Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

STATUS EPILEPTIKUS
A. DEFINISI
Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas
kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus. Status
epileptikus adalah gawat darurat medik yang memerlukan pendekatan terorganisasi
dan terampil agar meminimalkan mortalitas dan morbiditas yang menyertai (Haslam.
2010).
Epilepsy foundation of america (EFA) mendefinisikan SE sebagai kejang yang
terus menerus selama paling sedikit 30menit atau adanya dua atau lebih kejang
terpisah tanpa pemulihan kesadaran di antaranya. Definisi ini telah diterima secara
luas walaupun beberapa ahli mempertimbangkan bahwa durasi kejang lebih singkat
dapat merupakan suatu SE. untuk alasan praktis pasien dianggap sebagai SE jika
kejang terus menerus lebih dari 5 menit (Sirven. 2013).
Status epileptikus bangkitan umum (GCSE) adalah bangkitan umum y a n g
berlangsung 30 menit atau lebih lama atau bangkitan tonik klonik berulang
yang terjadi lebih dari 30 menit tanpa pulihnya kesadaran diantara tiap bangkitan.
Definisi operasional status epileptikus yang dipakai saat ini untuk dewasa
dan anak yaitu bangkitan yang berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit atau
terdapat 2 atau lebih bangkitan tanpa pulih kesadaran di antaranya (Mastrangelo.
2012).
B. ETIOLOGI
beberapa penyebab utama SE pada anak adalah infeksi (meningitis dan
ensefalitis) demam,
trauma kepala, ketidakpatuhan terhadap obat
antiepilepsi, tumor pada s u s u n a n saraf pusat, trauma serebrovaskular,
ensefalopati hipoksik-iskemia, gangguan elektrolit, dan sindrom neurokutaneous.
Sekitar 25% penyebab SE diklasifikasikan sebagai idiopatik. Sebuah penelitian
prospektif berbasis populasi di amerika serikat telah melakukan stratifikasi penyebab
SE pada anak. Urutan penyebab terbanyak sebagai berikut:
tabel 1. Etiologi terbanyak status epileptikus pada anak.
Akut

Simptomatis akut 17%-52%


Infeksi SSP akut (meningitis bakteri, meningitis viral, ensefalitis)
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia)
Ketidakpatuhan minum obat anti epilepsi
Overdosis obat anti epilepsi

Diluar ketidakpatuhan dan overdosis obat anti epilepsi


Prolonged febrile convulsion (23%-30%)
influenza

Remote symptomatic / simptomatis berulang (16%-39%)


Cerebral Migrational Disorders (lissencephaly, schizencephaly)
Cerbaral Dysgenesis
Perinatal Hypoxic-Ischemic Enchelopathy
Progressive Neurodegenerative Disorders
Idiopatik /Kriptogenik (5%-19%)
( Dikutip dari Singh dan Gaillerd WD.2009).
C. FAKTOR RESIKO
Factor presipitasi ialah factor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:
1. Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan air
panas
2. Faktor sintemis: demam, penyakit infeksi, otot-otot tertentu misalnya golongan
fenotiazin, klorpropamid, hipoglikimia, kelelehan fisik
3. factor mental: stress, gangguan emosi
D. PATOFISIOLOGI
Secara umun epilepsy terjadi karena menurunnya potensial membran sel saraf
akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau toksis, yang selanjutnya
menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut
Beberapa penyelidikan menunjukkan peranan asetilkolin sebagai zat yang
merendahkan potensi membran postsinaptik dalam hal terlepasnya muatan listrik yang
terjadi sewaktu-waktu saja sehingga menifestasi klinisnya pun muncul sewaktuwaktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun dipermukaan otak, maka pelepasan
muatan listrik sel-sel saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel
saraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran awaswaspada lebih banyak asetilkolin yang merembes keluar dari permukaan otak dari
pada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak asetilkolin daripada dalam otak sehat.
Pada tumor serebri atau adanya sikatrits setempat pada permukaan otak sebagai gejala
sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio, serebri atau trauma lahir, dapat terjadi
penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu pada tempat itu akan terjadi
lepas muatan listrik sal-sal saraf. Penimbunan asetilkolin setempat harus mencapai
konsentrasi tertentu untuk daspat merendahkan potensi membran sehingga lepas
muatan listrik dapat terjadi. Hal ini merupakan mekanis epilepsy fokal yang biasanya
simptomatik.
Pada epilepsy idiomatic, tipe grand mal, secara primer muatan listrik dilepaskan
oleh Nuklei intralaminares talami, yang dikenal juga sebagai inti centrecephalic. Inti
ini merupakan terminal dari lintasan asendens aspesifik atau lintasan esendens
ekstralemsnikal. Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen aspesifik itu
menentukan derajad kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input maka timbullah

