Oleh:
Asoly Giovano Imartha
1218011024
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1.2 Epidemiologi
Peradangan tonsil kronis paling sering menyerang anak-anak pada
usia dekade pertama, namun bisa juga menyerang usia dewasa, diduga
disebabkan karena disfungsi lokal dari struktur epitelial (Mogoanta
dkk, 2008). Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptococcus
biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus
lebih sering terjadi pada anak-anak muda. Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit tonsilitis kronik merupakan penyakit
yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25
tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi Streptococcus group A yang
asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% pada
usia 15-44 tahun, dan 0,6 % pada usia 45 tahun keatas (Nelson, 2000).
2.1.3 Etiologi
Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-
kadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif. Salah
satu penyebab tersering pada tonsilitis adalah bakteri grup A
Streptococcus beta hemolitikus, yang dikenal sebagai strept throat,
pneumococcus, Streptococcus viridian, dan Streptococcus piogenes.
Selain itu infeksi juga dapat disebabkan oleh virus diantaranya
Haemophilus influenzae dan Staphylococcus aureus (Soepardi, 2010).
Terdapat beberapa faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik,
yaitu:rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan,
hiegiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan
pengobatan tonsilits akut yang tidak adekuat (Soepardi, 2010).
2.1.4 Patofisiologi
Tonsil palatina yang sehat merupakan suatu tempat berkelanjutan
dari sel limfoid, dan telah diinterpretasikan sebagai aktivasi permanen.
Tonsilitis dapat terjadi apabila aktivitas dan proliferasi patogen di
jaringan limfoid tonsilar melebihi potensi protektif dari sel yang
memproduksi immunoglobulin dan mengaktivasi limfoid (Mogoanta
5
dkk., 2008). Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta
tonsil karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengalami
pengerutan sehingga kripta akan melebar. Secara klinis kripta ini akan
tampak diisi oleh dendritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit
yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat berwarna
kekuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris.
Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada
keadaan imun yang menurun. Pada anak, proses ini disertai dengan
pembesaran kelenjar limfa submandibula (Soepardi, 2010).
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis tonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Beberapa gejala klinis timbul akibat serangan tonsilitis
berulang. Beberapa gejala yang dikeluhkan yaitu nyeri pada
tenggorokan, nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang
mengganjal di tenggorok, terasa kering dan pernafasan berbau
(halitosis). Halitosis terjadi akibat debris yang tertahan di dalam
kripta tonsil, yang kemudian dapat menjadi sumber infeksi
6
berikutnya. Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi sehingga timbul gangguan menelan, obstruksi, sleep
apneu dan gangguan suara. Gejala lain yang dapat ditemukan
seperti demam, namun tidak mencolok (Klaus, 2014., Ramez,
2014).
b) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang
membesar dalam berbagai ukuran, dengan pembuluh darah yang
berdilatasi pada permukaan tonsil, arsitektur kripta yang rusak
seperti sikatrik, eksudat pada kripta tonsil dan sikatrik pada pilar
serta sering terdapat pembesaran nodul servikal. Pada umumnya
terdapat gambaran tonsil yang membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kriptus terisi oleh detritus
(Soepardi, 2010).
7
dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
1) T0 : (tonsil di dalam fossa atau sudah diangkat).
2) T1 : (<25%, volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati pilar anterior
sampai ¼ jarak pilar anterior- uvula).
3) T2 : (25-50%, volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar
anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula).
4) T3 : (50-75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar
anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula).
5) T4 : (>75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar
anterior-uvula sampai uvula atau lebih) (Mogoanta, 2008).
8
c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita
tonsilitis kronik adalah:
Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan
infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme
patogen disebabkan karena ketidaksesuaian pemberian
antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat. Gold
standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptococcus beta
hemolyticus diikuti Staphylococcus aureus (Hasan & Alatas,
2007).
Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di
Turki terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa
diagnosis tonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi
yaitu infiltrasi limfosit ringan sampai sedang, adanya Ugra’s
abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal
tersebut dapat dengan jelas menegakkan diagnosa tonsilitis
kronis (Ugras & Kutluhan, 2008).
