TINJAUAN PUSTAKA
A. Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri.
Tekanan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti curah jantung,
ketegangan arteri, volume, dan laju serta kekuatan (viskositas) darah. Tekanan
darah terjadi akibat fenomena siklis. Tekanan puncak terjadi saat jantung
beristirahat. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan
sistolik terhadap tekanan diastolik, dengan nilai dewasa normalnya berkisar
dari 100/60 mmHg sampai 140/90 mmHg. Rata-rata tekanan darah normal
biasanya 120/80 mmHg (Smeltzer & Bare, 2002).
Tekanan darah arteri adalah tekanan lateral yang disebabkan oleh
kolom darah pada dinding pembuluh darah. Ia merupakan hasil curah jantung
dan tahanan pembuluh darah tepi. Tekanan darah dalam arteri berubah-ubah
secara berirama sejalan dengan denyut jantung yang mencapai maksimum saat
ventrikel kiri mengeluarkan darah ke dalam aorta dan turun kembali selama
diastolik, yang mencapai minimum tepat sebelum denyut jantung berikutnya.
Tekanan darah tergantung pada volume darah yang diejeksikan, kecepatannya,
distensibilitas dinding arteri, viskositas darah dan tekanan di dalam pembuluh
setelah ejeksi terakhir (Swarts, 1995).
Menurut Martuti (2009), secara umum ada dua komponen tekanan
darah, yaitu tekanan darah sistolik (angka atas) yaitu tekanan yang timbul
9
10
akibat pengerutan bilik jantung sehingga ia akan memompa darah dengan
tekanan terbesar, dan diastolik (angka bawah) yang merupakan kekuatan
penahan pada saat jantung mengembang antar denyut, terjadi pada saat
jantung
dalam keadaan mengembang (saat beristirahat).
Tekanan darah normal (normotensi) sangat dibutuhkan untuk
mengalirkan darah ke seluruh tubuh, yaitu untuk mengangkut oksigen dan zatzat
gizi. Tekanan darah ada dalam pembuuh darah, sedangkan tekanan darah
tertinggi ada dalam arteri terbesar (Martuti, 2009).
Tekanan darah dikatakan tinggi bila lebih besar dari tekanan yang
diperlukan untuk memelihara aliran darah yang tetap. Saat tekanan darah di
atas normal, saat itu volume darah meningkat dan saluran darah terasa lebih
sempit sehingga untuk dapat menyuplai oksigen dan zat-zat makanan ke setiap
sel di dalam tubuh, jantung harus memompa lebih keras. Progresifitas
hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-30 tahun (dengan
meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi hipertensi dini pada pasien
umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer meningkat) kemudian menjadi
hipertensi pada umur 30-50 tahun dan akhirnya menjadi hipertensi dengan
komplikasi pada usia 40-60 tahun (Martuti, 2009).
Menurut Martuti (2009), secara umum tekanan darah yang ideal
adalah 120/80 mmHg (sistolik/diastolik). Batas normal adalah bila tekanan
sistolik tidak lebih dari 140 mmHg dan tekanan diastolik tidak lebih dari 90
mmHg. Tekanan darah termasuk kategori tinggi jika tekanan sistolik lebih dari
160 mmHg dan diastolik di atas 99 mmHg, dalam 3 kali pemeriksaan berturut
11
turut selama selang waktu 2-8 minggu. Menurut WHO, tekanan darah dianggap
normal bila kurang dari 135/85 mmHg, dikatakan hipertensi bila lebih dari
140/90 mmHg, dan diantara nilai tersebut digolongkan normal tinggi.
Klasifikasi tekanan darah bagi orang dewasa usia 18 tahun ke atas
yang tidak sedang dalam pengobatan tekanan darah tinggi dan tidak menderita
penyakit serius dalam jangka waktu tertentu menurut Seventh Report of the
Joint National Committe VII (JNC VII) on Prevention, Detection, Evaluation
and Treatment of High Blood Pressure adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1
Klasifikasi tekanan darah untuk yang berumur 18 tahun atau lebih
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal-tinggi 130 139 85 89
Hipertensi
Derajat 1 140 159 90 99
Derajat 2 160 179 100 - 109
Derajat 3 180 110
Menurut Kaplan yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Penyakit Dalam
memberikan klasifikasi tekanan darah dengan membedakan usia dan jenis
kelamin. Seorang wanita dikatakan hipertensi jika mempunyai tekanan darah
>160/95 mmHg. Untuk pria, jika usianya <45 tahun, dikategorikan hipertensi
bila tekanan darah pada waktu berbaring 130/90 mmHg, dan bagi yang berusia
>45 tahun, dikategorikan hipertensi apabila tekanan darahnya >145/90 mmHg.
