PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
Stephen 20190420183
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Mengetahui,
Dosen Pembimbing
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan topik
“Advanced Life Support Berdasarkan Guideline 2015” dengan lancar.
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian Anesthesi dr. Ramelan Surabaya, dengan
harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi
pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Mayor Laut (K) dr. I Wayan S, Sp.An selaku pembimbing referat.
2. Para dokter di bagian Anesthesi dr. Ramelan Surabaya.
3. Para perawat dan pegawai di Anesthesi dr. Ramelan Surabaya.
Penulis menyadari bahwa referat yang disusun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Bantuan Hidup Lanjut (BHL) merupakan tindakan yang dilakukan
secara simultan dengan bantuan hidup dasar dengan tujuan memulihkan dan
mempertahankan fungsi sirkulasi spontan sehingga perfusi dan oksigenasi
jaringan dapat segera dipulihkan dan dipertahankan. Untuk mengembalikan
sirkulasi secara spontan, diperlukan pemberian obat-obatan serta cairan,
diagnosis dengan elektrokardiografi, dan juga terapi fibrilasi. Ketiga tahapan
ini dapat dilakukan dengan urutan yang berbeda-beda tergantung keadaan
yang dihadapi.
Peralatan yang dipakai pada BHL meliputi alat jalan napas (pipa
orofaring, nasofaring, endotrakea, sungkup muka, alat isap, laringoskop,
forsep Magil), perlengkapan untuk memasang infus, EKG monitor dengan
defibrillator arus searah, dan papan datar yang kuat untuk resusitasi. Obat-
obatan yang diperlukan adalah golongan simpatomimetik (adrenalin,
noradrenalin, dopamine, ephedrine, efortil, metaraminol, dan isoproterenol),
golongan pelumpuh otot (suksinil kolin, pankuronium, atau derivate kurare
yang lain), golongan sedatif dan anti kejang, lidokain, prokainamid, atropin,
morfin atau petidin, nalokson, bronkodilator, dan cairan infus. Tinjauan
pustaka ini akan membahas lebih lanjut tentang langkahlangkah BHL serta
jenis peralatan dan juga obat-obatan yang dipakai (Mangku dan Senapathi,
2010).
2
BAB 2
ADVANCED LIFE SUPPORT
2.1 Definisi
Advance life support (ALS) atau bantuan hidup lanjut (BHL) adalah
intervensi untuk kelangsungan hidup setelah basic life support (BLS) atau
bantuan hidup dasar telah dimulai dan saat defibrillator eksternal otomatis
(AED) telah digunakan (Soara et al., 2015). Intervensi ini terdiri dari
manajemen jalan nafas efektif, ventilasi paru, dan produksi sirkulasi melalui
beberapa teknik tambahan terhadap BLS. Teknik-teknik ini terdiri dari
defibrilasi, manajemen jalan napas lebih lanjut, dan akses vaskuler atau terapi
obat-obatan (Carey, 2018).
3
2.3.1 Shockable rhythms
Pasien cardiac arrest dengan shockable rhythms menunjukkan
gambaran EKG berupa fibrilasi ventrikel (VF) dan takikardia ventrikel tanpa
denyut nadi (pVT) (Carey, 2018).
Fibrilasi ventrikel dapat dibagi menjadi kasar atau halus, dimana fibrilasi
ventrikel kasar seringkali merupakan hasil setelah defibrilasi fibrilasi ventrikel
halus. Fibrilasi ventrikel halus terkadang salah diartikan sebagai asistol, dan
tatalaksana keduanya berbeda sehingga penting untuk membedakannya. Jika
ragu, dapat dilakukan shock. Jika pasien mengalami fibrilasi ventrikel halus,
irama fibrilasi ventrikel akan berhenti. Akan tetapi, jika pasien mengalami
asistol, defibrilasi akan tidak efektif dan dapat dilakukan protokol asistol
(Goldberger et al., 2018).
