ILMU ANESTESI
RESUSITASI JANTUNG PARU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
Kata Pengantar
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya, referat yang berjudul ”Resusitasi Jantung Paru ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulisan referat ini merupakan
bagian dari proses belajar selama perkuliahan blok Traumatologi dan
Kegawatdaruratan
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pembimbing, dr. Fendy
dwimartyono Sp.An, karena beliau telah meluangkan banyak waktu dan pikiran untuk
membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan baik.
Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa
referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun selalu diharapkan.
i
Kata Pengantar ............................................................................................................... i
BAB 1 ........................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
BAB 2 ........................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3
BAB 3 ......................................................................................................................... 24
KESIMPULAN ........................................................................................................... 24
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Basic life support bukan merupakan suatu tindakan tunggal melainkan terdiri
dari evaluasi dan intervensi. Evaluasi cardiac arrest, pernapasan, dan resusitasi
jantung paru. Pada konsensus AHA 2005 membahas mengenai semua aspek deteksi
dan penanganancardiac arrest. Konsensus 2005 menetapkan bantuan hidup dasar
dengan prinsip ABC (airway, breathing, and circulation), namun kembali dilakukan
konsensus pada tahun 2010, dan terjadi perubahan prinsip menjadi CAB (circulation,
airway and breathing). Tahun 2015 pun dilakukan konsensus yang merupakan
consensus terbaru mengenai resusitasi jantung paru.
Tujuan dari referat ini adalah untuk mengintegrasikan ilmu resusitasi dengan
praktek dunia nyata dalam rangka meningkatkan hasil dari RJP.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
3
pada RJPmemberikan hasil yang lebih rendah dalam keberhasilan defibrilasi dan
pemulihan pasien.
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/ uap/ gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan
infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit.
Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan terselamatkan
hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung. Untuk orang
awam, jika tidak ada gerakan dada dan napas tidak normal (gasping), segera lakukan
Resusitasi Jantung Paru.
Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi
kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat
kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat. Sebaliknya akan menyebabkan
kematian atau kerusakan otak jika tindakan yang dilakukan tidak tepat. Henti jantung
terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk dalam henti
jantung.
Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung) atau
penyebab ekstrakardial (dari luar jantung). Yang termasuk penyebab kardial yaitu
gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan kontraktilitas otot jantung
(decompensatio cordis, syok kardiogenik), aliran darah koroner terhenti, aliran darah
koroner yang kurang oksigen, trauma pada jantung atau pada sternum, dan sumbatan
koroner. Yang termasuk penyebab ekstrakardial yaitu hipoksia berat, hipovolemia
berat, hiperkalemia, aliran listrik.
Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner terhenti,
miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan terjadi irama ventrikel
takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah ATP habis akan menjadi asistol.
Setelah henti jantung, kontraktilitas otot jantung menurun. Selama periode
hipoperfusi, miokard mungkin rusak.
4
2.3 Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi jantung paru (RJP) selalu mengintegrasikan kompresi dada dan
penyelamatan napas dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan
oksigenasi.Karakteristik penyelamat dan korban bisa mempengaruhi keoptimalan dari
komponen RJP.
Penyelamat
Semua orang bisa menjadi penyelamat untuk menyelamatkan nyawa korban
serangan jantung.Keterampilan dan aplikasi RJP bergantung pada pelatihan,
pengalaman, dan konfidensi penyelamat.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP.Semua penyelamat, terlepas dari
tingkat pelatihan yang pernah dijalani, harus memberikan kompresi dada pada semua
korban serangan jantung. Karena pentingnya tindakan tersebut, kompresi dada harus
menjadi tindakan RJP paling awal untuk semua korban tanpa memandang usia.Jika
mampu melakukan, penyelamat juga sebaiknya menambahkan ventilasi setelah
kompresi dada. Penyelamat terlatih yang bekerja sama harus berkoordinasi dalam
melakukan kompresi dada dan ventilasi secara kompak dalam tim.
Korban
Seringkali serangan jantung pada orang dewasa terjadi tiba-tiba, yang
penyebabnya adalah jantung; oleh karena itu, sirkulasi yang dihasilkan oleh kompresi
dada merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan.Sebaliknya, serangan jantung pada
anak-anak yang paling sering terjadi karena asfiksia, yang membutuhkan ventilasi
dan penekanan dada untuk mendapatkan hasil optimal.Oleh karena itu, bantuan
pernapasan mungkin lebih penting untuk anak-anak dibandingkan orang dewasa pada
serangan jantung.