koma. Pada grandmal, oleh Karena sebab yang belum dapat dipastikan, terjadilah
lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara berlebih. Perangsangan
talamokortikal yang berlebih menghasilkan kejang seluruh tubuh dan sekaligus
menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran menerima impuls aferen dari
dunia luar sehingga kesadaran hilang.
Hasil penelitian menujukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di bagian
rostral dari mesensefalon yng dapat melakukan blokade sejenak terhadap inti-inti
intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai kejang-kajang
pada otot skeletal, yang dikenal sebagai petit mal .
E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala berupa:
Suhu anak tinggi
Anak pucat/diam saja
Mata terbelalak keatas disertai kekakuan dan kelemahan
Umumnya kejang berlangsung singkat
Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan atau
kekakuan fokal
Serangan tonik klonik (dapat berhenti sendiri)
Kejang dapat diikuti sementara berlangsung beberapa menit
Sering kali kejang berhenti sendiri
(Arif Mansjoer. 2010).
Menurut Commusion of Classification andf Terminologi of the International League
against Epilepsi (ILAE), klasifikasi epilepsy sebagai berikut:
1. Sawan parsial (fokal,local)
a. Sawan parsial sederhana: sawan parsial dengan tetap kesadaran normal
Dengan gejala motorik
o Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
o Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas kebagian lain. Disebut juga epilepsi Jacksen
o Versif: sawan disertai gerakan memutar kapala, mata, tubuh
o Postural sawan disertaidengan lengat atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
o Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial: sawan disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kalima panca indra dan bangkitan yang
disertai vertigo
o somatosensorik: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum
o visual: terlihat cahaya
o auditoris: terdengar sesuatu
o olfaktoris: terhidu sesuatu
o gustatoris: terkecap sesuatu
o disertai vertigo

Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,


pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi pupil)
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
o disfasia: ganguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau
bagian kalimat
o dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat,atau sebaliknya tidak pernah
mnegalami,mendangar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin
mendadak mengingat suatu peristiwa dimasa lalu, merasa seperti melihat
lagi.
o Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
o Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut.
o Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau
lebih besar
o Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik
melihat sesuatu fenomena tertentu dan lain-lain
b. Sawan parsial komplek
Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mulamula baik kemudian baru menurun.
o Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti golongan
A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
o Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-geraka, perilaku yang
timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah,
menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti ketakutan,
menata-nata sesuatu, memegang-megang kancing baju, berjlan,
mengembara tak menentu, berbicara dan lain-lain.
Dengan penuruna kesadaran sejak serangan: kesadaran menurun sejak
permulaan serangan.
o Hanya dengan penurunan kesadaran.
o Dengan automatisme.
c. Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,
tonik, klonik)
Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
Sawan parsial kompleks yang berkembang menjdi bangkitan umum.
Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial komplek selalu
berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Sawan umum (konfulsif atau non konfulsif)


a. Sawan Lena (Absance)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak
menbengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak
bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama - menit dan biasanya
dijumpai pada anak.
Hanya penurunan kesadaran.
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya dijumpai
pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot leher, lengan
tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak lunglai.
Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstrenitas,
leher atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengentul atau mengendang.
Dengan automatisme.
Dengan komponen autonom..
b. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot, sekali atau berulang-ulang. Bangkitan ini
dapat dijumpai pada semua umur.
c. Sawan klonik
Pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelonjot.
Dijumpai tertutama sekali pada anak.
d. Sawan tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku, juga
terdapat pada anak.
e. Sawan tonik-klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur diatas balita yang terkenala dengan nama
grandmal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh
badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira - menit diikuti kejang
otot-otot seluruh badang. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan
nafas menjadi dlam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika
kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan nafas. Mungkin
pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien
tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih
rendah atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah,
nyeri kepala.
f. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali
dijumpai pada anak.
3. Sawan tak tergolongkan

Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang
ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil atau
pernafasan yang mendadak berhenti sementara.
F. PEMERIKSAAN PENUN,ANG
Anamnesis
Riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang sifat kejang
(fokal, umum, tonik-klonik) tingkat kesadaran diantara kejang, riwayat kejang
sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga, demam, riwayat persalinan, tumbuh
kembang, dan penyakit yang sedang diderita.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan
pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat
peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan dll. Sistem motorik yaitu
parestesia, hipestesia, anestesia.
Pemeriksaan penunjang
o Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi ginjal
dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka dilakukan kultur
darah dan
o 1maging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural diotak
o EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat mungkin jika
pasien mengalami gangguan mental
o fungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau perdarahan
subarachnoid.
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu kapasitas
dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa fan
pengobatan psikososial.
1. Pengobatan medikamentosa
Pada epilepsi yang simtomatis di mana sawan yang timbul adalah manifestasi
penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolic, maka di
samping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan pula terapi kausal. Beberapa
prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:
Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencetusnya,
pemberian obat harus dipertimbangkan.
Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien
mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama.
Obat yang diberikan sisesuaikan dengan jenis sawan.
Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan
berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi obat.
Dosis obat disesuaikan secara individual.
Evaluasi hasilnya.
Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:

o Salah etiologi: kelaianan metabolisme, neoplasma yang tidak terdeteksi,


adanya penyakit degenerates susunan saraf pusat
o Pemberian obat antiepilepsi yang tepat.
o Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur.
o Faktor emosional sebagai pencetus.
o ermasuk intractable epilepsi.
Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2 3 tahun.
Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya.
2. Pengobatan Psikososial.
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian
besar akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani
pengobatannya sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja dan
bermasyarkat secara normal.
3. Penatalaksanaan status epileptikus
Lima menit pertama
o Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan
berikutnya,
o Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan
nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
o Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
o Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia darah,
hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50% bolas
intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin
intravena.
Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit
sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat
diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin.
Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada dewasa dan
1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama
pemberian.
Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan fenitoin
tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status menetap, berikan
20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit. Bila apne,
berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap, anestasia umum
dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.
4. Perawatan pasien yang mengalami kejang :
Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
(pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang memerlukan waktu
untuk mengamankan, mencari tempat yang aman dan pribadi

Pasien dilantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk


mencegah cidera dari membentur permukaan yang keras.
Lepaskan pakaian yang ketat
Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.
Jika pasien ditempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan
diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk
memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat terjadi
karena tindakan ini.
Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena kontraksi
otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala fleksi
kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran salifa
dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk membersihkan
secret
Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah
aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode ekonfusi
setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi selama atau secara
tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap
lingkungan

H. PROGNOSIS
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan terbebas serangan paling sedikit 2
tahun dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien
tidak mengalami sawan lagi, dikatkan telah menglami remisi. Diperkirakan 30 %
pasien tidak akan menglami remisi meskipun minum obat teratur.
Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat
pada sawan tonik-klonik dan sawan paarsial kompleks. Demikian pula usia muda
lebih mudah menglami relaps sesudah remisi.

I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Idenditas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,
alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomer register, tanggal pengkajian dan
diagnosa medis.
b. Keluhan utama klien masuk dengan kejang dan disertai demam
c. Riwayat penyakit : klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psikospiritual. kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. frekuansi serangan, ada
faktor presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah
pernah menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera
otak, operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-obat penenang atau
obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol. Klien mengalami gangguan
interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu, merasa rendah diri,
ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu waspada dan berhatihati dalam hubungan dengan orang lain
Riwayat kesehatan
Riwayat keluarga dan kejang
Riwayat kejang demam
Tumor intrakranial
Trauma kepala terbuka
d. Riwayat kejang
Bagaimana frekuensi kejang
Gambaran kejang seperti apa
Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal
Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
Apakah ada kehilangan kesadaran atau lena
Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh kelantai
e. Pemeriksaan fisik
Kepala dan leher :sakit kepala. Leher kaku
Thoraks :pada klien sesak biasanya menggunakan otot bantu napas.
Ekstremitas : keletihan,kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktifitas,
perubahan tonus otot, kontraksi otot.
Eliminasi : peningkatan tekanan kandung kemih dan tpnus sfingter, pada post
iktal terjadi inkontinensia (utine /fekal) akibat otot relaksasi
Sistem pencernaan : sensitivitas terhadap makanan, mual/muntal yang
berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak.
f. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
2. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,
kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan
diri.

