Anda di halaman 1dari 24

TUGAS REFERAT

TERAPI CAIRAN PADA PASIEN TRAUMA KEPALA (EDEMA


CEREBRI), DECOMPENSASI CORDIS, DAN DIABETES MELLITUS
YANG AKAN DILAKUKAN ANESTESI
HALAMAN JUDUL
Pembimbing :
dr. Damai Suri, Sp.An

Disusun Oleh:
Bella Ardhilia Damayanti J510185032
Muhammad Fatwa Rizkiyan J510185033
Oktein Satriyani J510185055

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

RSUD KARANGANYAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS REFERAT
TERAPI CAIRAN PADA PASIEN TRAUMA KEPALA (EDEMA
CEREBRI), DECOMPENSASI CORDIS, DAN DIABETES MELLITUS
YANG AKAN DILAKUKAN ANESTESI

Diajukan Oleh :
Bella Ardhilia Damayanti J510185032
Muhammad Fatwa Rizkiyan J510185033
Oktein Satriyani J510185055

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari………………….

Penguji :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Damai Suri, Sp.An (..................................)

Disahkan Ketua Program Profesi :


Dr. Iin Novita N. M., M.Sc., Sp.PD (..................................)

ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................................................... i
Lembar Pengesahan ................................................................................................ ii
Daftar Isi................................................................................................................. iii
Kata Pengantar ....................................................................................................... iv
Bab I Pendahuluan .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ ......1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................... 2
Bab II Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 3
A. Dasar Terapi Cairan Peroperatif ................................................................... 3
B. Pilihan Jenis Cairan ...................................................................................... 6
I. Terapi Cairan Pada Pasien Trauma Kepala (Edema Cerebri) Yang Akan
Dilakukan Anestesi ....................................................................................... 7
II. Terapi Cairan Pada Pasien Decompensasi Cordis Yang Akan Dilakukan
Anestesi ...................................................................................................... 10
III. Terapi Cairan Pada Pasien Diabetes Mellitusyang Akan Dilakukan
Anestesi ........................................................................................................ 12
Bab III Penutup ....................................................................................................... 1
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 3

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkanrahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat dengan judul “Terapi Cairan Pada Pasien Trauma Kepala (Edema Cerebri),
Decompensasi Cordis, Dan Diabetes Mellitus Yang Akan Dilakukan Anestesi”.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh
kepaniteraan di bagian Anestesi di Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan yang turut
memberikan bantuan, bimbingan, kritik maupun saran dalam penyusunan
referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih ada
banyak kekurangan, karena itu saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan untuk perbaikan dan memperluas wawasan penulis. Semoga
referat ini dapat memberi tambahan pengetahuan bagi penulis khususnya, dan
manfaat bagi pembaca umumnya.

Penulis

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terapi cairan adalah tindakan untuk memelihara, mengganti milleu interiur
dalam batas batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid
(plasma expander) secara intravena. Defisit cairan perioperatif timbul sebagai
akibat puasa pra-bedah yang kadang-kadang dapat memanjang, kehilangan cairan
yang sering menyertai penyakit primernya, pendarahan, manipulasi bedah, dan
lamanya pembedahan yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau
translokasi cairan. Pada periode pasca bedah kadang-kadang pendarahan dan atau
kehilangan cairan (dehidrasi) masih berlangsung, yang tentu saja memerlukan
perhatian khusus.
Puasa pra-bedah selama 12 jam atau lebih dapat menimbulkan defisit
cairan (air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang dewasa. Gejala dari
defisit cairan ini belum dapat dideskripsikan, tetapi termasuk didalamnya adalah
rasa haus, perasaan mengantuk, dan pusing kepala. Gejala dehidrasi ringan ini
dapat memberikan kontribusi terhadap memanjangnya waktu perawatan di rumah
sakit. Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra
bedah, selama pembedahan dan pasca bedah dimana saluran pencernaan
belum berfungsi secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal
harian. Terapi dinilai berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda
hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru
dan gagal nafas.

