Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

RESUSITASI JANTUNG PARU (RPJ)

DI
S
U
S
U
N
OLEH

ALVI RIDHANI
NIM : P00320220002

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN ACEH
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN LANGSA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Yang telah
memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis mendapat berbagai Inspirasi dan dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul " RESUSITASI JANTUNG PARU (RPJ)”.
Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak akan tersusun dengan baik tanpa
adanya bantuan dari pihak-pihak terkait. Atas dukungan moral dan materil yang
diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka Penulis mengucapkan terima
kasih
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum lah sempurna. Oleh karena itu,
penulis menerima saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan untuk
penyempurnaan makalah ini.

                                                                          

Langsa, Januari 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Tujuan Penulisan...........................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................3
A. Definisi..........................................................................................................3
B. Indikasi..........................................................................................................3
C. Fase Rjp.........................................................................................................4
D. Pembaharuan Pada Bls Guidelines 2010......................................................5
E. Bantuan Hidup Lanjut.................................................................................17
F. Bantuan Hidup Terus-Menerus...................................................................20
BAB III..................................................................................................................22
PENUTUP.............................................................................................................22
A. Kesimpulan.................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Resusitasi jantung paru adalah serangkaian usaha penyelamatan hidup
pada henti jantung. Walaupun pendekatan yang dilakukan dapat berbeda-
beda, tergantung penyelamat, korban dan keadaan sekitar, tantangan
mendasar tetap ada, yaitu bagaimana melakukan RJP yang lebih dini, lebih
cepat dan lebih efektif. Untuk menjawabnya, pengenalan akan adanya henti
jantung dan tindakan segera yang harus dilakukan menjadi prioritas dari
tulisan ini.
Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara.
Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan
sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di
Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan
meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun
usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa
yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi.
Sebagian besar korban henti jantung adalah orang dewasa, tetapi ribuan
bayi dan anak juga mengalaminya setiap tahun. Henti jantung akan tetap
menjadi penyebab utama kematian yang prematur, dan perbaikan kecil dalam
usaha penyelamatannya akan menjadi ribuan nyawa yang dapat diselamatkan
setiap tahun.
Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang
yang terlatih dalam bidang kesihatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh
dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam
Menurut American Heart Association, rantai kehidupan mempunyai
hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, kerana penderita yang
diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup
kembali.

1
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui definisi,
indikasi, dan algoritma resusitasi jantung paru. Selain itu, makalah ini juga
dapat memberi informasi yang lengkap tentang pembaharuan untuk RJP pada
tahun 2010 dibandingkan dengan pada tahun 2005 berdasarkan American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk
mengembalikan keadaan henti nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke
fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis. Kematian klinis ditandai
dengan hilangnya nadi arteri carotis dan arteri femoralis, terhentinya denyut
jantung dan pembuluh darah atau pernafasan dan terjadinya penurunan atau
kehilangan kesadaran. Kematian biologis dimana kerusakan otak tak dapat
diperbaiki lagi, dapat terjadi dalam 4 menit setelah kematian klinis. Oleh
Karena itu, berhasil atau tidaknya tindakan RJP tergantung cepatnya
dilakukan tindakan dan tepatnya teknik yang dilakukan.3

B. INDIKASI
1. Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak
hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik,
tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik
(suffocation), trauma dan lain-lainnya.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai
beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka
pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan
berakibat henti jantung.
2. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah
jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya
secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang
tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung

3
terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti
jantung.
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol
(+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis henti
jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan
pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas
jantung menghilang.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis
femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali,
pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak
bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi
melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri
rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut
kembali.

C. FASE RJP
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya
1. Fase I :
Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti
jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
a. C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung
paru.
b. A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
c. B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
2. Fase II :
Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan
hidup dasar ditambah dengan :

4
a. D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
b. E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah
dimulai PJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole
atau agonal ventricular complexes.
c. F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
3. Fase III :
Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
a. G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita
secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian
mengobatinya.
b. H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim
saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung,
sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
c. H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi
susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
d. H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan
hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.
e. I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi
: trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung,
pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi,
mengendalikan kejang.