4
Fibrilasi ventrikel adalah komplikasi umum dari penyakit jantung iskemi
parah, dengan atau tanpa infark myocard akut. Terapi untuk gangguan ini
adalah defibrilasi segera. Kesuksesan defibrilasi tergantung pada beberapa
faktor, dimana faktor terpenting adalah defibrilasi yang segera: semakin kecil
jeda pemberian defibrilasi, semakin besar kemungkinan keberhasilannya.
Terkadang shock berulang kali perlu diberikan sebelum pasien berhasil di
resusitasi. Selain defibrilasi, dapat diberikan obat-obatan intravena untuk
membantu sirkulasi (seperti epinephrine) dan agen anti-aritmia (seperti
amiodarone dan magnesium sulfate) (Goldberger et al., 2018).
5
Gambar 2. Takikardia Ventrikel (Reynolds, 2014)
Irama yang dimonitor pertama kali pada ±20% pada cardiac arrest
pasien rawat inap dan rawat jalan (out-of-hospital cardiac arrest [OHCA])
adalah VF/pVT. VF/pVT juga dapat muncul pada beberapa stadium selama
resusitasi pada 25% cardiac arrest dengan riwayat irama asistol atau PEA.
Jika cardiac arrest telah dikonfirmasi, panggil bantuan (termasuk permintaan
untuk defibrillator) dan mulailah CPR, dimulai dengan kompresi dada, dengan
rasio kompresi : ventilasi (C:V) = 30:2. Saat defibrillator datang, teruskan
kompresi dada sambil mengaplikasikan elektroda defibrilasi. Lalu lakukan
identifikasi irama dan terapi berdasarkan algoritma ALS (Soara et al., 2015).
Pada kasus seperti ini, akan tampak gambaran pada EKG seperti garis
lurus (straight-line pattern) yang mengindikasi asistol. Setiap kali ditemukan
6
gambaran garis lurus ini, harus dilakukan konfirmasi pada 2 lead dan cek
apakah seluruh elektroda sudah terpasang pada pasien. Fibrilasi ventrikel
dengan amplitude sangat rendah (atau yang disebut fibrilasi ventrikel halus)
juga dapat meniru gambaran garis lurus. Dalam hal ini defibrillator automatis
tidak dapat bekerja karena tidak dapat mengenal amplitudo lembut yang
sensifitasnya dibawah alat (Latief et al., 2010; Goldberger et al., 2018).
7
memompa darah secara efektif (Latief et al., 2010; Soara et al., 2015;
Goldberger et al., 2018).
Seperti asistol, defibrilasi bukan terapi yang tepat untuk PEA. Saat
menilai pasien dengan PEA, harus dipertimbangkan penyebab reversible “5
Hs dan 5 Ts” dan segera diterapi jika penyebab teridentifikasi (Soara et al.,
2015).
Hs Ts
Thromboembolism (pulmonary
Hipoksemia
embolism)
8
Terapi fibrilasi diindikasikan untuk pasien dengan fibrilasi ventrikel atau
takikardi ventrikel. Fibrilasi ventrikel merupakan irama yang sering muncul
pada kasus henti jantung. Penanganan yang paling efektif untuk henti jantung
dengan irama tersebut adalah dengan defibrilasi. Jantung yang terfibrilasi
akan mengkonsumsi oksigen lebih banyak sehingga akan memperburuk
iskemia miokardium. Defibrilasi harus dilakukan sesegera mungkin, karena
semakin lama fibrilasi dibiarkan, maka semakin sulit untuk dilakukan defibrilasi
dan banyak kerusakan sel jantung yang ireversibel sehingga semakin kecil
kemungkinan resusitasi akan berhasil (Longnecker, 2012).
Defibrillator menyalurkan energi listrik dalam dua bentuk, yaitu monofasik dan
bifasik. Gelombang monofasik menyalurkan energi hanya searah dari satu
elektroda ke elektroda lainnya. Gelombang bifasik membalikkan arah energy
dengan mengubah polarisasi elektroda dari bagian dimana energi tersebut
disalurkan sehingga gelombang monofasik membutuhkan energi yang lebih
besar dibandingkan gelombang bifasik. Gelombang bifasik biasanya
digunakan pada implantable cardioverter defibrillator (ICD) yang kemudian
dapat diadaptasi menjadi eksternal defibrillator (AHA, 2016).
