Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa virus, bakteri, dan jamur yang masuk
1,2
secara aerogen atau foodborn. Berdasarkan waktu berlangsung (lamanya) penyakit, tonsilitis
terbagi menjadi 2, yakni tonsilitis akut jika penyakit (keluhan) berlangsung kurang dari 3
minggu dan tonsilitis kronis jika inflamasi atau peradangan pada tonsil palatina berlangsung
3,4
lebih dari 3 bulan atau menetap. Infeksi terjadi terus-menerus karena kegagalan atau
5
ketidaksesuaian pemberian antibiotik.
Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan tonsilitis akut yaitu
6
bakteri aerob Gram positif (yang paling sering) dan Gram negatif. Tonsilitis dapat menyebar
dari orang ke orang melalui kontak tangan, menghirup udara setelah seseorang dengan tonsilitis
bersin atau berbagi peralatan seperti sikat gigi dari orang yang terinfeksi. Anak-anak dan
remaja usia sekolah adalah yang paling mungkin untuk menderita tonsilitis, tetapi dapat
menyerang siapa saja. Beberapa literatur menyebutkan tonsilitis kronis sering terjadi pada usia
7-9
5-20 tahun.
Ukuran tonsil dan adenoid sangat kecil ketika anak lahir. Jaringan adenoid dan tonsil
cenderung kecil pada usia <7 tahun, bertambah besar pada usia 7-15 tahun dan cenderung
10,11
mengecil usia tua. Ukuran tonsil hipertrofi dari beberapa penelitian ditemukan terbanyak
pada jenis kelamin laki-laki. Hipotesis sementara menyebutkan beberapa kemungkinan, namun
1
kesimpulan yang didapatkan masih belum jelas.
Pada tonsil hipertrofi dapat menyebabkan keadaan emergensi berupa obstruksi saluran
napas yang merupakan indikasi absolut untuk tindakan tonsilektomi. Tonsil merupakan
jaringan limfoid yang berperan membantu sistem imunitas. Pada tonsillitis kronis terjadi
infeksi yang menetap atau berulang. Tonsil yang berulang kali terkena infeksi suatu saat tidak
dapat membunuh semua kuman, akibatnya kuman bersarang di dalam tonsil (fokal infeksi).
Adanya infeksi berulang dan fokal infeksi menyebabkan tonsil bekerja keras melawan kuman
dengan memproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga ukuran tonsil akan membesar dengan
cepat melebihi ukuran normal.4 Pada tonsillitis kronis terjadi infiltrasi limfosit ke epitel
permukaan tonsil. Peningkatan jumlah sel plasma di dalam subepitel maupun di dalam jaringan
interfolikel. Hiperplasia dan pembentukan fibrosis dari jaringan ikat parenkim dan jaringan
limfoid mengakibatkan terjadinya hipertrofi tonsil.13 Ukuran tonsil hipertrofi dapat
menimbulkan berbagai keluhan dan gejala seperti rasa tidak nyaman atau rasa mengganjal di
tenggorokan, kesulitan menelan dan terutama bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas yang
ditandai dengan tidur mendengkur, sering mengantuk, gelisah, perhatian kurang dan prestasi
belajar menurun.4
Penatalaksanaan tonsilitis meliputi medikamentosa dan operatif. Terapi
medikamentosa yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur ditujukan untuk mengatasi
infeksi yang terjadi baik pada tonsilitis akut, maupun tonsilitis rekuren atau tonsilitis kronis
8
eksaserbasi akut. Penatalaksanaan operatif dengan tindakan tonsilektomi dilakukan apabila

terjadi infeksi berulang atau kronis, gejala sumbatan tenggorok serta kecurigaan neoplasma.1

TONSILEKTOMI
3.2.1 Definisi

2,3
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring
yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal..

3.2.2 Epidemiologi
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan
berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan
ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya.5 Di AS karena kekhawatiran
komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor.6,7 Di Indonesia, tonsilektomi
digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.8

Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi,
9
adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka ini
menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000
anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari
jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%)
menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang
dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000 pada
7
tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996 (3.200 operasi).
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi
belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-2003)
menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga
terlihat pada jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua
10
(275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah
sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan
11
jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.

3.2.3. Indikasi Tonsilektomi

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas
relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan
untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi
9
saluran napas dan hipertrofi tonsil.

Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah
tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan
non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah
kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan
13
tonsilektomi.

x6
1. Indikasi Absolut (AAO)

- Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,


gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner

- Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase

- Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

- Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

x6
2. Indikasi Relatif (AAO)

- Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
- Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis

- Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik -laktamase resisten

Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat
dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.8 Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk
pasien dewasa harus dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya
sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut
untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas
indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik
tidak sama, gejala

dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil (cryptic tonsillitis) dan
pada keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak
enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat
dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan
sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup
15
walaupun tidak mengancam nyawa.

3.2.4 Kontraindikasi

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya
dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan
risiko. Keadaan tersebut adalah gangguan perdarahan risiko anestesi yang besar atau penyakit

berat serta anemia Infeksi akut yang berat

3.2 Teknik Tonsilektomi

Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya
merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome
5
merupakan alat yang dirancang untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi. Hingga
kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih banyak digunakan. Hingga dikatakan bahwa
teknik Guillotine merupakan teknik tonsilketomi tertua yang masih aman untuk digunakan
hingga sekarang. Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan cara ini, namun di
beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia, terutama di daerah masih lazim
dilkukan cara ini dibandingkan cara diseksi. Kepustakaan lama menyebutkan beberapa
21
keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi anestesi kecil, biaya kecil.

Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Hanya sedikit ahli
22
THT yang secara rutin melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder. Di negara-negara
Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada
posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak
mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan pada pasien
x11
anak. Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan desain yang
lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak berubah. Pasien
menjalani anestesi umum (general endotracheal anesthesia).

29
3.3. Teknik Anastesi

Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi
kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah, dokter
anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi
umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan
tujuan untuk pendidikan.

30
3.3.1 Premedikasi

Pemberian premedikasi ditentukan berdasarkan evaluasi preoperasi. Saat pemberian obat


premedikasi dilakukan setelah pasien berada di bawah pengawasan dokter/perawat terlatih.
Anak- anak dengan riwayat sleep apneu atau obstruksi saluran napas intermitten atau dengan
tonsil yang sangat besar harus lebih diperhatikan.

3.3.2 Anestesi Umum

Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsiloadenoidektomi. Obat anestesia eter tidak
boleh digunakan lagi jika pembedahan menggunakan kauter/diatermi. Teknik anestesi yang
dianjurkan adalah menggunakan pipa endotrakeal, karena dengan ini saturasi oksigen bisa
31
ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dosis obat anestesi dapat dikontrol dengan mudah.

30,31
3.3.3 Anestesi Endotrakea

Pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang elektroda dada untuk monitor ECG
(bila tidak ada, dapat menggunakan precordial stetoskop). Manset pengukur tekanan darah

dipasang di lengan dan infus dextrose 5% atau larutan Ringer dipasang di tangan.

Jika sulit mencari akses vena pada anak kecil, induksi anestesi dilakukan dengan halotan.
Karena halotan menyebabkan dilatasi pembuluh darah superfisial, infus menjadi lebih mudah

dipasang setelah anak tidur .

Intubasi endotrakea dilakukan dalam anestesi inhalasi yang dalam atau dibantu dengan
pelemas otot nondepolarisasi kerja pendek. Untuk menghindari masuknya darah ke dalam
trakea, jika ETT tidak memiliki cuff, perlu diletakkan kasa bedah di daerah supraglotik tepat

di atas pita suara dan sekitar endotrakeal tube.

Selama maintenance, pernapasan dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).

Antisialalogue (atropin) dapat diberikan untuk meminimalkan sekresi di lapangan operasi.

Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap (suction), dilakukan

oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi, dipasang pharyngeal airway dan
oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup. Ekstubasi dapat dilakukan bila pasien sudah sadar,
32
dimana jalan napas sudah terjagabebas (intact protective airway reflexes). Ekstubasi juga
dapat dilakukan saat pasien masih dalam anestesi dalam. Pemberian lidocaine 1-1.5 mg/kg IV

bisa mengurangi risiko batuk dan laringospasme pada saat ekstubasi.

Pasien kemudian dibaringkan dengan dengan posisi lateral dengan kepala lebih rendah
daripada panggul (tonsil position) sehingga memudahkan sisa-sisa darah mengumpul di sekitar

pipi dan mudah dihisap keluar. Kejadian mual dan muntah setelah tonsilektomi adalah

sebesar 60% sehingga dapat diberikan antiemetik sebagai pencegahan.