2.1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan tonsilitis meliputi terapi lokal, medikamentosa dan
pembedahan. Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan
berkumur (Soepardi, 2010). Penggunaan obat kumur yang
9
mengandung klorheksidin atau benzidamin pada pasien dewasa
maupun anak dengan tonsillitis yang ditujukan untuk menjaga
higienitas mulutnya, namun pada anak terdapat keterbatasan
penggunaan khususnya pada obat kumur herbal dimana tidak
dianjurkan pemakaiannya pada anak <12 tahun. Hal ini berkaitan
dengan kandungan etanol sebagai larutan pengekstraknya (Sembiring,
2013). Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengatasi infeksi pada
tonsilitis. Antibiotik golongan penisilin merupakan antibiotik pilihan
pada sebagian besar kasus karena efektif dan harganya lebih murah.
Namun, pada anak dibawah 12 tahun, golongan sefalosporin menjadi
pilihan utama karena lebih efektif terhadap Streptococcus. Golongan
makrolida dapat digunakan hanya jika terdapat alergi terhadap
penisilin, hal ini disebabkan efek samping yang ditimbulkan golongan
makrolida lebih banyak (Pulungan & Novialdi, 2010; Klaus, 2014).
Analgesik diberikan untuk mengurangi nyeri pada penderita
tonsillitis kronik baik pada anak maupun dewasa. Analgesik yang
menjadi pilihan utama adalah ibuprofen. Hal ini dikarenakan ibu
profen memiliki efikasi yang tinggi dengan efek samping yang
minimal jika dibandingkan dengan parasetamol dan asam salisilat.
Selain itu, masa kerja ibu profen lebih panjang yaitu6-8jam (Pulungan
& Novialdi, 2010; Klaus, 2014). Tonsilektomi menjadi prosedur
pembedahan pilihan utama bagi pasien anak maupun dewasa dengan
tonsillitis kronik. Pasien tonsillitis kronik setelah tonsilektomi
menunjukkan perbaikan yang signifikan. Hal ini dibuktikan dengan
berkurangnya keluhan nyeri tenggorokan, dan keluhan yang diberikan
pada dokter (Skevas, 2010).
Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of
Otolaryngology - Head and Neck Surgery Clinical Indicators
Compendium tahun 1995, menetapkan:
1) Serangan tonsilitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah
mendapat terapi yang adekuat.
10
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan orofasial.
3) Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan
sumbatan jalan napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan
berbicara dan cor pulmonale.
4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil
yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A
Streptococcus β hemolyticus.
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
8) Otitis media efusa / otitis media supuratif (Soepardi, 2010).
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara
perkontinuitatum ke daerah sekitar atau secara hematogen atau
limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi
yang kerap ditemui adalah sebagai berikut:
11
a. Komplikasi sekitar tonsila
12
2.2.2 Epidemiologi
Ketika terjadi endemik difteri, penyakit ini terutama menyerang
anak-anak di bawah usia 10 tahun. Namun saat ini, infeksi difteri juga
menyerang usia dewasa yang tidak mendapatkan vaksin/booster
(Demirci, 2016). Frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun, walaupun
orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini. Frekuensi
penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi
dan anak. (Soepardi, 2010).
2.2.3 Etiologi
Penyebab tonsilitis difteri adalah kuman Corynebacterium
diphteriae, yang merupakan kuman gram positif dan hidup di saluran
nafas bagian atas yaitu hidung, faring, dan laring. Tidak semua orang
yang teinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini
tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti
toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakah pada tes Schick
(Soepardi, 2010).
2.2.4 Patofisiologi
Penularan dapat terjadi melalui droplet. Masa inkubasi kuman
difteri selama 2-4 hari. Setelah masa inkubasi tersebut, mulai muncul
gejala dan tanda inflamasi lokal. Kuman difteri biasanya tetap berada
di lapisan superfisial kulit atau mukosa saluran pernapasan,
menyebabkan reaksi inflamasi lokal. Virulensi utama kuman difteri
terletak pada kemampuannya memproduksi eksotoksin polipeptida 62-
kd, yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis
jaringan lokal. Ketika konsentrasi toksin difteri semakin meningkat,
efek racun tersebut melebihi daerah lokal, karena terjadi distribusi
toksin melalui sirkulasi. Toksin difteri tidak memiliki target organ
spesifik, namun miokardium dan nervus perifer paling terpengaruh
(Demciri, 2016).
13
Selama beberapa hari infeksi saluran napas, koagulum nekrotik
padat organisme, sel epitel, fibrin, leukosit, dan eritorit, membentuk
sebuah pseudomembran. Pseudomembran tersebut sulit dilepas dan
jika dilepas akan menyebabkan terjadinya perdarahan submukosa.
Paralisis pada palatum dan hipofaring merupakan efek lokal awal dari
toksin. Absorpsi toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal,
trombositopenia, kardiomiopati, dan demielinasi sel saraf (Demciri,
2016).