Terdapat hubungan antara ukuran tubuh dan energi yang dibutuhkan
untuk defibrilasi. Anak-anak membutuhkan energi yang lebih sedikit dibanding
dewasa dengan serendah-rendahnya 0.5 J/kgBB. Namun, ukuran tubuh tidak
terlalu berpengaruh pada dewasa. Beberapa studi menunjukkan bahwa
defibrilasi yang sukses dengan menggunakan energi yang rendah (160-200
J). Penelitian yang dilakukan di luar dan di rumah sakit menunjukkan bahwa
terdapat kesuksesan defibrilasi yang sama ketika menggunakan 200 J atau
lebih rendah dari itu dibandingkan dengan menggunakan 300 J atau lebih
(Longnecker, 2012).
Pada defibrillator yang menggunakan gelombang bifasik, dikenal ada
dua jenis gelombang bifasik yaitu biphasic truncated exponential waveform
dan rectilinear biphasic waveform. Pada AED, energi yang disalurkan akan
diatur secara otomatis oleh alat. Sedangkan pada manual defibrillator, akan
9
diberikan range energi yang efektif. Untuk defibrillator dengan jenis biphasic
truncated exponential waveform, maka energi yang disediakan berkisar antara
150-200 J dengan tingkat kesuksesan lebih dari 90%. Sedangkan untuk
defibrillator jenis rectilinear biphasic waveform, energi yang disediakan 120 J
dengan tingkat kesuksesan yang sama dengan biphasic truncated exponential
waveform (Longnecker, 2012).
Gelombang monofasik direkomendasikan pemberian energi sebesar
360 Joule untuk dewasa, sedangkan gelombang bifasik direkomendasikan
pemberian energi sebesar 200 Joule. Energi dapat ditingkatkan bertahap
apabila keadaan takikardi ventrikel atau fibrilasi ventrikel tidak membaik
setelah kejutan pertama. Tipe bifasik lebih direkomendasikan untuk
melakukan cardioversion karena tipe bifasik memberikan tingkat kesuksesan
yang sama dengan menggunakan lebih sedikit energy (Morgan GE, 2013).
Penggunaan gelombang bifasik lebih direkomendasikan dibandingkan dengan
gelombang monofasik karen penggunaan defibrillator dengan energi besar
akan meningkatkan potensi kerusakan otot jantung (AHA, 2016).
Sebelum memulai terapi fibrilasi, defibrillator harus diperiksa dan
dicoba terlebih dahulu kemampuannya memberikan energi mulai dari rendah
hingga tinggi. Pedal defibrillator luar (dada) untuk dewasa memiliki diameter
14 cm, sedangkan untuk anak-anak memiliki diameter 8 cm, dan untuk bayi
memiliki diameter 4.5 cm. Pedal defibrillator dalam (jantung) pada dada
terbuka dewasa adalah 6 cm, untuk anak-anak 4 cm, dan untuk bayi 2 cm.1
Lokasi pedal defibrillator diletakkan dengan posisi anterior-lateral dengan
satu pedal diletakkan di ICS keenam pada midaxillary line kiri, sedangkan
pedal lainnya diletakkan di ICS kedua parasternal kanan. Jika penderita
memiliki payudara besar, pedal kiri dapat diletakkan di bawah payudara
dengan menghindari jaringan payudara terkena kejutan (Australian
Resuscitation Council, 2016).
10
Gambar 4. Posisi Anterolateral
11
Macam-macam obat yang digunakan:
1. Obat vasoaktif
Golongan obat vasoaktif mempunyai efek vasopresor, inotropik, dan
vasodilator. Obat vasopresor mempunyai aktifitas adrenergik α1 yang
mengakibatkan konstriksi arteriol, peningkatan tahanan vaskuler sistemik,
peningkatan tekanan darah. Obat inotropik akan meningkatkan kontraktilitas
jantung akibat efek adrenergik β1.