31
3.3.4 Modifikasi Crowe-Davis mouth gag
Keberatan dokter ahli THT tentang penggunaan intubasi endotrakeal adalah karena pipa ETT
menyita lapangan operasi. Dengan modifikasi Crowe-Davis mouth gag ETT dapat diletakkan
pada celah sepanjang permukaan bawah dari bilah lidah. Sehingga lapang operasi menjadi
bebas.

Selama operasi yang harus dipantau adalah jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik tidak
mengganggu operasi,pernapasan dan gerak dada cukup, saturasi oksigen di atas 95%,denyut
nadi yang teratur serta jumlah perdarahan dan jumlah cairan infus yang masuk. Alat monitoring
tambahan yang dianjurkan adalah pulse oxymetri.

3.3.5 Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan (PACU-Post anesthesia care unit)

Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil. Yaitu dengan berbaring ke kiri dengan
33
posisi kepala lebih rendah dan mendongak. Pasien diobservasi selama beberapa waktu di
ruang pemulihan untuk meminimalkan komplikasi selain untuk memaksimalkan efektivitas
biaya dari pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang menjalani tonsilektomi sudah bisa pulang
pada hari yang sama untuk pasien-pasien yang telah diseleksi secara tepat sebelumnya. Belum
ada kesepakatan mengenai lama observasi optimum sebelum pasien dipulangkan. Umumnya,
30
observasi dilakukan selama minimal 6 jam untuk mengawasi adanya perdarahan dini.

Evaluasi keadaan/status pasien di unit perawatan pascaanestesi (PACU) memerlukan dokter


spesialis anestesi, perawat dan dokter ahli bedah yang bekerja sebagai sebuah tim. Bersama-
sama, dilakukan observasi adanya masalah terkait medis, bedah dan anestesi dengan tujuan
dapat memberikan terapi secara cepat sehingga dapat meminimalkan efek komplikasi yang
timbul.

Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi respirasi,
frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Frekuensi pemeriksaan
tergantung kondisi pasien, namun paling sering dilakukan setiap 15 menit untuk jam pertama
dan selanjutnya setiap setengah jam.

3.3.6 Perawatan Pasca Operasi

Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet. Belum ada bukti ilmiah yang secara jelas
menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa akan menyebabkan perdarahan postoperatif.
Bagaimanapun juga, pemberian cairan secara rutin saat pasien bangun dan secara bertahap
pindah ke makanan lunak merupakan standar di banyak senter. Cairan intravena diteruskan
sampai pasien berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai intake oral. Kebanyakan
pasien bisa memulai diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dan bisa dipulangkan.
Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral secara adekuat, muntah berlebihan atau
perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien dalam keadaan stabil. Pengambilan
keputusan untuk tetap mengobservasi pasien sering hanya berdasarkan pertimbangan perasaan
ahli bedah daripada adanya bukti yang jelas dapat menunjang keputusan tersebut.

Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi randomized
oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan antara berkurangnya nyeri dan bau mulut
pada pasien yang diberikan antibiotika postoperasi. Antibiotika yang dipilih haruslah
antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut, biasanya penisilin yang diberikan per oral.
Pasien yang menjalani tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki
riwayat faringitis berulang akibat streptokokus harus diterapi dengan antibiotika. Penggunaan
antibiotika profilaksis perioperatif harus dilakukan secara rutin pada pasien dengan kelainan
jantung.

Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia yang


berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake oral karena letargi. Selain itu juga bisa
menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum operasi, pasien harus
dimotivasi untuk minum secepatnya setelah operasi selesai untuk mengurangi keluhan
pembengkakan faring dan pada akhinya rasa nyeri.