Berdasar data Pusat Kesehatan Jantung, Paru-paru, dan Darah
(NHLBI) di Amerika, bahwa tekanan darah 140/90 mmHg dan selebihnya
12
tergolong tinggi, sedangkan antara 120/80 dan 139/89 mmHg dikatakan
prahipertensi.
Aliran darah berkorelasi secara langsung dengan perbedaan tekanan
darah antara dua titik dalam sirkulasi. Jika tekanan darah naik, aliran darah
tambah cepat dan bila tekanan darah turun, aliran darah melambat
(Tambayong, 1999).
Tekanan darah diukur dengan menggunakan alat spygmomanometer
(tensimeter) dan stetoskop. Ada tiga tipe dari spygmomanometer yaitu dengan
menggunakan air raksa atau merkuri, aneroid, dan elektronik. Tipe air raksa
adalah jenis spygmomanometer yang paling akurat. Tingkat bacaan dimana
detak tersebut terdengar pertama kali adalah tekanan sistolik. Sedangkan
tingkat dimana bunyi detak menghilang adalah tekanan diastolik.
Spygmomanometer aneroid prinsip penggunaannya yaitu menyeimbangkan
tekanan darah dengan tekanan dalam kapsul metalis tipis yang menyimpan
udara didalamnya. Spygmomanometer elekrtonik merupakan pengukur tekanan
darah terbaru dan lebih mudah digunakan dibanding model standar yang
menggunakan air raksa, tetapi akurasinya juga relatif rendah. Sebelum
mengukur tekanan darah yang harus diperhatikan yaitu: jangan minum kopi
atau merokok 30 menit sebelum pengukuran dilakukan, duduk bersandar
selama 5 menit dengan kaki menyentuh lantai dan tangan sejajar dengan
jantung (istirahat), memakai baju lengan pendek, kemudian buang air kecil
dulu sebelum diukur, karena kandung kemih yang penuh dapat mempengaruhi
hasil pengukuran (Sustrani, 2004).
13
Pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan pada pasien setelah
istirahat yang cukup, yaitu sesudah berbaring paling sedikit 5 menit.
Pengukuran dilakukan pada posisi terbaring, duduk, dan berdiri sebanyak 2 kali
atau lebih dengan interval 2 menit. Ukuran manset harus cocok dengan ukuran
lengan atas. Manset harus melingkari paling sedikit 80 % lengan atas dan lebar
manset paling sedikit 2/3 kali panjang lengan atas, pinggir bawah manset harus
2 cm diatas fosa cubiti untuk mencegah kontak dengan stetoskop. Sebaiknya
disediakan barbagai ukuran manset untuk dewasa, anak dan orang gemuk.
Balon dipompa sampai ke atas tekanan diastolik kemudian tekanan darah
diturunkan perlahan-lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg tiap denyut jantung.
Tekanan sistolik tercatat pada saat terdengar bunyi yang pertama (kortokoff 1)
sedangkan tekanan diastolik dicatat jika bunyi tidak terdengar lagi (kortokoff
V). Pemeriksaan tekanan darah sebaiknya dilakukan pada kedua lengan, pada
posisi berbaring atau duduk. (Arijatmo, 2001).
B. Hipertensi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada
populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg
dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer & Bare, 2001).
Menurut Sidabutar dan Wiguno (1990) hipertensi menurut
penyebabnya dibagi menjadi 2 yaitu: hipertensi essensial/primer dan
hipertensi sekunder. Hipertensi primer merupakan hipertensi yang tidak
14
diketahui penyebabnya atau idiopatik. Hipertensi primer meliputi lebih kurang
90 % dari seluruh hipertensi dan 10 % merupakan hipertensi sekunder.
Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor
meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat
berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan penyakit
hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang terkadang muncul
menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama,
hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi,
dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina
dan susunan saraf pusat. Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi
pada pasien umur 10-30 tahun (dengan meningkatnya curah jantung)
kemudian menjadi hipertensi dini pada pasien umur 20-40 tahun (dimana
tahanan perifer meningkat) kemudian menjadi hipertensi pada umur 30-50
tahun dan akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada usia 40-60
tahun (Sadabutar & Wiguno, 1990)
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hipertensi antara lain faktor
yang dapat dimodifikasi (diubah) dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi
(diubah). Untuk faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain: faktor
genetik, umur dan jenis kelamin. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi
(diubah) meliputi stress, obesitas, merokok dan kebiasaan minum alkohol,
kurang olah raga dan asupan garam (Sidabutar & Wiguno, 1990).
