PENDAHULUAN
Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita
ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun
1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%)
yaitu sebesar 3,8%.
Penyakit tonsilar merupakan salah satu penyakit yang sering ditemui pada
masyarakat (Ugras & Kutluhan, 2008). Tonsilitis adalah peradangan tonsil
palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri
atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil
laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila fausial), tonsila lingual (tonsila
pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s
tonsil) (Soepardi, 2010).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Epidemiologi
Peradangan tonsil kronis paling sering menyerang anak-anak pada
usia dekade pertama, namun bisa juga menyerang usia dewasa, diduga
disebabkan karena disfungsi lokal dari struktur epitelial (Mogoanta
dkk., 2008).
2
padausia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi Streptokokus group A yang asimptomatis yaitu:
10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% pada usia 15-44 tahun,
dan 0,6 % pada usia 45 tahun keatas (Nelson, 2000).
3. Etiologi
Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-
kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif. Salah
satu penyebab tersering pada tonsilitis adalah bakterigrup
AStreptococus betahemolitik (GABHS). Selain itu infeksi juga dapat
disebabkan Haemophilus influenzae dan Staphylococcus aureus
(Soepardi, 2010).
4. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik dan pengobatan tonsilits akut yang tidak adekuat
(Soepardi, 2010).
5. Patofisiologi
Tonsil palatina yang sehat merupakan suatu tempat berkelanjutan dari
sel limfoid, dan telah diinterpretassikan sebagai aktivasi permanen.
Tonsilitis dapat terjadi apabila aktivitas dan proliferasi patogen di
jaringan limfoid tonsilar melebihi potensi protektif dari sel yang
memproduksi immunoglobulin dan mengaktivasi limfoid (Mogoanta
dkk., 2008).
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil karena
proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan
diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta
akan melebar. Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh dendritus
3
(akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang
menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning kuningan). Proses
ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan
dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang
menurun (Soepardi, 2010).
6. Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan
tonsilitis akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang
terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan
atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan,
terasa kering dan pernafasan berbau.
4
7. Diagnosis
Diagnosis tonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan pada riwayat
klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a) Anamnesis
Beberapa kriteria klinis untuk diagnosis tonsilitis kronis adalah
sebagai berikut.
• Setidaknya terjadi tujuh episode serangan dalam satu tahun
terakhir, meskipun serangan ditangani dengan terapi yang
adekuat.
• Setidaknya terjadi lima episode serangan dalam dua tahun
terakhir, meskipun serangan ditangani dengan terapi yang
adekuat.
• Setidaknya terjadi tiga episode serangan dalam tiga tahun
terakhir, meskipun serangan ditangani dengan terapi yang
adekuat. (Ugras & Kutluhan, 2008).
Gejala klinis tonsillitis kronis didahului gejala tonsillitis akut
seperti nyeri tenggorok yang tidak hilang sempurna. Rasa ada
yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan
napas berbau (halitosis). Halitosis akibat debris yang tertahan di
dalam kripta tonsil, yang kemudian dapat menjad isumber infeksi
berikutnya. Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi sehingga timbul gangguan menelan,obstruksi sleep
apneu dan gangguan suara. Gejala lain yang dapat ditemukan
seperti demam, namun tidak mencolok (Klaus, 2014; Ramez dkk.,
2014).
b) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar
dalamberbagai ukuran, dengan pembuluh darah yang dilatasi pada
permukaan tonsil, arsitektur kripta yang rusak seperti sikatrik,
eksudat pada kripta tonsil dan sikatrik pada pilar serta sering
terdapat pembesaran nodul servikal (Soepardi, 2010).
5
Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara
menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsilitis kronik berupa
(a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan
kejaringan sekitarnya, kripta melebar di atasnya tertutup oleh
eksudat yang purulen. (b) tonsil tetap kecil, biasanya mengeriput,
kadang-kadang seperti terpendam dalam tonsilar bed dengan
bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak
eksudat yang purulen (Nelson dkk., 2000).
6
c. T2 : (25-50%, volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar
anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula).
d. T3 : (50-75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar
anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula).
e. T4 : (>75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar
anterior-uvula sampai uvula atau lebih). (Mogoanta, 2008).
c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita
tonsilitis kronik:
Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan
infeksi pada tonsil.Kegagalan mengeradikasi organisme patogen
disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi
antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil
adalah kultur dari dalam tonsil. Kuman terbayak yang
7
ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diikuti
Staphylococcus aureus (Hasan & Alatas, 2007).
Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di
Turki terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa
diagnosistonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi
yaituinfiltrasi limfosit ringan sampai sedang, adanya
Ugra’sabses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga
hal tersebutdapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis
Kronis (Ugras & Kutluhan, 2008).
8. Diagnosis Banding
a. Tonsilitis difteri
b. Faringitis
c. Infeksi mononukleasis
(Weed, 2005).
9. Penatalaksanaan
Pengobatan tonsilitis meliputi terapi lokal, medikamentosa dan
pembedahan. Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan
berkumur (Soepardi, 2010).Penggunaan obat kumur yang
mengandung klorheksidin atau benzidamin pada pasien dewasa
maupu nanak dengan tonsillitis yang ditujukan untuk menjaga
higienitas mulutnya, namun pada anak terdapat keterbatasan
penggunaan khususnya pada obat kumur herbal dimana tidak
dianjurkan pemakaiannya pada anak <12 tahun. Hal ini berkaitan
dengan kandungan etanol sebagai larutan pengekstraknya (Sembiring,
2013).
8
pada sebagian besar kasus karena efektif dan harganya lebih murah.
Namun,pada anak dibawah 12 tahun,golongan sefalosporin menjadi
pilihan utama karena lebih efektif terhadap streptococcus. Golongan
makrolida dapat digunakan hanya jika terdapat alergi terhadap
penisilin, hal ini disebabkan efek samping yang ditimbulkan golongan
makrolida lebih banyak (Pulungan & Novialdi, 2010; Klaus, 2014).
9
5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang
jaringan sekitarnya
penelanan)
antibiotik buruk
10
Kontraindikasi tonsilektomi :
5. Rinitis alergika
6. Asma
11
• Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
teijadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang
retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
• Kista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh
jaringan fibrosa dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada
tonsil berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan
multipel.
• Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam
jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.
Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan
gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena
eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat
infeksi.
12
2.2.2 Epidemiologi
Ketika terjadi endemik difteri, penyakit ini terutama menyerang anak-
anak di bawah usia 15 tahun. Namun saat ini, infeksi difteri juga
menyerang usia dewasa yang tidak mendapatkan vaksin/ booster
(Demirci, 2016).Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat
keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. (Soepardi, 2010).
2.2.3 Etiologi
Penyebab tonsilitis difteri adalah kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian
atas yaitu hidung, faring, dan laring. Tidak semua orang yang teinfeksi
oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer
anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03
satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas.
Hal inilah yang dipakah pada tes Schick (Soepardi, 2010).
13
dari tiga strain dapat dikait-kan dengan kemampuan relatif mereka
untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan
tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu
generasi (in vitro) 60 menit; strain intermedius memiliki waktu
generasi sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu generasi sekitar
180 menit. Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang
lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi
lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.
2.2.4 Patofisiologi
Penularan dapat terjadi melalui droplet.Masa inkubasi kuman difteri
selama 2-4 hari.Setelah masa inkubasi tersebut, mulai muncul gejala
dan tanda inflamasi lokal.Kuman difteri biasanya tetap berada di
lapisan superfisial kulit atau mukosa saluran pernapasan,
menyebabkan reaksi inflamasi lokal.Virulensi utama kuman difteri
terletak pada kemampuannya memproduksi eksotoksin polipeptida 62-
kd, yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis
jaringan lokal.Ketika konsentrasi toksin difteri semakin meningkat,
efek racun tersebut melebihi daerah lokal, karena terjadi distribusi
toksin melalui sirkulasi. Toksin difteri tidak memiliki target organ
spesifik, namun miokardium dan nervus perifer paling terpengaruh
(Demciri, 2016).
14
2.2.5 Gejala dan Tanda
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan, yaitu :
a. Gejala umum
Seperti gejala infeksi lainnya, yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat serta keluhan nyeri menelan (Soepardi, 2010).
b. Gejala lokal
Tampak tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran
semu.Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula,
nasofaring, laring, trakea, dan bronkus, dan dapat menyumbat
saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga
Burgemeester’s hals (Soepardi, 2010).
