Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

ILMU ANESTESI
RESUSITASI JANTUNG PARU

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya, referat yang berjudul ”Resusitasi Jantung Paru ini dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulisan referat ini merupakan
bagian dari proses belajar selama perkuliahan blok Traumatologi dan
Kegawatdaruratan
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pembimbing, dr. Fendy
dwimartyono Sp.An, karena beliau telah meluangkan banyak waktu dan pikiran untuk
membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan baik.
Semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa
referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang
membangun selalu diharapkan.

Makassar 19 Novmber 2019

i
Kata Pengantar ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB 1 ........................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

BAB 2 ........................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3

2.1 Definisi Resusitasi Jantung Paru ......................................................................... 3

2.2 Indikasi Resusitasi Jantung Paru ......................................................................... 3

2.3 Resusitasi Jantung Paru....................................................................................... 5

2.4. Basic Life Support .............................................................................................. 9

2.5 Airway Management .................................................................................... 14

2.6 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2010 .............................................. 15

2.7 Peningkatan Kualitas Resusitasi ....................................................................... 22

2.8 Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi .............................................. 23

2.9 Komplikasi ........................................................................................................ 23

BAB 3 ......................................................................................................................... 24

KESIMPULAN ........................................................................................................... 24

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

Meskipun sudah banyak kemajuan penting dalam pencegahan kematian,


serangan jantung masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama dan
merupakan penyebab utama kematian di banyak negara.Serangan jantung bisa terjadi
baik di dalam maupun di luar rumah sakit. Di AS dan Kanada, sekitar 350.000 orang
per tahun (sekitar 50% terjadi di rumah sakit) menderita serangan jantung dan
menerima pertolongan resusitasi. Perkiraan ini tidak termasuk jumlah korban yang
menderita serangan jantung tanpa mendapatkan pertolongan resusitasi. Ditambah
lagi, pertolongan resusitasi tidak selalu dilakukan dengan cara yang tepat. Banyak
pasien meninggal karena karena tindakan resusitasi yang kurang tepat dan adekuat.
Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi di
rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung paru
otak (RJPO) atau cardiopulmonary cerebral resuscitation (CPCR). Menurut
American Heart Association tindakan resusitasi jantung paru mempunyai hubungan
erat dengan rantai kehidupan (chain of survival), karena bagi penderita yang terkena
serangan jantung, dengan dilakukannya RJPO maka akan mempunyai kesempatan
yang amat besar untuk dapat hidup kembali.
Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti, sirkulasi darah dan
transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ-organ tubuh
terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi
korban dan mengalami kerusakan. Meskipun pendekatan yang optimal untuk CPR
dapat bervariasi, tergantung pada penyelamat, korban, dan sumber daya yang
tersedia, tantangan mendasar adalah bagaimana melakukan RJP secara dini dan
efektif.Mengingat tantangan ini, mengetahui adanya arrest dan tindakan cepat oleh
penyelamat terus menjadi prioritas dari 2015AHA Guidelines for CPR and ECC.

1
Basic life support bukan merupakan suatu tindakan tunggal melainkan terdiri
dari evaluasi dan intervensi. Evaluasi cardiac arrest, pernapasan, dan resusitasi
jantung paru. Pada konsensus AHA 2005 membahas mengenai semua aspek deteksi
dan penanganancardiac arrest. Konsensus 2005 menetapkan bantuan hidup dasar
dengan prinsip ABC (airway, breathing, and circulation), namun kembali dilakukan
konsensus pada tahun 2010, dan terjadi perubahan prinsip menjadi CAB (circulation,
airway and breathing). Tahun 2015 pun dilakukan konsensus yang merupakan
consensus terbaru mengenai resusitasi jantung paru.
Tujuan dari referat ini adalah untuk mengintegrasikan ilmu resusitasi dengan
praktek dunia nyata dalam rangka meningkatkan hasil dari RJP.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harafiah menghidupkan kembali,
dimaksudkan usaha – usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode
henti jantung yang dapat berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi Jantung
Paru (RJP) atau Cardio Pulmonary Resucitation (CPR) adalah rangkaian tindakan
penyelamatan nyawa yang meningkatkan probabilitas untuk hidup setelah henti
jantung.

