Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab


tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 temuan
penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan temuan
penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82%. Sebagai salah satu
penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat absensi
sekolah sekitar 66% diduga disebabkan ISPA. (Notosiswoyo M, 2003)

Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita
ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun
1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%)
yaitu sebesar 3,8%.

Penyakit tonsilar merupakan salah satu penyakit yang sering ditemui pada
masyarakat (Ugras & Kutluhan, 2008). Tonsilitis adalah peradangan tonsil
palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri
atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil
laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila fausial), tonsila lingual (tonsila
pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s
tonsil) (Soepardi, 2010).

Penyakit tonsil dapat berupa tonsilitis akut, tonsilitis membranosa (teramasuk


tonsilitis difteri), tonsilitis kronis,serta abses peritonsil. Tonsilitis kronis
merupakan salah satu penyakit yang paling umum daridaerahoral danditemukan
terutama dikelompok usia muda. Kondisi inikarena peradangan kronis padatonsil.
Tonsilitis difteri adalah tonsilitis yang disebabkan oleh infeksi kuman difteri.
Abses peritonsil merupakan suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring.
Abses peritonsil dapat merupakan komplikasi dari tonsilitis berulang (Soepardi,
2010).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tonsilitis Kronis


1. Definisi
Tonsilitis kronis merupakan suatu peradangan tonsil palatina dengan
relaps dan remisi serangan akut atau merupakan bentuk klinik dari
infeksi resisten, yang tidak ditangani dengan baik. Sulit untuk
membedakan antara tonsilitis kronis dan tonsilitis rekuren, karena
kedua bentuk penyakit tersebut menggambarkan proses penyakit yang
sama. Jika tonsil pasien secara maksoskopis dan histologis kembali ke
bentuk normal di antara episode serangan, maka dapat dibedakan
antara tonsilitis rekuren dengan tonsilitis kronis. (Ugras & Kutluhan,
2008)

Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara


serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan
tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi
ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar
detritus. (Soepardi, 2010)

2. Epidemiologi
Peradangan tonsil kronis paling sering menyerang anak-anak pada
usia dekade pertama, namun bisa juga menyerang usia dewasa, diduga
disebabkan karena disfungsi lokal dari struktur epitelial (Mogoanta
dkk., 2008).

Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies Streptokokus biasanya terjadi


pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering
terjadi pada anak-anak muda.Data epidemiologi menunjukkan bahwa
penyakit tonsilitis kronik merupakan penyakit yang sering terjadi

2
padausia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi Streptokokus group A yang asimptomatis yaitu:
10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% pada usia 15-44 tahun,
dan 0,6 % pada usia 45 tahun keatas (Nelson, 2000).

3. Etiologi
Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-
kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif. Salah
satu penyebab tersering pada tonsilitis adalah bakterigrup
AStreptococus betahemolitik (GABHS). Selain itu infeksi juga dapat
disebabkan Haemophilus influenzae dan Staphylococcus aureus
(Soepardi, 2010).

4. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik dan pengobatan tonsilits akut yang tidak adekuat
(Soepardi, 2010).

5. Patofisiologi
Tonsil palatina yang sehat merupakan suatu tempat berkelanjutan dari
sel limfoid, dan telah diinterpretassikan sebagai aktivasi permanen.
Tonsilitis dapat terjadi apabila aktivitas dan proliferasi patogen di
jaringan limfoid tonsilar melebihi potensi protektif dari sel yang
memproduksi immunoglobulin dan mengaktivasi limfoid (Mogoanta
dkk., 2008).

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil karena
proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan
diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta
akan melebar. Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh dendritus

3
(akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang
menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning kuningan). Proses
ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan
dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang
menurun (Soepardi, 2010).

Sebagai suatu rute entri patogen, tonsil dikenal sebagai infeksi


postviral dengan bakteri, begitu juga dengan virus Epstein-Barr.
Meskipun demikian, sampai sekarang, tonsilitis juga diketahui
memiliki peran penting dalam munculnya secondary diseases dalam
bentuk infeksi fokal seperti IgA nefropati, artropati, dan aritritis
reaktif. Penyakit-penyakit tersebut pada beberapa kasus meningkat
setelah dialkukan tonsilektomi (Mogoanta dkk., 2008).

6. Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan
tonsilitis akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang
terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan
atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan,
terasa kering dan pernafasan berbau.

Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis


Kronis yang mungkin tampak, yakni:
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan
ke jaringan sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat
yang purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-
kadang seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang
hiperemis, kripta yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.
(Soepardi, 2010)

4
7. Diagnosis
Diagnosis tonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan pada riwayat
klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a) Anamnesis
Beberapa kriteria klinis untuk diagnosis tonsilitis kronis adalah
sebagai berikut.
• Setidaknya terjadi tujuh episode serangan dalam satu tahun
terakhir, meskipun serangan ditangani dengan terapi yang
adekuat.
• Setidaknya terjadi lima episode serangan dalam dua tahun
terakhir, meskipun serangan ditangani dengan terapi yang
adekuat.
• Setidaknya terjadi tiga episode serangan dalam tiga tahun
terakhir, meskipun serangan ditangani dengan terapi yang
adekuat. (Ugras & Kutluhan, 2008).
Gejala klinis tonsillitis kronis didahului gejala tonsillitis akut
seperti nyeri tenggorok yang tidak hilang sempurna. Rasa ada
yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan
napas berbau (halitosis). Halitosis akibat debris yang tertahan di
dalam kripta tonsil, yang kemudian dapat menjad isumber infeksi
berikutnya. Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi sehingga timbul gangguan menelan,obstruksi sleep
apneu dan gangguan suara. Gejala lain yang dapat ditemukan
seperti demam, namun tidak mencolok (Klaus, 2014; Ramez dkk.,
2014).

b) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar
dalamberbagai ukuran, dengan pembuluh darah yang dilatasi pada
permukaan tonsil, arsitektur kripta yang rusak seperti sikatrik,
eksudat pada kripta tonsil dan sikatrik pada pilar serta sering
terdapat pembesaran nodul servikal (Soepardi, 2010).

5
Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara
menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsilitis kronik berupa
(a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan
kejaringan sekitarnya, kripta melebar di atasnya tertutup oleh
eksudat yang purulen. (b) tonsil tetap kecil, biasanya mengeriput,
kadang-kadang seperti terpendam dalam tonsilar bed dengan
bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak
eksudat yang purulen (Nelson dkk., 2000).

Gambar 1. Tonsilitis kronik

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan


mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan
jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran
tonsil dapat dibagi menjadi :
a. T0 : (tonsil di dalam fossa atau sudah diangkat).
b. T1 : (<25%, volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati pilar anterior
sampai ¼ jarak pilar anterior- uvula).

6
c. T2 : (25-50%, volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar
anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula).
d. T3 : (50-75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar
anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula).
e. T4 : (>75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume
orofaring atau batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar
anterior-uvula sampai uvula atau lebih). (Mogoanta, 2008).

Gambar 2. Gambar Pembesaran Tonsil: (A) T1 (B) T2 (C) T3 (D) T4

c) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita
tonsilitis kronik:
 Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan
infeksi pada tonsil.Kegagalan mengeradikasi organisme patogen
disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi
antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil
adalah kultur dari dalam tonsil. Kuman terbayak yang

7
ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diikuti
Staphylococcus aureus (Hasan & Alatas, 2007).
 Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di
Turki terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa
diagnosistonsilitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi
yaituinfiltrasi limfosit ringan sampai sedang, adanya
Ugra’sabses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga
hal tersebutdapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis
Kronis (Ugras & Kutluhan, 2008).

8. Diagnosis Banding
a. Tonsilitis difteri
b. Faringitis
c. Infeksi mononukleasis
(Weed, 2005).

9. Penatalaksanaan
Pengobatan tonsilitis meliputi terapi lokal, medikamentosa dan
pembedahan. Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan
berkumur (Soepardi, 2010).Penggunaan obat kumur yang
mengandung klorheksidin atau benzidamin pada pasien dewasa
maupu nanak dengan tonsillitis yang ditujukan untuk menjaga
higienitas mulutnya, namun pada anak terdapat keterbatasan
penggunaan khususnya pada obat kumur herbal dimana tidak
dianjurkan pemakaiannya pada anak <12 tahun. Hal ini berkaitan
dengan kandungan etanol sebagai larutan pengekstraknya (Sembiring,
2013).

Terapi medikamentosa ditujukan untuk mengatasi infeksi pada

tonsilitis. Antibiotik golongan penisilin merupakan antibiotik pilihan

8
pada sebagian besar kasus karena efektif dan harganya lebih murah.
Namun,pada anak dibawah 12 tahun,golongan sefalosporin menjadi
pilihan utama karena lebih efektif terhadap streptococcus. Golongan
makrolida dapat digunakan hanya jika terdapat alergi terhadap
penisilin, hal ini disebabkan efek samping yang ditimbulkan golongan
makrolida lebih banyak (Pulungan & Novialdi, 2010; Klaus, 2014).