Pada keadaan tertentu seperti trauma kepala (edema cerebri), decompensasi


cordis, dan diabetes mellitus perlu diperhatikan pemberian terapi cairan sebelum
dilakukan tindakan pembedahan dan anestesi. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis akan membahas terapi cairan pada keadaan tersebut.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan
masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana terapi cairan pada pasien trauma kepala (edema
cerebri) yang akan dilakukan anestesi?
2. Bagaimana terapi cairan pada pasien decompensasi cordis yang
akan dilakukan anestesi?
3. Bagaimana terapi cairan pada pasien diabetes mellitus yang akan
dilakukan anestesi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui terapi cairan pada pasien trauma kepala (edema
cerebri) yang akan dilakukan anestesi.
2. Untuk mengetahui terapi cairan pada pasien decompensasi cordis
yang akan dilakukan anestesi.
3. Untuk mengetahui terapi cairan pada pasien diabetes mellitus yang
akan dilakukan anestesi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Terapi Cairan Peroperatif


Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat
terjadi pada perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa
preoperatif maupun perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang
berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan
anestesi dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar. Seluruh cairan
tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen ekstraseluler dibagi menjadi
cairan intravaskular dan intersisial.

Cairan
Intraseluler
(40%)
Cairan Tubuh
Plasma Darah
(60%)
Cairan
Ekstraseluler
(20%)
Cairan Interstisiil

Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan menjadi pegangan dalam
pemberian cairan perioperatif, yaitu :

1. Kebutuhan normal cairan dan elektrolit harian


Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan ± 30-35
ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/hari K+=1
mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang
hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringan
(lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible
water losses. Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat
hipotonus (air lebih banyak dibandingkan elektrolit).
2. Defisit cairan dan elektrolit pra bedah

3
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada
penderita bedah elektif (sekitar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal
yang seringkali menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare,
diuresis berlebihan , translokasi cairan pada pasien dengan trauma).

3. Kehilangan cairan saat pembedahan

a. Perdarahan
b. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang
lebih menonjol dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi
dan translokasi cairan internal. Kehilangan cairan akibat
penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan
dengan luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan
cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke ruang ketiga atau
sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan intravaskuler.
Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi
dapat mengakibatkan sequestrasi sejumlah cairan interstisial dan
perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen usus.
Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler
meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara
membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan
dalam kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional
cairan dalam ruang ekstraseluler.

4. Gangguan fungsi ginjal


Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan :
- Laju filtrasi Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.
- Reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian disebabkan
oleh meningkatnya kadar aldosteron.
- Meningkatnya kadar hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan
terjadinya retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting
tubules) meningkat.
4
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa,
lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada
masa pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada
diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan sisanya diberikan
pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup
diganti dengan cairan hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer
Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya
tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan
nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang
dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus
mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa.
Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik,
dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera
diganti dengan melakukan resusitasi carian atau rehidrasi sebelum induksi
anestesi.
Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung
berdasarkan kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan
akibat pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau
evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur
pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.

1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya


bedah mata (ekstraksi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja
selama pembedahan.
2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya : appendektomi dapat
diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar
ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan.
Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam
seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.

5
3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam
untuk pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.
4. Penggantian darah yang hilang
Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV=Estimated
Blood Volume=taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala
hipotensi, takikardi dan penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi
tubuh ini akan mengalami pembiusan (anestesi) sehingga gejala-gejala
tersebut seringkali tidak begitu tampak karena depresi komponen
vasoaktif. Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan
dengan laruatan kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus
menjadi bahan pertimbangan.

B. Pilihan Jenis Cairan


1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler
(CES=CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia
dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross
match , tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan
sederhana dan dapat disimpan lama. Cairan kristaloid bila diberikan dalam
jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti
pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler.
Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan
dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit
cairan di ruang interstitiel. Larutan Ringer Laktat merupakan cairan
kristaloid yang paling banyak digunakan untuk resusitasi cairan
walaupun agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan
intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan
mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan
6
kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila
diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik
dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.

2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
“plasma substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotuik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh
karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara
cepat terutama pada syok hipovolemik/hemorhagik atau pada penderita
dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal
luka bakar).
Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat
menyebabkan gangguan pada “cross match”.

I. TERAPI CAIRAN PADA PASIEN TRAUMA KEPALA (EDEMA


CEREBRI) YANG AKAN DILAKUKAN ANESTESI

Cedera otak traumatika merupakan kasus yang sering


ditemukan yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Hipertensi intrakranial dan edema serebral adalah manifestasi
utama dari cedera otak berat, keduanya dikenal sebagai kontributor
utama pada cedera otak sekunder dan memiliki luaran neurologis yang
buruk. Tatalaksana pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial
dan edema serebral akibat cedera otak traumatika yaitu mengontrol
ventilasi, mempertahankan homeostasis otak dan fungsi tubuh,
pemberian sedasi, serta terapi hiperosmolar. Manitol dikenal secara
luas sebagai terapi utama pada terapi hipertensi intrakranial, namun
larutan salin hipertonik dan natrium laktat hipertonik juga merupakan