14
Gambar 5. Edema servikal dan limfadenopati servikal dari infeksi difteri
yang menghasilkan suatu bull’s neck appearence ((Bruce, 2015).
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran
klinik yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain
itu juga diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium, yaitu pemeriksaan preparat langsung kuman yang
diambil dari permukaan bawah membran semu dan kultur dari usapan
nasofaring dengan hasil akan didapatkan kuman Corynebacterium
diphteriae (Soepardi, 2010).
15
c. Abses peritonsil (Bruce, 2015).
2.2.8 Penatalaksanaan
Pre-hospital care
Nilai patensi jalan nafas dan stabilitas kardiovaskular.
Pasien harus dibawa ke rumah sakit terdekat (Bruce, 2015)
Medikamentosa
Anti difteri serum (ADS) diberikan segera menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000-40.000 unit untuk difteri yang ditemukan kurang
dari 48 jam, atau jika membran hanya ditemukan pada tonsil saja.
ADS diberikan sebanyak 80.000-120.000 unit jika penyakit sudah
berlangsung lebih dari 48 jam, atau membran yang ditemukan tidak
hanya berada di tonsil (lebih luas). Antitoksin diberikan secara infus
intravena dalam larutan salin selama 60 menit (Dhingra, 2014).
Serum anti difteri merupakan serum heterolog, maka dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik. Untuk mencegah hal tersebut, maka
dilakukan hal-hal berikut:
Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan
membran, selama dan sesudah pemberian terutama sampai 2 jam
setelah pemberian serum.
Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan
untuk menanggulangi reaksi anafilaktik ( dosis 0,01 cc/kg BB
intramuskuler, maksimal diulang tiga kali dengan interval 5-15
menit ).
Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
Uji kepekaan, yang terdiri dari :
o Tes kulit
Anti difteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan
1:10 dalam NaCl 0,9% disuntikkan intrakutan. Hasilnya dibaca
setelah 15-20 menit. Dianggap positif bila teraba indurasi
dengan diameter paling sedikit 10 mm.
16
o Tes mata
Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan
perbandingan 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu
kelopak mata bagian bawah. Satu tetes NaCl 0,9% digunakan
sebagai kontras pada mata lainnya untuk perbandingan.
Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian. Dianggap
positif bila ada tanda konjungtivitis (merah, bengkak, lakrimasi).
Apabila terjadi konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000.
Bila salah satu tes kepekaan positif, maka ADS tidak diberikan
secara sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan
dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensitisasi) dengan
interval 20 menit (Dhingra, 2014). Antibiotik yang digunakan adalah
Penicillin atau eritromisin 25-50 mg/kgBB, dibagi dalam 3 dosis
selama 14 hari. Dapat juga diberikan kortikosteroid 1,2 mg/kgBB/hari.
Antipiretik untuk simtomatis. Karena penyakit ini menular, pasien
harus diisolasi. Perawatan harus istirahat ditempat tidur selama 2-3
minggu.
2.2.9 Komplikasi
Laringitis difteri dapat beralngsung cepat, membran semu
menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda
usia pasien makin cepat timbul komplikasi ini. (Soepardi, 2010).
Eksotoksin yang dihasilkan oleh kuman difteri dapat menyebabkan
miokarditis, cardiac arrhytmias, acute circulatory failure. Komplikasi
neurologis biasanya muncul beberapa minggu setelah infeksi, dapat
berupa kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi,
otot faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan,
suara parau, dan kelumpuhan otot-otot pernapasan (Dhingra, 2014).
17
2.2.10 Pencegahan
a. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan
setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat
lagi Corynebacterium diphtheriae (Dale DC, 2007).
b. Imunisasi
Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaksin
difteri umumnya dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan
pertusis. Ada empat jenis kombinasi vaksin difteri, tetanus dan
pertusis : DTaP, Tdap, DT, dan Td. DT tidak mengandung pertusis,
dan digunakan sebagai pengganti DTaP untuk anak-anak yang
tidak dapat mentoleransi vaksin pertusis. Td adalah vaksin tetanus-
difteri yang diberikan kepada remaja dan orang dewasa sebagai
booster setiap 10 tahun, atau bila terpapar tetanus dalam kondisi
tertentu. Tdap mirip dengan Td tetapi juga mengandung
perlindungan terhadap pertusis. Imunisasi DTaP untuk bayi dan
anak-anak umumnya lima kali umumnya diberikan pada 2, 4, dan 6
bulan, dengan dosis keempat yang diberikan antara 15-18 bulan,
dan dosis kelima pada usia 4-6 tahun. Karena kekebalan terhadap
difteri berkurang seiring dengan waktu, maka pemberian booster
dianjurkan.