4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan


dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi
informasi.
g. Intervensi
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama pasien tidak
mengalami gangguan pola napas dengan kriteria hasil :
RR dalam batas normal sesuai umur
Nadi dalam batas normal sesuai umur
Intervensi

Rasional

1. Tanggalkan pakaian pada daerah

Memfasilitasi

usaha

leher/dada, abdomen
bernapas/ekspansi dada
2. Masukkan spatel lidah/jalan napas Dapat mencegah tergigitnya
buatan
lidah, dan memfasilitasi saat
melakukan
penghisapan
lendir,
atau
memberi
sokongan pernapasan jika
diperlukan
3. Lakukan penghisapan sesuai sesuai Menurunkan risiko aspirasi
indikasi
atau asfiksia
Kolaborasi
Kolaborasi
1. Berikan tambahan O2
Dapat menurunkan hipoksia
serebral
1. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawtan selama nyeri klien
berkurang dengan kriteria hasil:
Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan
rasa nyeri yang dialami
Klien tidak menangis lagi
Wajah klien tampak ceria
Intervensi
1. Kaji PQRST dengan menggunakan
media gambar
2. Berikan posisi yang nyaman sesuai
kebutuhan
3. Berikan lingkungan yang nyaman
bagi klien
4. Libatkan
keluarga
untuk
mendampingi klien
5. Kolaborasi untuk pemberian obat

Rasional

analgesic
6. Pengkajian yang benar akan
membantu dalam
menentukan
tindakan keperawtan selanjutnya
7. Posisi
yang
nyaman
dapat
memberikan efek malsimal untuk
relaksasi otot
8. Kehadiran keluarga memberikan
efek psikologis pada anak untuk
mengurangi nyeri
9. Rangsang yang berlebihan dari
lingkungan dapat memperberat rasa
nyeri
10. Obat analgesic dapat meminimalkan
rasa nyeri

2. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran,


kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan
diri.
Kriteria hasil :
Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien
Kriteria pengkajian fokus makna klinis :
Riwayat kejang
Tingkatan kejangnya
Intervensi

Rasional

1. Kaji karakteristik kejang

Untuk mngetahui seberapa besar


tingkatan kejang yang dialami pasien
sehingga
pemberian
intervensi
berjalan lebih baik

2. Jauhkan pasien dari benda bendaBenda

tajam /
pasien

membahayakan

tajam dapat melukai dan


bagimencederai fisik pasien

3. Segera letakkan sendok di mulutDengan meletakkan sendok diantara

pasien
pasien

yaitu

diantara

rahangrahang atas dan rahang bawah, maka


resiko pasien menggigit lidahnya tidak
terjadi dan jalan nafas pasien menjadi
lebih lancer
4. Kolaborasi dalam pemberian obatObat anti kejang dapat mengurangi
anti kejang
derajat kejang yang dialami pasien,
sehingga resiko untuk cidera pun
berkurang

3. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi


Tujuan :
pengetahuan keluarga meningkat
keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi
keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi
klien.
Kriteria pengkajian focus
1. Kaji

tingkat
keluarga klien.

2. Kaji

tingkat
keluarga klien.

Makna klinis
pendidikan

pengetahuan

3. Jelaskan pada keluarga klien

tentang
penyakit
kejang
demam melalui penkes.
4. Beri kesempatan pada keluarga
untuk menanyakan hal yang
belum dimengerti.
5. Libatkan keluarga dalam setiap
tindakan pada klien.

pendidikan merupakan salah

satu faktor penentu tingkat


pengetahuan seseorang
untuk mengetahui seberapa
jauh informasi yang telah
mereka
ketahui,sehingga
pengetahuan yang nantinya
akan diberikan dapat sesuai
dengan kebutuhan keluarga
untuk
meningkatkan
pengetahuan
untuk mengetahui seberapa

jauh informasi yang sudah


dipahami
agar
keluarga
dapat
memberikan
penanngan
yang tepat jika suatu-waktu
klien mengalami kejang
berikutnnya.

DAFTAR PUATAKA
Darto Saharso. 2010. Status Epileptikus Divisi Neuropediatri Bag./ SMF Ilmu
Kesehatan Anak Fk-Unair/ RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Huff Steven. 2013. Status Epilepticus. Available from / http/99emedicine.medscape.com.
Mansjoer. Arif dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius. Jakarta FKUI.
Kegawadaruratan pada anak. UKK Pediatri Gawat Darurat 1katan Dokter 1ndonesia. Tata
Laksana Syok Pada Anak. ,Manado: Juli 2011.
Rekomendasi Tata Laksana Syok berdasarkan Ikatan Dokter Anak Indonesia No.004/Rek/PP
IDAI/III/2014 http//www. idai.com.
Mastrangelo MC. A diagnostic work-up and therapeutic options in management of pediatric
status epilepticus. World J Pediatr. 2012:8:2.
Kravljanac R. Jovic N, Djuric M , Jankovic B , Pekmezovic T. Outcome of status epilepticus
in children treated in the intensive care unit a study of 302 cases. Epilepsia.
201:52(2):358:63.

Anda mungkin juga menyukai