D. PEMBAHARUAN PADA BLS GUIDELINES 2010


Terdapat beberapa pembaharuan pada BLS 2010, berbanding dengan
2005. Beberapa perubahan yang telah dilakukan adalah seperti berikut:
(1,2,5,6)
1. Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon dan
pernafasan. (ie korban tidak bernafas)
2. “Look,listen and feel” tidak digunakan dalam algortima BLS
3. Hands-only chest compression CPR digalakkan pada sesiapa yang tidak
terlatih

5
4. Urutan ABC diubah ke urutan CAB, chest compression sebelum
breathing.
5. Health care providers memberi chest compression yang efektif sehingga
terdapat sirkulasi spontan.
6. Lebih terfokus kepada kualiti CPR.
7. Kurangkan penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care providers.
8. Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan.
9. Rekomendasi untuk mempunyai pasukan yang serentak mengandali chest
compression, airway management,rescue breathing, rhythm detection dan
shock.

Untuk mengenali terjadinya SCA (sudden cardiac arrest) adalah hal


yang tidak mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan untuk bertindak
dan memulakan CPR, ini akan mengurangi survival rate korban tersebut.
Chest compression merupakan antara tindakan yang sangat penting dalam
CPR kerana perfusi tergantung kepada kompresi. Oleh kerana itu, chest
compression merupakan tindakan yang terpenting jika terdapat korban yang
mempunyai SCA.

Prinsip utama dalam resusitasi: memperkuat rantai harapan hidup


(chain of survival).

Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi jalur chain


of survival. Jalur ini meliputi:

1. Pengenalan segera akan henti jantung dan aktivasi sistem respons darurat
(emergency response system)
2. RJP dini dengan penekanan pada kompresi dada
3. Defibrilasi cepat
4. Advance life support yang efektif
5. Post-cardiac arrest care (perawatan pasca henti jantung) yang terintegrasi’
Sistem gawat darurat yang secara efektif menerapkan jalur ini dapat
meningkatkan harapan hidup pasien dengan henti jantung VF (ventricle
fibrillation) hingga 50%. Pada sebagian besar sistem gawat darurat angkanya

6
masih lebih rendah, menandakan bahwa masih ada ruang untuk perbaikan
dengan evaluasi ulang dari jalur ini.
Penyelamat dapat memiliki berbagai pengalaman, pelatihan dan
kemampuan. Begitu pula dengan status korban dan keadaan sekitar kejadian.
Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan RJP yang lebih dini dan lebih
efektif bagi setiap korban.

Chain of survival
Chain of survival

Kerangka kerja RJP: interaksi antara penyelamat dan korban


RJP secara tradisional menggabungkan antara kompresi dada dan nafas
buatan dengan tujuan untuk meningkatkan sirkulasi dan oksigenasi.
Karakteristik penyelamat dan korban dapat mempengaruhi penerapannya.
a. Penyelamat
Setiap orang dapat menjadi penyelamat bagi korban henti jantung.
Kemampuan RJP dan penerapannya tergantung dari hasil pelatihan,
pengalaman dan kepercayaan diri si penyelamat. Kompresi dada adalah
dasar RJP. Setiap penyelamat, tanpa memandang hasil pelatihan, harus
melakukan kompresi dada pada semua korban henti jantung. Karena
pentingnya, kompresi dada harus menjadi tindakan RJP yang pertama kali
dilakukan terhadap semua korban tanpa memandang usianya. Penyelamat
yang memiliki kemampuan sebaiknya juga melakukan ventilasi. Beberapa
penyelamat yang sangat terlatih harus saling berkoordinasi dan melakukan
kompresi dada serta nafas buatan secara tim.
Terdapat 3 pola strategi RJP yang dapat diterapkan pada penolong
sesuai dengan keadaannya, yaitu: untuk penolong non petugas kesehatan
yang tidak terlatih, mereka dapat melakukan strategi “Hands only CPR”

7
(hanya kompresi dada). Kompresi dada sebaiknya dilakukan hingga
petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia.
Kedua, untuk penolong non petugas kesehatan yang terlatih, mereka
dapat melakukan strategi RJP kompresi dada dan dilanjutkan dengan
ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. RJP sebaiknya dilakukan hingga
petugas kesehatan hadir atau alat defibrilasi otomatis tersedia.
Ketiga, untuk petugas kesehatan, lakukan RJP kompresi dada
sebanyak satu siklus yang dilanjutkan dengan ventilasi dengan
perbandingan 30 : 2.