2.2 Indikasi Resusitasi Jantung Paru


RJP diindikasikan untuk setiap orang yang tidak sadar, yang tidak bernapas
atau bernapas tidak normal (gasping), sebagaimana yang sering terjadi pada henti
jantung.Penilaian aktivitas listrik jantung dengan rapid "rhythm strip" dapat
memberikan analisis yang lebih rinci dari jenis serangan jantung, serta menunjukkan
pilihan tambahan pengobatan.
Hilangnya aktivitas jantung yang efektif umumnya karena inisiasi spontan
dari aritmia nonperfusi, kadang-kadang disebut sebagai aritmia ganas.Contoh aritmia
nonperfusi paling umum adalah ventricle fibrillation (VF), pulseless ventricle
tachycardia (VT), pulseless electrical activity, asystole, pulseless bradycardia.
Meskipun defibrilasi cepat telah terbukti meningkatkan kelangsungan hidup
untuk VF dan iramapulseless VT, RJP harus dimulai sebelum irama diidentifikasi dan
harus dilanjutkan sementara defibrillator sedang dipersiapkan.Selain itu, RJP harus
segera kembali dilakukan setelah defibrillatory shocksampai nadi berdenyut
kembali.Hal ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa "jeda preshock"

3
pada RJPmemberikan hasil yang lebih rendah dalam keberhasilan defibrilasi dan
pemulihan pasien.
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/ uap/ gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan
infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit.
Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan terselamatkan
hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung. Untuk orang
awam, jika tidak ada gerakan dada dan napas tidak normal (gasping), segera lakukan
Resusitasi Jantung Paru.
Henti jantung primer ialah ketidaksanggupan curah jantung untuk memberi
kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat
kembali normal jika dilakukan tindakan yang tepat. Sebaliknya akan menyebabkan
kematian atau kerusakan otak jika tindakan yang dilakukan tidak tepat. Henti jantung
terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk dalam henti
jantung.
Henti jantung terjadi bisa karena penyebab kardial (dari jantung) atau
penyebab ekstrakardial (dari luar jantung). Yang termasuk penyebab kardial yaitu
gangguan saraf dan konduksi impuls (aritmia), penurunan kontraktilitas otot jantung
(decompensatio cordis, syok kardiogenik), aliran darah koroner terhenti, aliran darah
koroner yang kurang oksigen, trauma pada jantung atau pada sternum, dan sumbatan
koroner. Yang termasuk penyebab ekstrakardial yaitu hipoksia berat, hipovolemia
berat, hiperkalemia, aliran listrik.
Bila seseorang mengalami henti jantung, maka aliran koroner terhenti,
miokard akan menjadi hipoksia, dan ATP habis. Awalnya akan terjadi irama ventrikel
takikardi atau ventrikel fibrilasi, namun setelah ATP habis akan menjadi asistol.
Setelah henti jantung, kontraktilitas otot jantung menurun. Selama periode
hipoperfusi, miokard mungkin rusak.

4
2.3 Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi jantung paru (RJP) selalu mengintegrasikan kompresi dada dan
penyelamatan napas dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan
oksigenasi.Karakteristik penyelamat dan korban bisa mempengaruhi keoptimalan dari
komponen RJP.

Penyelamat
Semua orang bisa menjadi penyelamat untuk menyelamatkan nyawa korban
serangan jantung.Keterampilan dan aplikasi RJP bergantung pada pelatihan,
pengalaman, dan konfidensi penyelamat.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP.Semua penyelamat, terlepas dari
tingkat pelatihan yang pernah dijalani, harus memberikan kompresi dada pada semua
korban serangan jantung. Karena pentingnya tindakan tersebut, kompresi dada harus
menjadi tindakan RJP paling awal untuk semua korban tanpa memandang usia.Jika
mampu melakukan, penyelamat juga sebaiknya menambahkan ventilasi setelah
kompresi dada. Penyelamat terlatih yang bekerja sama harus berkoordinasi dalam
melakukan kompresi dada dan ventilasi secara kompak dalam tim.