Analgesik diberika nuntuk mengurangi nyeripada penderitat onsillitis

kronik baik pada anak maupun dewasa. Analgesikyang menjadi


pilihan utama adalah ibuprofen. Hal ini dikarenakan ibuprofen
memiliki efikasi yang tinggi dengan efek samping yang minimal jika
dibandingkan dengan parasetamol dan asam salisilat. Selain itu,

masakerja ibuprofen lebih panjang yaitu 6-8jam

Tonsilektomi menjadi prosedur pembedahan pilihan utamabagipasien

anak maupun dewasa dengan tonsillitis kronik. Pasien tonsillitis


kronik setelah tonsilektomi menunjukkan perbaikan yang signifikan,
hal ini dibuktikan dengan berkurangnya keluhan nyeri tenggorokan,
dan keluhan yang diberikan pada dokter (Skevas, 2010).

Indikasi absolut tonsilektomi :

1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang


kronis

2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnea waktu tidur

3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan


penurunan berat badan penyerta

4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan

9
5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang
jaringan sekitarnya

(Adam dkk., 1997).

Indikasi relatif tonsilektomi :

1. Serangan tonsilitis berulang yang tercatat (walaupun telah


diberikan penatalaksanaan medis yang adekuat)

2. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap


dan patogenik (keadaan karier)

3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya

penelanan)

4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah


infeksi mononukleosis (biasanya pada dewasa muda)

5. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang


berhubungan dengan tonsilitis rekuren kronis dan pengendalian

antibiotik buruk

6. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons


terhadap penatalaksanaan medis

7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan


abnormalitas orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan

napas bagian atas

8. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan


adenopati servikal persisten. (Adam dkk., 1997).

10
Kontraindikasi tonsilektomi :

1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang

2. Infeksi sistemik atau kronis

3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya

4. Pembesaran tonsil tanpa gejal-gejala obstruksi

5. Rinitis alergika

6. Asma

7. Tonus otot yang lemah

8. Sinusitis (Adam dkk., 1997).


10. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat teijadi secara perkontinuitatum
ke daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang
jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui
adalah sebagai berikut:
1. Komplikasi sekitar tonsila
• Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa
adanya trismus dan abses.
• Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil.
Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang
mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran
dari infeksi gigi.
• Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil,
faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os
mastoid dan os petrosus.

11
• Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
teijadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang
retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
• Kista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh
jaringan fibrosa dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada
tonsil berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan
multipel.
• Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam
jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.

2. Komplikasi Organ jauh


• Demam rematik dan penyakit jantung rematik
• Glomerulonefritis
• Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
• Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
• Artritis dan fibrositis. (Soepardi, 2010)

2.2 Tonsilitis Difteri


2.2.1 Definisi
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae. Pada lebih dari 90% pasien, fokus
primer utama infeksi difteri adalah tonsil atau faring. Tonsilitis difteri
adalah infeksi difteri yang menyerang tonsil (Demirci, 2016).

Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan
gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena
eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat
infeksi.

12
2.2.2 Epidemiologi
Ketika terjadi endemik difteri, penyakit ini terutama menyerang anak-
anak di bawah usia 15 tahun. Namun saat ini, infeksi difteri juga
menyerang usia dewasa yang tidak mendapatkan vaksin/ booster
(Demirci, 2016).Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat
keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. (Soepardi, 2010).

2.2.3 Etiologi
Penyebab tonsilitis difteri adalah kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian
atas yaitu hidung, faring, dan laring. Tidak semua orang yang teinfeksi
oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer
anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03
satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas.
Hal inilah yang dipakah pada tes Schick (Soepardi, 2010).

Gambar 3. Bakteri Corynebacterium diphteriae

Corynebacterium diphteriae dikenal juga dengan sebagai basil Klebs-


Löffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog Jerman,
Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915). Ada tiga
strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat
keparahan penyakit mereka yang disebabkan  pada manusia yaitu
gravis, inter-medius, dan mitis. Ketiga subspesies sedikit berbeda
dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia. Perbedaan virulensi

13
dari tiga strain dapat dikait-kan dengan kemampuan relatif mereka
untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan
tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu
generasi (in vitro) 60 menit; strain intermedius memiliki waktu
generasi sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu generasi  sekitar
180 menit. Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang
lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi
lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.

2.2.4 Patofisiologi
Penularan dapat terjadi melalui droplet.Masa inkubasi kuman difteri
selama 2-4 hari.Setelah masa inkubasi tersebut, mulai muncul gejala
dan tanda inflamasi lokal.Kuman difteri biasanya tetap berada di
lapisan superfisial kulit atau mukosa saluran pernapasan,
menyebabkan reaksi inflamasi lokal.Virulensi utama kuman difteri
terletak pada kemampuannya memproduksi eksotoksin polipeptida 62-
kd, yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis
jaringan lokal.Ketika konsentrasi toksin difteri semakin meningkat,
efek racun tersebut melebihi daerah lokal, karena terjadi distribusi
toksin melalui sirkulasi. Toksin difteri tidak memiliki target organ
spesifik, namun miokardium dan nervus perifer paling terpengaruh
(Demciri, 2016).