7
terapi alternatif yang potensial untuk terapi hipertensi intrakranial.
Pemberian obat hiperosmolar pada pasien cedera kepala berat
bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam daerah interstisial otak
akibat efek hiperosmolarnya sehingga terjadi penurunan tekanan
intrakranial meskipun terdapat beberapa mekanisme lain yang
kemungkinan juga terlibat dalam terjadinya penurunan tekanan
intrakranial.
Manajemen perioperatif pada pasien cedera kepala fokus pada
stabilisasi dan mencegah cedera sekunder karena sebab sistemik dan
intrakranial. Assessmen preanestesi mencakup (1) Airway dan cervical
spine, (2) Breathing: oksigenasi dan ventilasi, (3) Circulatory Status,
(4) Associated Injury, (5) Status Neurologik (GCS), (6) Penyakit
kronis penyerta, (7) Circumstances of injury: waktu kejadian cedera,
lamanya tidak sadar, riwayat mengkonsumsi alkohol dan obat lain.
Langkah pertama adalah menjaga jalan nafas dan ventilasi yang
adekuat. Intubasi dan ventilasi mekanik dilakukan jika diperlukan,
namun harus dijaga agar tidak terjadi kenaikan tekanan intrakranial.
Setelah jalan nafas terkontrol, fokus penanganan terhadap resusitasi
kardiovaskuler. Hipotensi sering terjadi pada cedera kepala biasanya
karena perdarahan. Keadaan ini harus segera ditangani secara agresif
dengan cairan, koloid, darah, inotropik maupun vaspresor bila perlu.
Hal yang harus diperhatikan dalam resusitasi kardiovaskuler adalah
terjadinya edema serebri. Osmolalitas serum total merupakan kunci
terjadinya edema serebri. Ketika osmolalitas serum menurun maka
akan terjadi edema serebri karena rusaknya sawar darah otak, sehingga
cairan yang hipoosmoler akan menyebabkan peningkatan kadar
air otak. Hipovolemia seringkali tidak tampak pada tekanan darah yang
relatif stabil karena hiperaktivitas simpatis atau respon terhadap
peningkatan TIK. Karenanya resusitasi cairan seharusnya tidak
berdasarkan pada tekanan darah semata, namun juga pada produksi
urine dan tekanan vena sentral. Larutan kristaloid isotonis dan
8
hipertonis maupun koloid dapat diberikan untuk mempertahankan
volume intravaskuler. Darah dan produk darah dapat diberikan jika
kadar hematokrit rendah (< 30%). Larutan yang mengandung glukosa
sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemi dan
perburukan outcome neurologis. Jika tekanan darah dan curah jantung
tidak dapat dikembalikan dengan resusitasi cairan, maka inotropik dan
vasopresor intravena dapat segera diberikan.

Tujuan utama manajemen anestesi adalah meningkatkan perfusi


serebral dan oksigenasi, mencegah kerusakan sekunder dan
memberikan kondisi yang optimal untuk pembedahan. Anestesi umum
menjadi pilihan untuk mengontrol fungsi respirasi dan kardiosirkulasi.
Induksi anestesi dapat menggunakan obat anestesi intravena. Pada
umumnya pemilihan obat anestesi berdasarkan efeknya pada sistem
kardiovaskuler, namun pada kasus cedera kepala, harus dipikirkan
efeknya terhadap aliran darah otak, volume darah otak, tekanan intra
kranial cairan serebrospinal, auto regulasi serta respon terhadap CO2.
Obat anestesi intravena yang dapat menurunkan TIK dan aliran
darah otak adalah tiopental, etomidate, propofol dan midazolam. Untuk
pemeliharaan anestesi dapat menggunakan anestesi intravena maupun
inhalasi. Obat yang ideal adalah obat yang mampu menurunkan TIK,
memelihara suplai oksigen ke jaringan otak, dan menjaga otak dari
iskemik akibat metabolik. Barbiturat (pentotal), etomidat, propofol,
midazolam dan narkotik dapat menjadi pilihan karena efeknya yang
baik dalam hal menurunkan CBF, TIK, dan CMRO2. Untuk anestesi
inhalasi, isofluran, sevofluran, dan desfluran dapat menjadi pilihan.
Vekuronium merupakan pelumpuh otot pilihan karena efeknya
minimal terhadap TIK, tekanan darah dan denyut nadi. Hipotensi
intraoperatif karena perdarahan maupun karena perlakuan anestesi
harus dihindari, karena dalam 24 jam pertama otak telah mengalami
hipoperfusi. Pembengkakan otak intraoperatif ataupun herniasi dari
tempat operasi dapat menjadi komplikasi dekompresi hematom. Dapat
9
disebabkan karena posisi pasien yang kurang baik, ICH kontralateral,
gangguan drainase vena, atau hidrocepalus akut karena perdarahan
intraventrikuler harus segera ditangani.

