Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

ILMU ANESTESI
RESUSITASI JANTUNG PARU
DAN AIRWAY MANAGEMENT

Pembimbing:
dr. I. Wayan Suryajaya, Sp.An

Penyusun:

Christianto Samuel P. Tangkau 2016.04.2.0038


Clara Angelia 2016.04.2.0039
Claudia Sandra Kuncoro 2016.04.2.0040
Cyrilus Billy Sutjonong 2016.04.2.0041

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2017
2
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
ILMU ANESTESI
RESUSITASI JANTUNG PARU
DAN AIRWAY MANAGEMENT

Judul Referat Resusitasi Jantung Paru dan Airway Management telah


diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan klinik di bagian Anestesi RSAL dr. Ramelan Fakultas Kedokteran
Universitas Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, Februari 2017

Mengetahui:
Pembimbing

dr. I.Wayan Suryajaya, Sp.An

i
Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya, referat yang berjudul Resusitasi Jantung Parudan Airway
Management ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulisan referat ini merupakan bagian dari proses belajar selama kepaniteraan
klinik di bagian Anestesi RSAL dr. Ramelan Surabaya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pembimbing, dr.
I.Wayan Suryajaya, Sp.An, karena beliau telah meluangkan banyak waktu dan
pikiran untuk membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini
dengan baik.
Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa
referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun selalu diharapkan.

Surabaya, 10 Februari 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan........................................................................................... i
Kata Pengantar.................................................................................................... ii
Daftar Isi.............................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 1
BAB 2 PEMBAHASAN....................................................................................... 3
2.1 Definisi Resusitasi Jantung Paru..................................................... 3
2.2 Indikasi Resusitasi Jantung Paru..................................................... 3
2.3 Resusitasi Jantung Paru.................................................................. 4
2.4 Basic Life Support............................................................................ 9
2.5 Airway Management........................................................................ 13
2.6 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2015................................. 15
2.7 Perbedaan Antara AHA 2010 dan AHA 2015................................... 20
2.8 Peningkatan Kualitas Resusitasi..................................................... 24
2.9 Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi.............................. 25
2.10Komplikasi....................................................................................... 25
BAB 3 KESIMPULAN......................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 27

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Resusitasi jantung paru (RJP) adalah metode untuk mengembalikan fungsi


pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti napas dan henti
jantung yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Tindakan RJP ini tidak hanya
berlaku dalam ruangan operasi, tapi dapat juga diluar jika terdapat suatu kejadian
dimana ada seorang pasien atau korban, dalam usaha mempertahankan hidupnya
dalam keadaan mengancam jiwa. Hal ini dikenal dengan Bantuan Hidup Dasar
(BHD) atau Basic Life Support (BLS). Sedangkan bantuan yang dilakukan dirumah
sakit sebagai lanjutan dari BHD disebut Bantuan Hidup Lanjut atau Advance Cardiac
Life Support (ACLS).
Basic life support atau bantuan hidup dasar (BHD) adalah pendekatan
sistemik untuk penilaian pertama pasien, mengaktifkan respon gawat darurat. BHD
sangat bermanfaat bagi penyelamatan kehidupan mengingat dengan pemberian
sirkulasi dan napas buatan secara sederhana. BHD memberikan asupan oksigen
dan sirkulasi darah ke sistem tubuh terutama organ yang sangat vital dan sensitif
terhadap kekurangan oksigen seperti otak dan jantung. Berhentinya sirkulasi
beberapa detik sampai beberapa menit, asupan oksigen ke dalam otak terhenti,
terjadi hipoksia otak yang yang mengakibatkan kemampuan koordinasi otak untuk
menggerakkan organ otonom menjadi terganggu, seperti gerakan denyut jantung
dan pernapasan.
Penyelamatan ini akan sangat bermanfaat jika dilakukan dengan mungkin
dan sebaik mungkin. Lebih baik ditolong, walupun tidak sempurna daripada
dibiarkan tanpa pertolongan. Pada saat henti napas, kandungan oksigen dalam
darah masih tersedia sedikit, jantung masih mampu mensirkulasikannya ke dalam
organ penting, terutama otak, jika pada situasi diberi bantuan pernapasan,
kebutuhan jantung akan oksigen untuk metabolisme tersedia dan henti jantung
dapat dicegah.
Resusitasi jantung paru (RJP) yang efektif adalah dengan menggunakan
kompresi dan dilanjutkan dengan ventilasi. Tindakan ini dapat dilakukan oleh orang
awam dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesehatan. Keadaan yang perlu
perhatian dan dapat menyebabkan Systemic Cardiopulmonary Arrest (SCA) adalah

1
seperti kecelakaan, sepsis, kegagalan respiratori, dan banyak lagi. Pada saat
pertama kali menemukan pasien atau korban penilaian dini harus dilakukan. Jika
dalam penilaian ditemukan sumbat jalan nafas, tidak ditemukan adanya nafas dan
tidak ada nadi maka tindakan BHD harus dilakukan dengan segera.
Menurut American Heart Association (AHA), rantai kehidupan mempunyai
hubungan erat dengan resusitasi jantung paru, karena penderita yang diberikan RJP,
mempunyai kesempatan yang besar untuk dapat hidup kembali. RJP yang
digunakan dirujuk kepada pedoman dari AHA yaitu 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular care.

