CARDIAC ARREST
Disusun Oleh :
dr. Kurnia Halim
Pembimbing :
dr. Tubagus Yuli Rohmawanur, Sp.An
1
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui,
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan atas kasih karunia dan rahmatNya kepada
penulis sehingga laporan kasus ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada
waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi UKP yang di seminarkan
dalam rangkaian kegiatan Program Internship Dokter Indonesia.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis telah mendapat banyak bantuan,
bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak maka pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada :
1. dr. Tubagus Yuli, Sp.An dan dr. Eling Handayani selaku pembimbing
dokter internship di Rumkit Tk. IV Kencana Serang.
2. Rekan – rekan dokter intership yang hadir dalam presentasi kasus.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus yang disusun ini juga tidak luput dari
kekurangan karena kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dari surat kematian beberpa
rumah sakit, didapatkan bahwa kejadian henti jantung mendadak terjadi sekitar
15% dari semua kematian di negara-negara Barat (330.000 per tahun di Amerika
Serikat). Analisi dari Framingham Heart Study menyatakan bahwa risikonya tiga
kali lebih besar pada laki-laki (12,3%) dibandingkan perempuan (4,2%). Namun
perbedaan gender ini menghilang setealh pasien melampaui usia 85 tahun.1,2
2.3 Etiologi
Penyebab henti jantung yang paling umum adalah gangguan listrik di
dalam jantung. Jantung memiliki sistem konduksi listrik yang mengontrol irama
jantung tetap normal. Masalah dengan sistem konduksi dapat menyebabkan irama
jantung abnormal, yang biasa kita sebut dengan aritmia. Terdapat banyak tipe dari
aritmia, jantung dapat berdetak terlalu cepat, terlalu lambat, atau bahkan dapat
berhenti berdetak. Ketika aritmia terjadi, jantung memompa sedikit atau bahkan
tidak ada darah ke dalam sirkulasi.4,5
5
Aritmia dicetuskan oleh beberapa faktor, diantaranya: penyakit jantung
koroner yang menyebabkan infark miokard (serangan jantung), stress fisik
(perdarahan yang banyak akibat luka trauma atau perdarahan dalam, sengatan
listrik, kekurangan oksigen akibat tersedak, penjeratan, tenggelam ataupun
serangan asma yang berat), kelainan bawaan yang mempengaruhi jantung,
perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup atau otot jantung) dan obat-
obatan. Penyebab lain cardiac arrest adalah tamponade jantung dan tension
pneumothorax.4,5
Selain itu juga disebabkan adanya komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac
standstill, renjatan dan edema paru, emboli paru (karena adanya penyumbatan
aliran darah paru), aneurisma disekans (karena kehilangan darah intravaskular),
hipoksia dan asidosis (karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru berat,
tenggelam, aspirasi, penyumbatan trakea, kelebihan dosis obat, kelainan susunan
saraf pusat).4,5
Tanda dan gejala yang tampak, antara lain hilangnya kesadaran; napas
dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas); tekanan darah
sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa pada
arteri; dan tidak ada denyut jantung.
2.5 Diagnosa
6
2.6 Penatalaksanaan
7
jantung dan mengembalikan fungsi sirkulasi, serta memberikan bantuan dasar
untuk mempertahankan hidup. Umumnya pasien yang memerlukan resusitasi
jantung paru ditemukan dalam tiga keaadaan yaitu:
1. Tanpa denyutan nadi tapi masih ada pernapasan
a. Indikasi
1) Henti Nafas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh
banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik,
tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik
(suffocation), trauma dan lain-lainnya.3
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai
beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka
pasien akan teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan
berakibat henti jantung.3,6
2) Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan
curah jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital
lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan
yang tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti
jantung terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak
termasuk henti jantung. 3,6
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel
atau takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel
asistol (10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (5%). Dua jenis
8
henti jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat
gangguan pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi
aktivitas jantung menghilang. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi
besar tak teraba (karotis femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis)
atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu),
dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak
sadar.3,6
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi
melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri
rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut
kembali 3,6
b. Fase RJP
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya:6
1) Fase 1
Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti
jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung
paru.