15
Hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seseorang
dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup kita
mempunyai 25 % kemungkinan mendapatkannya pula (Sheps, 2005:25).
Insidensi hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan umur.
Pasien yang berumur di atas 60 tahun, 50 60 % mempunyai tekanan darah
lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal ini merupakan pengaruh
degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya (Kumar &
Vausto, 2005)
Menurut Sarwono dan Waspadji (1998), wanita lebih banyak
mengalami hipertensi daripada laki-laki. Pada wanita hipertensi lebih banyak
disebabkan karena kurang gerak, cendrung lebih banyak diam di rumah.
Sampai usia 60 tahun wanita beresiko lebih tinggi terkena hipertensi
dibandingkan dengan laki-laki.
Hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivasi
syaraf simpatik yang akan meningkatkan tekanan darah secara intermitten
(tidak menentu). Meskipun dapat dikatakan bahwa stress benar-benar
meninggikan tekanan darah untuk jangka waktu yang singkat, reaksi tersebut
lenyap kebali sering dengan menghilangnya penyebab stress. Yang menjadi
masalah adalah jika stress bersifat permanen, maka seseorang akan
mengalami hipertensi terus-menerus sehingga stress menjadi suatu resiko,
kemarahan yang ditekan dapat meningkatkan tekanan darah karena ada
pelepasan adrenalin tambahan oleh kelenjar adrenal yang terus menerus
dirangsang (Sarwono & Waspadji, 1998).
16
Kelebihan berat badan dan obesitas merupakan faktor dari beberapa
penyakit degenerasi dan metabolit. Lemak tubuh, khususnya lemak pada perut
berhunbungan erat dengan hipertensi. Obesitas merupakan ciri khas penderita
hipertensi. Walaupun belum diketahui secara pasti hubungan antara hipertensi
dan obesitas, namun terbukti bahwa obesitas dengan hipertensi lebih tinggi
daripada penderita hipertensi dengan berat badan normal. Pada orang yang
terlalu gemuk, tekanan darahnya cenderung lebih tinggi karena seluruh organ
tubuh dipacu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan energi yang lebih
besar, dikarenakan banyaknya timbunan lemak yang menyebabkan kadar
lemak darah juga tinggi, sehingga tekanan darah menjadi tinggi (Sarwono &
Waspadji, 1998).
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat
dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko
terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis (Sarwono &
Waspadji, 1998).
Minum alkohol lebih dari takaran yang sedang dapat meningkatkan
tekanan darah dan dapat mempercepat pengaruh penyakit tersebut.
Olahraga lebih banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi
karena olah raga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang
akan menurunkan tekanan darah. Kurang melakukan olah raga akan
meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan asupan garam juga
bertambah maka akan memudahkan terjadinya hipertensi. Olah raga yang
17
teratur dalam jumlah sedang lebih baik daripaa olah raga berat tetapi hanya
sekali (Sarwono & Waspadji, 1998).
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium
di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan
intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat.
Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan
meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya
hipertensi (Widayanto, 2008).
C. Kebiasaan Konsumsi Garam
Kebiasaan adalah bentuk tingkah laku yang tetap dari usaha
menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang mengandung unsur perasaan
(Sunaryo, 2002 ).
Garam atau natrium klorida adalah zat yang penting bagi kesehatan.
Setiap sel dalam tubuh membutuhkan natrium untuk mengatur keseimbangan
cairan serta mengatur saraf dan otot agar berfungsi dengan baik Terlalu sedikit
garam dapat menyebabkan gangguan mental, ketidakmampuan berkonsentrasi
dan dalam kasus yang ekstrim bisa berakibat fatal mengalami hiponatremia.
Namun, terlalu banyak natrium dalam makanan dapat menyebabkan masalah
kesehatan. Ini adalah salah satu resiko yang berkontribusi terhadap tekanan
darah tinggi, yang secara substansi dapat meningkatkan penyakit jantung atau
stroke (Gustia, 2009) .
18
Menurut Suhardjo dan Kusharto (1992), tubuh manusia mengandung
1,8 gram natrium (Na) perkilogram berat badan bebas lemak, dimana sebagian
besar terdapat dalam cairan ekstra seluler. Kandungan natrium dalam plasma
sekitar 300-355 mg/100 ml. Karena natrium merupakan keton utama dari
cairan ekstraseluler, pengontrolan osmolaritas dan volume cairan tubuh sangat
tergantung pada ion natrium dan rasio natrium terhadap ion lainnya.