BAB 2

2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harafiah menghidupkan kembali,
dimaksudkan usaha usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode
henti jantung yang dapat berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi Jantung
Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary Resucitation (CPR) adalah rangkaian tindakan
penyelamatan nyawa yang meningkatkan probabilitas untuk hidup setelah henti
jantung.

2.2Indikasi Resusitasi Jantung Paru


RJP diindikasikan untuk setiap orang yang tidak sadar, yang tidak bernapas
atau bernapas tidak normal (gasping), sebagaimana yang sering terjadi pada henti
jantung.Penilaian aktivitas listrik jantung dengan rapid "rhythm strip" dapat
memberikan analisis yang lebih rinci dari jenis serangan jantung, serta menunjukkan
pilihan tambahan pengobatan.
Hilangnya aktivitas jantung yang efektif umumnya karena inisiasi spontan dari
aritmia nonperfusi, kadang-kadang disebut sebagai aritmia ganas.Contoh aritmia
nonperfusi paling umum adalah ventricle fibrillation (VF), pulseless ventricle
tachycardia (VT), pulseless electrical activity, asystole, pulseless bradycardia.
Meskipun defibrilasi cepat telah terbukti meningkatkan kelangsungan hidup
untuk VF dan iramapulseless VT, RJP harus dimulai sebelum irama diidentifikasi dan
harus dilanjutkan sementara defibrillator sedang dipersiapkan.Selain itu, RJP harus
segera kembali dilakukan setelah defibrillatory shocksampai nadi berdenyut
kembali.Hal ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa "jeda preshock"
pada RJPmemberikan hasil yang lebih rendah dalam keberhasilan defibrilasi dan
pemulihan pasien.
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/ uap/ gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan
infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit.
Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan terselamatkan
hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung. Untuk orang

3
awam, jika tidak ada gerakan dada dan napas tidak normal (gasping), segera
lakukan Resusitasi Jantung Paru.
Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi
kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat
kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat. Sebaliknya akan menyebabkan
kematian atau kerusakan otak jika tindakan yang dilakukan tidak tepat. Henti jantung
terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk dalam henti
jantung.
Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung) atau
penyebab ekstrakardial (dari luar jantung). Yang termasuk penyebab kardial yaitu
gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan kontraktilitas otot jantung
(decompensatio cordis, syok kardiogenik), aliran darah koroner terhenti, aliran darah
koroner yang kurang oksigen, trauma pada jantung atau pada sternum, dan
sumbatan koroner. Yang termasuk penyebab ekstrakardial yaitu hipoksia berat,
hipovolemia berat, hiperkalemia, aliran listrik.
Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner terhenti,
miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan terjadi irama ventrikel
takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah ATP habis akan menjadi asistol.
Setelah henti jantung, kontraktilitas otot jantung menurun. Selama periode
hipoperfusi, miokard mungkin rusak.

2.3Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi jantung paru (RJP) selalu mengintegrasikan kompresi dada dan
penyelamatan napas dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan
oksigenasi.Karakteristik penyelamat dan korban bisa mempengaruhi keoptimalan
dari komponen RJP.

Penyelamat
Semua orang bisa menjadi penyelamat untuk menyelamatkan nyawa korban
serangan jantung.Keterampilan dan aplikasi RJP bergantung pada pelatihan,
pengalaman, dan konfidensi penyelamat.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP.Semua penyelamat, terlepas dari
tingkat pelatihan yang pernah dijalani, harus memberikan kompresi dada pada
semua korban serangan jantung. Karena pentingnya tindakan tersebut, kompresi
dada harus menjadi tindakan RJP paling awal untuk semua korban tanpa

4
memandang usia.Jika mampu melakukan, penyelamat juga sebaiknya
menambahkan ventilasi setelah kompresi dada. Penyelamat terlatih yang bekerja
sama harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada dan ventilasi secara
kompak dalam tim.

Korban
Seringkali serangan jantung pada orang dewasa terjadi tiba-tiba, yang
penyebabnya adalah jantung; oleh karena itu, sirkulasi yang dihasilkan oleh
kompresi dada merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan.Sebaliknya, serangan
jantung pada anak-anak yang paling sering terjadi karena asfiksia, yang
membutuhkan ventilasi dan penekanan dada untuk mendapatkan hasil optimal.Oleh
karena itu, bantuan pernapasan mungkin lebih penting untuk anak-anak
dibandingkan orang dewasa pada serangan jantung.

Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan


gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam chain of survival,
yang meliputi :

5
a. Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari emergency
response system
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive maka
petugas kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa
respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama korban sembari
melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah. Lihat apakah
korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan. Penolong harus
memanggil bantuan terdekat setelah korban tidak menunjukkan reaksi. Akan
lebih baik bila penolong juga memeriksa pernapasan dan denyut nadi korban
seiring pemeriksaan respon pasien agar tidak menunda waktu
dilakukannya RJP

b. RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada


Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik).
Kriteria penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah:
Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali per menit
dan maksimal 120 kali per menit. Pada kecepatan lebih dari 120 kali /
menit, kedalaman kompresi akan berkurang seiring semakin cepatnya
interval kompresi dada.