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
2) Fase 2
Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan
hidup dasar ditambah dengan :
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin, untuk
mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular
complexes.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
9
3) Fase 3
Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita
secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian
mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf
dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat
dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan
saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya
berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung,
pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi,
mengendalikan kejang. 6
Terdapat beberapa pembaharuan pada BLS 2015, berbanding dengan
2010. Beberapa perubahan yang telah dilakukan adalah seperti berikut :1
1) Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon
dan pernafasan.
2) “Look,listen and feel” tidak digunakan dalam algortima BLS
3) Hands-only chest compression CPR digalakkan pada sesiapa yang
tidak terlatih
4) Urutan ABC diubah ke urutan CAB, chest compression sebelum
breathing.
5) Health care providers memberi chest compression yang efektif
sehingga terdapat sirkulasi spontan.
6) Lebih terfokus kepada kualiti CPR.
7) Kurangkan penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care
providers.
10
8) Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan.
9) Rekomendasi untuk mempunyai pasukan yang serentak
mengandali chest compression, airway management,rescue
breathing, rhythm detection dan shock.
Untuk mengenali terjadinya SCA (sudden cardiac arrest) adalah hal yang
tidak mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan untuk bertindak dan
memulakan CPR, ini akan mengurangi survival rate korban tersebut. Chest
compression merupakan antara tindakan yang sangat penting dalam CPR kerana
perfusi tergantung kepada kompresi. Oleh kerana itu, chest compression
merupakan tindakan yang terpenting jika terdapat korban yang mempunyai SCA.1
Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan
hidup (chain of survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi
koordinasi rantai kelangsungan hidup. Urutan rantai kelangsungan hidup pada
pasien dengan henti jantung (cardiac arrest) dapat berubah tergantung lokasi
kejadian: apakah cardiac arrest terjadi di dalam lingkungan rumah sakit (HCA)
atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA). Gambar 1 menunjukkan “chain of
survival” pada kondisi HCA maupun OHCA.1
11
Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup HCA dam OHCA1
Dalam melakukan resusitasi jantung-paru, AHA (American
Heart Association) merumuskan panduan BLS-CPR yang saat ini
digunakan secara global. Gambar 2 menunjukkan skema algoritma
dalam tindakan resusitasi jantung-paru pada pasien dewasa.
12
Gambar 2. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Dewasa1
Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
1) Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsive
maka petugas kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan
memeriksa respon korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama
13
korban sembari melihat apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah.
Lihat apakah korban merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan.
Penolong harus memanggil bantuan terdekat setelah korban tidak
menunjukkan reaksi. Akan lebih baik bila penolong juga memeriksa
pernapasan dan denyut nadi korban seiring pemeriksaan respon pasien
agar tidak menunda waktu dilakukannya RJP.1
2) Resusitasi Jantung Paru dini
Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik).
Kriteria penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah:
Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali per
menit dan maksimal 120 kali per menit. Pada kecepatan lebih dari 120
kali / menit, kedalaman kompresi akan berkurang seiring semakin
cepatnya interval kompresi dada.1
14
Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi pada Pasien Dewasa 1
15
Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian
setiap 2 menit.
16
Tabel 2. Perbedaan Komponen RJP Pada Dewasa, Anak, dan Bayi1
Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu orang
penolong atau dua (atau lebih) orang penolong (gambar 3 dan 4). Bila ada satu
orang penolong, rasio kompresi dada dan ventilasi seperti pasien dewasa yaitu
30 : 2; tetapi bila ada dua orang penolong maka rasio kompresi dada dan ventilasi
menjadi 15 : 2. Jika anak/bayi mempunyai denyut nadi namun membutuhkan
pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 3-5 detik/nafas atau
sekitar 12-20 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit.