b. Korban
Sebagian besar henti jantung dialami orang dewasa secara tiba-tiba
setelah suatu sebab primer; karenanya sirkulasi yang dihasilkan dari
kompresi dada menjadi yang terpenting. Sebaliknya, henti jantung pada
anak-anak sebagian besar karena asfiksia yang memerlukan baik ventilasi
dan kompresi untuk hasil yang optimal. Karenanya, bantuan nafas lebih
penting bagi anak-anak dibandingkan orang dewasa.

AHA 2010 dalam panduannya memberikan 2 jenis algoritma BLS


bagi korban dewasa yaitu algoritma sederhana untuk penolong non petugas
kesehatan dan khusus untuk petugas kesehatan.
1. Simple Algorithma

8
Gambar 1. Algoritma RJP sederhana
Ketika menemui korban henti jantung dewasa yang bersifat
mendadak, seorang penolong pertama kali harus mengenali henti
jantung itu dari unresponsiveness dan tidak adanya pernafasan normal.
Setelah mengenali, penolong harus segera mengaktifkan sistem respons
gawat darurat, mengambil defibrilator/AED, jika ada, dan memulai RJP
dengan kompresi dada. Jika AED tidak tersedia, penolong harus
memulai RJP langsung. Jika ada penolong lain, penolong pertama harus
memerintahkan dia untuk mengaktifkan sistem respons gawat darurat
dan mengambil AED/defibrilator sambil dia langsung memulai RJP.
Ketika AED/defibrilator datang, pasang pad, jika memungkinkan,
tanpa memotong kompresi dada yang sedang dilakukan, dan nyalakan
AED. AED akan menganalisis ritme dan menunjukkan apakah akan
melakukan kejutan (defibrilasi) atau melanjutkan RJP. Jika
AED/defibrilator tidak tersedia, lanjutkan RJP tanpa interupsi hingga
ditangani oleh penolong yang lebih berpengalaman/ahli.
Pengenalan dan aktivasi respons gawat darurat
Seorang korban henti jantung biasanya tidak bereaksi. Tidak
bernafas atau bernafas tetapi tidak normal. Deteksi nadi saja biasanya
tidak dapat diandalkan, walaupun dilakukan oleh penolong yang

9
terlatih, dan membutuhkan waktu tambahan. Karenanya, penolong
harus memulai RJP segera setelah mendapati bahwa korban tidak
bereaksi dan tidak bernafas atau bernafas secara tidak normal (terengah-
engah). Petunjuk “look, listen and feel for breathing” tidak lagi
direkomendasikan. Petugas evakuasi harus membantu assessment dan
memulai RJP.
Kompresi dada
Memulai dengan segera kompresi dada adalah aspek mendasar
dalam resusitasi. RJP memperbaiki kesempatan korban untuk hidup
dengan menyediakan sirkulasi bagi jantung dan otak. Penolong harus
melakukan kompresi dada untuk semua korban henti jantung, tanpa
memandang tingkat kemampuannya, karakteristik korban dan
lingkungan sekitar. Penolong harus fokus pada memberikan RJP yang
berkualitas baik:
a. Melakukan kompresi dada dalam kecepatan yang cukup (setidaknya
100/menit)
b. Melakukakan kompresi dada pada kedalaman yang cukup (dewasa:
setidaknya 2 inchi/5 cm, bayi dan anak-anak: setidaknya sepertiga
diameter anteroposterior (AP) dada atau sekitar 1,5 inchi/4 cm pada
bayi dan sekitar 2 inchi/5 cm pada anak-anak).
c. Menunggu dada mengembang sempurna setelah setiap kompresi
d. Meminimalisir interupsi selama kompresi
e. Menghindari ventilasi yang berlebihan.
Jika ada lebih dari satu penolong, mereka harus bergantian
melakukan kompresi setiap 2 menit.
Jalan nafas (airway) dan ventilasi
Membuka jalan nafas (dengan head tilt, chin lift atau jaw thrust)
yang diikuti nafas bantuan dapat meningkatkan oksigenasi dan
ventilasi. Tetapi manuver ini dapat menjadi sulit dan mengakibatkan
tertundanya kompresi dada, terutama pada penolong yang sendirian dan
tidak terlatih. Karenanya, penolong yang sendirian dan tidak terlatih