Selama beberapa hari infeksi saluran napas, koagulum nekrotik padat


organisme, sel epitel, fibrin, leukosit, dan eritorit, membentuk sebuah
pseudomembran.Pseudomembran tersebut sulit dilepas dan jika
dilepas akan menyebabkan terjadinya perdarahan submukosa.
Paralisis pada palatum dan hipofaring merupakan efek lokal awal dari
toksin.Absorpsi toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal,
trombositopenia, kardiomiopati, dan demielinasi sel saraf (Demciri,
2016).

14
2.2.5 Gejala dan Tanda
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan, yaitu :
a. Gejala umum
Seperti gejala infeksi lainnya, yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat serta keluhan nyeri menelan (Soepardi, 2010).
b. Gejala lokal
Tampak tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran
semu.Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula,
nasofaring, laring, trakea, dan bronkus, dan dapat menyumbat
saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga
Burgemeester’s hals (Soepardi, 2010).

Gambar 4. Tonsilitis Difteri

15
Gambar 5. Bull Neck

c. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri


Eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, yaitu pada jantung dapat
terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf
kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria (Soepardi,
2010).

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik
yang didapatkan darianamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain itu juga
diperlukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium,
yaitu pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari
permukaan bawah membran semu dan kulturdari usapan nasofaring
dengan hasil akan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae
(Soepardi, 2010).

16
2.2.7 Diagnosis Banding
a. Tonsilitis kronis
b. Epiglotitis
(Demirci, 2016).

2.2.8 Penatalaksanaan
Anti difteri serum (ADS) diberikan segera menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000-40.000 unit untuk difteri yang ditemukan kurang
dari 48 jam, atau jika membran hanya ditemukan pada tonsil saja.
ADS diberikan sebanyak 80.000-120.000 unit jika penyakit sudah
berlangsung lebih dari 48 jam, atau membran yang ditemukan tidak
hanya berada di tonsil (lebih luas). Antitoksin diberikan secara infus
intravena dalam larutan salin selama 60 menit (Dhingra, 2014)..
Serum antidifteri merupakan serum heterolog, maka dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik. Untuk mencegah hal tersebut, maka
dilakukan hal-hal berikut :
 Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan
membran, selama dan sesudah pemberian terutama sampai 2 jam
setelah pemberian serum.
 Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan
untuk menanggulangi reaksi anafilaktik ( dosis 0,01 cc/kg BB
intramuskuler, maksimal diulang tiga kali dengan interval 5-15
menit ).
 Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.
 Uji kepekaan, yang terdiri dari :
o Tes kulit
Anti difteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan
1:10 dalam NaCl 0,9% disuntikkan intrakutan. Hasilnya
dibaca setelah 15-20 menit. Dianggap positif bila teraba
indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm.
o Tes mata

17
Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan
perbandingan 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah
satu kelopak mata bagian bawah. Satu tetes NaCl 0,9%
digunakan sebagai kontras pada mata lainnya untuk
perbandingan. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit
kemudian. Dianggap positif bila ada tanda konjungtivitis
( merah, bengkak, lakrimasi ). Apabila terjadi konjungtivitis
diobati dengan adrenalin 1:1000.
Bila salah satu tes kepekaan positif, maka ADS tidak diberikan secara
sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang
ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensitisasi) dengan interval 20
menit.

Antibiotik yang digunakan adalah Benzyl Penicillin 600 mg per 6 jam


selama 7 hari. Eritromisin dapat digunakan apabila pasien sensitif
terhadap penisilin (500 mg per 6 jam oral) (Dhingra, 2014).

2.2.9 Komplikasi
Laringitis difteri dapat beralngsung cepat, membran semu menjalar ke
laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien
makin cepat timbul komplikasi ini. (Soepardi, 2010).

Eksotoksin yang dihasilkan oleh kuman difteri dapat menyebabkan


miokarditis, cardiac arrhytmias, acute circulatory failure. Komplikasi
neurologis biasanya muncul beberapa minggu setelah infeksi, dapat
berupa kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi,
otot faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan,
suara parau, dan kelumpuhan otot-otot pernapasan (Dhingra, 2014)