Korban
Seringkali serangan jantung pada orang dewasa terjadi tiba-tiba, yang
penyebabnya adalah jantung; oleh karena itu, sirkulasi yang dihasilkan oleh kompresi
dada merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan.Sebaliknya, serangan jantung pada
anak-anak yang paling sering terjadi karena asfiksia, yang membutuhkan ventilasi
dan penekanan dada untuk mendapatkan hasil optimal.Oleh karena itu, bantuan
pernapasan mungkin lebih penting untuk anak-anak dibandingkan orang dewasa pada
serangan jantung.

5
Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam chain of survival,
yang meliputi :

a. Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari emergency


response system
Aktivasi kegawatdaruratan yang cepat dan inisiasi RJP membutuhkan
pengenalan cepat akan terjadinya serangan jantung. Serangan jantung
membuat seseorang tidak responsif. Pernapasan tidak ada atau tidak normal.
Agonal gasps (napas terengah yang mengancam nyawa) biasa terjadi pada
tahap permulaan dari serangan jantung mendadak dan dapat terjadi salah
penafsiran dengan pernapasan normal.
Deteksi denyut nadi sendiri sering tidak dapat diandalkan bahkan
ketika dilakukan oleh penolong terlatih, dan mungkin memerlukan waktu
yang lebih lama. Akibatnya, tim penyelamat harus mulai RJP segera jika
korban dewasa tidak responsif dan tidak bernapas atau tidak bernapas secara
normal (yaitu, hanya terengah-engah). Panduan tentang "look, listen and feel
for breathing" untuk membantu pengenalan akan obstruksi jalan napas tidak
lagi dianjurkan.

6
Petugas kegawatdaruratan harus danbisa membantu memberikan
penilaian dan arah untuk memulai RJP. Seorang profesional kesehatan dapat
menggabungkan informasi tambahan untuk membantu pengenalan akan
terjadinya suatu henti jantung.

b. RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dada


Inisiasi cepat dari kompresi dada yang efektif adalah aspek
fundamental dari resusitasi henti jantung. RJP meningkatkan
probabilitaspasien untuk hidup dengan memberikan sirkulasi jantung dan
otak. Tim penyelamat harus melakukan kompresi dada untuk semua pasien
serangan jantung, tanpa melihat tingkat keterampilan penyelamat,
karakteristik korban, atau sumber daya yang tersedia.
Penyelamat harus fokus pada pemberian RJP berkualitas tinggi:
 Memberikan penekanan dada dari tingkat yang memadai (setidaknya
100-120x / menit)
 Memberikan kompresi dada dengan kedalaman yang memadai
o Dewasa: kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan tidak
lebih dari 2,4 inci (6 cm)
o Bayi dan anak: kedalaman setidaknya sepertigaanterior-
posterior (AP) diameter dada atau sekitar 1,5 inci (4 cm) pada
bayi dan sekitar 2 inci (5 cm)pada anak-anak.
 Memungkinkan dada untuk mengembang secara penuh setelah setiap
kompresi
 Meminimalkan interupsisaat kompresi
 Menghindari ventilasi berlebihan
Jika ada beberapa penyelamat, sebaiknya kompresi dilakukan setiap 2
menit per orang.
Pembukaan jalan napas (dengan head tilt – chin liftataujaw thrust)
diikuti dengan bantuan napas buatan dapat meningkatkan oksigenasi dan
ventilasi. Namun, manuver ini bisa sulit dilakukan dan ada interupsi karena

7
kompresi dada, terutama untuk penyelamat tunggal yang belum terlatih.
Dengan demikian, penyelamat yang tidak terlatih boleh memberikan Hands-
OnlyCPR (kompresi tanpa ventilasi), dan penyelamat yang mampu boleh
membuka jalan napas dan memberikan napas buatan dengan kompresi dada.
Ventilasi harus diberikan jika korban memiliki risiko tinggi terjadinya asfiksia
(misalnya pada bayi, anak, atau korban tenggelam).
Setelah advanced airway terpasang, petugas kegawatdaruratan dapat
memberikan ventilasi dengan rate normal, yaitu 1 napas setiap 6 detik (10
napas per menit) dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.