6
Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm) dan
kedalaman maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan kedalaman kompresi
maksimal diperuntukkan mengurangi potensi cedera akibat kedalaman
kompresi yang berlebihan. Pada pasien bayi minimal sepertiga dari
diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 inchi (4 cm) dan untuk
anak sekitar 2 inchi (5 cm). Pada pasien anak dalam masa pubertas
(remaja), kedalam kompresi dilakukan seperti pada pasien dewasa.
Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri
disamping korban jika korban berada di tempat tidur. Tabel berikut
mencakup beberapa hal yang perlu diperhatikan selama melakukan
kompresi dada dan pemberian ventilasi

Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama


melakukan siklus kompresi dada, penolong harus membolehkan rekoil
dada penuh dinding dada setelah setiap kompresi; dan untuk melakukan
hal tersebut penolong tidak boleh bertumpu di atas dada pasien setelah
setiap kompresi.
Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya
meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk
mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan per menit.
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui head tilt chin lift. Namun jika korban
dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw
thrust.
Menghindari ventilasi berlebihan. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali.
Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan

7
kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk
adekuat.
Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal,
Combitube, atau saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan
1 napas buatan setiap 6 detik (10 napas buatan per menit) untuk pasien
dewasa, anak-anak, dan bayi sambil tetap melakukan kompresi dada
berkelanjutan
Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian
setiap 2 menit.
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan
bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar
10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit.
Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien
bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas
kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk
pemasangan alat defibrilasi otomatis atau pemasangan advance airway.
c. Defibrilasi yang cepat
Probabilitas korban selamat dapat menurun dengan meningkatnya
interval antara henti jantung dan defibrilasi. Defibrilasi dini tetap merupakan
terapi utama untuk ventrikel fibrilasi (VF) dan ventrikel takikardia tanpa nadi
(pulseless VT).
Salah satu faktor penentu keberhasilan defibrilasi adalah efektivitas
kompresi dada. Defibrilasi dapat memberikan outcome yang baik jika interupsi
(untuk penilaian irama, defibrilasi, atau perawatan lanjutan) pada kompresi
dada dikurangi seminimal mungkin.
d. Advanced life support yang efektif
e. Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi

Sistem kegawatdaruratan yang secara efektif menerapkan rangkaian tersebut


diatas dapat meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup pada penderita henti
jantung sebesar 50%.Akan tetapi, pada sebagian besar sistem kegawatdaruratan,
rata-rata kelangsungan hidupnya rendah, yang mengindikasikan bahwa terdapat
kesempatan untuk meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup dengan mengecek
kembali semua komponen dari chain of survivaldan memperkuat komponen yang

8
lemah.Komponen chain of survival yang satu bergantung dengan komponen yang
lainnya, dan kesuksesan dari setiap komponenbergantung dari keefektifan
komponen sebelumnya.
Penolong dapat mempunyai berbagai macam pelatihan, pengalaman, dan
kemampuan. Status penderita henti jantung dan responnya terhadap RJP juga
bervariasi. Tantangannya adalah bagaimana untuk mencapai RJP yang sedini
seefektif dan mungkin untuk penderita henti jantung.
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan napas buatan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik
penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari komponen
RJP.
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah
mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap
penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi
tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang
telah terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan
dengan ventilasi, sebagai suatu tim.
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada
menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-anak
seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi
dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian napas buatan pada henti jantung
menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.

2.4. Basic Life Support


Algoritma Adult Basic Life Support yang secara luas dikenal adalah suatu
konsep kerangka untuk semua tingkatan penolong pada setiap kondisi. Aspek dasar
dalam BLS meliputi pengenalan (recognition) secara cepat henti jantung yang tiba-
tiba dan aktivasi emergency response system(activation), resusitasi jantung paru
yang dini (resuscitation), dan defibrilasi yang cepat (defibrillation) dengan Automated
External Defibrillator (AED). Pengenalan dan respon yang dini terhadap serangan
jantung dan stroke juga termasuk bagian dari BLS.

9
a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung
secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali bahwa
penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak adanya atau
berkurangnya respon napas.
Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus
memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita dan
memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih maupun yang tidak
terlatih harus segera mengaktifkan emergency response system (dengan
menghubungi nomor darurat yang tersedia). Setelah mengaktifkan emergency
response system semua penolong harus segera memulai RJP.

b. Pengecekan nadi
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa baik penolong yang tidak
terlatih maupun penolong yang terlatih mengalami kesulitan dalam mengecek
nadi. Penolong yang terlatih dapat juga membutuhkan waktu yang lama untuk
mengecek nadi.
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis) dan
harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi
penolong yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif dan
napas tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak.

c. Resusitasi Jantung Paru yang dini


1) Kompresi Dada
Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan bertenaga
pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan aliran darah
dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan
jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan
otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran darah
selama RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung harus
mendapatkan kompresi dada.
Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat dan
cepat (push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus mencapai paling