5
Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam chain of survival,
yang meliputi :
6
Petugas kegawatdaruratan harus danbisa membantu memberikan
penilaian dan arah untuk memulai RJP. Seorang profesional kesehatan dapat
menggabungkan informasi tambahan untuk membantu pengenalan akan
terjadinya suatu henti jantung.
7
kompresi dada, terutama untuk penyelamat tunggal yang belum terlatih.
Dengan demikian, penyelamat yang tidak terlatih boleh memberikan Hands-
OnlyCPR (kompresi tanpa ventilasi), dan penyelamat yang mampu boleh
membuka jalan napas dan memberikan napas buatan dengan kompresi dada.
Ventilasi harus diberikan jika korban memiliki risiko tinggi terjadinya asfiksia
(misalnya pada bayi, anak, atau korban tenggelam).
Setelah advanced airway terpasang, petugas kegawatdaruratan dapat
memberikan ventilasi dengan rate normal, yaitu 1 napas setiap 6 detik (10
napas per menit) dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
8
chain of survival yang satu bergantung dengan komponen yang lainnya, dan
kesuksesan dari setiap komponenbergantung dari keefektifan komponen sebelumnya.
Penolong dapat mempunyai berbagai macam pelatihan, pengalaman, dan
kemampuan. Status penderita henti jantung dan responnya terhadap RJP juga
bervariasi. Tantangannya adalah bagaimana untuk mencapai RJP yang sedini
seefektif dan mungkin untuk penderita henti jantung.
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan napas buatan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik
penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari komponen
RJP.
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah
mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap
penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi
tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang telah
terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan dengan
ventilasi, sebagai suatu tim.
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada
menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-anak
seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi
dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian napas buatan pada henti jantung
menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.
9
dini (resuscitation), dan defibrilasi yang cepat (defibrillation) dengan Automated
External Defibrillator (AED). Pengenalan dan respon yang dini terhadap serangan
jantung dan stroke juga termasuk bagian dari BLS.
a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung secara
tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali bahwa
penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak adanya atau
berkurangnya respon napas.
Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus
memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita dan
memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih maupun yang tidak
terlatih harus segera mengaktifkan emergency response system (dengan
menghubungi nomor darurat yang tersedia). Setelah mengaktifkan emergency
response system semua penolong harus segera memulai RJP.
b. Pengecekan nadi
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa baik penolong yang tidak
terlatih maupun penolong yang terlatih mengalami kesulitan dalam mengecek
nadi. Penolong yang terlatih dapat juga membutuhkan waktu yang lama untuk
mengecek nadi.
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis) dan
harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi penolong
yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif dan napas
tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak.
10
Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan bertenaga
pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan aliran darah
dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan
jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan
otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran darah selama
RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung harus mendapatkan
kompresi dada.
Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat dan
cepat (push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus mencapai paling
sedikit 100-120 x/menit dengan kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm)
dan tidak lenih dari 2.4 inchi (6 cm). Penolong harus memberi kesempatan agar
daya rekoil paru dapat terjadi sempurna setiap kali sehabis kompresi, untuk
memberi kesempatan jantung mengisi kembali secara penuh sebelum kompresi
berikutnya. Penolong seharusnya mencoba untuk mengurangi frekuensi dan
durasi gangguan yang terjadi selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah
kompresi yang diberikan tiap menit.
Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi
hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil
terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di bagian
tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inci.
2)Penyelamatan pernapasan
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC 2015
adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum ventilasi. Meskipun
tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan bahwa memulai RJP dengan
30 kompresi daripada memulai dengan dua ventilasi yang menunjukkan hasil
yang lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi dada.
Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus diminimalkan
selama seluruh proses resusitasi.
Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan
memposisikan kepala, mengambil penutup untuk pertolongan napas dari mulut-ke
11
mulut, dan mengambil alat bag-mask memakan banyak waktu. Memulai RJP
dengan 30 kompresi daripada dua ventilasi menghasilkan penundaan yang lebih
singkat.
Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih harus
memberikan napas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau melalui bag-
mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut:
Memberikan setiap napas buatan selama satu detik
Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan pengembangan
dada yang terlihat (visible chest rise)
Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2
Ketika jalan napas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu, atau
laryngeal mask airway (LMA)) telah dipasang selama RJP dengan dua
orang penyelamat, berikan napas setiap 6 detik tanpa menyesuaikan
napas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh berhenti untuk
memberikan ventilasi.