2.2.10 Pencegahan
1. Isolasi Penderita

18
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan
setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak
terdapat lagi Corynebacterium Diphtheriae. (Dale DC, 2007)
2. Imunisasi
Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaksin
difteri umumnya dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan
pertusis. Ada empat jenis kombinasi vaksin difteri, tetanus dan
pertusis : DTaP, Tdap, DT, dan Td. DT tidak mengandung
pertusis, dan digunakan sebagai pengganti DTaP untuk anak-anak
yang tidak dapat mentoleransi vaksin pertusis. Td adalah vaksin
tetanus-difteri yang diberikan kepada remaja dan orang dewasa
sebagai booster setiap 10 tahun, atau bila terpapar tetanus dalam
kondisi tertentu. Tdap mirip dengan Td tetapi juga mengandung
perlindungan terhadap pertusis.
Imunisasi DTaP untuk bayi dan anak-anak umumnya lima kali
umumnya diberikan pada 2, 4, dan 6 bulan, dengan dosis keempat
yang diberikan antara 15-18 bulan, dan dosis kelima pada usia 4-6
tahun. Karena kekebalan terhadap difteri berkurang seiring
dengan waktu, maka pemberian booster dianjurkan.

2.3 Abses Peritonsil (Quinsy)


2.3.1 Definisi
Abses peritonsil merupakan suatu infeksi akut dan berat di daerah
orofaring.Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir
pada jaringan peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari
tonsilitis berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub
atas tonsil (Gosselin, 2015).

19
Gambar 6. Abses Peritonsil

2.3.2 Epidemiologi
Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat sekitar 30 kasus per
100.000 per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus baru per
tahun.Meskipun tonsilitis banyak ditemukan pada anak-anak, hanya
sepertiga kasus abses peritonsilar ditemukan pada anak-anak.Usia
pasien yang mengalami abses peritonsil bervariasi, antara usia 1
sampai 76 tahun, dengan insidensi tertinggi pada rentang usia antara
15-35 tahun (Gosselin, 2015).

2.3.3 Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan
kuman aerob dan anaerob (Soepardi, 2010).

Abses peritonsiler disebabkan oleh organismee yang bersifat aerob


maupun yang bersifat anaerob. Organismee aerob yang paling sering
menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes
(Group A Beta-hemolitik streptococcus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenza, sedangkan organisme anaerob yang berperan
adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,
dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler

20
diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan
anaerobik. (Adams, 2001)

2.3.4 Patofisiologi
Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui secara pasti. Namun
teori yang paling banyak diterima adalah perkembangan dari episode
tonsillitis eksudatif ke peritonsilitis dan kemudian terjadi proses
pembentukan abses. (Gosselin, 2015).

Infeksiyang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada


kutub atas tonsil) dan meluas kedalam ruang jaringan ikat diantara
kapsul dan dinding posterior fosa tonsil. Pada fosa tonsil ditemukan
suatu kelompok kelenjar diruang supratonsil yang disebut kelenjar
Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan
saliva ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancur kan
sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu
dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi
gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi
kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar.
Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang
selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem
saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan
terjadinya abses (Fasano, 2015).

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat


longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil
tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum molle
membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat
terbentuk di bagian inferior (Soepardi, 2010).

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan


tampak permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi

21
supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan
peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila
proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul
trismus (Soepardi, 2010).

2.3.5 Gejala Klinis


Pasien abses peritonsil biasanya datang ke klinik dengan keluhan
utama nyeri menelan (odinofagia). Selain itu pasien juga mengeluhkan
demam, lemah, lesu serta nyeri kepala. Pada kasus yang agak berat,
terdapat sulit menelan (disfagia), nyeri alih ke telinga pada sisi
terbentuknya abses peritonsil, saliva yang meningkat, serta trismus.
Pembengkakan peritonsil mengganggu artikulasi sehingga pasien sulit
berbicara dan mengakibatkan suara gumam (hot potato voice).

Inspeksi terperinci pada daerah yang membengkak mungkin sulit


karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Pemeriksaan mulut
dengan menggunakan spatula lidah menyebabkan pasien merasa tidak
nyaman dan ada rasa ingin muntah. Diagnosis sering hampir pasti
dapat ditegakkan bila pemeriksa melihat pembengkakan peritonsil
yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema
dari palatum molle. Tonsil sendiri dapat terlihat bengkak, hiperemis,
dan mungkin banyak detritus. Tonsil juga dapat terdorong ke arah
medial, depan, ataupun bawah.(Soepardi, 2007)

22
Gambar 7. Gambaran inflamasi tonsil (gambar kiri) dan abses
peritonsil (gambar kanan)

2.3.6 Diagnosis
a) Anamnesis
Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5
hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis. Gejala klinis berupa rasa
sakit ditenggorok yang terus menerus hingga keadaan yang
memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri
terlokalisir, demam, lemah dan mual. Odinofagi dapat merupakan
gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan
untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat
mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah
seringkali menetes keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau
(foetorexore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri alih ke telinga
(otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-
otot pterigoid. Penderita mengalami kesulitan berbicara, suara
menjadi seperti suara hidung, membesar seperti mengulum
kentang panas (hot potato’svoice) karena penderita berusaha
mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut (Ming, 2006).

b) Pemeriksaan Fisik

23
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus.
Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat
teraba fluktuasi. Uvula membengkak dan terdorong ke sisi kontra
lateral (Soepardi, 2010).