10
sedikit 100-120 x/menit dengan kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm)
dan tidak lenih dari 2.4 inchi (6 cm). Penolong harus memberi kesempatan agar
daya rekoil paru dapat terjadi sempurna setiap kali sehabis kompresi, untuk
memberi kesempatan jantung mengisi kembali secara penuh sebelum kompresi
berikutnya. Penolong seharusnya mencoba untuk mengurangi frekuensi dan
durasi gangguan yang terjadi selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah
kompresi yang diberikan tiap menit.
Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi
hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil
terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di bagian
tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inci.
2) Penyelamatan pernapasan
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC 2015
adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum ventilasi. Meskipun
tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan bahwa memulai RJP
dengan 30 kompresi daripada memulai dengan dua ventilasi yang menunjukkan
hasil yang lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi
dada. Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus
diminimalkan selama seluruh proses resusitasi.
Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan
memposisikan kepala, mengambil penutup untuk pertolongan napas dari mulut-
ke mulut, dan mengambil alat bag-mask memakan banyak waktu. Memulai RJP
dengan 30 kompresi daripada dua ventilasi menghasilkan penundaan yang lebih
singkat.
Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih harus
memberikan napas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau melalui bag-
mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut:
Memberikan setiap napas buatan selama satu detik
Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan pengembangan
dada yang terlihat (visible chest rise)
Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2
Ketika jalan napas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu, atau
laryngeal mask airway (LMA)) telah dipasang selama RJP dengan dua

11
orang penyelamat, berikan napas setiap 6 detik tanpa menyesuaikan
napas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh berhenti untuk
memberikan ventilasi.

d. Defibrilasi dini dengan AED


Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang
seorang diri harus mencari AED (Automated External Defibrillator) (bila AED
dekat dan mudah didapatkan) dan kemudian kembali ke penderita untuk
memasang dan menggunakan AED.Penolong lalu memberikan RJP berkualitas
tinggi.
Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera
memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan
emergency response system dan mengambil AED (atau defibrillator manual pada
kebanyakan rumah sakit).AED harus digunakan secepat mungkin dan kedua
penyelamat harus memberikan RJP dengan kompresi dada dan ventilasi.
Tahapan defibrilasi:
Nyalakan AED
Ikuti petunjuk
Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan gangguan)

12
2.5 Airway Management
2015 AHA Guidelines adalah untuk merekomendasikan inisiasi kompresi
dada sebelum ventilasi (CAB bukan ABC).Perubahan ini mencerminkan bukti yang
berkembang tentang pentingnya penekanan dada dan fakta bahwa persiapan untuk
memberikan jalan napas membutuhkan waktu lebih.

13
Pola pikir ABC memperkuat gagasan bahwa kompresi harus menunggu
sampai ventilasi telah dimulai.Pola pikir ini dapat terjadi bahkan ketika lebih dari 1
penyelamat hadir karena "jalan napas dan pernapasan sebelum ventilasi" begitu
mendarah daging dalam banyak penyelamat.Penekanan baru pada CAB membantu
memperjelas bahwa manuver jalan napas harus dilakukan dengan cepat dan efisien
sehingga gangguan dalam kompresi dada diminimalkan dan kompresi dada harus
mengambil prioritas dalam resusitasi orang dewasa.

Penyelamat awam
Penyelamat awam terlatih yang merasa yakin bahwa ia dapat melakukan
kedua kompresi dan ventilasi harus membuka jalan napas menggunakan head tilt
chin lift maneuver. Untuk penyelamat menyediakan Hands-Only CPR, tidak ada
bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan nafas pasif tertentu (seperti
hiperekstensi leher untuk memungkinkan ventilasi pasif).

Petugas kesehatan
Sebuah penyedia layanan kesehatan harus menggunakan head tilt chin lift
maneuver untuk membuka jalan napas dari korban dengan tidak ada bukti trauma
kepala atau leher. Meskipun head tilt chin lift maneuverdikembangkan pada
relawan dewasa yang tidak sadar dan lumpuh dan belum diteliti pada korban dengan
serangan jantung, bukti klinis, radiografi, dan serangkaian kasus telah menunjukkan
keefektifan.
Antara 0,12 dan 3,7% dari korban dengan trauma tumpul memiliki cedera
tulang belakang, dan risiko cedera tulang belakang meningkat jika korban
mengalami cedera kraniofasial, skor Glasgow Coma Scale<8. Untuk korban yang
diduga mengalami cedera tulang belakang, tim penyelamat harus memberikan
pembatasan gerak pada tulang belakang secara manualterlebih dahulu (misalnya,
menempatkan 1 tangan di kedua sisi kepala pasien untuk menahan kepala dan
tulang belakang pada tempatnya). Perangkat imobilisasi tulang belakang dapat
mengganggu dalam mempertahankan jalan napas, tapi penggunaan alat tersebut
tetap diperlukan untuk menjaga imobilisasitulang belakang selama transportasi.
Jika penyedia layanan kesehatan menduga cedera tulang belakang servikal,
jalan napas harus dibuka dengan menggunakan jaw thrust tanpa ekstensi kepala.
Karena mempertahankan jalan napas yang paten dan menyediakan ventilasi yang

14
memadai adalah prioritas dalam RJP, tetap lakukan head tilt chin lift maneuverjika
jaw thrust tidak cukup untuk membuka jalan napas.