II. TERAPI CAIRAN PADA PASIEN DECOMPENSASI CORDIS


YANG AKAN DILAKUKAN ANESTESI
A. PENDAHULUAN
Decom cordis adalah kondisi patofisiologi yang kompleks akibat
ketidakmampuan jantunguntuk mengisi atau memompa darah
secaraadequat untuk memenuhi kebutuhan jaringan.Sindrom klinis ini
ditandai dengan gejala sesak napas dan kelelahan dan tanda-tanda
bendungansirkulasi atau hipoperfusi.
Adanya decom cordis telah digambarkan sebagai faktor risiko yang
paling penting untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas
perioperatif.Pada periode perioperatif, semua faktor yang mempresipitasi
decom cordis harus dicari dan diterapi secara agresif sebelum dilakukan
anestesi dan pembedahan. Pasien dengan decom cordis biasanya sudah
mendapatkan pengobatan yang dapat mempengaruhi tatalaksana
anestesi.Diuretik biasanya dapat dihentikan pada hari operasi. Terapi -
Blocker dapat diteruskan karena dalam beberapa penelitian menunjukkan
bahwa – Blocker dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas perioperatif.
Akibat penghambatan pada RAAS(Renin Angiotensin Aldosterone
System), ACEIs (Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor) dapat
menyebabkan peningkatan resiko terjadinya hipotensi intraoperatif.

B. TERAPI CAIRAN
Prinsip penatalaksanaan decom cordis meliputi mengurangi beban
tekanan, mengurangi kontraktilitas dan mengurangi beban volume. Tujuan
pengendalian volume tubuh adalah tercapainya keseimbangan komposisi
cairan tubuh pada keadaan homeostasis. Pengendalian cairan tubuh dapat
dilakukan dengan penimbangan berat badan yang rutin, penilaian status

10
volume cairan tubuh, pembatasan asupan air dan natrium, dan pemberian
diuretic.
Pada pasien decom cordis, terjadinya penimbunan darah di paru.
Penimbunan ini menurunkan pertukaran O2 dan CO2 antara udara dan
darah di paru sehingga oksigenasi darah di paru berkurang dan terjadi
peningkatan CO2 pembentukan asam di dalam darah. Selain itu, salah satu
konsekuensi serius dari decom cordis khususnya kiri adalah kurangnya
aliran darah ke ginjal. Hal ini menimbulkan reaksi ginjal untuk meretensi
air dan Na. Oleh karena itu pada decom cordis terjadi hipervolemi dan juga
Edema.
Oleh karena pada pasien DECOM CORDIS terjadi peningkatan
cairan, maka kebutuhan cairan pada pasien DECOM CORDIS harus
dikuranggi dari kebutuhan normal. Kebutuhan cairan per hari pada pasien
DECOM CORDIS adalah:

BB x 25 ml/kg

Pada keadaan umum, dewasa normal dikalikan dengan 30 ml/kg


dengan rentang normal perkalian adalah 25-35 ml/kg. Dalam hal ini,
pasien DECOM CORDIS dikalikan dengan batas bawah dengan tujuan
mencegah peningkatan kadar cairan dalam tubuh.
Edema pada decom cordis terjadi karena perluasan cairan di ruang
interstina karena penumpukan Na+ dalam tubuhnya. Oleh karena itu, ada
baiknya pasien diberi terapi dengan cairan hipotonis karena diduga pasien
mengalami Hypernatremia. Untuk mengetahui berapa banyak cairan
hipotonis yang akan diberikan adalah terlebih dahulu kita mengetahui
kadar Na dalam tubuh pasien dengan melalui pemeriksaan lab. Setelah itu
kita pakai rumus:
Hypernatremia

Na sekarang BB - BB = Jumlah air yang ditambahkan


Na normal

11
Karena kemungkinan pasien hypernatremia, maka rumus diatas
digunakan untuk mencari jumlah cairan hipotonis yang diperlukan untuk
menetralkan kadar Na. Contoh cairannya dextrose 5%.
Pemantauan harus terus dilakukan pada pasien. Pemasukan dan
pengeluaran harus tetap seimbang. Untuk mempermudah dapat dilakukan
dengan rumus:
Pemasukan = Pengeluaran

Vol. infuse + air metabolisme 200ml = Vol. urin + penguapan 300ml


Dimana

Vol infuse yang diberikan adalah (ml) = Vol.urin + 700 ml.


