Anda di halaman 1dari 9

INTOKSIKASI AKUT

1. Apakah problem dari pasien?


 Wanita, 17th
 Keluhan utama: tidak sadar
 Keluhan tambahan; ada cairan insektisida di kamar felly
2. Hipotesis
 Intoksikasi insektisida
 Sinkop
 Koma
Mata: ikterik sclera (-), pupil: mengecil (pin point), lakrimasi +
Mulut: berbusa dan bau insektisida
Vital sign: BP=120/80mmHg T=36,8C P=82b/min reg, RR=24x/min
3. Diagnossi awal pasien? Intoksikasi organophospat
4. Management umum intoksikasi akut
Penanganan umum dilakukan SEGERA (CITO) apapun penyebab
keracunannya, yaitu tindakan ABCDE
A. Airway (jalan nafas): Bebaskan jalan napas dari sumbatan. Bila perlu pasang
pipa endotrakeal.
B. Breathing (Pernafasan): Menjaga agar pasien dapat bernapas dengan baik.
Bila perlu diberikan napas buatan.
C. Sirkulasi: Tekanan darah dan nadi dipertahankan dalam batas normal.
Biasanya dipilihkan cairan yang cepat mengisi vaskuler (kristaloid) misalnya:
RL, NS, dan D 5%
D. Dekontaminasi (pembersihan): Tergantung dari cara masuk bahan racun. Jika
melalui kulit  dilakukan pelepasan seluruh pakaian, memandikan dan
mencuci dengan sabun atau keracunan. Bahan racun yang tertelan 
dilakukan pengosongan lambung dan usus dengan cara
a. Emesis

 Mekanik : merangasang orofaring bagian belakang


 Obat-obatan : larutan ipekak 10-20 cc dalam 1 gelas air hangat dapat
diulang setelah 30 menit atau apomorfin 0,6 mg/KgBB (i.m) / 0,1 mg/KgBB
(i.v)
 Kontra Indikasi pemberian emesis < keracunan bahan korosif (air accu).
Keracunan minyak tanah, da nada penderita dengan kesadaran menurun
atau kejang
b. Kumbah lambung
Golden period <= 4jam, sebelum diabsorpsi usus. Dengan memasukkan
pupa nasogastric yang diisi air hangat 200-300 cc sampai bersih. Pada akhir
kumbah lambung dimasukkan norit 30g. Kontraindikasi : penderita kejang dan
pada keracunan korosif

1
Untuk keracunan makanan yang lain (Gadung, Jamur, Kupang, dll) dapat
diberikan air kelapa muda dengan tujuan untuk mengencrkan pengaruh racun di
saluran cerna.
E. Eliminasi
Eliminasi bertujuan untuk membersihkan racun yang diperkirakan sudah berada
di aliran darah. Eliminasi dapat dilakukan dengan Diuresis Paksa,
Hemodialisis, dan Hemoperfusi.
a. Diuresis paksa : Jenis diuresis paksa (DP) =

 DP netral : Ca glukonas (iv) 3 L cairan D10% dalam 12 jam = furosemide


 DP alkali : Sama dengan DP netral ditambah setengah ampul Na
bikarbonat pada tiap D 5%
 DP Asam : Digunakan untuk keracunana amfetamin, strichnin, dan
finisiklidin  1,5 L ammonium klorida dan 500 cc D5 % (bergantian
dengan 500 cc NS)
Kontra indikasi DP : syok, dekomp cordis, gagal ginjal, edema paru dan
keracunan karena zat yang sulit dieksresi ginjal
b. Dialisis
DIlakukan pada pasien dengan Koma dalam, hipotensi berat, kelainan asam
basa dan elektrolit, gagal ginjal, gagal jantung, penyakit paru, penyakit hati
dan kehamilan
5. Bagaimana manajemen spesifik pada pasien
a. Pemberian antidotum
Untuk menawarkan efek racun. Namun tidak semua racun mempunyai
antidotum yang spesifik
b. Tindakan suportif
Guna mempertahankan fungsi vital → koreksi keseimbangan asam-basa,
pengobatan infeksi, dll
6. Perbedaan faktor yang menimbulkan intoksikasi akut pada anak, masa
pubertas (remaja), dan usia lanjut
 anak-anak: keracunan sering terjadi karena terjadi keteledoran orang tua
menempatkan obat-obatan dan bahan kimia sehingga terjangkau anak-anak
 masa pubertas (remaja): biasanya akibat kesengajaan karena sering terjadi
gejolak hidup dan kepribadian yang tidak matang
 usia lanjut: akibat daya ingat yang kurang, sehingga sering minum obat
dengan dosis yang berlebihan.
7. Apa penyebab intoksikasi akut
- Golongan pestisida – organofosfat, karbamat
- Bahan korosif – air aki
- Obat-obatan – parasetamol, antidepressan
- Makanan – gadung, kerang, jamur, dsb.