2.6 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2015

a. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus


Kompresi dada efektif yang dilakukan secara dini merupakan aspek yang
penting dalam resusitasi henti jantung.RJP meningkatkan kemungkinan
kelangsungan hidup penderita dengan memberikan sirkulasi pada jantung dan
paru.Penolong harus melakukan kompresi dada untuk semua penderita henti
jantung, tanpa melihat tingkatan ketrampilan, karaktrikstik penderita, atau sumber
daya yang tersedia.AHA Guidelines for CPR and ECC 2015 mengutamakan
kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup:
Kecepatan kompresi paling sedikit 100-120 x/menit
Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inci (5 cm) dan tidak lebih dari 2.4 inci
(6 cm) pada dewasa dan paling sedikit sepertiga dari diameter
anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inci
(4cm) pada bayi dan 2 inci (5cm) pada anak-anak).Batas antara 1,5 hingga
2 inci tidak lagi digunakan pada dewasa, dan kedalaman mutlak pada bayi
dan anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA Guidelines
for CPR and ECC.
Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap setiap
kali selesai kompresi.
Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada.
Menghindari ventilasi yang berlebihan.
Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi
yaitu 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru
lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk
memberikan napas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan napas telah dibebaskan,
kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling
sedikit 100-120 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Napas buatan
kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali napas setiap 6 detik (sekitar 10 napas
per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari.

15
b. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B
Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-Circulation
berubah menjadi Compression-Airway-Breathingpada orang dewasa, anak
anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru lahir). Hal ini untuk menghindari
penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif.
Mengamankan jalan napas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu yang
memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong yang
seorang diri.
Serangan jantung terjadi sebagian besar pada orang dewasa dan penyebab
paling umum adalah ventricular fibrillation atau pulseless ventricular tachycardia.
Pada penderita tersebut, elemen paling penting dari Basic Life Support adalah
kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi
dada seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan napas untuk
memberikan napas buatan, mencari alat pembatas (barrier devices), atau
mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai emergency response
system hal berikutnya yang penting yaitu untuk segera memulai kompresi dada.
Hal ini berarti tidak ada lagi "look, listen, feel", sehingga komponen ini
dihilangkan dari panduan.
Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai
sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus
pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar
penderita yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan
pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk
hal tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C,
yang dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan napas dan
memberikan napas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat
mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP.

c. Penekanan pada kompresi dada


Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA
mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008.Untuk penolong yang belum terlatih
diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka.
Jika penyelamat tidak terlatih dalam melakukan RJP, Hands Only CPR bisa

16
dilakukan pada korban dewasa yang mendadak kolaps dengan penekanan "push
hard and fast".Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk
dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh
penolong yang ahli melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR)
memberikan hasil yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan
ventilasi.

d. Kecepatan kompresi
Sebaiknya dilakukan kira kira minimal 100-120 kali/ menit. Jumlah
kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk
menentukan kembalinya sirkulasi spontan Return of Spontaneous
Circulation(ROSC) dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk
memberikan kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada
dan jumlah serta lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya,
untuk membuka jalan napas, memberikan napas buatan, dan melakukan analisis
AED (Automated External Defibrillator).
Pada sebagian besar penelitian, kompresi yang lebih banyak dihubungkan
dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit
dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah.
Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan
tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada
meminimalkan gangguan pada komponen penting dari RJP tersebut. Kompresi
yang inadekuat atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi
jumlah total kompresi yang diberikan per menit.

e. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan tidak lebih
dari 2.4 inci (6 cm) Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan cepat)
menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada jantung
dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan
tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.Kompresi
menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke
jantung dan otak.

17
f. Identifikasi pernapasan agonal oleh petugas medis kegawatdaruratan(Dispatcher
Identification of Agonal Gasps)
Hal ini sangat penting bahwa penolong seharusnya dilatih dengan baik
untuk mengidentifikasi antara pernapasan normal dengan pernapasan agonal,
selama proses RJP. Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak
bernapas atau sulit bernapas.Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan
untuk memulai RJP jika korban tidak bernapas atau pernapasan yang tidak
normal.Pengecekan pernapasan dilakukan secara cepat sebelum aktivasi
emergency response system.

g. Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian
tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior
dan menekan esophagus ke vertebra servikal.Penekanan krikoid dapat
menghambat inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi
selama ventilasi dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat
ventilasi.
Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan.
Penelitian menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan
airway dan aspirasi dapat terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. Ditambah
lagi, tindakan ini sulit dilakukan dengan tepat bahkan oleh penolong yang terlatih.
Penekanan krikoid masih dapat digunakan dalam beberapa keadaan tertentu
(misalnya dalam usaha melihat pita suara selama intubasi trakea).

h. Aktivasi Emergency Response System


Aktivasi Emergency Response System seharusnya dilakukan setelah
penilaian respon penderita dan pernapasan, namun seharusnya tidak
ditunda.Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem
kegawatdaruratan dilakukan setelah korban yang tidak merespon.Jika penyedia
pelayanan kesehatan tidak merasakan nadi dalam 10 detik, RJP harus segera
dimulai dan menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia.
i. Tim resusitasi
Langkah langkah algoritma BLS sejak dahulu dipresentasikan dalam
keadaan di mana hanya ada satu penyelamat. Pada AHA 2015 lebih difokuskan

18
untuk memberikan RJP dalam suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan
efektif. Misalnya, satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan
sedangkan penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga
membantu ventilasi atau memakaikan bag mask untuk membantu pernapasan
dan penolong keempat mempersiapkan defibrilator

Tabel ringkasan komponen BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk
RJP pada neonatus).