Pada pasien decom cordis, kebutuhan cairan menurun, oleh karena
itu jumlah cairan dikurangi menjadi 75-80% dari kebutuhan rumatan. Atau
dapat dibatasi sampai:
65cc/kgBB/hari
Air metabolism diperlukan untuk melihat kemampuan tubuh
mengeluarkan CO2. Dalam hal ini, karena pasien juga mengalami
hipervolemi maka diharapkan IWL dapat mencapai 40ml/jam dimana
dalam keadaan normal hanya mencapai sekitar 300-400 ml/hari. Jadi
rumus keseimbangan pemasukan dan pengeluaran tersebut dapat
digunakan untuk pemantauan cairan dan kebutuhan cairan pada pasien
decom cordis.

III. TERAPI CAIRAN PADA PASIEN DIABETES


MELLITUSYANG AKAN DILAKUKAN ANESTESI
A. Pendahuluan

Pengelolaan cairan dan nutrisi baik enteral maupun parenteral


dalam bidang Endokrinologi dan Metabolisme merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari pengelolaan lainnya. Tindakan ini akan
mempengaruhi kadar gula darah, oleh sebab itu pengelolaan cairan dan
nutrisi menjadi perhatian yang sangat khusus.Hiperglikemia sendiri
12
mempunyai peran dalam perubahan baik komposisi cairan tubuh maupun
elektrolit maupun osmolalitas darah. Dengan demikian pada
penatalaksanaan pemberian baik nutrisi enteral maupun parenteral
diharapkan kadar glukosa darah berada pada kisaran 120 – 200 mg/dl.
Selain asupan nutrisi, juga perlu memperhatikan keadaan penyakit atau
kondisi lain yang menyertainya.

Kasus yang sering terjadi adalah Diabetik ketoasidosis dan


hiperglikemia hyperosmoler pada penderita Diabetes Mellitus (DM). Pada
kondisi tersebut peran cairan dan nutrisi baik enteral maupun parenteral
menjadi sangat penting, mengingat kadar glukosa darah yang diharapkan
akan mempengaruhi hasil akhir dari pengelolaan. Pada makalah ini penulis
akan membatasi pengelolaan terapi cairan dan nutrisi baik enteral maupun
parenteral pada penderita DM yang mengalami krisis hiperglikemia, selain
sebagai kasus yang sering ditemukan juga memerlukan perhatian yang
sangat khusus, yaitu asupan energi sesuai dengan kebutuhan yang akan
mempengaruhi kadar gula darah.

B. Fisiologi gula darah

Pada keadaan puasa, glukosa yang dihasilkan oleh hati sama


dengan pemakaian glukosa oleh otak, jaringan di perifer dan sel darah
merah ( kurang lebih 2 mg/kg/min atau 200 gr/dl). Sedangkan setelah
makan, peningkatan glukosa plasma dan supresi insulin terhadap produksi
glukosa di hati dan peningkatan ambilan glukosa di perifer. Glukosa
plasma dan konsentrasi insulin menurun setelah makan, rata-rata produksi
glukosa di hati dan ambilan glukosa di perifer kembali ke keadaan basal
seperti peningkatan produksi glukosa pada saat penurunan ambilan
glukosa. Keseimbangan ini terjadi kegagalan pada penderita diabetes.
Hiperglikemia disebabkan peningkatan pelepasan glukosa hati, kegagalan
ambilan glukosa dan penurunan sekresi dan fungsi insulin.

13
C. Patofisiologi Diabetes Mellitus

Pada dasarnya mekanisme terjadi terjadi peningkatan gula darah


pada DM adalah adanya kegagalan sel beta untuk menghasilkan insulin
cukup disertai penghambatan kerja sel beta oleh perangsangan adrenegik,
menyebabkan insulin yang dihasilkan tidak mencukupi kebutuhan dan hal
ini selanjutnya menyebabkan peninggian kadar gula darah dan
berkurangnya uptake ke dalam 3 sel sel jaringan. Siklus ini makin lama
menyebabkan hiperglikemia makin bertambah dan akibat diuresis osmotik
yang hebat menimbulkan dehidrasi berat.