Pada pemeriksaan tonsil, tonsil umumnya tertutup oleh jaringan


sekitarnya yang membengkak atau tertutup oleh mukopus, tampak
hiperemis dan ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua
tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi
maka yang kedua akan membengkak setelah tonsil yang satu
membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala
sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Dapat
ditemukan tanda-tanda dehidras iserta pembengkakan dan nyeri
kelenjar limfe servikal (Ming, 2006).

Paling sering abses peritonsil padabagian supratonsilatau


dibelakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat
menimbulkan pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan
nafas. Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak
menunjukkan gejala yang sama dengan pada kutub superior.
Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan
daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanyaditandai
dengan kemerahan (Ming, 2006).

c) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium darah berupa pemeriksaan darah
lengkap, serta kultur darah (Fasano, 2005). Pemeriksaan lain dapat
berupa pemeriksaan elektrolit (Gosselin, 2015).
d) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgenpolos, ultrasonografi
dantomografi komputer. Pemeriksaan foto polos nasofaring dan
orofaring posisi lateral dapat membantu pemeriksa menyingkirkan

24
abses retrofaringeal. Pada posisi antero posterior, film
memperlihatkan distorsi jaringan lunak, namun tidak berguna
untuk menentukan lokasi abses, sehingga penggunaan foto rontgen
polos dalam mengevaluasi abses peritonsil terbatas (Fasano,
2005).

Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses


peritonsil secara spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai
alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa
menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran
sentral hypoechoic (Fasano, 2005).

Gambar 8. Intraoral Ultrasonografi

Pada pemeriksaan CT-scan biasanya tampak kumpulan cairan


hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil),
dengan “peripheral rim enhancement”. Khusus untuk diagnosis
abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu
dengan pemeriksaan CT-scan (Fasano, 2005).

25
Gambar 9. Pemeriksaan CT-Scan Abses Peritonsil

e) Tindakan diagnostik
Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau
punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk
memastikan abses peritonsil. Pus yang keluar juga sebaiknya
diperiksakan untuk tes kultur dan sensitifitas (Badran dan Karkos,
2006).

2.3.7 Diagnosis Banding


a) Infeksi mononukleosis
b) Limfoma
c) Selulitis peritonsil (Weed, 2005).

2.3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah
terapi simtomatik, terapi antibiotika, dan insisi dan drainase, diikuti
oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian (Beriault, 2006).
a) Terapi simtomatik
Pasien dengan abses peritonsilar yang mengalami dehidrasi
diberikan terapi cairan intravena sampai inflamasi mulai berkurang
dan pasien dapat mengonsumsi intake secara oral.Antipiretik dan
analgesik diberikan untuk mengurangi demam dan rasa tidak
nyaman pasien. Kumur- kumur dengan cairan hangat dan kompres

26
hangat pada leher (untuk mengendurkan tegangan otot).
(Gosselin, 2015)
b) Terapi antibiotika
Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas,
pemberian terapi antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana
yang lebih banyak muncul (Su & Hsu, 2006).

Terapi antibiotik sebaiknya diberikan segera setelah diperoleh


hasil kultur dari abses. Penisilin dosis tinggi masih menjadi
pilihan untuk penatalaksanaan abses peritonsil secara
empiris.Agen yang mengatasi kopatogen dan melawan beta
laktam juga direkomendasikan sebagai pilihan pertama.
Cephalexin atau sefalosporin lain (dengan atau tanpa
metronidazole) merupakan pilihan terbaik (Gosselin, 2015).

Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang


diperkirakan disebabkan oleh kuman staphylococcus.
Metronidazol merupakan antimikroba yang sangat baik untuk
infeksi anaerob(Su & Hsu, 2006). Antibiotik oral dapat diberikan
setelah pasien dapat mengonsumsi secara oral. Pengobatan
sebaiknya dilanjutkan sampai 7-10 hari (Gosselin, 2015).

c) Terapi Insisi dan Drainase


Tujuan tindakan ini adalah untuk mendapatkan drainase abses
yang kuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya
dapat di identifikasi pada daerah pembengkakan di daerah pilar-
pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi
(Braude,2007).

27
Teknik insisi
Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan
posisi duduk menggunakan anestesi lokal. Anestesi lokal dapat
dilakukan pada cabang tonsilar dari nervus glossofaringeus (N.IX)
yang memberikan inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini,
dengan menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke dalam fosa
tonsil (Su & Hsu, 2006).