c. Defibrilasi yang cepat


Probabilitas korban selamat dapat menurun dengan meningkatnya
interval antara henti jantung dan defibrilasi. Defibrilasi dini tetap merupakan
terapi utama untuk ventrikel fibrilasi (VF) dan ventrikel takikardia tanpa nadi
(pulseless VT).
Salah satu faktor penentu keberhasilan defibrilasi adalah efektivitas
kompresi dada. Defibrilasi dapat memberikan outcome yang baik jika
interupsi (untuk penilaian irama, defibrilasi, atau perawatan lanjutan) pada
kompresi dada dikurangi seminimal mungkin.

d. Advanced life support yang efektif


e. Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi

Sistem kegawatdaruratan yang secara efektif menerapkan rangkaian tersebut


diatas dapat meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup pada penderita henti jantung
sebesar 50%.Akan tetapi, pada sebagian besar sistem kegawatdaruratan, rata-rata
kelangsungan hidupnya rendah, yang mengindikasikan bahwa terdapat kesempatan
untuk meningkatkan rata-rata kelangsungan hidup dengan mengecek kembali semua
komponen dari chain of survivaldan memperkuat komponen yang lemah.Komponen

8
chain of survival yang satu bergantung dengan komponen yang lainnya, dan
kesuksesan dari setiap komponenbergantung dari keefektifan komponen sebelumnya.
Penolong dapat mempunyai berbagai macam pelatihan, pengalaman, dan
kemampuan. Status penderita henti jantung dan responnya terhadap RJP juga
bervariasi. Tantangannya adalah bagaimana untuk mencapai RJP yang sedini
seefektif dan mungkin untuk penderita henti jantung.
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan napas buatan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik
penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari komponen
RJP.
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah
mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap
penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi
tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang telah
terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan dengan
ventilasi, sebagai suatu tim.
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada
menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-anak
seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi
dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian napas buatan pada henti jantung
menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.

2.4. Basic Life Support


Algoritma Adult Basic Life Support yang secara luas dikenal adalah suatu
konsep kerangka untuk semua tingkatan penolong pada setiap kondisi. Aspek dasar
dalam BLS meliputi pengenalan (recognition) secara cepat henti jantung yang tiba-
tiba dan aktivasi emergency response system(activation), resusitasi jantung paru yang

9
dini (resuscitation), dan defibrilasi yang cepat (defibrillation) dengan Automated
External Defibrillator (AED). Pengenalan dan respon yang dini terhadap serangan
jantung dan stroke juga termasuk bagian dari BLS.

a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung secara
tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali bahwa
penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak adanya atau
berkurangnya respon napas.
Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus
memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita dan
memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih maupun yang tidak
terlatih harus segera mengaktifkan emergency response system (dengan
menghubungi nomor darurat yang tersedia). Setelah mengaktifkan emergency
response system semua penolong harus segera memulai RJP.

b. Pengecekan nadi
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa baik penolong yang tidak
terlatih maupun penolong yang terlatih mengalami kesulitan dalam mengecek
nadi. Penolong yang terlatih dapat juga membutuhkan waktu yang lama untuk
mengecek nadi.
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis) dan
harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi penolong
yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif dan napas
tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak.

c. Resusitasi Jantung Paru yang dini


1)Kompresi Dada

10
Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan bertenaga
pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan aliran darah
dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan
jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen menuju miokardium dan
otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk menyediakan aliran darah selama
RJP. Karena alasan ini semua penderita henti jantung harus mendapatkan
kompresi dada.
Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat dan
cepat (push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus mencapai paling
sedikit 100-120 x/menit dengan kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm)
dan tidak lenih dari 2.4 inchi (6 cm). Penolong harus memberi kesempatan agar
daya rekoil paru dapat terjadi sempurna setiap kali sehabis kompresi, untuk
memberi kesempatan jantung mengisi kembali secara penuh sebelum kompresi
berikutnya. Penolong seharusnya mencoba untuk mengurangi frekuensi dan
durasi gangguan yang terjadi selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah
kompresi yang diberikan tiap menit.
Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi
hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil
terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di bagian
tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inci.
2)Penyelamatan pernapasan
Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC 2015
adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum ventilasi. Meskipun
tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan bahwa memulai RJP dengan
30 kompresi daripada memulai dengan dua ventilasi yang menunjukkan hasil
yang lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah tergantung dari kompresi dada.
Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari kompresi dada harus diminimalkan
selama seluruh proses resusitasi.
Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan
memposisikan kepala, mengambil penutup untuk pertolongan napas dari mulut-ke