1. Ketoasidosis Diabetika ( KAD)

Ketoasidosis diabetik sering ditemukan pada penderita DM tipe 1 dan


tidak jarang pada DM tipe 2. Pada DM tipe 1 lebih 45 000 kasus setiap
tahunnya dengan angka kematian keseluruhan 5 – 9 % sedangkan pada usia >
65 tahun angka kematian meningkat menjadi 15 – 28 %. Walaupun demikian
kematian ini selain akibat KAD juga tergantung pada faktor pencetusnya.
KAD terjadi akibat defisiensi insulin atau defisiensi insulin relatif yang
disertai peningkatan sistem hormon counter regulatori terutama hormon
glukagon. Kondisi ini menyebab dua aspek yaitu : Pertama, hiperglikemia
dan dehidrasi akibat defisiensi insulin. Defisiensi insulin menyebabkan
peningkatan kadar gula darah akibat penurunan penggunaan adipose dan
glukosa di jaringan perifer serta meningkatnya produksi glukosa hepatik.
Akibat hiperglikemia menyebabkan diuresi osmotik dengan demikian akan
terjadi kehilangan cairan dan elektrolit

Kedua, adalah terjadinya peningkatan produksi keton darah di hepar.


Pada keadaan normal, FFA ( free fatty acid ) merupakan hasil oksidasi atau
penggunaan trigliserida cadangan. Dengan keadaan defisiensi insulin dan
glukagon yang berlebih, metabolisme FFA akan lebih cenderung
menghasilkan benda keton ( hydroxybuterate dan acetoacetate ), kemudian
keadaan asam ini menyebabkan penurunan bikarbonat dan menyebabkan

14
asidosis. Dengan demikian terdapat tiga faktor yang saling terkait pada KAD,
yaitu hiperglikemia, dehidrasi, dan asidemia.

Terapi

Pada KAD, cairan yang digunakan tidak ada yang pasti. Cairan inisiasi
untuk rehidrasi digunakan cairan normal saline ( NaCl 0,9%) apabila tidak
terdapat kelainan jantung. Pada umumnya pada penderita dewasa terjadi
defisit cairan 3 – 5 liter, atau 15-20 mg/kg/jam atau lebih banyak pada jam
pertama pemberian ( 4 1 – 1,5 liter/jam). Jumlah pemberian inipun harus
menilai status hidrasi, kadar elektrolit dan diuresis( output). Jika penderita
hipernatremia, NaCl 0,45% ( halfstrenght). Apabila diyakini tidak terdapat
gangguan ginjal dapat ditambahkan Kalium 20-30 mEq/l ( 2/3 KCL dan 1/3
KPO4) selama penderita stabil dan mentolerasi suplement peroral.Cairan
Ringer laktat dapat diberikan secara hati hati, mengingat pada penderita KAD
dengan hipovolemia sering kali bersamaan terjadi dengan asidosis laktat.
Keberhasilan pemberian cairan adalah adanya perubahan hemodinamik (
tekanan darah ), mencatat input/ out put cairan, dan perbaikan klinis.
Kekurangan cairan pada 24 jam pertama harus dievaluasi kembali, sebab
tindakan pemberian cairan ini tidak boleh merubah osmolaitas darah
meningkat sebanyak > 3 mOsm/kgH2O/jam. Walaupun masih banyak
kontroversi pemberian insulin, apakah dengan dosis tinggi atau dosis rendah?
Selain menurunkan gula darah juga menurunkan benda keton (ketonemia),
merupakan tindakan yang penting. Kedua terapi insulin dosis rendah atau
tinggi menunjukan efikasi yang sama. Pada umumnya merekomendasikan
pemberian insulin dengan dosis rendah secara kontinju intravena antara 5 – 7
unit perjam ( 0,1 u/kg/jam) dengan tujuan menurunkan gula darah 10-20 %
dalam waktu 2 jam. Jika gula darah menurun secara cepat, infus insulin
diturunkan setengahnya, tetapi apabila kadar gula darah belum dapat
diturunkan dosis dinaikan 2 kali lipat. Pada keadaan penderita memerlukan
dosis insulin sangat tinggi ( 50 -60 u/jam), kondisi ini bisa ditemukan pada
keadaan resistensi insulin akibat kelainan dasar seperti adanya infeksiatau