15
Gambar 5. Bull Neck
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik
yang didapatkan darianamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain itu juga
diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium,
yaitu pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari
permukaan bawah membran semu dan kulturdari usapan nasofaring
dengan hasil akan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae
(Soepardi, 2010).
16
2.2.7 Diagnosis Banding
a. Tonsilitis kronis
b. Epiglotitis
(Demirci, 2016).
2.2.8 Penatalaksanaan
Anti difteri serum (ADS) diberikan segera menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000-40.000 unit untuk difteri yang ditemukan kurang
dari 48 jam, atau jika membran hanya ditemukan pada tonsil saja.
ADS diberikan sebanyak 80.000-120.000 unit jika penyakit sudah
berlangsung lebih dari 48 jam, atau membran yang ditemukan tidak
hanya berada di tonsil (lebih luas). Antitoksin diberikan secara infus
intravena dalam larutan salin selama 60 menit (Dhingra, 2014)..
Serum antidifteri merupakan serum heterolog, maka dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik. Untuk mencegah hal tersebut, maka
dilakukan hal-hal berikut :
Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan
membran, selama dan sesudah pemberian terutama sampai 2 jam
setelah pemberian serum.
Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan
untuk menanggulangi reaksi anafilaktik ( dosis 0,01 cc/kg BB
intramuskuler, maksimal diulang tiga kali dengan interval 5-15
menit ).
Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
Uji kepekaan, yang terdiri dari :
o Tes kulit
Anti difteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan
1:10 dalam NaCl 0,9% disuntikkan intrakutan. Hasilnya
dibaca setelah 15-20 menit. Dianggap positif bila teraba
indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
o Tes mata
17
Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan
perbandingan 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah
satu kelopak mata bagian bawah. Satu tetes NaCl 0,9%
digunakan sebagai kontras pada mata lainnya untuk
perbandingan. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit
kemudian. Dianggap positif bila ada tanda konjungtivitis
( merah, bengkak, lakrimasi ). Apabila terjadi konjungtivitis
diobati dengan adrenalin 1:1000.
Bila salah satu tes kepekaan positif, maka ADS tidak diberikan secara
sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang
ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensitisasi) dengan interval 20
menit.
2.2.9 Komplikasi
Laringitis difteri dapat beralngsung cepat, membran semu menjalar ke
laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien
makin cepat timbul komplikasi ini. (Soepardi, 2010).
2.2.10 Pencegahan
1. Isolasi Penderita
18
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan
setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak
terdapat lagi Corynebacterium Diphtheriae. (Dale DC, 2007)
2. Imunisasi
Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaksin
difteri umumnya dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan
pertusis. Ada empat jenis kombinasi vaksin difteri, tetanus dan
pertusis : DTaP, Tdap, DT, dan Td. DT tidak mengandung
pertusis, dan digunakan sebagai pengganti DTaP untuk anak-anak
yang tidak dapat mentoleransi vaksin pertusis. Td adalah vaksin
tetanus-difteri yang diberikan kepada remaja dan orang dewasa
sebagai booster setiap 10 tahun, atau bila terpapar tetanus dalam
kondisi tertentu. Tdap mirip dengan Td tetapi juga mengandung
perlindungan terhadap pertusis.
Imunisasi DTaP untuk bayi dan anak-anak umumnya lima kali
umumnya diberikan pada 2, 4, dan 6 bulan, dengan dosis keempat
yang diberikan antara 15-18 bulan, dan dosis kelima pada usia 4-6
tahun. Karena kekebalan terhadap difteri berkurang seiring
dengan waktu, maka pemberian booster dianjurkan.
19
Gambar 6. Abses Peritonsil
2.3.2 Epidemiologi
Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat sekitar 30 kasus per
100.000 per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus baru per
tahun.Meskipun tonsilitis banyak ditemukan pada anak-anak, hanya
sepertiga kasus abses peritonsilar ditemukan pada anak-anak.Usia
pasien yang mengalami abses peritonsil bervariasi, antara usia 1
sampai 76 tahun, dengan insidensi tertinggi pada rentang usia antara
15-35 tahun (Gosselin, 2015).
2.3.3 Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan
kuman aerob dan anaerob (Soepardi, 2010).