11
mulut, dan mengambil alat bag-mask memakan banyak waktu. Memulai RJP
dengan 30 kompresi daripada dua ventilasi menghasilkan penundaan yang lebih
singkat.
Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih harus
memberikan napas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau melalui bag-
mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut:
 Memberikan setiap napas buatan selama satu detik
 Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan pengembangan
dada yang terlihat (visible chest rise)
 Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2
 Ketika jalan napas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu, atau
laryngeal mask airway (LMA)) telah dipasang selama RJP dengan dua
orang penyelamat, berikan napas setiap 6 detik tanpa menyesuaikan
napas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh berhenti untuk
memberikan ventilasi.

d. Defibrilasi dini dengan AED


Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang seorang
diri harus mencari AED (Automated External Defibrillator) (bila AED dekat dan
mudah didapatkan) dan kemudian kembali ke penderita untuk memasang dan
menggunakan AED.Penolong lalu memberikan RJP berkualitas tinggi.
Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera
memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan emergency
response system dan mengambil AED (atau defibrillator manual pada
kebanyakan rumah sakit).AED harus digunakan secepat mungkin dan kedua
penyelamat harus memberikan RJP dengan kompresi dada dan ventilasi.
Tahapan defibrilasi:
 Nyalakan AED
 Ikuti petunjuk
 Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan gangguan)

12
13
2.5 Airway Management
2015AHA Guidelines adalah untuk merekomendasikan inisiasi kompresi dada
sebelum ventilasi (CAB bukan ABC).Perubahan ini mencerminkan bukti yang
berkembang tentang pentingnya penekanan dada dan fakta bahwa persiapan untuk
memberikan jalan napas membutuhkan waktu lebih.
Pola pikir ABC memperkuat gagasan bahwa kompresi harus menunggu
sampai ventilasi telah dimulai.Pola pikir ini dapat terjadi bahkan ketika lebih dari 1
penyelamat hadir karena "jalan napas dan pernapasan sebelum ventilasi" begitu
mendarah daging dalam banyak penyelamat.Penekanan baru pada CAB membantu
memperjelas bahwa manuver jalan napas harus dilakukan dengan cepat dan efisien
sehingga gangguan dalam kompresi dada diminimalkan dan kompresi dada harus
mengambil prioritas dalam resusitasi orang dewasa.

Penyelamat awam
Penyelamat awam terlatih yang merasa yakin bahwa ia dapat melakukan
kedua kompresi dan ventilasi harus membuka jalan napas menggunakan head tilt –
chin lift maneuver. Untuk penyelamat menyediakan Hands-Only CPR, tidak ada
bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan nafas pasif tertentu (seperti
hiperekstensi leher untuk memungkinkan ventilasi pasif).

Petugas kesehatan
Sebuah penyedia layanan kesehatan harus menggunakan head tilt –chin lift
maneuver untuk membuka jalan napas dari korban dengan tidak ada bukti trauma
kepala atau leher. Meskipun head tilt – chin lift maneuverdikembangkan pada
relawan dewasa yang tidak sadar dan lumpuh dan belum diteliti pada korban dengan
serangan jantung, bukti klinis, radiografi, dan serangkaian kasus telah menunjukkan
keefektifan.