15
kelainan imunitas. Oleh karena ini pada kondisi tersebut, apabila faktor
infeksinya dapat diatasi, maka akan secara mendadak tidak terjadi resistensi
insulin, sehingga monitor gula darah harus lebih ketat. Pada umumnya, 24-48
jam pertama gula darah tercapai normal dan tidak ditemukan ketonemia,
kemudian insulin drip diganti ke subkutan, makan dan cairan melalui oral.
Sedangkan insulin drip tetap dilanjutkan sampai 2 jam setelah insulin
subkutan. Elektrolit ( Na,K, Mg, Fosfat ) bisa terukur rendah atau tinggi,
disebabkan keadaan kombinasi antara hypovolemia, asidosis, dan defisiensi
insulin. Diuretikosmotik secara signifikan menyebabkan penurunan elektrolit
tubuh secara keseluruhan. Oleh karena itu, penggantian cairan sangat
menentukan hasil akhir. Oleh sebab itu pemberian cairan mengandung natrium
lebih dini diberikan. Kadar natrium darah sendiri sering rendah akibat adanya
hyperglikemia atau hypertrigliseridemia. Adanya perubahan elektrolit, maka
monitor kalium perlu perhatian khusus. Pada awalnya terjadi kadar kalium
serum tinggi, sedangkan cadangan kaliumtubuh menurun. Pada penderita
dengan BAK terus memungkinkan pemberian kalium lebih dini walaupun
kadar kalium normal tinggi. Pemberian cairan dan insulin menurunkan kalium
akibat dilusi dan reequilibrium elektrolit Kalium dengan hidrogen akibat
asidosis disertai proses transport seluler kalium dan fosfat kedalam sel
bersama glukosa. Untuk itu monitoring kalium dapat dilakukan dengan
pengamatan EKG, sering kali penderita membutuhkan kalium 120 – 160 mEq
pada 24 jam pertama pengobatan. Kemudian substitusi kalium diberikan
peroral selama 5-7 hari. Penggunaan bicarbonate dalam pengelolaan KAD
masih terdapat banyak beda pendapat. Apabila pH kurang 7,10 bicarbonate
dapat diberikan; Biasanya diberikan melalui cairan infus ( 44 atau 88 mEq )
atau cairan hipotonik ( 1/3 – ½ NaCl ). Pemberian Bicarbonat tidak diberikan
secara cepat melalui intravena, hal ini akan menimbulkan penurunan kalium
darah. Dengan demikian apabila penderita diberikan cairan bicarbonat
memerlukan pemantauan kadar kalium jauh lebih ketat. Walaupun demikian
sampai saat ini pemberian bikarbonat pada KAD tidak mempengaruhi hasil
pengobatan. Keadaan ini menyebabkan pemberian bikarbonat ini tidak
16
menjadi tindakan rutin dan apabila diperlukan itupun harus dilakukan atas
dasar indikasi yang tepat disertai pemantauan yang ketat.

2. Hiperglikemia Hyperosmoler nonKetotik (HHNK)


Pada penderita dengan hiperglikemia hiperosmoler yang ditandai
dengan keadaan dehidrasi yang berat dengan defisiensi insulit relatif ataupun
absolut. Dehidrasi ini diakibatkan tidak efektifnya aksi insulin, sehingga
produksi glukosa 6 hepatik meningkat dan penurunban penggunaan glukosa
di jaringan perifer. Seperti halnya pada penderita dengan DKA, tetapi pada
Hiperglikemia hiperosmoler terjadi osmotik diuresis yang hebat yang
mengakibatkan kehilangan cairan dan elektrolit. Pada kelainan ini tidak
ditemukan adanyapeningkatan baik keton darah maupun asidemia. Hal lain
yang sering ditemukan pada hiperglikemia hiperosmoler adalah sebelumnya
penderita tidak mengetahui adanya diabetes mellitus.Sering kali pada
penderita HHNK, sebelumnya tidak terdiagnosis DM tipe 2 disertai gejala
diabetes yang tidak jelas. Faktor pencetus atau kondisi yang dihubungkan
dengan HHNK adalah : infeksi, pankreatitis/ carsinoma pankreas,
acromegaly, sindroma cushing, tirotoksikosis, luka bakar, obat obata (
diuretik, dilantin, glukokortikoid, propanolol, diazoxide), hypotermia, dan
heat stroke. Pada umumnya kondisi terbeut menimbulkan penurunan sekresi
insulin atau menyebabkan resistensi insulin, serta mengakibatkan kehilangan
cairan tubuh yang banyak.

