilek berulang. Selain itu, dapat disertai dengan
keluhan sistemik, seperti rasa lemah, nafsu makan berkurang, nyeri
kepala, dan nyeri pada persendian.

Pada pemeriksaan fisik dalam menegakkan diagnosis tonsilitis ini,


maka sering didapatkan hasil yaitu pembesaran tonsil, pelebaran
permukaan pada kripta tonsil, ditemukan detritus pada penekanan kripta,
hiperemis/kemerahan pada arkus anterior atau posterior hiperemis, dan
dapat ditemukan pembesaran kelenjar submandibula. Diagnosis tonsilitis
dapat ditegakan apabila terdapat satu atau lebih keluhan dari anamnesis
yang sering berulang ditambah dengan pembesaran ukuran tonsil
dan/atau pemeriksaan fisik lainnya.

Pemeriksaan fisik tonsil dilakukan dengan bantuan spatula lidah,


salah satu hal yang perlu dinilai adalah besarnya tonsil. Besar tonsil
dibagi menjadi T0, T1, T2, T3, dan T4. Dinyatakan T0 apabila besar
tonsil seperempat dari jarak arkus anterior dan uvula, di sini terlihat
tonsil tertutupi pilar tonsilar. Dinyatakan T2 apabila besar tonsil
setengah dari jarak arkus anterior dan uvula, terlihat tonsil membesar ke
arah pilar tonsilar. Dinyatakan T3 apabila besar besar tonsil ¾ dari jarak
arkus anterior dan uvula, terlihat tonsil telah mencapai luar pilar tonsilar.
Terakhir T4, dinyatakan demikian apabila besar tonsil telah mencapai
arkus anterior atau lebih, terlihat tonsil sudah mencapai garis tengah.

9. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana pada pasien dengan tonsilitis dapat dilakukan secara


operatif dan non-operatif. Pada sebagian besar pasien, tonsilitis adalah
penyakit yang dapat sembuh sendiri atau self limiting disease.
Dikarenakan tonsilitis paling banyak disebabkan oleh virus, maka lini
pertama adalah terapi suportif, seperti analgetika dan hidrasi. Obat-
obatan seperti NSAID juga dapat meredakan gejala.8 Selain itu,
kortikosteroid dapat menjadi pilihan dalam terapi tonsilitis karena
dianggap sebagai terapi tambahan dalam mengurangi rasa nyeri atau
mempercepat proses pemulihan, biasanya diberikan dosis tunggal
deksametason.4 Untuk pasien tonsilitis dengan risiko tinggi faringitis
bakteri, terapi yang sering diberikan adalah antibiotik. Streptococcus
pyogenes merupakan penyebab yang paling sering dari tonsilitis dan
faringitis bakteri, sehingga antibiotik yang paling banyak digunakan
adalah penilisin. Namun, apabila pasien memiliki riwayat alergi
terhadap penisilin, maka azitromisin atau sefolosporin dapat menjadi
pilihan.9 Pada tonsilitis rekurens yang kambuh sebanyak lima atau lebih
episode dalam satu tahun, maka perlu dipertimbangkan pemeriksaan
imunodefisiensi primer.

Tatalaksana tonsilitis secara operatif dapat dilakukan pembedahan


seperti tonsilektomi atau tonsilotomi.4 Tonsilektomi merupakan
tatalaksana pembedahan dengan atau tanpa adenoidektomi yakni secara
lengkap pengambilan tonsil disertai kapsul dengan membuka ruang
peritonsiler antara kapsul tonsil dan dinding otot, sedangkan tonsilotomi
merupakan tatalaksana operatif berupa pengambilan sebagian jaringan
tonsil. Adapun indikasi utama dalam tatalaksana operatif yakni tonsilitis
rekurens dan Obstrutive Sleep Apneu (OSA)/Sleep-Disordered
Breathing (SDB).

10. PENCEGAHAN

Kuman dan virus serta antigen lainnya akan selalu melalui rongga mulut
dan nafas bagian atas kita sehari-hari, sehingga hampir tidak mungkin
kita menjamin udara yang kita hirup atau makanan minuman yang ada
adalah steril sama sekali. Sehingga mata rantai yang diputus adalah
seluruh potensi infeksi berulang dan terus-menerus tersebut dan hal ini
didasarkan pada konsep pencegahan infeksi secara umum. Agar lebih
aplikatif akan kami sampaikan tips pencegahan infeksi amadel sebagai
berikut:

a. Selalu jaga kondisi badan dengan pola makan sehat, konsumsi


multivitamin, istirahat yang cukup serta olahraga teratur dan tidak
merokok.