10
hanya melakukan kompresi dada saja tanpa ventilasi. Ventilasi harus
diberikan jika korban cenderung disebabkan oleh asfiksia (contohnya
pada bayi, anak-anak atau korban tenggelam).
Begitu alat bantu nafas tersedia, penolong harus memberikan
ventilasi dalam kecepatan yang tetap 1 nafas setiap 6-8 detik (8-10
nafas/menit) dan kompresi dada tetap diberikan tanpa terputus.
Defibrilasi
Kesempatan korban untuk selamat menurun seiring jeda waktu
antara henti jantung dan defibrilasi. Karenanya defibrilasi tetap menjadi
dasar tatalaksana untuk fibrilasi ventrikel (VF ventricular fibrillation)
dan pulseless ventricular tachycardia. Strategi bersama antara
masyarakat dan rumah sakit harus ditujukan untuk mengurangi jeda
waktu ini.
Satu penentu defibrilasi yang berhasil adalah efektifitas kompresi
dada. Defiibrilasi lebih berhasil jika interupsi pada kompresi dada
sedikit.

2. Untuk penolong yang terlatih atau petugas kesehatan


Lakukan RJP kompresi dada sebanyak satu siklus yang dilanjutkan
dengan ventilasi dengan perbandingan 30 : 2. Lakukan hal tersebut
hingga advanced airway tersedia, kemudian lakukan kompresi dada
tanpa terputus sebanyak 100 kali/menit dan ventilasi setiap 6-8
detik/kali (8-10 nafas/menit). Untuk petugas kesehatan penting untuk
mengadaptasi urutan langkah sesuai dengan penyebab paling mungkin
yang terjadi pada saat itu. Contohnya, jika melihat seseorang yang tiba-
tiba jatuh, maka petugas kesehatan dapat berasumsi bahwa korban
mengalami fibrilasi ventrikel, setelah petugas kesehatan
mengkonfirmasi bahwa korban tidak merespon dan tidak bernapas atau
hanya sesak terengah-engah, maka petugas sebaiknya mengaktifasi
sistem respon darurat untuk memanggil bantuan, mencari dan
menggunakan AED (Automated External Defibrilator), dan melakukan

11
RJP. Namun jika petugas menemukan korban tenggelam atau henti
nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP konvensional (A-B-C)
sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respon
darurat. Sama halnya dalam bayi baru lahir, penyebab arrestkebanyakan
adalah pada sistem pernafasan maka RJP sebaiknya dilakukan dengan
siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab jantung yang diketahui. ,
Berikut algoritmanya:

Gambar 2. Algoritma RJP khusus

Prinsip dasar langkah-langkah algoritma tetap sama dengan yang


sederhana.
Pengenalan dini.
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive
maka petugas kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan
memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama
korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-

12
engah. Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau
gerakan. Korban yang tidak responsif serta tidak ada nafas atau hanya
terengah-engah maka petugas kesehatan dapat mengasumsi bahwa
korban mengalami henti jantung.
Aktivasi sistem darurat
Petugas sebaiknya mengaktivasi sistem respon darurat yang dalam
hal ini berarti menghubungi institusi yang mempunyai fasilitas/layanan
gawat darurat, contohnya menghubungi rumah sakit, polisi, atau
instansi terkait. Hal yang perlu diperhatikan adalah pada AHA 2010 ini
ada dua hal yang tidak dianjurkan setelah memeriksa korban tidak
responsif yaitu :
a. Memeriksa ada tidaknya nafas pada korban dengan “look, feel,
listen”. Sulitnya menilai nafas yang adekuat pada korban merupakan
alasan dasar hal tersebut tidak dianjurkan. Nafas yang terengah dapat
disalah artikan sebagai nafas yang adekuat oleh professional maupun
bukan. Contohnya pada korban dengan sindroma koroner akut sering
kali terdapat nafas terengah yang dapat disalah artikan sebagai
pernafasan yang adekuat. Maka tidak dianjurkan memeriksa
pernafasan dengan “look, feel, listen” dan direkomendasikan untuk
menganggap pernafasan terengah sebagai tidak ada pernafasan.
b. Memeriksa denyut nadi pasien. Untuk petugas kesehatan,
pemeriksaan nadi korban sebaiknya tidak lebih dari 10 detik jika
lebih dari waktu tersebut tidak didapatkan denyut nadi yang
definitive maka petugas sebaiknya memulai RJP.
b. Kedua hal tersebut tidak lagi dianjurkan bertujuan untuk
meminimalisir waktu untuk memulai RJP.
Resusitasi Jantung Paru dini
Seperti yang telah disebutkan, mulai RJP dengan algoritma “C-A-
B” . Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik).
Kriteria penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah :
a. Frekuensi kompresi setidaknya 100 kali/menit.

