Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN

TONSILITIS
A. DEFINISI
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada
tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan
pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada
penderita tonsilitis akut (Palandeng, Tumbel, Dehoop, 2014).
Tonsilitis kronis timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik,
dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat (Soepardi et al.,2007).
Tonsilitis kronis - terjadi ketika tonsilitis disebabkan oleh infeksi bakteri yang
dapat bertahan jika tidak diobati (Eunice, 2014).
B. ETIOLOGI
Virus herpes simplex, Group A beta-hemolyticus Streptococcus pyogenes
(GABHS), Epstein-Barr virus (EBV),sitomegalovirus, adenovirus, dan virus campak
merupakan penyebab sebagian besar kasus faringitis akut dan tonsilitis akut.Bakteri
menyebabkan 15-30 persen kasus faringotonsilitis; GABHS adalah penyebab tonsilitis
bakteri yang paling banyak (American Academy of Otolaryngology Head and Neck
Surgery, 2011).
Tonsilitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada
tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif namun terkadang
bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif. Pada hasil penelitian Suyitno
S, Sadeli S, menemukan 9 jenis bakteri penyebab tonsilofaringitis kronis yaitu
Streptokokus alpha, Staphylococcus aureus, Streptokokus hemolitikus grup A,
Enterobakter, Streptokokus pneumonie, Pseudomonas aeroginosa, Klebsiela sp.,
Escherichea coli, Staphylococcusepidermidis (Suyitno S, Sadeli S, 1995 dalam
Farokah, 2005).
C. PATOFISIOLOGI
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara
klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa dengan
submandibula (Soepardi, 2007).
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas.
Akibat dari proses ini akan terjadi pembengkakan atau pembesaran tonsil ini, nyeri
menelan, disfagia. Kadang apabila terjadi pembesaran melebihi uvula dapat
menyebabkan kesulitan bernafas.Apabila kedua tonsil bertemu pada garis tengah yang
disebut kissing tonsils dapat terjadi penyumbatan pengaliran udara dan makanan.
Komplikasi yang sering terjadi akibat disfagia dan nyeri saat menelan, penderita akan

mengalami malnutrisi yang ditandai dengan gangguan tumbuh kembang, malaise,


mudah mengantuk (Stephanie, 2011).
Pembesaran adenoid mungkin dapat menghambat ruang samping belakang
hidung yang membuat kerusakan lewat udara dari hidung ke tenggorokan, sehingga
akan bernafas melalui mulut.Bila bernafas terus lewat mulut maka mukosa membrane
dari orofaring menjadi kering dan teriritasi, adenoid yang mendekati tuba eustachus
dapat meyumbat saluran mengakibatkan berkembangnya otitis media (Reeves,
Charlene, 2001 ).
D. GEJALA KLINIS
Menurut Effiaty Arsyad Soepardi, et al, (2007),yang merupakan gejala klinis:
Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok,
sulit sampai sakit menelan.
Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam
subfebris, nyeri otot dan persendian.
Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis),
edema atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan
kecil (tonsilitis fibrotik kronis),plika tonsilaris anterior hiperemis dan
pembengkakan kelenjar limfe regional.Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar
dengan permukaanyang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kriptus terisi oleh
detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorokan, dirasakan kering di
tenggorokan dan nafas berbau.
Menurut Adams ( 2001 ) yang merupakan gejala klinis: Pada pemeriksaan, terdapat
dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin tampak, yakni:
Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan
sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti
keju.
Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar
dan ditutup eksudat yang purulen.
Menurut (Adam et al., 2000; Sasaki, 2008) yang merupakan gejala klinis:
Sakit kepala
Malaise
Demam
Sakit saat menelan (Disfagia)
Halitosis
Kurangnya nafsu makan
Mual dan muntah
Pembesaran atau terjadinya tenderness pada kelenjar getah bening servikal serta
sakit telinga disebabkan persarafan yang sama kepada kedua telinga serta
tenggorokan
E. PANATALAKSANAAN
1. Medikamentosa

Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut


yang baik, obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi konservatif tidak
memberikan hasil.Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral
perlu diberikan selama sekurangnya 10 hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah
golongan penisilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat
diberikan eritromisin atau klindamisin (Soepardi et al., 2007).
Penggunaan terapi antibiotika amat disarankan pada pasien tonsilitis kronis
dengan penyakit kardiovaskular (Shishegar dan Ashraf, 2014). Obstruksi jalan
nafas harus ditatalaksana dengan memasang nasal airway device, diberi
kortikosteroid secara intravena dan diadministrasi humidified oxygen. Pasien harus
diobservasi sehingga terbebas dari obstruksi jalan nafas (Udayan et al., 2014).
2. Operatif

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala
sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al., 2007).
Pada penelitian Vivit Sapitri mengenai karakteristik penderita tonsilitis kronis
yang diindikasi tonsilektomi di RSUD Raden Mattaher Jambi dari bulan Mei-Juli
2013 didapatkan data bahawa dari 30 orang, ditemukan penderita tonsilitis kronis
yang diindikasikan tonsilektomi terbanyak pada rentang usia antara 5-14 tahun
yaitu 15 orang (50%), jenis kelamin terbanyak adalah perempuan yaitu 17 orang
(56,7%), semua keluhan utamanya adalah nyeri pada tenggorok/ sakit menelan
sebanyak 30 orang (100%), indikasi tonsilektomi terbanyak adalah indikasi relatif
sebanyak 22 orang (73,3%) yaitu terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun
dengan terapi antibiotik adekuat (Sapitri, 2013).
Tonsilektomi juga merupakan tatalaksana yang diaplikasikan untuk SleepDisordered Breathing (SDB) serta untuk tonsilitis rekuren yang lebih sering terjadi
pada anak anak (Shishegar dan Ashraf, 2014).
3.

Indikasi tonsilektomi

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat


perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat
ini.Dulu diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang.Saat ini indikasi
utama adalah obstruksi saluran nafas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan The
American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery (AAO-HNS) tahun
2011 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi:
a. Indikasi absolut
Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas,disfagia
berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.
Abses peritonsilar yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan
drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.
b. Indikasi relatif
Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan
pengobatan medik yang adekuat.
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan
medik.

Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak


membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap -laktamase.
3. Kontra-indikasi
Riwayat penyakit perdarahan
Risiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol
Anemia
Infeksi akut
4. Teknik Operasi Tonsilektomi (Dingar, 2008)
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang
masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan
kekurangan.Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi persekundam. Jenis
pemilihan iaitu jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan pre operatif dan pasca operatif serta durasi operasi.Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.
a. Guillotine Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat
dan praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas
tonsil beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil
karena tidak seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
b. Teknik Diseksi Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode
diseksi.Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan
dalam anestesi.Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik
kearah medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan
menggunakan
sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
c. Teknik elektrokauter Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan
tonsil disertai kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik
transfer energi berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada
jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik
berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini
mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.
d. Radio frekuensi Pada teknik ini radiofrekuensi elektroda disisipkan langsung
kejaringan. Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk
membuka kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas.Selama
periode 4- 6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume
jaringan berkurang.
e. Skapel harmonik Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
f. Teknik
Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk karena
dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk
mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan
energi dari radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media
perantara yang akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar

elektroda. Kelompok plasma tersebutakan mengandung suatu partikel yang


terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang terionisasi yang akan
memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada
jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 4070%, sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
g. Intracapsular partial tonsillectomy Intracapsular tonsilektomi merupakan
tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider
endoskopi. Mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk
tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai
ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa
melukai kapsulnya.
h. Laser(CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl
Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini
mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang
menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
F. PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita
Tonsilitis lebih nyaman.Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika
tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan
bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat.Gejala yang tetap
ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya,
infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus.Pada kasus yang jarang,
Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau
pneumonia (Edgren, 2002).

DAFTAR PUSTAKA
Abouzied, A., Massoud E.,
Medical Journal. 35(1). p:8-10.

2010.

Sex

Differences

in

Tonsillitis.