12
13
2.5 Airway Management
2015AHA Guidelines adalah untuk merekomendasikan inisiasi kompresi dada
sebelum ventilasi (CAB bukan ABC).Perubahan ini mencerminkan bukti yang
berkembang tentang pentingnya penekanan dada dan fakta bahwa persiapan untuk
memberikan jalan napas membutuhkan waktu lebih.
Pola pikir ABC memperkuat gagasan bahwa kompresi harus menunggu
sampai ventilasi telah dimulai.Pola pikir ini dapat terjadi bahkan ketika lebih dari 1
penyelamat hadir karena "jalan napas dan pernapasan sebelum ventilasi" begitu
mendarah daging dalam banyak penyelamat.Penekanan baru pada CAB membantu
memperjelas bahwa manuver jalan napas harus dilakukan dengan cepat dan efisien
sehingga gangguan dalam kompresi dada diminimalkan dan kompresi dada harus
mengambil prioritas dalam resusitasi orang dewasa.
Penyelamat awam
Penyelamat awam terlatih yang merasa yakin bahwa ia dapat melakukan
kedua kompresi dan ventilasi harus membuka jalan napas menggunakan head tilt –
chin lift maneuver. Untuk penyelamat menyediakan Hands-Only CPR, tidak ada
bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan nafas pasif tertentu (seperti
hiperekstensi leher untuk memungkinkan ventilasi pasif).
Petugas kesehatan
Sebuah penyedia layanan kesehatan harus menggunakan head tilt –chin lift
maneuver untuk membuka jalan napas dari korban dengan tidak ada bukti trauma
kepala atau leher. Meskipun head tilt – chin lift maneuverdikembangkan pada
relawan dewasa yang tidak sadar dan lumpuh dan belum diteliti pada korban dengan
serangan jantung, bukti klinis, radiografi, dan serangkaian kasus telah menunjukkan
keefektifan.
14
Antara 0,12 dan 3,7% dari korban dengan trauma tumpul memiliki cedera
tulang belakang, dan risiko cedera tulang belakang meningkat jika korban mengalami
cedera kraniofasial, skor Glasgow Coma Scale<8. Untuk korban yang diduga
mengalami cedera tulang belakang, tim penyelamat harus memberikan pembatasan
gerak pada tulang belakang secara manualterlebih dahulu (misalnya, menempatkan 1
tangan di kedua sisi kepala pasien untuk menahan kepala dan tulang belakang pada
tempatnya). Perangkat imobilisasi tulang belakang dapat mengganggu dalam
mempertahankan jalan napas, tapi penggunaan alat tersebut tetap diperlukan untuk
menjaga imobilisasitulang belakang selama transportasi.
Jika penyedia layanan kesehatan menduga cedera tulang belakang servikal,
jalan napas harus dibuka dengan menggunakan jaw thrust tanpa ekstensi kepala.
Karena mempertahankan jalan napas yang paten dan menyediakan ventilasi yang
memadai adalah prioritas dalam RJP, tetap lakukan head tilt – chin lift maneuverjika
jaw thrust tidak cukup untuk membuka jalan napas.
15
a. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus
Kompresi dada efektif yang dilakukan secara dini merupakan aspek yang
penting dalam resusitasi henti jantung.RJP meningkatkan kemungkinan
kelangsungan hidup penderita dengan memberikan sirkulasi pada jantung dan
paru.Penolong harus melakukan kompresi dada untuk semua penderita henti
jantung, tanpa melihat tingkatan ketrampilan, karaktrikstik penderita, atau sumber
daya yang tersedia.AHA Guidelines for CPR and ECC 2015 mengutamakan
kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup:
Kecepatan kompresi paling sedikit 100-120 x/menit
Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inci (5 cm) dan tidak lebih dari
2.4 inci (6 cm) pada dewasa dan paling sedikit sepertiga dari diameter
anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inci
(4cm) pada bayi dan 2 inci (5cm) pada anak-anak).Batas antara 1,5 hingga 2
inci tidak lagi digunakan pada dewasa, dan kedalaman mutlak pada bayi dan
anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA Guidelines for
CPR and ECC.
Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap
setiap kali selesai kompresi.
Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada.
Menghindari ventilasi yang berlebihan.
Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi
yaitu 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru
lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk
memberikan napas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan napas telah dibebaskan,
kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling
sedikit 100-120 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Napas buatan
16
kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali napas setiap 6 detik (sekitar 10 napas per
detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari.