3.4. Komplikasi

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal,
sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah
dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat
35
perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi. Komplikasi terkait
anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi dan adenoidektomi
(brookwood ent associates). Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi, mual
muntah, kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi ,Induksi intravena dengan

pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan henti jantung dan Hipersensitif terhadap obat
anestesi 32

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, tonsilitis, dan hipertrofi adenoid. Buku Ajar
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011.
hlm. 217-25.
2. Siswantoro B. Pengaruh tonsilektomi terhadap kejadian bakteremia pasca operasi.
Semarang: Universitas Diponegoro; 2003.
3. Judarwanto W. Operasi amandel atau tonsilektomi: komplikasi dan kontroversi
indikasi. Indonesian Children dalam Koran Indonesia Sehat [serial online] 2010
(diunduh 17 September 2013). Tersedia dari: URL : HYPERLINK http://koran
indonesiasehat.wordpress.com.
4. Farokah. Hubungan tonsilitis kronis dengan prestasi belajar pada siswa kelas II sekolah
dasar di Kota Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro; 2005.
5. Raju G, Selvam EM. Evaluation of microbial flora in chronic tonsilitis and the role of
tonsillectomy. Bangladesh J Otorhinolaryngol. 2012;18(2):109-13.
6. Nurjannah Z. Karakteristik penderita tonsilitis kronis di RSUP H. Adam Malik Medan
tahun 2007- 2010. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011.
7. National Health Service. Tonsillitis. 2010 (diunduh 31 Agustus 2013). Tersedia dari:
URL: HYPER LINK http://www.nhs.uk/Conditions/Tonsillitis.
8. Edgren AL, Davitson T. Sore throat. Journal of the American Assosiation.
2004;13:1664-78.
9. Kurien M, Stanis A, Job A, Brahmadathan, Thomas K. Throat swab in the chronic

tonsillitis: how reliable and valid is it?. Singapore Med J. 2000; 41(7):324-6.

10. Akcay A, Kara CO, Dagdeviren E, Zencir M. Variation in tonsil size in 4 to 17 year old
schoolchildren. The Journal of Otolaryngology. 2006;35(4):270-4.
11. Crombie IK, Barr G. An investigation into factors that may influence tonsil

morphology. Journal of the Royal Society of Medicine. 1990;83:20-1.

12. Abouzied A, Emad M. Sex differences in tonsillitis. Dalhousie Medical Journal.

2008;35(1):8-11.

13. Novialdi, Pulungan MR. Mikrobiologi tonsilitis kronis. Padang: Universitas Andalas;
2012 (diunduh 4 Maret 2013). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://repository.unand.ac.id.
14. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical treatment for
chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue

3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.

15. Larizgoita I. Tonsillectomy: scientific evidence, clinical practice and uncertainties.

Barcelona: CAHTA 1999

16. Mathews J, Lancaster J, Sherman I, Sullivan GO. Historical article guillotine


tonsillectomy: a glimpse into its history and current status in the United Kingdom. The

Journal of Laryngology and Otology 2002;116:988-91

17. Darrow DH, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy.

Laryngoscope 2002;112:6-10

18. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE, Kurs-Lasky M.
Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat infection in moderately affected

children. Pediatrics 2002;110:7-15

19. Hasil rapat Tim Ahli Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa, HTA Indonesia.

20. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy. Laryngoscope

2002;112:3-5

21. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 1999-2003 Bagian THT FKUI-RSUPNCM.

22. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 2002-2004 RS Fatmawati.

23. Berkowitz RG, Zalzal GH. Tonsillectomy in children under 3 years of age. Arch

Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 116:685-6.[Abstract]

24. Bhattacharya N. When does an adult need tonsillectomy? Cleveland Clinic Journal of
Medicine 2003:70;698-701

25. Nawawi F. Studi Perbandingan cara Guillotine dan Diseksi. FKUI 1990
26. Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook MJ.
Anesthesia for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal intubation and the
armoured laryngeal mask airway. Can J Anaeth 1993;40:757-8 [Abstract]
27. Practice advisory for preanesthesia evaluation. A report by the American Society of
anesthesiologists task force on preanesthesia evaluation. 2003.
28. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote CJ, Todres
ID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia for infants and
children. Philadelphia: WB Saunders Company 2001. 3rd ed.p.461-67.
29. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Snow JC. Anesthesia in otolaryngology and
ophthalmology.USA:Charles C Thomas 1979.p.245-57.
30. Joseph MM. Anesthesia for ear, nose, and throat surgery. In: Longnecker DE, Tinker
JH, Morgan GE,editors. Principles and practice of anesthesiology. London: Mosby
1998.2nd ed.p.2208-10.
31. Keith Allman, Iain Wilson. Oxford Handbook of Anaesthesia, 1 st Edition. Oxford
University Press, 2001, 517
32. Frey RJ. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the Gale Group

Anda mungkin juga menyukai