Dalhausie

Ackay, A., 2006. Variation in Tonsil Size in 4 to 17 Year Old School Children.
The Journal of Otolaryngology, Volume 35, Number 4, p: 271-3.
Amaruddin, T., Christiano, A., 2007. Kajian Manfaat Tonsilektomi. Cermin Dunia
Kedokteran, No.155, p:61-8.
American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011 Clinical
Practice Guideline: Tonsillectomy in Children. Available from: http://www.
entnet.org/content/tonsillectomy-children American Academy Of Otolaryngology Head and
Neck
Surgery
2011.
Tonsils
and Adenoids. Available from: [Accessed from : 24 April 2015].
https://www.entnet.org/content/tonsilsand-adenoids Aritomoyo, D., 1980. Insiden Tonsilitis
Akut
dan
Kronik
Pada
Klinik
THT
RSUP
Dr. Kariadi Semarang. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS VI PERHATI, Medan; p: 249-55.
[Accessed from : 29 April 2015]
Arsyad, F., 2013.Hubungan Antara Pengetahuan dan Pola Makan dengan Kejadian Tonsilitis
pada Anak Usia Sekolah Dasar di Wilayah Kerja Puskesmas Minasatene Kab.Pangkep, 2(1).
p:2
Balasubrumanian, T., 2007. Anatomy of Tonsil. Available from: http://www.drtba
lu.co.in/tonsil.html. [Accessed from: 8 April 2015].
Ballenger, J.J., 2010. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.Jilid 1, edisi 22
Jakarta. p:346-352. Beasley, P., 2001. Lymphatic System of Pharynx and Tonsil In: Anatomy
of
The
Pharynx and Esophagus. p:17-18. Available from: https://www.famora .sezampro.rs>scott110
Bisno, L., 2002. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of Group [Accessed
from: 10 April 2015].
A
Streptococcal
Pharyngitis.
Available
from:http://cid.Oxfordjournals.
org/content/35/2/113.full Burton, M.J., Towler B., Glasziou P., 2004. Tonsillectomy Versus
Non-surgical Treatment for Chronic/Recurrent Acute Tonsilitis (Cochrane Review). The
Cochrane Library, Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd. Issue 3. [Accessed from: 19
April 2015]
Borden, R.C., 2002. Diseases of the Throat and Teeth , In : The American Journal of Nursing
Vol.17, No.2. p:123-127
De Martino M., Ballotti, S., 2007.Paediatric Allergy and Immunology,InPharm
.Jobs.com, Vol 18, p:13-18. Dhingra, P.L., Dhingra, S., 2007. Tonsillectomy In: Disease of

Ear,
Nose
and
Throat & Head and Neck Surgery. Reed Elsevier India Private Limited, 6th Edition. p:430.
Edgren, A.L., Davitson,
Association. p:13.

T.,

2004.

Sore

Throat.

Journal

of

the

American

Eunice, M., 2014. Efficacy of the Homoeopathic Complex Tonzolyt on the Symptoms of
Acute Tonsillitis in Black Children Attending a Primary School in Gauteng, University
Johannesburg.
Farokah, 2007. Hubungan Tonsillitis Kronis Dengan Prestasi Belajar Pada Siswa
Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Semarang. 2007. Available from:
http://file/tonsilitis%201/15510TonsilitasKronikPrestasiBelajarK elas.html. Hall and Colman
The Anatomy of Tonsil and The Diseases of Oropharynx dalam Diseases of the Nose,Throat
and Ear, edisi ke9, E.& S. Livingstone LTD. [Accessed from:15 April 15]. Hannaford, P.C.,
Simpsons.
J.A., Dav, A., McKerrow, W., Mills, R., 2005. The Prevalence of Ear Nose and Throat
Problems in the Community: Result from a National Cross-Sectional Postal Survey in
Scotland. Fampra Oxfort Journals, 22: p:227-33. Hospital Episode Statistics, Department of
Health,
England
2003.
Patient
Data
On Tonsillitis. Available from: http://www.rightdiagnosis.com/t/tonsiliti s/hospital.htm
[Accessed from: 31 March 2015]. Jain, N., 2009. Tonsillitis Treatment Causes & Symptoms.
Available from: www.disabled-world.com/health/pral/tonsilltis [Accessed from: 1 May
2015].
Shah, 2014. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess Treatment & Management. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/ 871977-treatment [Accessed from: 20 May 2015]. 50
Ugras Serdar, Kutluhan Ahmet, 2008. Chronic Tonsilitiis Can Be Diagnosed With
Histopatologic Findings. Europe Journal General Medical; 5(2): p:95- 103. Viswanatha, B.,
(2011).

Anda mungkin juga menyukai