14
Antara 0,12 dan 3,7% dari korban dengan trauma tumpul memiliki cedera
tulang belakang, dan risiko cedera tulang belakang meningkat jika korban mengalami
cedera kraniofasial, skor Glasgow Coma Scale<8. Untuk korban yang diduga
mengalami cedera tulang belakang, tim penyelamat harus memberikan pembatasan
gerak pada tulang belakang secara manualterlebih dahulu (misalnya, menempatkan 1
tangan di kedua sisi kepala pasien untuk menahan kepala dan tulang belakang pada
tempatnya). Perangkat imobilisasi tulang belakang dapat mengganggu dalam
mempertahankan jalan napas, tapi penggunaan alat tersebut tetap diperlukan untuk
menjaga imobilisasitulang belakang selama transportasi.
Jika penyedia layanan kesehatan menduga cedera tulang belakang servikal,
jalan napas harus dibuka dengan menggunakan jaw thrust tanpa ekstensi kepala.
Karena mempertahankan jalan napas yang paten dan menyediakan ventilasi yang
memadai adalah prioritas dalam RJP, tetap lakukan head tilt – chin lift maneuverjika
jaw thrust tidak cukup untuk membuka jalan napas.

2.6 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2010

15
a. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus
Kompresi dada efektif yang dilakukan secara dini merupakan aspek yang
penting dalam resusitasi henti jantung.RJP meningkatkan kemungkinan
kelangsungan hidup penderita dengan memberikan sirkulasi pada jantung dan
paru.Penolong harus melakukan kompresi dada untuk semua penderita henti
jantung, tanpa melihat tingkatan ketrampilan, karaktrikstik penderita, atau sumber
daya yang tersedia.AHA Guidelines for CPR and ECC 2015 mengutamakan
kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup:
 Kecepatan kompresi paling sedikit 100-120 x/menit
 Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inci (5 cm) dan tidak lebih dari
2.4 inci (6 cm) pada dewasa dan paling sedikit sepertiga dari diameter
anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inci
(4cm) pada bayi dan 2 inci (5cm) pada anak-anak).Batas antara 1,5 hingga 2
inci tidak lagi digunakan pada dewasa, dan kedalaman mutlak pada bayi dan
anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA Guidelines for
CPR and ECC.
 Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap
setiap kali selesai kompresi.
 Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada.
 Menghindari ventilasi yang berlebihan.
Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi
yaitu 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru
lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk
memberikan napas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan napas telah dibebaskan,
kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling
sedikit 100-120 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Napas buatan

16
kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali napas setiap 6 detik (sekitar 10 napas per
detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari.

b. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B


Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-Circulation
berubah menjadi Compression-Airway-Breathingpada orang dewasa, anak – anak,
dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru lahir). Hal ini untuk menghindari
penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif.
Mengamankan jalan napas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu yang
memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong yang
seorang diri.
Serangan jantung terjadi sebagian besar pada orang dewasa dan penyebab
paling umum adalah ventricular fibrillation atau pulseless ventricular
tachycardia. Pada penderita tersebut, elemen paling penting dari Basic Life
Support adalah kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-
C, kompresi dada seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan napas untuk
memberikan napas buatan, mencari alat pembatas (barrier devices), atau
mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai emergency response system
hal berikutnya yang penting yaitu untuk segera memulai kompresi dada. Hal ini
berarti tidak ada lagi "look, listen, feel", sehingga komponen ini dihilangkan dari
panduan.
Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai
sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus
pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar
penderita yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan
pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal
tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang
dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan napas dan

17
memberikan napas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat
mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP.

c. Penekanan pada kompresi dada


Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA
mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008.Untuk penolong yang belum terlatih
diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka.
Jika penyelamat tidak terlatih dalam melakukan RJP, Hands Only CPR bisa
dilakukan pada korban dewasa yang mendadak kolaps dengan penekanan "push
hard and fast".Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk
dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh
penolong yang ahli melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR)
memberikan hasil yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan
ventilasi.

d. Kecepatan kompresi
Sebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100-120 kali/ menit. Jumlah
kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk
menentukan kembalinya sirkulasi spontan Return of Spontaneous
Circulation(ROSC) dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk
memberikan kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada
dan jumlah serta lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk
membuka jalan napas, memberikan napas buatan, dan melakukan analisis AED
(Automated External Defibrillator).
Pada sebagian besar penelitian, kompresi yang lebih banyak dihubungkan
dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit
dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah.
Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan
tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan
gangguan pada komponen penting dari RJP tersebut. Kompresi yang inadekuat