13
b. Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm),
sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-
posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2
inchi (5 cm).
c. Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau
berdiri disamping korban jika korban berada di tempat tidur (bila
perlu dengan bantuan ganjalan kaki untuk mencapai tinggi yang
diinginkan sehingga dan papan kayu untuk mendapatkan kompresi
yang efektif selama tidak memakan waktu).
d. Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi.
e. Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi.
f. Menghindari ventilasi berlebihan.
Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada
bergantian setiap 2 menit.
Airway dan Breathing
Kriteria penting pada Airway dan Breathing adalah :
a. Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang
belakang maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift.
Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan
jalan nafas melalui jaw thrust.
b. Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi
dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada
korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat.
Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut :
a. Pastikan hidung korban terpencet rapat
b. Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
c. Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
d. Berikan satu ventilasi tiap satu detik
e. Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama
satu detik.

14
Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui
mulut korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.
Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask
dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang
memenuhi volume tidal sekitar 600 ml. Setelah terpasang advance
airway maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi
atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa
interupsi.
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan
pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6
detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi
kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan
ventilasi adalah 30 : 2, setelah terdapat advance airway kompresi
dilakukan terus menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi
tiap 6-8 detik/kali.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang,
pasien bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi,
petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali
untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance
airway.
Alat defibrilasi otomatis
Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat
tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang
telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak,
jika iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2
menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi
kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan
terus langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life
Support ) datang, atau korban mulai bergerak.

15
Posisi mantap
Lebih dikenal dengan recovery posisition, dipergunakan pada
korban tidak responsive yang memiliki pernafasan dan sirkulasi yang
baik. Tidak ada posisi baku yang menjadi standar, namun posisi yang
stabil dan hamper lateral menjadi prinsip ditambah menaruh tangan
yang berada lebih bawah ke kepala sembari mengarahkan kepala
menuju tangan dan menekuk kedua kaki menunjukan banyak manfaat.
Ringkasan komponen BLS (basic life support) bagi dewasa, anak-
anak dan bayi
Komponen Dewasa Anak-Anak Bayi
Pengenalan Tidak Tidak Tidak
responsif, responsif, responsif,
tidak bernafas tidak bernafas tidak bernafas
atau tersedak atau tersedak atau tersedak
(gasping) (gasping) (gasping)
Nadi tidak Nadi tidak Nadi tidak
teraba dalam teraba dalam teraba dalam
10 detik 10 detik 10 detik
Urutan RJP CAB CAB CAB
Kecepatan 100/menit 100/menit 100/menit
kompresi
Kedalaman 2 inchi (5cm) 1/3 AP, 1/3 AP,
kompresi sekitar 2 inchi sekitar 1,5
(5cm) inchi (4 cm)
Interupsi Minimalisir Minimalisir Minimalisir
kompresi interupsi interupsi interupsi
hingga < 10 hingga < 10 hingga < 10
detik detik detik
Jalan nafas Head tilt-chin Head tilt-chin Head tilt-chin
lift-jaw thrust lift-jaw thrust lift-jaw thrust
Rasion 30:2 (1 atau 2 30:2 (satu), 30:2 (satu),