19
2.7 Perbedaan Antara AHA 2010 dan 2015

No Kategori AHA 2010 AHA 2015


1 Pengenalan dan HCP harus memastikan HCP harus meminta
Pengaktifan Cepat reaksi pasien sewaktu bantuan terdekat bila
Sistem Tanggapan memeriksanya untuk mengetahui korban
Darurat menentukan apakah tidak menunjukkan
napas terhenti atau tidak. reaksi, namun akan lebih
praktis bagi HCP untuk
melanjutkan dengan
menilai pernapasan dan
denyut secara bersamaan
sebelum benar-benar
mengaktifkan sistem
tanggapan darurat (atau
meminta HCP
pendukung).
Alasan Perubahan rekomendasi bertujuan untuk
meminimalkan penundaan dan mendukung penilaian
serta tanggapan yang cepat dan efisien secara
bersamaan, bukan melakukan pendekatan langkah
demi langkah yang berjalan lambat berdasarkan
metode.
2 Penekanan pada Melakukan kompresi Melakukan kompresi dada
Kompresi Dada dada dan napas buatan dan menyediakan ventilasi
untuk korban serangan untuk semua pasien
jantung adalah tindakan dewasa yang mengalami
yang perlu dilakukan serangan jantung adalah
oleh Pelayanan Medis tindakan yang harus
Emergency (EMS) dan dilakukan oleh HCP, baik
penolong profesional yang disebabkan maupun
dilingkungan rumah sakit. tidak disebabkan oleh
jantung. Lebih lanjut,
penting bagi HCP untuk
menyesuaikan urutan
tindakan penyelamatan
berdasarkan penyebab
utama serangan.
Alasan CPR yang hanya berisikan kompresi
direkomendasikan untuk penolong yang tidak terlatih
karena relative mudah bagi operator untuk memandu
dengan instruksi melalui telepon. HCP diharapkan
menerima pelatihan tentang CPR dan secara efektif
dapat menjalankan kompresi dan ventilasi. Namun,
prioritas untuk penyedia layanan medis, terutama jika
bertindak sendiri, harus tetap mengaktifkan sistem
tanggapan darurat dan menjalankan kompresi dada.

20
3 Automatic Bila penolong Untuk pasien dewasa
Emergency menyaksikan terjadinya yang mengalami serangan
Defibrillator (AED) serangan jantung di luar jantung dan terlihat jatuh
atau CPR terlebih rumah sakit dan AED saat AED dapat segera
dahulu tidak tersedia di lokasi, tersedia, penting bahwa
penolong tersebut harus defibrillator digunakan
memulai CPR dengan secepat mungkin.
kompresi dada dan
menggunakan AED Untuk orang dewasa yang
sesegera mungkin. mengalami serangan
jantung tidak terpantau
HCP yang menanggani atau saat AED tidak
pasien serangan jantung segera tersedia, penting
di rumah sakit dan bila CPR dijalankan
fasilitas lainnya dengan sewaktu peralatan
AED atau defibrillator defibrillator sedang
yang tersedia di lokasi diambil dan diterapkan.
harus segera Kemudian digunakan
memberikan CPR dan apabila defibrilasi telah
menggunakan AED siap digunakan.
segera setelah tersedia.

Rekomendasi ini
dirancang untuk
mendukung CPR dan
defibrilasi awal, terutama
bila AED tersedia
beberapa saat setelah
terjadinya serangan
jantung mendadak.
Alasan Meskipun banyak penelitian telah menjawab
pertanyaan apakah terdapat manfaat dengan
menggunakan kompresi dada sesuai durasi yang
ditentukan (biasanya 11/2 hingga 3 menit) sebelum
menerapkan kejut, dengan penerapan kejut segera
setelah AED dapat disiapkan, namun tidak terdapat
perbedaan antara kedua hasil yang ditampilkan. CPR
harus diberikan saat bantalan AED diterapkan dan
hingga AED siap menganalisis ritme.
4 Kecepatan Kompresi Penolong tidak terlatih Pada orang dewasa yang
Dada: 100 hingga dan HCP perlu menjadi korban serangan
120/min melakukan kompresi jantung, penolong perlu
dada pada kecepatan melakukan kompresi dada
minimum 100/min. pada kecepatan 100
hingga 120/min.
Alasan Nilai kecepatan kompresi minimum yang direkomdasi
tetap 100/min. Batas atas 120/min telah ditambahkan
karena saat kecepatan kompresi meningkat menjadi
lebih dari 120/min, kedalaman kompresi akan
berkurang. Misalnya, proporsi kedalaman kompresi