b. Menjaga kebersihan mulut seperti sikat gigi teratur 2 kali sehari


(pagi dan sebelum tidur) atau waspada terhadap gigi berlubang atau
sisa gigi yang hitam.
c. Menghindari risiko penularan infeksi saluran nafas atas (tertular
atau menularkan) dari atau ke orang-orang sekitar kita. Contoh
orang tua yang sedang sakit batuk pilek tidak kontak intensif dengan
bayi atau anak kecil bahkan orang dewasa sekalipun, begitupula
antara anak-anak sepermainan, alat makan minum terpisah,
menutup saat batuk atau bersin, tidak membuang ludah
sembarangan.

d. Mengurangi atau menghindari makanan atau minuman yang


bersifat iritatif terhadap saluran makan atau nafas atas. Secara
empiris makanan yang berminyak, tinggi kandungan bumbu rasa
penyedap atau pengawet, terlalu manis, dingin berpotensi iritasi.

e. Banyak minum air putih jika mengkonsumsi makanan minuman


seperti di atas.

f. Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan (tenaga kesehatan 5


waktu cuci tangan).

g. Mengurangi konsumsi jajanan bagi anak dan dewasa dengan


menyediakan makanan bekal sehat atau kantin dengan menu sehat
dan bersih.

h. Bagi anak-anak yang ingin jajan, orang tua harap mengganti jenis
makanan minuman yang disebut diatas dengan jenis lain yang
relative lebih aman dan sehat. Atau kebiasaan jajan makanan
minuman diganti dengan membeli benda-benda lain yang lebih
bermanfaat (mainan mendidik, alat tulis dan gambar, buku).

i. Membiasakan makan teratur di rumah disertai inovasi para ibu


dalam memilih makanan sehat serta menyajikannya dengan menarik
untuk keluarga terutama anak-anak.

A. Asuhan Keperawatan Pada Tonsilitis


1. Pengkajian
Fokus pengkajian menurut Firman (2006) yaitu :
a. Wawancara
1) Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsilitis)
2) Apakah pengobatan adekuat
3) Kapan gejala itu muncul
4) Bagaimana pola makannya
5) Apakah rutin atau rajin membersihkan mulut
b. Pemeriksaan fisik
Data dasar pengkajian menurut Doenges (2000), yaitu :
1) Integritas Ego
Gejala : Perasaan takut, khawatir. Tanda : ansietas, depresi, menolak.
2) Makanan atau Cairan
Gejala : Kesulitan menelan. Tanda : Kesulitan menelan, mudah terdesak,
inflamasi
3) Hygiene
Tanda : kebersihan gigi dan mulut buruk
4) Nyeri atau keamanan
Tanda : Gelisah, perilaku berhati-hati. Gejala : Sakit tenggorokan kronik,
penyebaran nyeri ke telinga

5) Pernapasan
Gejala : Riwayat menghisap asap rokok (mungkin ada anggota keluarga
yang merokok), tinggal di tempat yang berdebu.
6) Tenggorokan
Inspeksi : Tonsil membesar dan berwarna kemerahan. Palpasi : Terdapat
nyeri tekan, pembesaran kelenjar limfoid
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan
b. Resiko tidak ketidakfektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
penumpukan secret.
c. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi.

3. Intervensi
N Diagnosa Tujuan&kriter intervensi Rasional
o keperawata ia hasil
n
1 Nyeri akut Tujuan : tidak 1) Lakukan 1) sebagai dasar
berhubungan ada masalah pengkajian penentuan
dengan insisi tentang nyeri, nyeri intervensi
bedah, nyeri dapat secara berikutnya.
diskontinuitas hilang atau komprehe 2) teknik distraksi
jaringan. berkurang nsif atau latihan
Kriteria hasil : termasuk nafas dalam
melaporkan lokasi, dapat
nyeri karakterist mengurangi
berkurang dan ik, durasi, nyeri.
ekspresi wajah frekuensi, 3) istirahat dapat
tampak rileks. kualitas melupakan dari
dan faktor rasa nyeri
presipitasi. 4) tindakan non
2) Ajarkan analgesik

teknik diberikan

non dengan cara

farmako alternatif untuk

logi mengurangi

dengan nyeri dan

distraksi menghilangkan

atau ketidaknyamana

latihan n

nafas 5) menurunkan

dalam. stres dan

3) Tingkatkan rangsangan

istirahat berlebihan,

klien. meningkatkan
istirahat.
4) Anjurka
n klien
untuk
mengura
ngi
nyeri
dengan
minum
air
dingin
atau es,
hindarka
n
makana
n panas,
pedas,
keras
dan
melakuk
an
teknik
relaksasi
.
5) Ciptakan
lingkungan
tenang dan
nyaman