2
- Alkohol – metanol, etanol
- Minyak tanah
- Bahan kimia – tembaga, timbal, dsb
8. Tanda dan gejala dari intoksikasi organosfosfat
Tanda dan gejala dari keracunan organofosfat dapat dibagi menjadi 3 kategori
besar, termasuk (1) efek muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek SSP
 Jembatan keledai untuk mengingat efek muskarinik dari organofosfat adalah
SLUDGE (salivasi, lakrimasi, urinasi, diare, gangguan GI, emesis) dan
DUMBBBELS (diaphoresis dan diare, urinasi, miosis, bradikardi,
bronchospasme, bronchorrhea, emesis, lakrimasi berlebihan, dan salivasi).
Efek muskarinik oleh sistem organ termasuk :
- Cardiovascular – Bradikardi, hipotensi
- Respirasi - rhinorrhea, bronchorrhea, bronchospasme, batuk, distress
respirasi parah
- GI – hipersalivasi, mual dan muntah, nyeri abdomen, diare, inkontinensi
fecal
- Genitourinary – inkontinensia
- Ocular – penglihatan kabur, miosis
- Kelenjar – peningkatan lakrimasi, diaphoresis
 Tanda dan gejala nikotinik termasuk fascikulasi otot, kram, kelemahan, dan
diaphragma failure. Efek nikotinik otonom termasuk hipertensi, takikardi,
midriasis dan pucat.
 Efek SSP termasuk kecemasan, emosi labil, kegelisahan, bingung, ataksia,
tremor, kejang dan coma

9. Patofisiologi dari intoxicasi organofosfat


Organofosfat dapat diabsorbsi melalui kulit, tertelan, terhirup, atau terinjeksi.
Meskipun kebanyakan pasien menimbulkan gejala secara cepat, onset dan
keparahan gejala tergantung dari komponen spesifik, jumlahnya, rute paparan,
dan laju degradasi metabolik.

Komponen organofosfat memblokir aksi enzim kolinesterase → asetilkolin tidak


terhidrolisis → asetilkolin terakumulasi dalam tubuh → menstimulasi reseptor
muscarinic → (miosis, hipersekresi lakrimal, saliva, dan kelenjar GIT, stimulasi
bronkial, dan otot polos lainnya) dan reseptor nikotinic → stimulasi otot skeletal
(kontraksi otot skeletal) disertai dengan paralisis otot skeletal.

10. Bagaimana mekanisme sulfat atropin untuk intoxicasi organofosfat


Atropin sulfat memblokir reseptor muscarinic → menurunkan efek muscarinik
dari asetilkolin → midriasis, penurunan sekresi dari saliva, bronkial, dan kelenjar
GIT.

Pertama, kita harus memberi atropin sulfat sampai pupil menjadi midriasi
kemudian kita memberikan pralidoxime (kolinesterase rejuvenator/ regenerator)

3
yang membuat kolinesterase dapat menhidrolisis asetilkolin lagi dan otot skeletal
dapat berfungsi kembali.

11. Komplikasi dari intoxicasi organofosfat


Komplikasi intoxicasi organofosfat diantaranya bronchorrhea, kejang,
kelemahan, dan neuropathy. Gagal nafas (respiratory failure merupakan
penyebab kematian yg paling umum.