Gambar 10. Teknik Insisi

Pada penderita yang memerlukan anestesi umum, posisi penderita


saat tindakan adalah kepala lebih rendah (trendelenberg)
menggunakan ETT (Endotrakeal tube). Anestesi topikal dapat
berupa xylocainespray atau menggunakan lidokain 4-5% atau
tetrakain 2% untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang
lain. Menggunakan pisau skalpel no.11 (Braude, 2007).

Lokasi insisi biasanya diidentifikasi pada :


 Pembengkakan didaerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada
daerah yang paling fluktuatif
 Pada titik yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang
dibuat antara dasar uvula dengan molar terakhir.
 Pada pertengahan garis horizontal antara pertengahan
basis uvula dan M3atas

28
 Pada pertemuan garis vertikal melalui titik potong pinggir
medial pilar anterior dengan lidah dengan garis horizontal
melalui basis uvula
 Padapertemuan garis vertikal melalui pinggir medial M3
bawah dengan garis horizontal melalui basis uvula. (Braude,
2007)

Gambar 11. Lokasi Insisi

Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung


dihisap dengan menggunakan alat penghisap. Tindakan ini
penting dilakukan untuk mencegah aspirasi yangdapat
mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasany abila insisi yang
dibuat tidak cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar.
Setelah cukup banyak pusyang keluar dan lubang insisi yang
cukup besar, penderita kemudian disuruh berkumur dengan
antiseptik dan diberi terapi antibiotika. Umumnya setelah
drainase terjadi, rasa nyeri akan segera berkurang. Pus yang
keluar juga sebaiknya diperiksakan untuk tes kultur dan
sensitifitas, biasanya diambil saat aspirasi (diagnosis) (Bradue,
2007).

29
Drainase dengan aspirasi jarum
Beberapa keuntungan dari evaluasi penatalaksanaan aspirasi jarum
dibanding insisi dan drainase adalah :
1. Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah.
2. Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma
minimal (yang biasanya dapat dilakukan sebelum insisi dan
drainase).
3. Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita/ tidak menakutkan
4. Tidak/kurang mencederai struktur jaringans ekitar.
5. Lebih memudahkan untuk mengumpulkan spesimen/pus guna
pemeriksaan mikroskopis dan teskultur/sensitifitas.
6. Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan
7. Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum.
8. Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses
peritonsil. (Braude, 2007)

Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum adalah :

1. Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi yang


berulang.
2. Tidak dapat melakukan pembersihan kantung pus secara
maksimal.
3. Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga dapat
menyebabkan proses penyembuhan lama.(Braude, 2007)

Teknik aspirasi
Tindakan dilakukan menggunakan semprit 10 ml, dan jarum no.18
setelah pemberian anestesi topikal (misalnya xylocain spray) dan
infiltrasi anestesi lokal (misalnya lidokain). Lokasi aspirasi
pertama adalah pada titik atau daerah paling berfluktuasi atau pada
tempat pembengkakan maksimum. Bila tidak ditemukan pus,
aspirasi kedua dapat dilakukan1cm di bawahnya atau bagian

30
tengah tonsil. Aspirasi jarum, sepertijuga insisi dan drainase,
merupakan tindakan yang sulit dan jarang berhasil dilakukan pada
anak dengan abses peritonsil karena biasanya mereka tidak dapat
bekerja sama. Selain itu tindakan tersebut juga dapat
menyebabkan aspirasi darahdan pus ke dalam saluran nafas yang
relatif berukuran kecil (Ming, 2006).

Gambar 12. Tindakan Aspirasi Abses Peritonsil

d) Tonsilektomi
Bila dilakukan bersama-sama indakan drainase abes, disebut
tonsilektomi “a’ chaud”.Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah
drainase abses, disebut tonsilektomi “a’ tiede”, dan bila tonsilektomi
4-6 minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a’
froid”.Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang,
yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses (Soepardi, 2010).

2.3.9 Komplikasi
1 Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi
paru, atau piemia
2 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring. Pada
penjalarang selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi
mediastinitis

31
3 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat
mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses
otak. (Soepardi, 2010).

2.3.10 Prognosis
Kebanyakan pasien yang ditangani dengan antibiotik dan drainase
yang adekuat pada abses mereka, dapat pulih dalam beberapa
hari.Apabila pasien kembali melaporkan terdapat nyeri tenggorokkan
rekuren atau kronis, atau bahkan sampai timbul abses setelah
dilakukan insisi dan drainase, maka dapat menjadi indikasi untuk
dilakukan tonsilektomi (Gosselin, 2015).