18
atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total
kompresi yang diberikan per menit.

e. Kedalaman kompresi
Untuk dewasa kedalaman kompresi minimal 2 inci (5 cm) dan tidak lebih
dari 2.4 inci (6 cm) Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan cepat)
menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada jantung dan
otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan
tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung.Kompresi
menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke
jantung dan otak.

f. Identifikasi pernapasan agonal oleh petugas medis


kegawatdaruratan(Dispatcher Identification of Agonal Gasps)
Hal ini sangat penting bahwa penolong seharusnya dilatih dengan baik
untuk mengidentifikasi antara pernapasan normal dengan pernapasan agonal,
selama proses RJP. Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak
bernapas atau sulit bernapas.Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan
untuk memulai RJP jika korban tidak bernapas atau pernapasan yang tidak
normal.Pengecekan pernapasan dilakukan secara cepat sebelum aktivasi
emergency response system.

g. Penekanan krikoid
Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian tekanan
pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah posterior dan
menekan esophagus ke vertebra servikal.Penekanan krikoid dapat menghambat
inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan aspirasi selama ventilasi
dengan bag-mask namun hal ini juga dapat menghambat ventilasi.
Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak lagi direkomendasikan.
Penelitian menunjukkan bahwa penekanan krikoid dapat menghambat kemajuan

19
airway dan aspirasi dapat terjadi meskipun dengan aplikasi yang tepat. Ditambah
lagi, tindakan ini sulit dilakukan dengan tepat bahkan oleh penolong yang terlatih.
Penekanan krikoid masih dapat digunakan dalam beberapa keadaan tertentu
(misalnya dalam usaha melihat pita suara selama intubasi trakea).

h. Aktivasi Emergency Response System


Aktivasi Emergency Response System seharusnya dilakukan setelah
penilaian respon penderita dan pernapasan, namun seharusnya tidak
ditunda.Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem
kegawatdaruratan dilakukan setelah korban yang tidak merespon.Jika penyedia
pelayanan kesehatan tidak merasakan nadi dalam 10 detik, RJP harus segera
dimulai dan menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia.
i. Tim resusitasi
Langkah – langkah algoritma BLS sejak dahulu dipresentasikan dalam
keadaan di mana hanya ada satu penyelamat. Pada AHA 2015 lebih difokuskan
untuk memberikan RJP dalam suatu timagar resusitasi berjalan dengan baik dan
efektif. Misalnya, satu penolong mengaktifkan respon sistem kegawatdaruratan
sedangkan penolong kedua melakukan kompresi dada, penolong ketiga
membantu ventilasi atau memakaikan bag mask untuk membantu pernapasan dan
penolong keempat mempersiapkan defibrilator

20
Tabel ringkasan komponen BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk
RJP pada neonatus).

21
2.7 Peningkatan Kualitas Resusitasi
Resusitasi melibatkan spektrum yang luas dari pihak individu dan
kelompok.Pihak individu adalah korban, anggota keluarga, penyelamat, dan penyedia
layanan kesehatan.Pihak kelompok adalah masyarakat, petugas medis
kegawatdaruratan, organisasi keselamatan publik, sistem EMS, rumah sakit,
kelompok sipil, dan pembuat kebijakan di tingkat lokal, dan negara.
Karena hubungan dari chain of survival saling bergantung satu sama
lain,strategi resusitasi yang efektif membutuhkan pihak individu dan kelompok untuk
bekerja secara terpadu danfungsi sebagai system of care.Fondasi untuk RJP yang
suksesadalah penilaian kembali tantangan yang ada dari masing – masing komponen
chain of survival.Dengan demikian individu dan kelompok harus bekerjabersama-
sama, berbagi ide dan informasi, untuk mengevaluasi danmeningkatkan sistem
resusitasi. Kepemimpinan dan tanggung jawab adalah komponen penting di dalam
suatu tim.
Peningkatkan perawatanmembutuhkan penilaian kinerja. Hanya melalui
proses pengevaluasian ini kualitas RJP bisa ditingkatkan.Prosesnya meliputi evaluasi
secara keseluruhan dari tindakan resusitasi dan outcome yang didapatkan, patokan
dengan feedback dari seluruh pihak yang terkait, dan usaha strategis untuk
mengetetahui kekurangan yang ada.