Adrenalin atau epinefrin merupakan obat yang harus segera diberikan
pada pasien yang mengalami henti jantung selama kurang dari dua menit dan
disaksikan. Adrenalin termasuk golongan katekolamin yang bekerja pada
reseptor alfa dan beta sehingga menyebabkan vasokonstriksi perifer melalui
reseptor alfa adrenergik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
pemberian adrenalin dengan dosis tinggi pada penderita henti jantung dapat
memberikan perbaikan klinis (Return of Spontaneous Circulation)
dibandingkan dengan pemberian dengan dosis standar.
Indikasi pemberian adrenalin adalah pada pasien dengan asistol dan
PEA (Pulseless Electrial Activity) dan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel
tanpa nadi yang gagal dengan terapi defibrilasi. Adrenalin pada kasus asistol
atau PEA diberikan sejak siklus pertama dan diulang setiap 2 siklus berakhir.
Sedangkan pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa nadi,
adrenalin diberikan setelah defibrilasi pertama gagal (setelah defibrilasi kedua
dan diulang kembali setiap 2 siklus berakhir).
Dosis yang diberikan untuk dewasa adalah 0.5-1.0 mg secara intravena
atau dapat diencerkan dengan akuades menjadi 10 ml. Dosis yang digunakan
pada anak-anak yaitu 10 mcg/kgBB. Adrenalin juga dapat diberikan intratrakea
melalui pipa endotrakea (1 ml adrenalin 1:1.000 diencerkan dengan 9 ml
akuades steril).
Pemberiannya dapat diulang setelah 3-5 menit pemberian pertama
dengan dosis sama seperti dosis pertama.1 Setelah ROSC, untuk mencapai
12
tekanan darah adekuat, adrenalin dapat diberikan 1-20 mcg/menit lewat infus
kateter sentral sesegera mungkin.
Menurut AHA 2015, penelitian acak terhadap orang dewasa di luar
rumah sakit mendapatkan bahwa penggunaan epinefrin berkaitan dengan
peningkatan ROSC dan ketahanan hidup bagi pasien yang akan memasuki
rumah sakit, tapi tidak berkaitan untuk pasien yang akan dipulangkan.
Penggunaan epinefrin sewaktu serangan jantung merupakan hal yang wajar
namun pemberiannya bukan sebuah keharusan karena rekomendasi tentang
pemberian epinefrin selama serangan jantung telah diturunkan sedikit pada
Kelas Rekomendasi.
Pemberian adrenalin memiliki efek yang merugikan, yaitu takiaritmia,
hipertensi berat setelah tindakan resusitasi, dan nekrosis jaringan jika terjadi
ekstravasasi.4 Pemberian adrenalin yang dikombinasikan dengan
vasopressin tidak menimbulkan gejala klinis yang lebih baik dibandingkan
dengan pemberian adrenalin itu sendiri, sehingga pemberian adrenalin
sebaiknya tidak perlu dikombinasikan dengan vasopressin.
2. Obat antiaritmia
Sama halnya dengan vasopressor, bukti mengenai manfaat obat-obat
anti aritmia dalam penanganan henti jantung terbatas. Tidak ada obat anti
aritmia yang diberikan saat henti jantung pada manusia yang menunjukkan
peningkatan kelangsungan hidup hingga keluar rumah sakit, namun
amiodaron disebutkan dapat meningkatkan angka kelangsungan hidup hingga
perawatan di rumah sakit setelah VF/VT refrakter-shock. Tidak ada data
mengenai penggunaan amiodarione untuk VF/VT refrakte-shock bila yang
digunakan adalah shock tunggal. Meskipun data mengenai prognosis jangka
panjang pada manusia terbatas, tapi tetap banyak yng mendukung
penggunaan oat anti aritmia untuk penanganan aritmia pada henti jantung.
13
a. Amiodarone
Amiodaron adalah obat anti aritmia membrane-stabilising yang
meningkatkan durasi aksi potensial dan periode refrakter pada miokardium
atrium dan ventrikel. Selain itu, konduksi atrioventrikular juga diperlambat,
dan efek yang sama juga terjadi pada jalur aksesorius. Hipotensi yang
terjadi setelah pemberian amiodarone diduga tergantung pada kecepatan
pemberian dan juga diduga terjadi lebih karena efek pelarutnya
(Polysorbate 80 dan benzyl alcohol), yang menyebabkan pelepasan
histamine dibandingkan karena efek obatnya sendiri.