18
Gambar 6. Abses Peritonsil
2.3.2 Epidemiologi
Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat sekitar 30 kasus per
100.000 per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus baru per
tahun.Meskipun tonsilitis banyak ditemukan pada anak-anak, hanya
sepertiga kasus abses peritonsilar ditemukan pada anak-anak.Usia
pasien yang mengalami abses peritonsil bervariasi, antara usia 1
sampai 76 tahun, dengan insidensi tertinggi pada rentang usia antara
15-35 tahun (Gosselin, 2015).
2.3.3 Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi
yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil.
Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat
ditemukan kuman aerob dan anaerob (Soepardi, 2010). Abses
peritonsiler disebabkan oleh organismee yang bersifat aerob maupun
yang bersifat anaerob. Organismee aerob yang paling sering
menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes
(Group A Beta-hemolitik streptococcus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenza, sedangkan organisme anaerob yang berperan
adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,
dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler
19
diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan
anaerobik.(Adams, 2001)
2.3.4 Patofisiologi
Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui secara pasti.
Namun teori yang paling banyak diterima adalah perkembangan dari
episode tonsillitis eksudatif ke peritonsilitis dan kemudian terjadi
proses pembentukan abses. (Gosselin, 2015). Infeksi yang terjadi akan
menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas
kedalam ruang jaringan ikat diantara kapsul dan dinding posterior fosa
tonsil. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar diruang
supratonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini
adalah mengeluarkan cairan saliva ke dalam kripta-kripta tonsil,
membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang
terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi
infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu
timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan
terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal,
akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis
pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan
membentuk pus sehingga menyebabka nterjadinya abses (Fasano,
2015).
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan
ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial
peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum
molle membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat
terbentuk di bagian inferior (Soepardi, 2010). Pada stadium permulaan
(stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah
tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil
dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses berlangsung terus,
peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.
20
pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan,
mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru (Soepardi, 2010).
21
2.3.6 Diagnosis
a) Anamnesis
Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3
sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis. Gejala klinis
berupa rasa sakit ditenggorok yang terus menerus hingga keadaan
yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa
nyeri terlokalisir, demam, lemah dan mual. Odinofagi dapat
merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan
kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat
mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah
seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau
(foetorexore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga
(otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-
ototp terigoid. Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara
menjadi seperti suara hidung, membesar seperti mengulum kentang
panas (hot potato’svoice) karena penderita berusaha mengurangi
rasa nyeri saat membuka mulut (Ming, 2006).
b) Pemeriksaan Fisik
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena
trismus. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke
depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong
ke sisi kontra lateral (Soepardi, 2010). Pada pemeriksaan tonsil,
tonsil umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang
membengkak atau tertutup oleh muko-pus, tampak hiperemis dan
ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil terinfeksi
pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua
akan membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi
pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi
jalan nafas akan lebih berat. Dapat ditemukan tanda-tanda
dehidrasi serta pembengkakan dan nyeri kelenjar limfe servikal
(Ming, 2006).
22
Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau
dibelakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat
menimbulkan pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas.
Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak
menunjukkan gejala yang sama dengan pada kutub superior.
Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan
daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai
dengan kemerahan (Ming, 2006).
c) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium adalah berupa pemeriksaan darah
lengkap, serta kultur darah (Fasano, 2005). Pemeriksaan lain dapat
berupa pemeriksaan elektrolit (Gosselin, 2015).
d) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos,
ultrasonografi dan tomografi komputer. Pemeriksaan foto polos
nasofaring dan orofaring posisi lateral dapat membantu pemeriksa
menyingkirkan abses retrofaringeal. Pada posisi antero posterior,
film memperlihatkan distorsi jaringan lunak, namun tidak berguna
untuk menentukan lokasi abses, sehingga penggunaan foto
rontgenpolos dalammengevaluasi abses peritonsilterbatas (Fasano,
2005). Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis
abses peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat digunakan
sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa
menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran
sentral hypoechoic (Fasano, 2005).
23
Gambar 8.Intraoral Ultrasonografi
e) Tindakan diagnostik
Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif,
atau punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk
memastikan abses peritonsil. Pus yang keluar juga sebaiknya
diperiksakan untuk tes kultur dan sensitifitas (Badran dan Karkos,
2006).
