Disusun Oleh:
Bella Ardhilia Damayanti J510185032
Muhammad Fatwa Rizkiyan J510185033
Oktein Satriyani J510185055
RSUD KARANGANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS REFERAT
TERAPI CAIRAN PADA PASIEN TRAUMA KEPALA (EDEMA
CEREBRI), DECOMPENSASI CORDIS, DAN DIABETES MELLITUS
YANG AKAN DILAKUKAN ANESTESI
Diajukan Oleh :
Bella Ardhilia Damayanti J510185032
Muhammad Fatwa Rizkiyan J510185033
Oktein Satriyani J510185055
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari………………….
Penguji :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)
Dipresentasikan di hadapan :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................................................... i
Lembar Pengesahan ................................................................................................ ii
Daftar Isi................................................................................................................. iii
Kata Pengantar ....................................................................................................... iv
Bab I Pendahuluan .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ ......1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................... 2
Bab II Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 3
A. Dasar Terapi Cairan Peroperatif ................................................................... 3
B. Pilihan Jenis Cairan ...................................................................................... 6
I. Terapi Cairan Pada Pasien Trauma Kepala (Edema Cerebri) Yang Akan
Dilakukan Anestesi ....................................................................................... 7
II. Terapi Cairan Pada Pasien Decompensasi Cordis Yang Akan Dilakukan
Anestesi ...................................................................................................... 10
III. Terapi Cairan Pada Pasien Diabetes Mellitusyang Akan Dilakukan
Anestesi ........................................................................................................ 12
Bab III Penutup ....................................................................................................... 1
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 3
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkanrahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat dengan judul “Terapi Cairan Pada Pasien Trauma Kepala (Edema Cerebri),
Decompensasi Cordis, Dan Diabetes Mellitus Yang Akan Dilakukan Anestesi”.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh
kepaniteraan di bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan yang turut
memberikan bantuan, bimbingan, kritik maupun saran dalam penyusunan
referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih ada
banyak kekurangan, karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan untuk perbaikan dan memperluas wawasan penulis. Semoga
referat ini dapat memberi tambahan pengetahuan bagi penulis khususnya, dan
manfaat bagi pembaca umumnya.
Penulis
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terapi cairan adalah tindakan untuk memelihara, mengganti milleu interiur
dalam batas batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid
(plasma expander) secara intravena. Defisit cairan perioperatif timbul sebagai
akibat puasa pra-bedah yang kadang-kadang dapat memanjang, kehilangan cairan
yang sering menyertai penyakit primernya, pendarahan, manipulasi bedah, dan
lamanya pembedahan yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau
translokasi cairan. Pada periode pasca bedah kadang-kadang pendarahan dan atau
kehilangan cairan (dehidrasi) masih berlangsung, yang tentu saja memerlukan
perhatian khusus.
Puasa pra-bedah selama 12 jam atau lebih dapat menimbulkan defisit
cairan (air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang dewasa. Gejala dari
defisit cairan ini belum dapat dideskripsikan, tetapi termasuk didalamnya adalah
rasa haus, perasaan mengantuk, dan pusing kepala. Gejala dehidrasi ringan ini
dapat memberikan kontribusi terhadap memanjangnya waktu perawatan di rumah
sakit. Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra
bedah, selama pembedahan dan pasca bedah dimana saluran pencernaan
belum berfungsi secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal
harian. Terapi dinilai berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda
hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru
dan gagal nafas.
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan
masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana terapi cairan pada pasien trauma kepala (edema
cerebri) yang akan dilakukan anestesi?
2. Bagaimana terapi cairan pada pasien decompensasi cordis yang
akan dilakukan anestesi?
3. Bagaimana terapi cairan pada pasien diabetes mellitus yang akan
dilakukan anestesi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui terapi cairan pada pasien trauma kepala (edema
cerebri) yang akan dilakukan anestesi.
2. Untuk mengetahui terapi cairan pada pasien decompensasi cordis
yang akan dilakukan anestesi.
3. Untuk mengetahui terapi cairan pada pasien diabetes mellitus yang
akan dilakukan anestesi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cairan
Intraseluler
(40%)
Cairan Tubuh
Plasma Darah
(60%)
Cairan
Ekstraseluler
(20%)
Cairan Interstisiil
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam
pemberian cairan perioperatif, yaitu :
3
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada
penderita bedah elektif (sekitar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal
yang seringkali menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare,
diuresis berlebihan , translokasi cairan pada pasien dengan trauma).
a. Perdarahan
b. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang
lebih menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi
dan translokasi cairan internal. Kehilangan cairan akibat
penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan
dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan
cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau
sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler.
Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi
dapat mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan interstisial dan
perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen usus.
Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler
meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara
membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan
dalam kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional
cairan dalam ruang ekstraseluler.
5
3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam
untuk pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.
4. Penggantian darah yang hilang
Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV=Estimated
Blood Volume=taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala
hipotensi, takikardi dan penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi
tubuh ini akan mengalami pembiusan (anestesi) sehingga gejala-gejala
tersebut seringkali tidak begitu tampak karena depresi komponen
vasoaktif. Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan
dengan laruatan kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus
menjadi bahan pertimbangan.
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
“plasma substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotuik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh
karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara
cepat terutama pada syok hipovolemik/hemorhagik atau pada penderita
dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal
luka bakar).
Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat
menyebabkan gangguan pada “cross match”.
7
terapi alternatif yang potensial untuk terapi hipertensi intrakranial.
Pemberian obat hiperosmolar pada pasien cedera kepala berat
bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam daerah interstisial otak
akibat efek hiperosmolarnya sehingga terjadi penurunan tekanan
intrakranial meskipun terdapat beberapa mekanisme lain yang
kemungkinan juga terlibat dalam terjadinya penurunan tekanan
intrakranial.
Manajemen perioperatif pada pasien cedera kepala fokus pada
stabilisasi dan mencegah cedera sekunder karena sebab sistemik dan
intrakranial. Assessmen preanestesi mencakup (1) Airway dan cervical
spine, (2) Breathing: oksigenasi dan ventilasi, (3) Circulatory Status,
(4) Associated Injury, (5) Status Neurologik (GCS), (6) Penyakit
kronis penyerta, (7) Circumstances of injury: waktu kejadian cedera,
lamanya tidak sadar, riwayat mengkonsumsi alkohol dan obat lain.
Langkah pertama adalah menjaga jalan nafas dan ventilasi yang
adekuat. Intubasi dan ventilasi mekanik dilakukan jika diperlukan,
namun harus dijaga agar tidak terjadi kenaikan tekanan intrakranial.
Setelah jalan nafas terkontrol, fokus penanganan terhadap resusitasi
kardiovaskuler. Hipotensi sering terjadi pada cedera kepala biasanya
karena perdarahan. Keadaan ini harus segera ditangani secara agresif
dengan cairan, koloid, darah, inotropik maupun vaspresor bila perlu.
Hal yang harus diperhatikan dalam resusitasi kardiovaskuler adalah
terjadinya edema serebri. Osmolalitas serum total merupakan kunci
terjadinya edema serebri. Ketika osmolalitas serum menurun maka
akan terjadi edema serebri karena rusaknya sawar darah otak, sehingga
cairan yang hipoosmoler akan menyebabkan peningkatan kadar
air otak. Hipovolemia seringkali tidak tampak pada tekanan darah yang
relatif stabil karena hiperaktivitas simpatis atau respon terhadap
peningkatan TIK. Karenanya resusitasi cairan seharusnya tidak
berdasarkan pada tekanan darah semata, namun juga pada produksi
urine dan tekanan vena sentral. Larutan kristaloid isotonis dan
8
hipertonis maupun koloid dapat diberikan untuk mempertahankan
volume intravaskuler. Darah dan produk darah dapat diberikan jika
kadar hematokrit rendah (< 30%). Larutan yang mengandung glukosa
sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemi dan
perburukan outcome neurologis. Jika tekanan darah dan curah jantung
tidak dapat dikembalikan dengan resusitasi cairan, maka inotropik dan
vasopresor intravena dapat segera diberikan.
B. TERAPI CAIRAN
Prinsip penatalaksanaan decom cordis meliputi mengurangi beban
tekanan, mengurangi kontraktilitas dan mengurangi beban volume. Tujuan
pengendalian volume tubuh adalah tercapainya keseimbangan komposisi
cairan tubuh pada keadaan homeostasis. Pengendalian cairan tubuh dapat
dilakukan dengan penimbangan berat badan yang rutin, penilaian status
10
volume cairan tubuh, pembatasan asupan air dan natrium, dan pemberian
diuretic.