12. Prognosis intoksikasi organofosfat


 Penilitan tentang mortalitas dunia melaporkan rasio mortalitas antara 3-25%.
Senyawa yang paling sering terlibat adalah malathion, dichlorvos, trichlorfon,
femitrothion/malathion.
 Rasio mortalitas berdasarkan tipe senyawa yang digunakan, jumlah yang
tertelan, kondisi kesehatan umum dari pasien, keterlambatan dalam penemuan
dan transportasi, manajemen pernapasan yang tidak memadai, keterlambatan
intubasi, dan kegagalan dalam pemasangan alat bantu napas.

13. Antidote dari beberapa intoksikasi akut?

Jenis Bahan Racun Antidot Spesifik


Alkaloid opium Nalokson
Paracetamol Asetilsistein, metionin
Sianida Dikobal edetat
Organofosfat, K Atropin
arbonat
Logam berat besi Desferoksamin
Logam berat Arsen Dimerkaprol
Air raksa N asetil penisilamin
Tembaga D penisilamin
Timbal Dimerkaprol
Metanol (etilen glikol) Etanol
Antidepresan trisiklik Fisostigmin
Antikoagulan Kumarin Vitamin K

Enam bulan kemudian, Miss. Felly datang kembali ke UGD RSAL dengan keluhan tidak
sadar. Keluarganya menjelaskan, bahwa Miss. Felly ditemukan di kamarnya dalam
keadaan tidak sadar setelah meminum panadol 10 tablet.
Pemeriksaan fisik:
Kondisi umum: GCS: 3 – 4 – 4
Vital sign: TD = 110/70 mmHg Nadi = 112 b/min, reguler
Suhu = 36,8 C (axillar) RR = 24 x/min

4
Mata: Konjungtiva = pucat (-) ; sklera = ikterik (-) ; pupil = normal
Jantung/Paru: normal
Abdomen: normal dan ekstremitas: dingin
1. Manajemen intoksikasi paracetamol

Asetilsistein adalah antidotum untuk toksisitas parasetamol


N-acetylcisteine bekerja dengan mengurangi toksisitas parasetamol dengan
memperbaiki penyimpanan antioksidan tubuh terutama glutathion. Glutathion
bereaksi dengan metabolit toksik NAPQI sehingga metabolit tersebut tidak
merusak sel dan dapat diekskresikan dengan aman. Cysteamine dan metionin
juga telah digunakan untuk mencegah hepatotoksisitas, meskipun efek samping
obat lebih banyak dibandingkan asetilsistein.
Asetilsistein merupakan antidotum yang lebih efektif, terutama pada pasien yang
datang lebih dari 8 jam post ingesti ditambah karbon aktif.
Jika diberikan lebih dari 8 jam maka terdapat penurunan keefektivitasnya karena
kaskade toksik di liver telah terjadi, dan resiko nekrosis hepar akut dan kematian
meningkat secara dramatis. Pemberian karbon aktif tidak berguna, dan
asetilsistein harus diberikan sesegera mungkin.
Pada praktek di Amerika Serikat, administrasi intravena (IV) dan oral
dipertimbangkan sama efektifnya jika diberikan dalam 8 jam setelah ingesti.
Asetilsistein oral diberikan 140 mg/kg loading dose diikuti dengan 70 mg/kg
tiap 4 jam sebanyak 17 kali. Kekurangannya karena rasa dan aromanya yang
tidak enak, dan kecenderungannya untuk menyebabkan mual dan muntah.
Asetilsistein intravena diberikan sebagai infus kontinu selama 20 jam dengan
total dosis 300 mg/kg. Administrasi yang dianjurkan melibatkan infus 150 mg/kg
loading dose selama 15 – 60 menit, diikuti dengan infus 50 mg/kg selama 4 jam,
dan 100 mg/kg terakhir diinfuskan selama 16 jam terakhir dari protokol.
Efek samping dari pengobatan acetylsysteine yang sering terjadi adalah reaksi
anafilaktoid (non-immune anaphylaxis), gejala yang muncul biasanya adalah
ruam, mengi (wheezing), atau hipotensi ringan. Efek samping ini lebih sering
terjadi pada pasien yang diobati dengan IV acetylsysteine, sekitar 4-23% pasien
mengalaminya. Pada beberapa kasus yang jarang, reaksi parah yang
mengancam jiwa dapat terjadi pada pasien yang berisiko, seperti pasien asma.
Jika reaksi anafilaktoid terjadi, maka pengobatan acetylsteine secara temporer
harus dihentikan atau dilambatkan dan antihistamin serta perawatan suportif
lain diadministrasikan.
Pada pasien dengan gagal hepar yang fulminan (onsetnya tiba-tiba & parah)
atau pasien yang diekspetasikan akan meninggal dari gagal hepar, maka
manajemen utamanya adalah transplantasi hepar. Pasien tersebut