Terapi

Dengan mengikuti pengelolaan pada DKA tanpa dibutuhkan


bikabonat dan monitoring pH yang ketat. Pada kasus HHNK, komplikasi
yang terjadipun tidak jauh berbeda pada DKA. Target pengelolaan adalah
kadar gua darah normal dan natrium serum normal. Sedangkan resiko
hipokalemia dan hipofosfatemia sama dengan DKA.

17
BAB III
PENUTUP

Terapi cairan adalah tindakan untuk memelihara, mengganti milleu interiur


dalam batas batas fisiologis dengan cairan kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma
expander) secara intravena. Terapi dinilai berhasil apabila pada penderita tidak
ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan
berupa edema paru dan gagal nafas. Cairan kristaloid, cairan koloid, maupun darah
adalah jenis cairan yang digunakan dalam pemberian terapi cairan. Pemilihan jenis
cairan yang diberikan dibedakan oleh komposisi cairan yang diberikan. Pemberian terapi
cairan sesuai dengan prosedur dapat mencegah terjadinya komplikasi dan
mempercepat penyembuhan pasien pasca operasi.

Resusitasi cairan pada kasus trauma kepala dengan edema cerebri seharusnya
dapat dilakukan dengan memberikan larutan kristaloid isotonis dan hipertonis maupun
koloid dapat diberikan untuk mempertahankan volume intravaskuler. Darah dan produk
darah dapat diberikan jika kadar hematokrit rendah (< 30%). Larutan yang mengandung
glukosa sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemi dan perburukan
outcome neurologis. Jika tekanan darah dan curah jantung tidak dapat dikembalikan
dengan resusitasi cairan, maka inotropik dan vasopresor intravena dapat segera
diberikan.

Prinsip penatalaksanaan decom cordis meliputi mengurangi beban tekanan,


mengurangi kontraktilitas dan mengurangi beban volume. Tujuan pengendalian volume
tubuh adalah tercapainya keseimbangan komposisi cairan tubuh pada keadaan
homeostasis. Edema pada decom cordis terjadi karena perluasan cairan di ruang
interstina karena penumpukan Na+ dalam tubuhnya. Oleh karena itu, ada baiknya pasien
diberi terapi dengan cairan hipotonis karena diduga pasien mengalami Hypernatremia.
Penatalaksanaan terapi cairan dan nutrisi pada penderita diabetes mellitus sangat
perlu memperhatikan : akibat penyakit dasarnya, akibat pengobatan, dan selama
perawatan perlu pengamatan secara seksamaterhadap kontrol gula darah.
Penatalaksanaan pemberian baik nutrisi enteral maupun parenteraldiharapkan kadar
glukosa darah berada pada kisaran 120 – 200 mg/dl. Intervensi paling urgent pada KAD
adalah penatalaksanaan cairan danpemberian insulin. Intervesi nutrisional dapat
diberikan secara enteral dan parenteral. Intervensi nutrisional pada penderita diabetes
jangan menimbulkanhipoglikemia, hiperglikemia maupun overfeeding.
DAFTAR PUSTAKA

Armenti VT, Worthington P : Nutritional Implivation of selected Medical Kondition in


Worthington P, Practical Aspect of Nutritional Support. Saunders, 2004 : 541-
585.

Coopans, R. 1994. General Approach to The Treatment of Diabetes in : Kahn CR, Weir
GC, Joslin’s Diabetes Mellitus 13th Ed, Lea&Febiger. pp. 397- 459 2.

Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. Ninth edition.

Pennsylvania:W.B. Saunders company; 1997:375-393.

Koutkia P, Apovian CO: Nutrition Support in the Critically Ill Diabetic Patient in
Shikora SA, Martindale RG. Schwaitzberg SD. Nutritional Considerations in the
Intensive Care Unit. Kendal/Hunt Publishing Company, 2002 : 175- 186 4.
Latief AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi cairan pada pembedahan. Edisi
kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI, 2002.

Pramana, IMA. 2014. Tatalaksana Gagal Jantung Perioperatif (Management of

Perioperatif). Jurnal Komplikasi Anestesi, Vol. 1, No. 3.

Rosenzweig JL, Principle of Insulin Therapy : Kahn CR, Weir GC, Joslin’s Diabetes
Mellitus . 13th Ed, Lea&Febiger, 1994, 461-488 3.

Sherwood, L. (2014). Fisiologi manusia dari sel ke system. Ed. 8. Jakarta: EGC.

Suyasa, Agus. B., Rahardjo, Sri. Penanganan Edema Cerebri Berat dan Herniasi Cerebri
Pada Cedera Kepala Traumatik. JNI 2012 : 1(2): 110-119.

Anda mungkin juga menyukai