Pada pasien decom cordis, terjadinya penimbunan darah di paru.
Penimbunan ini menurunkan pertukaran O2 dan CO2 antara udara dan
darah di paru sehingga oksigenasi darah di paru berkurang dan terjadi
peningkatan CO2 pembentukan asam di dalam darah. Selain itu, salah satu
konsekuensi serius dari decom cordis khususnya kiri adalah kurangnya
aliran darah ke ginjal. Hal ini menimbulkan reaksi ginjal untuk meretensi
air dan Na. Oleh karena itu pada decom cordis terjadi hipervolemi dan juga
Edema.
Oleh karena pada pasien DECOM CORDIS terjadi peningkatan
cairan, maka kebutuhan cairan pada pasien DECOM CORDIS harus
dikuranggi dari kebutuhan normal. Kebutuhan cairan per hari pada pasien
DECOM CORDIS adalah:
BB x 25 ml/kg
11
Karena kemungkinan pasien hypernatremia, maka rumus diatas
digunakan untuk mencari jumlah cairan hipotonis yang diperlukan untuk
menetralkan kadar Na. Contoh cairannya dextrose 5%.
Pemantauan harus terus dilakukan pada pasien. Pemasukan dan
pengeluaran harus tetap seimbang. Untuk mempermudah dapat dilakukan
dengan rumus:
Pemasukan = Pengeluaran
13
C. Patofisiologi Diabetes Mellitus
14
asidosis. Dengan demikian terdapat tiga faktor yang saling terkait pada KAD,
yaitu hiperglikemia, dehidrasi, dan asidemia.
Terapi
Pada KAD, cairan yang digunakan tidak ada yang pasti. Cairan inisiasi
untuk rehidrasi digunakan cairan normal saline ( NaCl 0,9%) apabila tidak
terdapat kelainan jantung. Pada umumnya pada penderita dewasa terjadi
defisit cairan 3 – 5 liter, atau 15-20 mg/kg/jam atau lebih banyak pada jam
pertama pemberian ( 4 1 – 1,5 liter/jam). Jumlah pemberian inipun harus
menilai status hidrasi, kadar elektrolit dan diuresis( output). Jika penderita
hipernatremia, NaCl 0,45% ( halfstrenght). Apabila diyakini tidak terdapat
gangguan ginjal dapat ditambahkan Kalium 20-30 mEq/l ( 2/3 KCL dan 1/3
KPO4) selama penderita stabil dan mentolerasi suplement peroral.Cairan
Ringer laktat dapat diberikan secara hati hati, mengingat pada penderita KAD
dengan hipovolemia sering kali bersamaan terjadi dengan asidosis laktat.
Keberhasilan pemberian cairan adalah adanya perubahan hemodinamik (
tekanan darah ), mencatat input/ out put cairan, dan perbaikan klinis.
Kekurangan cairan pada 24 jam pertama harus dievaluasi kembali, sebab
tindakan pemberian cairan ini tidak boleh merubah osmolaitas darah
meningkat sebanyak > 3 mOsm/kgH2O/jam. Walaupun masih banyak
kontroversi pemberian insulin, apakah dengan dosis tinggi atau dosis rendah?
Selain menurunkan gula darah juga menurunkan benda keton (ketonemia),
merupakan tindakan yang penting. Kedua terapi insulin dosis rendah atau
tinggi menunjukan efikasi yang sama. Pada umumnya merekomendasikan
pemberian insulin dengan dosis rendah secara kontinju intravena antara 5 – 7
unit perjam ( 0,1 u/kg/jam) dengan tujuan menurunkan gula darah 10-20 %
dalam waktu 2 jam. Jika gula darah menurun secara cepat, infus insulin
diturunkan setengahnya, tetapi apabila kadar gula darah belum dapat
diturunkan dosis dinaikan 2 kali lipat. Pada keadaan penderita memerlukan
dosis insulin sangat tinggi ( 50 -60 u/jam), kondisi ini bisa ditemukan pada
keadaan resistensi insulin akibat kelainan dasar seperti adanya infeksiatau
15
kelainan imunitas. Oleh karena ini pada kondisi tersebut, apabila faktor
infeksinya dapat diatasi, maka akan secara mendadak tidak terjadi resistensi
insulin, sehingga monitor gula darah harus lebih ketat. Pada umumnya, 24-48
jam pertama gula darah tercapai normal dan tidak ditemukan ketonemia,
kemudian insulin drip diganti ke subkutan, makan dan cairan melalui oral.