24
2.3.7 Diagnosis Banding
a) Infeksi mononukleosis
b) Limfoma
c) Selulitis peritonsil (Weed, 2005).
2.3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil
adalah terapi simtomatik, terapi antibiotika, dan insisi dan drainase,
diikuti oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian (Beriault, 2006).
a) Terapi simtomatik
Antipiretik dan analgesik diberikan untuk mengurangi
demam dan rasa tidak nyaman pasien. Kumur- kumur dengan
cairan hangat dan kompres dingin pada leher (Gosselin, 2015).
b) Terapi antibiotika
Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas,
pemberian terapi antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana
yang lebih banyak muncul (Su & Hsu, 2006). Pada stadium
infiltrasi, diberikan antibiotik golongan penisilin atau klindamisin.
Terapi antibiotik sebaiknya diberikan segera setelah diperoleh
hasil kultur dari abses. Penisilin dosis tinggi masih menjadi pilihan
untuk penatalaksanaan abses peritonsil secara empiris. Agen yang
mengatasi kopatogen dan melawan beta laktam juga
direkomendasikan sebagai pilihan pertama. Cephalexin atau
sefalosporin lain (dengan atau tanpa metronidazole) merupakan
pilihan terbaik (Gosselin, 2015). Penisilin dapat digunakan pada
penderita abses peritonsil yang diperkirakan disebabkan oleh
kuman Staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba
yang sangat baik untuk infeksi anaerob (Su & Hsu, 2006).
Antibiotik oral dapat diberikan setelah pasien dapat mengonsumsi
secara oral. Pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai 7-10 hari
(Gosselin, 2015).
25
c) Terapi Insisi dan Drainase
Tujuan tindakan ini adalah untuk mendapatkan drainase abses
yang kuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat
diidentifikasi pada daerah pembengkakan di daerah pilar-pilar
tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi atau pada
pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan
graham atas terakhir pada sisi yang sakit (Soepardi, 2010).
d) Tonsilektomi
Bila dilakukan bersama-sama tindakan drainase abses, disebut
tonsilektomi “a’ chaud”. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah
drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ tiede”, dan bila tonsilektomi
4-6 minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ froid”.
Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu
2-3 minggu sesudah drainase abses (Soepardi, 2010).
2.3.9 Komplikasi
1) Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi
paru, atau piemia.
2) Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring. Pada
penjalarang selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi
mediastinitis.
3) Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.(Soepardi,
2010).
2.3.10 Prognosis
Kebanyakan pasien yang ditangani dengan antibiotik dan drainase
yang adekuat pada abses mereka, dapat pulih dalam beberapa hari.
Apabila pasien kembali melaporkan terdapat nyeri tenggorokkan
rekuren atau kronis, atau bahkan sampai timbul abses setelah
26
dilakukan insisi dan drainase, maka dapat menjadi indikasi untuk
dilakukan tonsilektomi (Gosselin, 2015).
27
BAB III
KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
29
Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan dan
Perilaku Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat dalam kaitannya
dengan penyakit ISPA dan pnemonia. Bui. Penelit. Kes. 2003.
Pulungan MR, Novialdi N. 2010. Mikrobiologi tonsilitis kronis. Padang:
FakultasKedokteran Universitas Andalas Padang.
Ramez S, Bahauddin, RafiqulI, ShahriarI, Sadlee, Mostafa KA. Chronic tonsillitis
and its relation with childhoodasthma. IJSR 2014.;3(3):2319-7064.
Sembiring RO, John P, Olivia W. 2013. Identifikasi bakteridan uji kepekaan
terhadap antibiotik pada penderita tonsilitis di Poliklinik THT-KLBLURSU.
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode November 2012 - Januari 2013.
Jurnal E-biomedik;1(2):1053-7.
Soepardi EA, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Skevas T, Christoph K, Serkan S, Peter K, Plinkert, Ingo B. Measuringquality of
life in adult patient swith chronic tonsillitis. The Open Otorhinolaryngology
Journal;(4):34-46
Su WY ,HsuWC .Inferior pole Peritonsillar Abscess Successfully Treated With
Non Surgical Approach In Fou rCases. Tsu ChiMed J. 2006;18:287-90.
Ugras S dan Kutluhan A. 2008. Chronic tonsilitis can be diagnosed with
histopathologic findings. Eur J gen Med; 5(2): 95-103.
Weed H. G,Forest LA. 2005 Deep Neck Infection.In: Cummings CW. editors.
th
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4 ed. Philadelphia:Pennsylvania
30