Berdasarkan consensus para ahli, bila VF/VT menetap, beri 300 mg
amiodarone (setelah itu beri 20 mL NaCl 0,9% atau Dextrosa 5 %)177
setelah shock yang ketiga. Dosis selanjutnya, 150 mg, dapat diberikan bila
terjadi VF/VT rekuren atau refrakter, dan setelah itu diikuti denan
pemberian infuse 900 mg dalam 24 jam.
b. Lidokain
Lidokain bolus 1 mg/kg dapat digunakan sebagai alternative bila
amiodarone tida tersedia, tapi jangan berikan lidokain bila sebelumnya
telah diberi amiodarone.
c. Kalsium
Kalsium memegang peranan penting dalam aktivitas saraf dan otot
normal. Kalsium biasanya diberikan pada pasien dengan hiperkalemia,
hipokalsemia, dan overdosis obat kalsium channel blocker.4 Kalsium
sangat diperlukan pada kasus henti jantung karena disosiasi
elektromekanis setelah gagal memulihkan sirkulasi spontan dengan
pemberian adrenalin. Kalsium ini juga diperlukan bila henti jantung
disebabkan oleh karena obat-obatan yang menekan otot jantung. Sumber
lain mengatakan pemberian kalsium pada kasus henti jantung tidak dapat
mengembalikan sirkulasi spontan dan juga tidak meningkatkan angka
survival rate di rumah sakit sehingga pemberian kalsium pada kasus henti
jantung tidak direkomendasikan. Efek samping dari pemberian kalsium ini
14
adalah kemungkinan meningkatkan cedera miokardiak dan otak dengan
kematian sel-sel miokardiak dan otak serta dapat mengakibatkan nekrosis
jaringan dengan ekstravasasi.
Dosis yang biasanya digunakan pada resusitasi orang dewasa adalah
5-10 ml dari 10% kalsium klorida dihidrat. Atau dapat juga menggunakan
sediaan kalsium glukonas dengan dosis 10 ml dari 10% kalsium glukonas.
d. Magnesium
Magnesium merupakan vasodilator dan berperan sebagai kofaktor
dalam regulasi natrium, kalium, dan kalsium melewati membrane sel.
Magnesium tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan pada pasien
dengan henti jantung dan juga tidak memberikan perbaikan klinis atau
neurologis sehingga pemberian magnesium tidak direkomendasikan.6
Magnesium diberikan pada kasus hipomagnesemia, hypokalemia, henti
jantung yang disebabkan oleh toksisitas digoxin, kasus fibrilasi ventrikel
atau takikardi ventrikel tanpa nadi, dan torsade de pointes.
Dosis yang diberikan adalah 5 mmol magnesium yang dapat diulang 1
kali kemudian diberikan intravena sebanyak 20 mmol/4 jam. Efek samping
yang dapat ditimbulkan adalah dapat menyebabkan lemah otot dan gagal
napas pada penggunaan kalsium yang berlebihan.
3. Obat-obat lainnya yang sering digunakan pada kasus kegawatan
kardiovaskular
a. Natrium Bikarbonat
Mekanisme kerja Sodium bikarbonat mengatasi asidosis metabolik
yang terjadi akibat anoksia jaringan sesudah henti jantung dan hipoksia
jaringan selama resusitasi (akibat rendahnya perfusi jaringan).