Sedangkan insulin drip tetap dilanjutkan sampai 2 jam setelah insulin
subkutan. Elektrolit ( Na,K, Mg, Fosfat ) bisa terukur rendah atau tinggi,
disebabkan keadaan kombinasi antara hypovolemia, asidosis, dan defisiensi
insulin. Diuretikosmotik secara signifikan menyebabkan penurunan elektrolit
tubuh secara keseluruhan. Oleh karena itu, penggantian cairan sangat
menentukan hasil akhir. Oleh sebab itu pemberian cairan mengandung natrium
lebih dini diberikan. Kadar natrium darah sendiri sering rendah akibat adanya
hyperglikemia atau hypertrigliseridemia. Adanya perubahan elektrolit, maka
monitor kalium perlu perhatian khusus. Pada awalnya terjadi kadar kalium
serum tinggi, sedangkan cadangan kaliumtubuh menurun. Pada penderita
dengan BAK terus memungkinkan pemberian kalium lebih dini walaupun
kadar kalium normal tinggi. Pemberian cairan dan insulin menurunkan kalium
akibat dilusi dan reequilibrium elektrolit Kalium dengan hidrogen akibat
asidosis disertai proses transport seluler kalium dan fosfat kedalam sel
bersama glukosa. Untuk itu monitoring kalium dapat dilakukan dengan
pengamatan EKG, sering kali penderita membutuhkan kalium 120 – 160 mEq
pada 24 jam pertama pengobatan. Kemudian substitusi kalium diberikan
peroral selama 5-7 hari. Penggunaan bicarbonate dalam pengelolaan KAD
masih terdapat banyak beda pendapat. Apabila pH kurang 7,10 bicarbonate
dapat diberikan; Biasanya diberikan melalui cairan infus ( 44 atau 88 mEq )
atau cairan hipotonik ( 1/3 – ½ NaCl ). Pemberian Bicarbonat tidak diberikan
secara cepat melalui intravena, hal ini akan menimbulkan penurunan kalium
darah. Dengan demikian apabila penderita diberikan cairan bicarbonat
memerlukan pemantauan kadar kalium jauh lebih ketat. Walaupun demikian
sampai saat ini pemberian bikarbonat pada KAD tidak mempengaruhi hasil
pengobatan. Keadaan ini menyebabkan pemberian bikarbonat ini tidak
16
menjadi tindakan rutin dan apabila diperlukan itupun harus dilakukan atas
dasar indikasi yang tepat disertai pemantauan yang ketat.
Terapi
17
BAB III
PENUTUP
Resusitasi cairan pada kasus trauma kepala dengan edema cerebri seharusnya
dapat dilakukan dengan memberikan larutan kristaloid isotonis dan hipertonis maupun
koloid dapat diberikan untuk mempertahankan volume intravaskuler. Darah dan produk
darah dapat diberikan jika kadar hematokrit rendah (< 30%). Larutan yang mengandung
glukosa sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemi dan perburukan
outcome neurologis. Jika tekanan darah dan curah jantung tidak dapat dikembalikan
dengan resusitasi cairan, maka inotropik dan vasopresor intravena dapat segera
diberikan.
Coopans, R. 1994. General Approach to The Treatment of Diabetes in : Kahn CR, Weir
GC, Joslin’s Diabetes Mellitus 13th Ed, Lea&Febiger. pp. 397- 459 2.
Koutkia P, Apovian CO: Nutrition Support in the Critically Ill Diabetic Patient in
Shikora SA, Martindale RG. Schwaitzberg SD. Nutritional Considerations in the
Intensive Care Unit. Kendal/Hunt Publishing Company, 2002 : 175- 186 4.
Latief AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi cairan pada pembedahan. Edisi
kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI, 2002.
Rosenzweig JL, Principle of Insulin Therapy : Kahn CR, Weir GC, Joslin’s Diabetes
Mellitus . 13th Ed, Lea&Febiger, 1994, 461-488 3.
Sherwood, L. (2014). Fisiologi manusia dari sel ke system. Ed. 8. Jakarta: EGC.
Suyasa, Agus. B., Rahardjo, Sri. Penanganan Edema Cerebri Berat dan Herniasi Cerebri
Pada Cedera Kepala Traumatik. JNI 2012 : 1(2): 110-119.