16
kompresi:ventilas penyelamat) 15:2 (2 15:2 (dua
i penyelamat) penyelamat)
Jika penyelamat Kompresi Kompresi Kompresi
tidak terlatih saja saja saja
Ventilasi jika 1 nafas setiap 1 nafas setiap 1 nafas setiap
mungkin 6-8 detik, 6-8 detik, 6-8 detik,
tanpa tanpa tanpa
menyesuaika menyesuaika menyesuaika
n dengan n dengan n dengan
kompresi, 1 kompresi, 1 kompresi, 1
detik setiap detik setiap detik setiap
nafas, hingga nafas, hingga nafas, hingga
dada dada dada
mengembang mengembang mengembang
Defibrilasi Gunakan Gunakan Gunakan
AED sesegera AED sesegera AED sesegera
mungkin, mungkin, mungkin,
minimalisir minimalisir minimalisir
interupsi interupsi interupsi
kompresi, kompresi, kompresi,
lanjutkan lanjutkan lanjutkan
kompresi kompresi kompresi
setelah setiap setelah setiap setelah setiap
kejutan kejutan kejutan

E. BANTUAN HIDUP LANJUT


Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah:
1. D (Drugs): Pemberian obat-obatan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:

17
a. Penting:
1) adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta,
dosis yang diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai
kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan
pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel(4).
2) Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis,
diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus
ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga
diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai,
pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis,
takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang
efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama(3).
3) Sulfat Atropin: Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi
atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus
bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan
sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada
hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus
dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi >
60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok
atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
4) Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek
antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari
ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada
perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri
sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif
menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi
ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol
denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi
ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan
dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu

18
1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine
500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml) (3).
b. Berguna:
1) Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera
(bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam
infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1
mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan
denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk
sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.
2) Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya
terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang
berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak
dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv,
dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.
3) Kortikosteroid: Sekaranfg lebih disukai kortikosteroid sintetis (5
mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB
dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau
shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak
setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium
succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru
seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason
fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.
2. E (EKG): Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi
ventrikel dan monitoring.
3. F: (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik
tidak teratur baik amplitudo maupun frekuensinya.

19
Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum ada
satu obatpun yang dapat menghilangkan fibrilasi.

Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda


dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.

F. BANTUAN HIDUP TERUS-MENERUS


1. G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus-
menerus terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan system saraf.
2. H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf
dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan
neurologic yang permanen.
3. H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan
saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.

20
4. H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya
berdasarkan perikemanusiaan.
5. I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung,
pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi,
mengendalikan kejang.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) adalah suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk
mengembalikan keadaan henti nafas atau henti jantung (kematian klinis) ke
fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis. Peran RJP ini sangatlah
besar, seperti pada orang-orang yang mengalami henti jantung tiba-tiba. Henti
jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Terjadi baik
di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan sekitar
350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan
Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal
akibat henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Walaupun usaha untuk
melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang
akibat tidak dilakukannya resusitasi. Bantuan hidup dasar boleh dilakukan
oleh orang awam dan juga orang yang terlatih dalam bidang kesihatan. Ini
bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan dipelajari dokter, perawat, para
medis dan juga orang awam.
Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui dan memahami
serta mampu melaksanakan bantuan hidup dasar ini. Pedoman pelaksanaan
RJP yang dipakai adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Amerikan Heart
Assosiation. Amerikan Heart Assosiation merevisi pedoman RJP setiap lima
tahun, dengan revisi terbaru pada tahun 2010. AHA merevisi dari A-B-C ke
C-A-B, dan memberikan 2 algoritma bantuan hidup dasar yakni simple
algoritma untuk masyarakat awam dalam bentuk sederhana agar mudah
dipahami dan algoritma khusus untuk petugas kesehatan.

22
DAFTAR PUSTAKA

John M. Field, Part 1: Executive Summary: 2010 American Heart Association


Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S640-S656.

Sayre MR. et al. Highlights of the 2010 American Heart Association Guidelines
for CPR and ECC. 7272 Greenville Avenue. Dallas, Texas 75231-4596.. 90-
1043.

Alkatiri J. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2007. Hal. 173-7.

Latief S.A. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.
2007

Robert A. Berg, et al. Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation2010;122;S685-S705.

Andrew H. Travers, et al. Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart


Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S676-S684

23

Anda mungkin juga menyukai