22
2.8 Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi
Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu dari
berikut ini : telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif; ada
orang lain yang mengambil alih tanggung jawab; penolong terlalu capek sehingga
tidak sanggup meneruskan resusitasi; pasien dinyatakan mati; setelah dimulai
resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal
suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dipastikan bahwa fungsi
serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit – 1 jam terbukti tidak ada nadi pada
normotermia tanpa RJPO.
Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak, fungsi
spontan pernapasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible. Petunjuk
terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada pernapasan spontan dan
reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau
lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek barbiturat, atau dalam anestesi
umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak adanya aktivitas listrik jantung
(asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJPO dan terapi
obat yang optimal. Tanda kematian jantung adalah titik akhir yang lebih baik untuk
membuat keputusan mengakhiri upaya resusitasi.

2.9 Komplikasi
Penyulit yang dapat terjadi akibat RJP adalah fraktur iga atau sternum karena
kompresi dada (jarang) dan gastric insufflation karena bantuan respirasi buatan
menggunakan ventilasi non-invasif (mulut ke mulut, bag valve mask) yang bisa
menyebabkan muntah, dengan kemungkinan aspirasi atau gangguan jalan napas;
insersi ventilasi invasif bisa mencegah hal ini.

23
BAB 3

KESIMPULAN

Dalam perkembangannya, American Heart Association telah membuat


beberapa perubahan dalam panduan RJP, yang terdapat dalam American Heart
Association (AHA) Guidelines for CPR and ECC 2015. Panduan RJP yang terbaru ini
juga menekankan pada pemberian RJP yang berkualitas tinggi, dengan kecepatan
kompresi paling sedikit 100-120 kali/menit dan kedalamannya paling sedikit 5cm dan
tidak lebih dari 6 cm pada dewasa dan anak-anak, serta 4cm pada bayi. AHA juga
menyarankan pemberian RJP hanya dengan tangan (hands only CPR) atau RJP tanpa
ventilasi dengan maksud untuk memudahkan penolong yang tidak terlatih dalam
menyelamatkan penderita henti jantung.
Dengan adanya panduan RJP tahun 2015 yang lebih ringkas ini diharapkan
dapat memacu penolong awam yang tidak terlatih untuk menyelamatkan penderita
yang mengalami henti jantung, sehingga rata-rata kelangsungan hidup penderita yang
mengalami henti jantung dapat meningkat.
Setiap sistem, baik di rumah sakit atau di luar rumah sakit, harus menilai
kinerja dan menerapkan strategi untuk meningkatkan perawatan dalam kasus-kasus
serangan jantung.Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung
membutuhkan gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang meliputi pengenalan
segera henti jantung dan aktivasiemergency response system, RJP awal dengan
menekankan pada kompresi dada, defibrilasi yang cepat, advanced life support yang
efektif, perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi. Dengan melakukan

24
rangkaian tindakan tersebut secara benar, potensi dariChain of Survival dapat dicapai
secara penuh sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association, 2015. Highlights of the 2015 American Heart


Association Guidelines for CPR and ECC. Guidelines CPR and ECC 2015, p.
28.

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis
Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI; 2009, 3-8.
3. Roberts F, Kestin I. Respiratory Physiology in Update in Anesthesia 12th ed.
2000.
4. Stock MC. Respiratory Function in Anesthesia in Barash PG, Cullen BF,
Stelting RK, editors. Clinical Anesthesia 5th ed. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins; 2006, p. 791-811.
5. Galvin I, Drummond GB, Nirmalan M. Distribution of blood flow and
ventilation in the lung: gravity is not the only factor. British Journal of
Anaesthesia; 2007, 98: 420-8.
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Breathing System in Clinical
Anesthesilogy 4th ed. McGraw-Hill; 2007.

25

Anda mungkin juga menyukai