32
BAB III
PENUTUP

Tonsilitis kronis merupakan suatu peradangan tonsil palatina dengan relaps dan
remisi serangan akut atau merupakan bentuk klinik dari infeksi resisten, yang
tidak ditangani dengan baik. Tonsilitis kronis merupakan peradangan pada tonsil
yang sering mengalami serangan relaps dan remisi. Tonsilis kronis paling sering
disebabkan oleh bakteri grup Astreptokokus beta-hemolitikus. Tonsilitis difteri
disebabkan oleh infeksi dari kuman difteri. Tonsilitis kronis dan tonsilitis difteri
biasanya lebih banyak menyerang anak-anak. Abses peritonsil merupakan suatu
infeksi akut dan berat di daerah orofaring yang dapat merupakan komplikasi dari
tonsilitis berulang. Meskipun kebanyakan penyakit tonsil menyerang anak-anak,
hanya sekitar sepertiga kases abses peritonsil yang menyerang kelompok umur
tersebut. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan meliputi pengobatan simtomatif,
kausatif, dan terapi bedah jika diperlukan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring . Jakarta: EGC; 2001


BadranKH, Karkos PD. 2006. Aspirationof Peritonsillar Abscessin Severe
Trismus. Journal of Laryngol & Otol 2006;120:492-94.
Beriault M, Green J. Innovative Airway Managementfor PeritonsillarAbscess.
CardiothoracicJ Anesth2006;53:92-5.
Braude DA, Shalit M.A Novel Approach to Enchance Visualization During
Drainage of Peritonsillar Abscess. The Journal of Emergency Medicine
2007;35:297-98.
Dale DC. Infections Due to Gram Positive Bacilli. In: In Infectious Diseases:
The Clinician's Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention. 16th ed.
WebMD Corporation; 2007.
Demirci CS. 2016. Pediatric Diphteria.Tersedia dari http://emedicine.medscape
.com/article/963334-overview.Diakses pada 13 September 2016.
Dhingra PL, Dhingra S, dan Dhingra D. 2014. Diseases of Ear, Nose, and Throat
& Head and Neck 6th Edition.India : Elsevier.
Fasano J.C,ChudnofskyC.2005. Bilateral Peritonsillar Abscesses: Not
YourUsual Sore Throat. The Journal of Emergency Medicine 2005.
Gosselin BJ. 2015. Peritonsillar Abscess. Tersedia dari http://emedicine.
medscape.com/article/194863-overview. Disitasi pada tanggal 13 September
2016.
Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak jilid 2. Jakarta :FKUI, 2007.
KlausS. 2 0 1 4 . Tonsillitis and sore throat in children. GMS Curr Top
Otorhinolaryngol Head Neck Surg.
MingCF.2 0 0 6 . Effycacy of Three Theraupetic Methods for Peritonsillar
Abscess. Journal of Chinese Clinical Medicine 2006.
Mogoanta CA, Ionita E, Prici D, Mitroi M, Anghelina F, Ciolofan S, dkk. 2008.
Chronic tonsilitis histological and immunohistochemical aspects. Romanian
Journal of Morphology and Embriology; 49(3): 381-86.

34
Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan dan
Perilaku Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat dalam kaitannya
dengan penyakit ISPA dan pnemonia. Bui. Penelit. Kes. 2003.
Pulungan MR, Novialdi N.2010. Mikrobiologitonsilitis kronis.Padang: Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang.
Ramez S,Bahauddin, RafiqulI, ShahriarI, Sadlee, MostafaKA. 2014. Chronic
tonsillitis and its relation with childhoodasthma. IJSR.;3(3):2319-7064.
Sembiring RO, John P, Olivia W. 2013. Identifikasi bakteri dan uji kepekaan
terhadap antibiotik pada penderita tonsilitis di Poliklinik THT-KLBLURSU.
Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode November 2012-Januari 2013.
Jurnal E-biomedik;1(2):1053-7.
Soepardi EA, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
SkevasT, ChristophK, SerkanS, PeterK, Plinkert, Ingo B. Measuring quality
oflifein adult patients with chronic tonsillitis.The Open
Otorhinolaryngology Journal;(4):34-46
Su WY,HsuWC.Inferior pole PeritonsillarAbscess Successfully Treated With
Non Surgical Approach In Four Cases.TsuChiMedJ2006;18:287-90.
Ugras S dan Kutluhan A. 2008. Chronic tonsilitis can be diagnosed with
histopathologic findings. Eur J gen Med; 5(2): 95-103.
Weed H.G,ForestLA. 2005 Deep Neck Infection.In: Cummings CW.editors.

OtolaryngologyHead and NeckSurgery. 4thed.Philadelphia:Pennsylvania

35
36

Anda mungkin juga menyukai