21
tidak memadai adalah sekitar 35% untuk kecepatan
kompresi 100 hingga 119/min, namum bertambah
menjadi kedalaman kompresi tidak memadai sebesar
50% saat kecepatan kompresi berada pada 120
hingga 139/min dan menjadi kedalaman kompresi
tidak memadai sebesar 70% saat kecepatan kompresi
lebih dari 140/menit.
5 Kedalaman Kompresi Tulang dada orang Penolong harus
Dada dewasa harus ditekan melakukan kompresi dada
minimum sedalam 2 inci hingga kedalaman
(5cm). minimum 2 inci (5 cm)
untuk dewasa rata-rata,
dengan berusaha tidak
lebih dari 2,4 inci (6 cm).
Alasan Kedalaman kompresi sekitar 5 cm terkait dengan
kemungkinan hasil yang diharapkan lebih besar bila
dibandingkan dengan kedalaman kompresi lebih
dangkal. Meskipun terdapat sedikit bukti tentang
adanya ambang atas yang jika dilampaui, maka
kompresi akan menjadi terlalu dalam, namun satu
penelitian sangat kecil baru-baru ini menunjukkan
potensi cedera (yang tidak mengancam jiwa) akibat
kedalaman kompresi dada yang berlebihan (lebih dari
2,4 inci). Kedalaman kompresi mungkin sulit
diperkirakan tanpa menggunakan alat khusus.
Penting bagi penolong untuk mengetahui bahwa
kedalaman kompresi dada lebih sering terlalu dangkal
daripada terlalu dalam.
6 Rekoil Dada Penolong harus Penting bagi penolong
membiarkan recoil untuk tidak bertumpu di
penuh dari dinding dada atas dada di antara
setelah setiap kompresi, kompresi untuk
agar jantung dapat terisi mendukung recoil penuh
sepenuhnya sebelum dinding dada pada
kompresi dilakukan lagi. pasien dewasa saat
mengalami serangan
jantung.
Alasan Rekoil penuh dinding dada terjadi bila tulang dada
kembali ke posisi alami atau netralnya saat fase
dekompresi CPR berlangsung. Recoil dinding dada
memberikan relative tekanan intrathoraks negative
yang mendorong pengembalian vena dan aliran darah
kardiopulmonari. Bertumpu di atas dinding dada di
antara kompresi akan menghalangi recoil penuh
dinding dada. Recoil tidak penuh akan meningkatkan
tekanan intrathoraks dan mengurangi pengembalian
vena, tekanan perfusi coroner, dan aliran darah
miokardium, serta dapat mempengaruhi hasil
resusitasi.

22
7 Meminimalkan Penolong harus Untuk orang dewasa yang
Gangguan dalam berupaya meminimalkan mengalami serangan
Kompresi dada frekuensi dan durasi jantung dan menerima
gangguan dalam CPR tanpa saluran udara
kompresi untuk lanjutan, mungkin perlu
mengoptimalkan jumlah untuk melakukan CPR
kompresi yang dilakukan dengan sasaran fraksi
permenit kompresi dada setinggi
mungkin, dengan target
minimum 60%.
Alasan Gangguan dalam kompresi dada dapat ditunjukkan
sebagai bagian dari perawatan yang diperlukan
(misalnya, analisis ritme dan ventilasi) atau yang tidak
disengaja (misalnya, gangguan terhadap penolong).
Fraksi kompresi dada adalah pengukuran proporsi
waktu resusitasi total yang dilakukan kompresi.
Peningkatan fraksi kompresi dada dapat diperoleh
dengan meminimalkan jeda dalam kompresi dada.
Sasaran optimal untuk fraksi kompresi dada belum
didefinisikan. Penambahan fraksi kompresi target
ditujukan untuk membatasi gangguan dalam kompresi
dan mengoptimalkan perfusi coroner dan aliran darah
saat CPR berlangsung.
8 Ventilasi tertunda - Untuk pasien Out-
hospital-Cardiac-Arrest
(OHCA) yang terpantau
dengan ritme dapat
dikejut, mungkin penting
bagi sistem EMS untuk
menunda ventilasi
bertekanan positif
(PPV/prositve-pressure
ventilation) dengan
menggunakan strategi
hingga 3 siklus dari 200
kompresi berkelanjutan
dengan insuflasi oksigen
pasif dan tambahan
saluran udara.
Alasan Beberapa sistem EMS telah menguji strategi
penerapan kompresi dada awal secara berkelanjutan
dengan PPV tertunda untuk korban OHCA dewasa.
Dalam sistem EMS ini, penyedia layanan menerima
pelatihan tambahan dengan penekanan pada
penerapan kompresi dada berkualitas tinggi. Tiga
penelitian dalam sistem ini berbasis prioritas dalam
komunitas perkotaan dan pendesaaan.