5
direkomendasikan untuk melakukan transplantasi hepar apabila pH darah
arterinya < 7,3 setelah resusitasi cairan atau jika pasien memiliki ensefalopati
grade III / IV, prothrombin time > 100 detik, dan serum kreatinin > 300 mmol / L
dalam waktu 24 jam. Metode lain yang dapat dilakukan adalah transplantasi
hepar partial. Metode ini memberikan keuntungan suportif pada pasien, selagi
hepar pasien tersebut melakukan regenerasi. Sewaktu hepar sudah bisa
berfungsi, maka obat imunosupresif harus dihentikan dan tidak boleh
menggunakan obat imunosupresif selama masa hidupnya.

2. Gejala dan tanda intoksikasi paracetamol


Gejala dan tanda toksisitas paracetamol terjadi dalam 3 fase :
 Fase pertama dimulai dalam beberapa jam setelah overdosis: mual, muntah,
pucat, dan keringat.
 Fase kedua dimulai antara 24-72 jam: peningkatan kerusakan hepar, nyeri di
kuadran kanan atas abdomen (LIVER), alanine transaminase (SGPT) dan
aspartate transaminase (SGOT) meningkat sampai level yang abnormal. Gagal
ginjal akut (AKI) juga dapat terjadi pada fase kedua ini, disebabkan oleh karena
sindrom hepatorenal atau multiple organ dysfunction syndrome. Pada
beberapa kasus, gagal ginjal akut (AKI) dapat menjadi manifestasi klinis primer
dari toksisitas ini.
 Fase ketiga dimulai 3-5 hari: pada fase ini terjadi komplikasi dari nekrosis
hepatic parah yang merujuk pada gagal hepar fulminan dengan komplikasi
defek koagulan, hipoglikemi, gagal ginjal, hepatic encephalopathy, edema
cerebral, sepsis, multiple organ failure, dan kematian. Jika pasien selamat dari
fase ketiga ini, maka nekrosis hepatic akan berakhir dan fungsi hepar serta
ginjal akan normal kembail dalam beberapa minggu.

3. Berapa dosis yang dapat menyebabkan intoksikasi


 Pada umumnya, maksimum dosis yang dianjurkan untuk dosis harian bagi
dewasa sehat yaitu 4 gram.
 Pada dewasa overdosis dpt terjadi apabila diberikan dosis tunggal diatas 10
gram atau 200mg/kgBB atau ketika dosis lebih kecil diberikan dalam 24 jam
melebihi batas ini.
 Dosis normal parasetamol 1 gram 4 kali dalam sehari selama 2 minggu dapat
menyebabkan peningkatan alanin transaminase (ALT) hepar 3 kali dari nilai
normal.
 Pada orang dewasa, dosis 6 gram sehari lebih dari 48jam dapat menyebabkan
toksisitas.
 Overdosis parasetamol akut pada anak jarang menyebabkan penyakit atau
kematian, dan sangat jarang terjadi pada anak yang mengkonsumsi parasetamol
untuk treatment dengan dosis yang lebih besar jangka lama.
 Dosis intravena harus diberikan lebih sedikit daripada oral.
 Pada beberapa individu, toksisitas parasetamol dapat terjadi dalam dosis normal.
Hal ini terjadi karena adanya perbedaan individu (idiosyncratic) dalam ekspresi
dan aktivitas beberapa enzim yang berperan dalam jalur metabolisme
parasetamol.