Cara pemberian:
Diberikan 1mEq/kgBB selama resusitasi sebagai dosis awal, yang dapat
diulangi setiap 5-10 menit dengan dosis 0,5 mEq/kgBB.
b. Oksigen
15
Oksigen 100% sebaiknya diberikan sedini mungkin pada keadaan henti
nafas dan henti jantung. Begitu juga oksigen harus diberikan kepada
semua penderita yang dicurigai menderita hipoksemia apapun
penyebabnya. Pemberian oksigen diharapkan akan menaikkan tekanan
parsial oksigen dalam arteri (PaO2) mempertinggi saturasi hemoglobin
dengan oksigen sehingga memperbaiki oksigenasi jaringan.
c. Terapi cairan
Pemberian cairan IV selama resusitasi darurat dan bantuan hidup paska
resusitasi memiliki tujuan sebagai berikut:
Mengembalikan volume darah sirkulasi normal setelah kehilangan
cairan, penggunaan kombinasi larutan yang mengandung elektrolit,
koloid, dan sel darah merah. Infus garam isotonik atau koloid yang
cepat dan masif dapat menyelamatkan nyawa, terutama pada kasus
perdarahan luar atau dalam yang berat.
Mengekspansi volume darah sirkulasi normal setelah henti jantung
dengan cairan kira-kira 10% volume darah taksiran (10 ml/kgBB) guna
mengganti volume darah relatif akibat vasodilatasi, penimbunan di
vena, dan kebocoran kapiler.
Mempertahankan jalur intravena terbuka untuk pemberian obat dan
sekaligus memberikan hidrasi dasar dan kebutuhan glukosa.
Mengatur cairan intravena dalam tubuh agar memperoleh komposisi
darah optimal, yaitu kadar elektrolit, osmolaritas, dan tekanan osmotik
koloid normal, albumin serum (3-5 gr/dl); hematokrit (30-40%), dan
glukosa serum (100-300 mg/dl).
Pada pasien syok hipovolemik tanpa henti jantung, atau pada masa paska
henti jantung, diperlukan monitoring tekanan arteri, aliran urin, dan tekanan
vena sentral untuk menuntun penggantian volume. Jenis cairan yang
dipilih, yaitu kristaloid (Ringer Laktat dan NaCl 0.9%) atau koloid, yang
dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi.
16
2.6 Algoritma ALS
17
2.6.1 Shockable rhythms
Jika cardiac arrest telah dikonfirmasi, panggil bantuan (termasuk
permintaan untuk defibrillator) dan mulailah CPR, dimulai dengan kompresi
dada, dengan rasio kompresi : ventilasi (CV) 30:2. Saat defibrillator datang,
teruskan kompresi dada sambil mengaplikasikan elektroda defibrilasi.
Identifikasi irama dan terapi berdasarkan algoritma ALS (Soar et al., 2015).
18
menilai ulang irama atau meraba nadi, lanjutkan CPR (rasio 30:2) segera
setelah shock, dimulai dengan kompresi dada.
Jika akses IV/IO telah didapatkan, selama 2 menit CPR selanjutnya, berikan
adrenaline 1 mg dan amiodarone 300 mg
Penggunaan gelombang capnography dapat membuat ROSC terdeteksi
tanpa melakukan jeda kompresi dada dan dapat dilakukan sebagai cara
untuk menghindari injeksi bolus adrenalin setelah ROSC telah tercapai.
Jika ROSC belum tercapai pada shock ke 3, pemberian adrenalin mungkin
dapat meningkatkan aliran darah myocardial dan meningkatkan
kesempatan defibrilasi yang sukses dengan shock selanjutnya.
Waktu pemberian adrenalin tidak boleh menyebabkan interupsi terhadap
CPR dan menghambat intervensi seperti defibrilasi.
Setelah tiap siklus 2 menit CPR, jika irama menjadi asistol atau PEA,
laksanakan tata laksana untuk non-shockable rhythm. Jika terdapat non-
shockable rhythm dan irama nya terorganisir (kompleks tampak regular atau
sempit), coba raba denyut nadi. Pastikan pemeriksaan irama singkat, dan
pemeriksaan denyut nadi dilakukan hanya jika irama terorganisir diamati.
Jika curiga adanya denyut nadi pada irama terorganisir, segera lanjutkan
CPR. Jika ROSC tercapai, lakukan perawatan post resusitasi (Soar et al.,
2015).
19
Berikan adrenaline 1 mg segera setelah akses vena atau intraosseous
tercapai, dan ulangi setiap siklus CPR alternatif (mis. Sekitar setiap 3-5 menit).