23
2.8 Peningkatan Kualitas Resusitasi
Resusitasi melibatkan spektrum yang luas dari pihak individu dan
kelompok.Pihak individu adalah korban, anggota keluarga, penyelamat, dan
penyedia layanan kesehatan.Pihak kelompok adalah masyarakat, petugas medis
kegawatdaruratan, organisasi keselamatan publik, sistem EMS, rumah sakit,
kelompok sipil, dan pembuat kebijakan di tingkat lokal, dan negara.
Karena hubungan dari chain of survival saling bergantung satu sama
lain,strategi resusitasi yang efektif membutuhkan pihak individu dan kelompok untuk
bekerja secara terpadu danfungsi sebagai system of care.Fondasi untuk RJP yang
suksesadalah penilaian kembali tantangan yang ada dari masing masing
komponen chain of survival.Dengan demikian individu dan kelompok harus
bekerjabersama-sama, berbagi ide dan informasi, untuk mengevaluasi
danmeningkatkan sistem resusitasi. Kepemimpinan dan tanggung jawab adalah
komponen penting di dalam suatu tim.
Peningkatkan perawatanmembutuhkan penilaian kinerja. Hanya melalui
proses pengevaluasian ini kualitas RJP bisa ditingkatkan.Prosesnya meliputi
evaluasi secara keseluruhan dari tindakan resusitasi dan outcome yang didapatkan,
patokan dengan feedback dari seluruh pihak yang terkait, dan usaha strategis untuk
mengetetahui kekurangan yang ada.

2.9Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi

24
Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu dari
berikut ini : telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif; ada
orang lain yang mengambil alih tanggung jawab; penolong terlalu capek sehingga
tidak sanggup meneruskan resusitasi; pasien dinyatakan mati; setelah dimulai
resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam stadium
terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dipastikan
bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit 1 jam terbukti tidak
ada nadi pada normotermia tanpa RJPO.
Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak, fungsi
spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible.
Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada
pernapasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap
selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek
barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak
adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun
dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung adalah
titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya resusitasi.

2.10 Komplikasi
Penyulit yang dapat terjadi akibat RJP adalah fraktur iga atau sternum karena
kompresi dada (jarang) dan gastric insufflation karena bantuan respirasi buatan
menggunakan ventilasi non-invasif (mulut ke mulut, bag valve mask) yang bisa
menyebabkan muntah, dengan kemungkinan aspirasi atau gangguan jalan napas;
insersi ventilasi invasif bisa mencegah hal ini.

BAB 3
KESIMPULAN

25
Resusitasi mengandung arti harfiah menghidupkan kembali tentunya
dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode
henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau
Basic Life Support (BLS) bertujuan dengan cepat mempertahankan pasokan oksigen
ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan.
Bantuan hidup lanjut dengan pemberian obat-obatan untuk memperpanjang hidup.
Resusitasi dilakukan pada korban infark jantung, serangan stroke, keracunan
obat, tenggelam,inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan nafas oleh benda asing,
tesengat listrik, tersambar petir, serangan infrak jantung, radang epiglottis, tercekik
(suffocation),yang masih memberikan peluang untuk hidup.
Panduan RJP yang terbaru ini juga menekankan pada pemberian RJP yang
berkualitas tinggi, dengan kecepatan kompresi paling sedikit 100-120 kali/menit dan
kedalamannya paling sedikit 5cm dan tidak lebih dari 6 cm pada dewasa dan anak-
anak, serta 4cm pada bayi. AHA juga menyarankan pemberian RJP hanya dengan
tangan (hands only CPR) atau RJP tanpa ventilasi dengan maksud untuk
memudahkan penolong yang tidak terlatih dalam menyelamatkan penderita henti
jantung.
Dengan adanya panduan RJP tahun 2015 yang lebih ringkas diharapkan
dapat memacu penolong awam yang tidak terlatih untuk menyelamatkan penderita
yang mengalami henti jantung, sehingga rata-rata kelangsungan hidup penderita
yang mengalami henti jantung dapat meningkat.
Penanganan dan tindakan cepat pada resusitasi jantung paru khususnya
pada kegawatan kardiovaskuler amat penting untuk menyelematkan hidup, untuk itu
perlu pengetahuan RJP yang tepat dan benar dalam pelaksanaannya.

Daftar Pustaka

26
American Heart Association.2010.Part 4 Adult Basic Life Support in Circulation
Journal
American Heart Association, 2015. Highlights of the 2015 American Heart Association
Guidelines for CPR and ECC. Guidelines CPR and ECC 2015, p. 28.
Subagjo A, Achyar,Ratnaningsih E, sugiman T, Kosasih A,Agustinus R.2011.Bantuan
Hidup Jantung Dasar BSCL Indonesia.Edisi 2011.Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia ( PERKI)
Wiryana IM, Sujana IBG,Sinardja K, Budiarta IG. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks.2010
Miller RD.Anestesia, 5th ed.Churcill Livingstone. Philadelphia.2000.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th ed. 2000.
Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF, Stelting RK,
editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2006,
p. 791-811.
Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and ventilation in the
lung: gravity is not the only factor. British Journal of Anaesthesia; 2007, 98: 420-8.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical Anesthesilogy 4th
ed. McGraw-Hill; 2007.
http://www.scaaware.org/sites/default/files/comparison_chart_2015_aha_guidelines_f
or_cpr_and_ecc.pdf

27

Anda mungkin juga menyukai