6
Bagaimana farmakologi atropin dalam kasus ini
Alkaloid natural dan obat antimuskarinic tertier diabsorbsi baik dari pencermaan dan
membran konjungtiva. Atropin dan agen tertier lainnya terdistribusi luas di dalam
tubuh. Level signifikan dapat mencapai sistem saraf pusat dalam 30 menit hingga 1
jam , dan hal ini dapat membatasi dosis yang dapat ditolerir untuk efek peripheral.
Setelah pemberian, eliminasi atropin dari darah terjadi dalam 2 fase, waktu paruh dari
fase cepat adalah 2 jam dan fase lambat adalah kira-kira 13 jam. Kira-kira 50%
dosis diekskresi tanpa diubah di urin. Sisanya terdapat di urin sebagai produk
hidrolisis dan konjugasi. Efek obat pada fungsi parasimpatis menurun cepat pada
semua organ , kecuali mata.
Atropin menyebabkan blokade kerja cholinomimetic reversible pada reseptor
muskarinik. Blokade oleh dosis kecil atropin dapat diatasi dengan konsentrasi
tinggi asetilkolin atau agonist muskarinic yang ekuivalen. Atropin sangat selektif
untuk reseptor muskarinik.
Efek terhadap sistem organ:
1. Sistem saraf pusat
Dalam dosis yang biasanya digunakan, atropine memiliki efek stimulan yang
minimal pada SSP, terutama pusat medullaris parasimpatetik.

2. Mata
Otot konstriktor pupil bergantung pada aktivasi muscarinic cholinoceptor. Aktivasi
reseptor ini diblok oleh atropine topical (midriasis). Efek okular penting yang
kedua dari obat anti muskarinik ialah dapat melemahkan kontraksi otot siliaris,
atau cycloplegia. Cycloplegia menyebabkan hilangnya kemampuan
akomodasi; mata yang teratropinisasi secara keseluruhan tidak dapat
focus dalam penglihatan dekat. Efek ketiga ialah dapat menurunkan sekresi
lakrimal.

3. Sistem kardiovaskular
Nodus sinoatrial (SA) sangat sensitive terhadap blokade reseptor muskarinik.
Dosis atropine sedang hingga tinggi menyebabkan takikardi dan berdetak
secara spontan oleh blokade dari vagal slowing. Takikardia dapat muncul tapi
memiliki efek kecil terhadap tekanan darah.

4. Sistem respirasi
Baik otot polos dan kelenjar sekretoris jalan nafas menerima inervasi vagus dan
mengandung reseptor muskarinik. Bahkan dalam individu normal, administrasi
atropine dapat menyebabkan bronkodilatasi dan menurunkan sekresi. Obat-
obatan antimuskarinik sering digunakan sebelum adminstrasi anastesi inhalant
untuk mengurangi akumulasi sekresi di dalam trakea dan kemungkinan
terjadinya laryngospasme.

7
5. Sistem gastrointestinal
Blokade reseptor muskarinik memiliki efek dramatis pada pergerakan dan
beberapa fungsi sekresi dari gut. Obat antimuskarinik memiliki efek yang
signifikan pada sekresi saliva; mulut kering sering muncul pada pasien yang
menggunakan obat anti muskarinik untuk penyakit Parkinson atau kondisi urinary
nya. Blokade sekresi gaster kurang efektif: volume dan jumlah asam,
pepsin, dan mucin semuanya berkurang, tapi mungkin diperlukan atropine
dalam dosis besar. Motilitas otot polos gastrointestinal dipengaruhi dari gaster
hingga colon. Secara umum, obat antimuskarinik menghilangkan tonus dan
pergerakan propulsive; dinding viscera menjadi relax. Maka dari itu, waktu
pengosongan lambung lebih lama dan waktu transit di usus juga memanjang.

6. Traktus genitourinaria
Aksi antimuskarinik dari atropine dan analognya me-relax-kan otot polos
ureter dan dinding kandung kemih dan melambatkan voiding (urinasi).