2 Risiko Tujuan : jalan 1) Pantau 1) pernafasan


tidak nafas efektif. irama dapat melambat
efektif Kriteria hasil : atau dan frekuensi
bersihan setelah frekuensi ekspirasi
jalan nafas dilakukan irama memanjang
berhubunga tindakan pernafasa dibanding
n dengan keperawatan, n. inspirasi.
penumpuka risiko 2) Auskultasi 2) bunyi nafas
n secret. ketidakefektif bunyi krekles dan
an jalan nafas nafas, ronkhi
dapat teratasi catat terdengar pada
ditandai adanya inspirasi atau
dengan tidak bunyi ekspirasi pada
adanya secret. nafas, respon terhadap
misalnya pegumpulan
mengi, sekret.
krekles 3) peninggian
atau kepala tempat
ronkhi. tidur
3) Kaji klien mempermudah
un fungsi
tuk pernafasan
posisi 4) membersihkan
yang jalan nafas dan
nyaman, membantu
misalnya mencegah
peninggia komplikasi
n kepala pernafasan
tempat
tidur,
duduk
pada
sandaran
tempat
tidur
4) Dorong
klien
untuk
mengelua
rkan
lendir
secara
perlahan.
3 Defisit Setelah Edukasi Edukasi Kesehatan:
pengetahua dilakukan Kesehatan
n intervensi selama (I.12383) Observasi:
berhubunga 3X24 jam Observasi 1. Untuk mengetahui
n dengan diharapkan 1. Identifikasi kesiapan dan
kurang tingkat kesiapan dan kemampuan untuk
terpapar pengetahuan kemampuan menerima informasi
informasi (L.12111) menerima Terapeutik
dibuktikan membaik dengan informasi 2. memudahkan
dengan kriteria hasil: Terapeutik dalammendapatkan
menanyaka 1. Perilaku 2. Sediakan informasi mengenai
n masalah sesuai dengan materi dan kesehatan.
yang pengetahuan media 3. mendisiplinkan dalam
dihadapi meningkat pendidikan hidup sehat.
2. Pertanyaan kesehatan 4. Kesempatan bertanya
tentang 3. Jadwalkan meningkatkan
masalah yang pendidikan pemahaman pasien
dihadapi kesehatan tentang materi
menurun sesuai Edukasi
3. perilaku kesepakatan 5. Agar Pasien
membaik 4. Berikan mengetahui faktor
kesempatan resiko yang dapat
untuk mempengaruhi
bertanya kesehatan
Edukasi 6. Dengan menerapkan
5. Jelaskan perilaku hidup bersih
faktor resiko dan sehat
yang dapat meningkatkan
mempengaru kualitas hidup Pasien
hi kesehatan
6. Ajarkan
perilaku
hidup bersih
dan sehat
DAFTAR PUSTAKA

Ningsih MW. Hubungan kebiasaan makan dengan risiko terjadinya tonsilitis kronik
pada penderita di Poliklinik THT Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh tahun 2019 [skripsi]. Aceh: Universitas Syiah Kuala; 2019.
Farokah. Hubungan tonsilitis kronik dengan prestasi belajar pada siswa kelas II
sekolah dasar di kota Semarang [Disertasi]. Semarang: Universitas
Diponegoro; 2020.
Nizar M, Qamariah N, Muthmainah N. Identifikasi bakteri penyebab tonsilitis kronik
pada pasien anak di Bagian THT RSUD Ulin Banjarmasin. Jurnal Berkala
Kedokteran. 2019; 12(2).197-204.
Novialdi, Hafiz A. Pengaruh tonsilektomi terhadap kadar interferon-γ dan tumor
necrosis factor α pada pasien tonsilitis kronis. Padang: Repository Unand;
2020.
Fakh IM, Novialdi, Elmatris. Karakteristik pasien tonsilitis kronik pada anak di
Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2019. Jurnal
Kesehatan Andalas. 2018; 5(2): 436-42.
Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 6.
Jakarta: FK UI; 2018. h.221-5.
Shalihat AO, Novialdi, Irawati L. Hubungan umur, jenis kelamin, dan perlakuan
penatalaksanaan dengan ukuran tonsil pada penderita tonsilitis kronik.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2019; 4(3):786-8.
Sari LT. Faktor pencetus tonsilitis pada anak usia 5-6 tahun di wilayah kerja
Puskesmas Bayat Kabutapten Klaten. Surakarta: Eprints UMS; 2020.
Sembiring RO, Jhon P, Olivia W. Identifikasi bakteri dan uji kepekaan terhadap
antibiotik pada penderita tonsilitis di poliklinik THT-KL BLU RSU. Prof
Dr. R.
Soraya AD. Hubungan antara tonsilitis kronik dengan penurunan kualitas hidup di
RSUD Dr. Moewardi Surakarta [Skripsi]. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret; 2018
D. Kandou Manado periode November 2018-Januari 2019. Jurnal e-Biomedik (eBM).
2020; 1(2): 1053-7.

Anda mungkin juga menyukai