17
memberikan napas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat
mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP.
d. Kecepatan kompresi
Sebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100-120 kali/ menit. Jumlah
kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk
menentukan kembalinya sirkulasi spontan Return of Spontaneous
Circulation(ROSC) dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk
memberikan kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada
dan jumlah serta lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk
membuka jalan napas, memberikan napas buatan, dan melakukan analisis AED
(Automated External Defibrillator).
Pada sebagian besar penelitian, kompresi yang lebih banyak dihubungkan
dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit
dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah.
Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan
tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan
gangguan pada komponen penting dari RJP tersebut. Kompresi yang inadekuat
18
atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total
kompresi yang diberikan per menit.
e. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan tidak lebih
dari 2.4 inci (6 cm) Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan cepat)
menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada jantung dan
otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan
tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.Kompresi
menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke
jantung dan otak.
g. Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian tekanan
pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior dan
menekan esophagus ke vertebra servikal.Penekanan krikoid dapat menghambat
inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi selama ventilasi
dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat ventilasi.
Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan.
Penelitian menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan
19
airway dan aspirasi dapat terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. Ditambah
lagi, tindakan ini sulit dilakukan dengan tepat bahkan oleh penolong yang terlatih.
Penekanan krikoid masih dapat digunakan dalam beberapa keadaan tertentu
(misalnya dalam usaha melihat pita suara selama intubasi trakea).
20
Tabel ringkasan komponen BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk
RJP pada neonatus).
21
2.7 Peningkatan Kualitas Resusitasi
Resusitasi melibatkan spektrum yang luas dari pihak individu dan
kelompok.Pihak individu adalah korban, anggota keluarga, penyelamat, dan penyedia
layanan kesehatan.Pihak kelompok adalah masyarakat, petugas medis
kegawatdaruratan, organisasi keselamatan publik, sistem EMS, rumah sakit,
kelompok sipil, dan pembuat kebijakan di tingkat lokal, dan negara.
Karena hubungan dari chain of survival saling bergantung satu sama
lain,strategi resusitasi yang efektif membutuhkan pihak individu dan kelompok untuk
bekerja secara terpadu danfungsi sebagai system of care.Fondasi untuk RJP yang
suksesadalah penilaian kembali tantangan yang ada dari masing – masing komponen
chain of survival.Dengan demikian individu dan kelompok harus bekerjabersama-
sama, berbagi ide dan informasi, untuk mengevaluasi danmeningkatkan sistem
resusitasi. Kepemimpinan dan tanggung jawab adalah komponen penting di dalam
suatu tim.
Peningkatkan perawatanmembutuhkan penilaian kinerja. Hanya melalui
proses pengevaluasian ini kualitas RJP bisa ditingkatkan.Prosesnya meliputi evaluasi
secara keseluruhan dari tindakan resusitasi dan outcome yang didapatkan, patokan
dengan feedback dari seluruh pihak yang terkait, dan usaha strategis untuk
mengetetahui kekurangan yang ada.
22
2.8 Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi
Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu dari
berikut ini : telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif; ada
orang lain yang mengambil alih tanggung jawab; penolong terlalu capek sehingga
tidak sanggup meneruskan resusitasi; pasien dinyatakan mati; setelah dimulai
resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal
suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dipastikan bahwa fungsi
serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit – 1 jam terbukti tidak ada nadi pada
normotermia tanpa RJPO.
Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak, fungsi
spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible. Petunjuk
terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada pernapasan spontan dan
reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau
lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek barbiturat, atau dalam anestesi
umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak adanya aktivitas listrik jantung
(asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJPO dan terapi
obat yang optimal. Tanda kematian jantung adalah titik akhir yang lebih baik untuk
membuat keputusan mengakhiri upaya resusitasi.
2.9 Komplikasi
Penyulit yang dapat terjadi akibat RJP adalah fraktur iga atau sternum karena
kompresi dada (jarang) dan gastric insufflation karena bantuan respirasi buatan
menggunakan ventilasi non-invasif (mulut ke mulut, bag valve mask) yang bisa
menyebabkan muntah, dengan kemungkinan aspirasi atau gangguan jalan napas;
insersi ventilasi invasif bisa mencegah hal ini.
23
BAB 3
KESIMPULAN
24
rangkaian tindakan tersebut secara benar, potensi dariChain of Survival dapat dicapai
secara penuh sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
3. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th ed.
2000.
4. Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF,
Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2006, p. 791-811.
5. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and
ventilation in the lung: gravity is not the only factor. British Journal of
Anaesthesia; 2007, 98: 420-8.
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesilogy 4th ed. McGraw-Hill; 2007.
25