Jika denyut nadi teraba, lakukan perawatan post resusitasi. Jika tanda-tanda
kehidupan kembali saat CPR, periksa irama dan denyut nadi. Jika ROSC
dicurigai selama CPR adrenalin tidak diberikan dan lanjutkan CPR. Beri
adrenalin jika cardiac arrest terkonfirmasi pada pemeriksaan irama
selanjutnya. Kapanpun diagnosis asistol muncul, periksa ECG dengan teliti
terhadap adanya gelombang P, karena gelombang ini mungkin dapat memberi
respon terhadap pacu jantung. Pelaksanaan pacu jantung tidak memberi
manfaat terhadap asistol. Selain itu, jika ada keraguan tentang apakah irama
asistol atau VF yang sangat halus, jangan lakukan defibrilasi; sebagai
gantinya, lanjutkan kompresi dan ventilasi dada. Namun, CPR berkualitas
tinggi yang berkelanjutan dapat meningkatkan amplitudo dan frekuensi VF dan
meningkatkan kemungkinan defibrilasi yang berhasil ke ritme perfusi (Soar et
al., 2015).
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association. 2015 AHA Guidelines Update for CPR and ECC.
2015
Carey, C. (2018) ‘Protocols for Adult Advanced Life Support’, in ANZCOR
Guideline. Australia: Australian Resuscitation Council. Available at:
https://resus.org.au/glossary/advanced-life-support-als-guidelines-11-
1-11-10/.
Fish, F. A., Kannankeril, P. J. and Johns, J. A. (2011) ‘Disorders of Cardiac
Rhythm’, in Pediatric Critical Care, pp. 338–363. doi: 10.1016/b978-0-
323-07307-3.10028-x.
Goldberger, A. L., Goldberger, Z. D. and Shvilkin, A. (2018a) ‘Sudden Cardiac
Arrest and Sudden Cardiac Death Syndromes’, in Goldberger’s Clinical
Electrocardiography. 9th edn, pp. 217–225. doi: 10.1016/b978-0-323-
40169-2.00021-4.
Goldberger, A. L., Goldberger, Z. D. and Shvilkin, A. (2018b) ‘Ventricular
Arrhythmias’, in Goldberger’s Clinical Electrocardiography. 9th edn, pp.
156–171. doi: 10.1016/b978-0-323-40169-2.00016-0.
Latief, S. A., Suryadi, K. A. and Dachlan, M. R. (2010) ‘Resusitasi Jantung
Paru’, in Anestesiologi. 2nd edn. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 151–
160.
Longnecker, D., Newman, M., Mackey, S., Sandberg, W. and Zapol, W.
(2012). Anesthesiology. 2nd ed. Mc Graw Hill
Lontoh, Christie; Maykel, Kiling; Wongkar, D. (2013) ‘Pengaruh Pelatihan Teori
Bantuan Hidup Dasar Terhadap Pengetahuan Resusitasi Jantung Paru
Siswa-Siswi SMA NEGERI 1 TOILI’, 1.
Mangku G dan Senapathi TG. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Editor. Wiryana
IM, Sinardja IK, Sujana IBG, Budiarta IG. Jakarta: Indeks. 2010.
22
Morgan GE, Mikhail MS, dan Murray MJ. Clinical Anesthesiology. New York:
Lange Medical Books/McGraw Hill Medical Pub. Division. 2013.
Pozner, C. N. et al. (2019) Advanced cardiac life support (ACLS) in adults.
Available at: https://www.uptodate.com/contents/advanced-cardiac-
life-support-acls-in-adults#H10125862 (Accessed: 15 November 2019).
Reynolds, P. (2014) ‘Cardiac Arrhythmias and Conduction Disturbances’, in A
Comprehensive Guide to Geriatric Rehabilitation. 3rd edn, pp. 281–290.
doi: 10.1016/b978-0-7020-4588-2.00041-3.
Soara, J. et al. (2015) ‘Adult Advanced Life Support’, in European
Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2015. Elsevier
Ireland Ltd, pp. 100–147. doi:
http://dx.doi.org/10.1016/j.resuscitation.2015.07.016.
23
24