Natrium mampu membuat membran sel menjadi permeabel,
sementara itu transmisi syaraf dan kontraksi otot melibatkan pertukaran
natrium ekstraseluler dan kalium ekstraseluler. Hanya sejumlah kecil natrium
berada dalam intraseluler. Dalam tulang natrium terikat pada semua
permukaan kristal tulang. Jumlah natrium dalam tulang kira-kira sebanyak 30
40 % dari total natrium tubuh. Metabolisme natrium terutama diatur oleh
aldosteron suatu hormon korteks adrenal yang meningkatkan reabsorbsi
natrium dari ginjal. Bila hormon itu tidak ada maka ekskresi natrium
bertambah dan akan timbul tanda-tanda defisiensi. Bahan pangan nabati
mengandung lebih sedikit natrium dibandingkan bahan pangan hewani.
Pangan hasil olahan (processed foods) pada umumnya mengandung natrium
yang tinggi karena senyawa-senyawa natrium digunakan dalam pengawetan,
pengempukan dan pemberian rasa (Suhardjo & Kusharto, 1992).
Natrium tidak hanya berasal dari natrium yang terdapat secara alami
dalam makanan, tetapi juga berasal dari makanan yang diawetkan dan
makanan yang diproses dengan memasak. Kebanyakan orang menambahkan
19
garam atau berbagai bentuk bumbu yang mengandung natrium untuk
penyedap rasa (Kim, et al., 2007).
WHO (1990) menganjurkan pembatasan konsumsi garam dapur
hingga 6 gram sehari setara dengan 2400 mg Natrium (Atmatsier, 2004:64).
Konsumsi garam memiliki efek langsung terhadap tekanan darah. Telah
ditunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah ketika semakin tua, yang
terjadi pada semua masyarakat, merupakan akibat dari banyaknya garam yang
dimakan. Masyarakat yang mengkonsumsi garam yang tinggi dalam pola
makannya juga adalah masyarakat dengan tekanan darah yang meningkat
seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, masyarakat yang konsumsi garamnya
rendah menunjukkan hanya mengalami peningkatan tekanan darah yang
sedikit, seiring dengan bertambahnya usia. Terdapat bukti bahwa mereka yang
memiliki kecenderungan menderita tekanan darah tinggi secara keturunan
memiliki kemampuan yang lebih rendah untuk mengeluarkan garam dari
tubuhnya (Beevers, 2002: 35).
Beberapa bahaya konsumsi garam berlebih terutama pada penderita
tekanan darah tinggi antara lain: edema (penumpukan cairan di jaringan
tubuh) pada kegagalan jantung; nephritis, nephrosis, cirrhosis; premenstrual
tension (ketegangan premenstruasi) dan reducing diet (makanan untuk
menguruskan badan) (Liwijaya & Kuntaraf, 1997). Garam natrium terdapat
secara alamiah dalam bahan makanan atau ditambahkan pada waktu memasak
atau mengolah makanan. Makanan berasal dari hewan biasanya lebih banyak
mengandung garam natrium dari yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Garam
20
Natrium yang ditambahkan ke dalam makanan biasanya berupa ikatan, yaitu:
natrium chlorida atau garam dapur, mono-natrium glutamat atau vetsin,
natrium Bikarbonat atau soda kue, natrium Benzoat untuk mengawetkan buah,
dan natrium bisulfit atau senyawa yang digunakan untuk mengawetkan daging
seperti corned beef (Kurniawan, 2002).
Darah mengandung 0,9% NaCl. Natrium bersama klorida yang
terdapat dalam garam dapur dalam jumlah normal dapat membantu tubuh
mempertahankan keseimbangan cairan tubuh untuk mengatur tekanan darah.
Manusia memerlukan sekitar 200-500 mg natrium setiap hari untuk menjaga
kadar garam dalam darah agar tetap normal, sehingga tubuh tetap sehat.
Konsumsi garam berlebih dapat berakibat fatal, sebab natrium bekerja
menahan air di dalam tubuh, sehingga volume darah yang beredar akan
meningkat dan mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Garam bersifat
higroskopis atau mudah menyerap air, jika konsumsi berlebih, konsentrasi
garam dalam cairan akan meningkat (Widayanto, 2008).
Data menurut WHO menyebutkan, 100 juta orang di China mengidap
tekanan darah tinggi. Jumlah ini bertambah 3 juta orang setiap tahun, sekitar
15 juta orang dari mereka meninggal akibat penyakit jantung. Menurut
penelitian konsumsi garam tertinggi ditemukan di Jepang utara, yakni 28
gram/orang/hari sebanyak 38% penduduk mengalami tekanan darah tinggi.