20
diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan
anaerobik. (Adams, 2001)
2.3.4 Patofisiologi
Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui secara pasti. Namun
teori yang paling banyak diterima adalah perkembangan dari episode
tonsillitis eksudatif ke peritonsilitis dan kemudian terjadi proses
pembentukan abses. (Gosselin, 2015).
21
supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan
peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila
proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul
trismus (Soepardi, 2010).
22
Gambar 7. Gambaran inflamasi tonsil (gambar kiri) dan abses
peritonsil (gambar kanan)
2.3.6 Diagnosis
a) Anamnesis
Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5
hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis. Gejala klinis berupa rasa
sakit ditenggorok yang terus menerus hingga keadaan yang
memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri
terlokalisir, demam, lemah dan mual. Odinofagi dapat merupakan
gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan
untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat
mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah
seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau
(foetorexore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga
(otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-
otot pterigoid. Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara
menjadi seperti suara hidung, membesar seperti mengulum
kentang panas (hot potato’svoice) karena penderita berusaha
mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut (Ming, 2006).
b) Pemeriksaan Fisik
23
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus.
Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat
teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong ke sisi kontra
lateral (Soepardi, 2010).
c) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium darah berupa pemeriksaan darah
lengkap, serta kultur darah (Fasano, 2005). Pemeriksaan lain dapat
berupa pemeriksaan elektrolit (Gosselin, 2015).
d) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgenpolos, ultrasonografi
dantomografi komputer. Pemeriksaan foto polos nasofaring dan
orofaring posisi lateral dapat membantu pemeriksa menyingkirkan
24
abses retrofaringeal. Pada posisi antero posterior, film
memperlihatkan distorsi jaringan lunak, namun tidak berguna
untuk menentukan lokasi abses, sehingga penggunaan foto rontgen
polos dalam mengevaluasi abses peritonsil terbatas (Fasano,
2005).
25
Gambar 9. Pemeriksaan CT-Scan Abses Peritonsil
e) Tindakan diagnostik
Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau
punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk
memastikan abses peritonsil. Pus yang keluar juga sebaiknya
diperiksakan untuk tes kultur dan sensitifitas (Badran dan Karkos,
2006).
2.3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah
terapi simtomatik, terapi antibiotika, dan insisi dan drainase, diikuti
oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian (Beriault, 2006).
a) Terapi simtomatik
Pasien dengan abses peritonsilar yang mengalami dehidrasi
diberikan terapi cairan intravena sampai inflamasi mulai berkurang
dan pasien dapat mengonsumsi intake secara oral.Antipiretik dan
analgesik diberikan untuk mengurangi demam dan rasa tidak
nyaman pasien. Kumur- kumur dengan cairan hangat dan kompres
26
hangat pada leher (untuk mengendurkan tegangan otot).
(Gosselin, 2015)
b) Terapi antibiotika
Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas,
pemberian terapi antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana
yang lebih banyak muncul (Su & Hsu, 2006).
27
Teknik insisi
Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan
posisi duduk menggunakan anestesi lokal. Anestesi lokal dapat
dilakukan pada cabang tonsilar dari nervus glossofaringeus (N.IX)
yang memberikan inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini,
dengan menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke dalam fosa
tonsil (Su & Hsu, 2006).
28
Pada pertemuan garis vertikal melalui titik potong pinggir
medial pilar anterior dengan lidah dengan garis horizontal
melalui basis uvula
Padapertemuan garis vertikal melalui pinggir medial M3
bawah dengan garis horizontal melalui basis uvula. (Braude,
2007)
29
Drainase dengan aspirasi jarum
Beberapa keuntungan dari evaluasi penatalaksanaan aspirasi jarum
dibanding insisi dan drainase adalah :
1. Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah.
2. Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma
minimal (yang biasanya dapat dilakukan sebelum insisi dan
drainase).
3. Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita/ tidak menakutkan
4. Tidak/kurang mencederai struktur jaringans ekitar.
5. Lebih memudahkan untuk mengumpulkan spesimen/pus guna
pemeriksaan mikroskopis dan teskultur/sensitifitas.
6. Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan
7. Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum.
8. Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses
peritonsil. (Braude, 2007)
Teknik aspirasi
Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum no.18
setelah pemberian anestesi topikal (misalnya xylocain spray) dan
infiltrasi anestesi lokal (misalnya lidokain). Lokasi aspirasi
pertama adalah pada titik atau daerah paling berfluktuasi atau pada
tempat pembengkakan maksimum. Bila tidak ditemukan pus,
aspirasi kedua dapat dilakukan1cm di bawahnya atau bagian
30
tengah tonsil. Aspirasi jarum, sepertijuga insisi dan drainase,
merupakan tindakan yang sulit dan jarang berhasil dilakukan pada
anak dengan abses peritonsil karena biasanya mereka tidak dapat
bekerja sama. Selain itu tindakan tersebut juga dapat
menyebabkan aspirasi darahdan pus ke dalam saluran nafas yang
relatif berukuran kecil (Ming, 2006).
d) Tonsilektomi
Bila dilakukan bersama-sama indakan drainase abes, disebut
tonsilektomi “a’ chaud”.Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah
drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ tiede”, dan bila tonsilektomi
4-6 minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’
froid”.Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang,
yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses (Soepardi, 2010).
2.3.9 Komplikasi
1 Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi
paru, atau piemia
2 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring. Pada
penjalarang selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi
mediastinitis
31
3 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat
mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses
otak. (Soepardi, 2010).
2.3.10 Prognosis
Kebanyakan pasien yang ditangani dengan antibiotik dan drainase
yang adekuat pada abses mereka, dapat pulih dalam beberapa
hari.Apabila pasien kembali melaporkan terdapat nyeri tenggorokkan
rekuren atau kronis, atau bahkan sampai timbul abses setelah
dilakukan insisi dan drainase, maka dapat menjadi indikasi untuk
dilakukan tonsilektomi (Gosselin, 2015).
32
BAB III
PENUTUP
Tonsilitis kronis merupakan suatu peradangan tonsil palatina dengan relaps dan
remisi serangan akut atau merupakan bentuk klinik dari infeksi resisten, yang
tidak ditangani dengan baik. Tonsilitis kronis merupakan peradangan pada tonsil
yang sering mengalami serangan relaps dan remisi. Tonsilis kronis paling sering
disebabkan oleh bakteri grup Astreptokokus beta-hemolitikus. Tonsilitis difteri
disebabkan oleh infeksi dari kuman difteri. Tonsilitis kronis dan tonsilitis difteri
biasanya lebih banyak menyerang anak-anak. Abses peritonsil merupakan suatu
infeksi akut dan berat di daerah orofaring yang dapat merupakan komplikasi dari
tonsilitis berulang. Meskipun kebanyakan penyakit tonsil menyerang anak-anak,
hanya sekitar sepertiga kases abses peritonsil yang menyerang kelompok umur
tersebut. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan meliputi pengobatan simtomatif,
kausatif, dan terapi bedah jika diperlukan.
33
DAFTAR PUSTAKA
34
Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan dan
Perilaku Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat dalam kaitannya
dengan penyakit ISPA dan pnemonia. Bui. Penelit. Kes. 2003.
Pulungan MR, Novialdi N.2010. Mikrobiologitonsilitis kronis.Padang: Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang.
Ramez S,Bahauddin, RafiqulI, ShahriarI, Sadlee, MostafaKA. 2014. Chronic
tonsillitis and its relation with childhoodasthma. IJSR.;3(3):2319-7064.
Sembiring RO, John P, Olivia W. 2013. Identifikasi bakteri dan uji kepekaan
terhadap antibiotik pada penderita tonsilitis di Poliklinik THT-KLBLURSU.
Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode November 2012-Januari 2013.
Jurnal E-biomedik;1(2):1053-7.
Soepardi EA, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
SkevasT, ChristophK, SerkanS, PeterK, Plinkert, Ingo B. Measuring quality
oflifein adult patients with chronic tonsillitis.The Open
Otorhinolaryngology Journal;(4):34-46
Su WY,HsuWC.Inferior pole PeritonsillarAbscess Successfully Treated With
Non Surgical Approach In Four Cases.TsuChiMedJ2006;18:287-90.
Ugras S dan Kutluhan A. 2008. Chronic tonsilitis can be diagnosed with
histopathologic findings. Eur J gen Med; 5(2): 95-103.
Weed H.G,ForestLA. 2005 Deep Neck Infection.In: Cummings CW.editors.
35
36