7. Kelenjar keringat
Atropin menekan thermoregulatory sweating. Sabut kolinergik simpatetik
menginervasi kelenjar keringat eccrine, dan reseptor muskariniknya dapat
diakses oleh antimuskarinik. Pada orang dewasa, temperature tubuh
meningkat oleh efek ini jika dosis yang besar diadministrasikan, tapi di bayi dan
anak-anak, bahkan dosis normal pun dapat menyebabkan “demam atropine”

4. Bagaimana patofisiologi intoksikasi parasetamol?


Mengikuti dosis terapeutik, paracetamol kebanyakan dikonversi menjadi
metabolit nontoxic via metabolism phase 11 oleh konjugasi dengan sulfat dan
glucaronide, dengan sebagian kecil teroksidasi via sistem enzim cytochrome
P450. Cytochrome P450 2E1 dan 3A4 mengkonversi kurang lebih 5%
paracetamol menjadi metabolit intermediet yang sangat reaktif, N-acetyl-p-
benzoquinoneimine (NAPQI). Dalam kondisi normal, NAPQI didetoksifikasi oleh
konjugasi dengan glutathione untuk membentuk cysteine dan mercapturic acid
conjugates.
Pada kasus overdosis paracetamol, jalur sulfat dan glukuronida menjadi
tersaturasi, dan lebih banyak paracetamol dipindahkan ke system sitokrom
P450 untuk memproduksi NAPQI. Sebagai hasilnya, suplai hepatoseluler dari
glutathion menjadi berkurang, dimana kebutuhan glutathion lebih tinggi
dibandingkan regenerasinya. NAPQI tetap berada dalam bentuk toksiknya di
liver dan bereaksi dengan molekul membran seluler, menghasilkan kematian dan
kerusakan hepatosit yang tersebar luas, mengakibatkan nekrosis hepatik akut.
Pada pembelajaran pada hewan, glutathion hepatik harus dikurangi hingga
kurang dari 70% dari tingkat normal sebelum hepatotoksisitas terjadi.

8
5. Factor resiko yang berpotensi meningkatkan resiko dari keracunan
paracetamol?
 Konsumsi alkohol eksesif yang kronis dapat menginduksi CYP2E1, yang
akhirnya meningkatkan potensi keracunan paracetamol. Bagi pengguna alkohol
kronis mungkin memiliki efek yang protektif thd overdosis paracetamol, namun
tdk pada pengguna alkohol non-kronis.
 Berpuasa adalah faktor resiko, kemungkinan karena penurunan dari simpanan
glutathion hepatik. Penggunaan konkomitan dari obat-obatan lain yang
menginduksi enzim CYP, seperti antiepileptik termasuk carbamazepin, phenytoin
dan barbiturat, juga dilaporkan sebagai faktor resiko.
 Campuran dari paracetamol dan kafein dalam jumlah yang banyak dapat
menyebabkan kerusakan liver. Namun, jumlah kafein yang ditunjukkan untuk
menyebabkan efek pada studi terdahulu tersebut lebih tinggi dibandingkan dosis
yang dikonsumsi peminum kopi.

6. Prognosis intoksisitas paracetamol


Tingkat mortalitas tertinggi pada dua hari setelah ingesti dan mencapai maksimum
pada hari keempat, lalu berkurang secara perlahan.
Persentase mortalitas 95% saat tanpa transplantasi dilaporkan pada pasien yang
memiliki pH kurang dari 7,3.
Indikator prognosis buruk yang lain termasuk insufisiensi renal, grade 3 atau
ensefalopati hepatik yang memburuk, peningkatan prothrombin time, atau
peningkatan tingkat asam laktat darah. Sebuah studi menunjukkan bahwa tingkat
faktor V yang kurang dari 10% dari kadar normal mengindikasikan prognosis yang
buruk (91% mortalitas), dimana rasio faktor VIII dibanding faktor V kurang dari 30
mengindikasikan prognosis yang baik (100% bertahan hidup).

Anda mungkin juga menyukai