17
Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2 untuk satu
orang penolong dan 15 : 2 untuk dua orang atau lebih penolong.1
Gambar 3. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Satu Orang
Penolong1
18
Gambar 4. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Dua Orang
Penolong1
19
2.6.2 Terapi Obat
Meskipun defibrilator tetap merupakan tindakan utama, sejumlah obat
antiarrhythmic mungkindapat memberikan hasil yang berguna. Obat-obat tersebut
dapat digunakan untuk mengobati aritmia, aritmia yang mengancam jiwa, untuk
20
menurunkan ambang batas untuk defibrilasi sukses atau sebagai profilaksis
terhadap gangguan ritme yang lebih lanjut.9
21
pertama dengan dosis sama seperti dosis pertama.1 Setelah ROSC,
untuk mencapai tekanan darah adekuat, adrenalin dapat diberikan 1-20
mcg/menit lewat infus kateter sentral sesegera mungkin. Pemberian
adrenalin memiliki efek yang merugikan, yaitu takiaritmia, hipertensi
berat setelah tindakan resusitasi, dan nekrosis jaringan jika terjadi
ekstravasasi. Pemberian adrenalin yang dikombinasikan dengan
vasopressin tidak menimbulkan gejala klinis yang lebih baik
dibandingkan dengan pemberian adrenalin itu sendiri, sehingga
pemberian adrenalin sebaiknya tidak perlu dikombinasikan dengan
vasopressin.9,10
b. Amiodaron
Amioidaron merupakan anti-aritmia yang memiliki efek pada kanal
natrium, kalium, kalsium, dan juga memblokade reseptor alfa dan beta
adrenergik. Amiodaron sendiri memiliki farmakokinetik dan
farmakologik yang kompleks. Penelitian menunjukkan bahwa
pemberian amiodaron setelah pemberian adrenalin dapat meningkatkan
ROSC dibandingkan dengan tidak diberikan amiodaron. Amiodaron
diberikan kepada pasien dengan fibrilasi ventrikel atau ventrikel
takikardi tanpa nadi. Obat ini diberikan diantara fibrilasi ketiga dan
keempat pada pasien yang tidak merespon dengan pemberian
vasopressor dan terapi defibrillator.9 Dosis pemberian amiodaron adalah
sebagai berikut: 300 mg bolus untuk pemberian pertama kali dan
kemudian dapat ditambah 150 mg. Selanjutnya, pemberian amiodaron
dapat dilanjutkan dengan pemberian melalui infus dengan dosis
pemberian 15 mg/kgBB selama 24 jam.9
22
c. Natrium Bikarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis,
diberikan iv dengan dosis awal : 1 mmol/kgBB, baik berupa bolus
ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga
diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai,
pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis,
takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif
maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama. Pemberian
natrium bikarbonat dipertimbangkan diberikan pada pasien dengan
hyperkalemia, terapi asidosis metabolik yang sudah terdokumentasi,
terapi pada overdosis trisiklik anti depresan, dan protracted arrest (lebih
dari 15 menit). Efek samping pemberian natrium bikarbonat adalah
alkalosis metabolik, hypokalemia, hypernatremia, hyperosmolar.
Pemberian natrium bikarbonat kontraindikasi pada kasus asidosis
intraseluler karena dapat semakin memperparah asidosis jika karbon
dioksida yang dihasilkan natrium bikarbonat masuk kedalam sel.
Natrium bikarbonat dan adrenalin atau kalsium tidak boleh dicampurkan
bersamaan karena dapat saling menginaktivasi, mengendap, dan
menyumbat jalur intravena.9,10
23
Dosis yang direkomendasikan pada kasus bradikardia untuk dewasa
adalah 0.5 mg IV setiap 3-5 menit dengan total dosis yang diberikan 3
mg. Untuk anak-anak dapat diberikan dengan dosis 0.02 mg/kgBB
dengan minimum dosis 0.1 mg dan dosis maksimal 1 mg (anak-anak), 3
mg (remaja) yang dapat diulang setiap 3- 5 menit. Dosis pemberian
atropine pada kasus irama tanpa denyut untuk orang dewasa adalah 1 mg
IV setiap 3-5 menit dengan total dosis 3 mg. Perlu diperhatikan juga
bahwa pemberian atropine dapat menyebabkan irama sinus takikardia
setelah resusitasi.9
24
jantung yang disebabkan oleh toksisitas digoxin, kasus fibrilasi ventrikel
atau takikardi ventrikel tanpa nadi, dan torsade de pointes. 9,11 Dosis yang
diberikan adalah 5 mmol magnesium yang dapat diulang 1 kali kemudian
diberikan intravena sebanyak 20 mmol/4 jam. Efek samping yang dapat
ditimbulkan adalah dapat menyebabkan lemah otot dan gagal napas.11
g. Kalsium
Kalsium memegang peranan penting dalam aktivitas saraf dan otot normal.
Kalsium biasanya diberikan pada pasien dengan hiperkalemia,
hipokalsemia, dan overdosis obat kalsium channel blocker. 11 Kalsium
sangat diperlukan pada kasus henti jantung karena disosiasi
elektromekanis setelah gagal memulihkan sirkulasi spontan dengan
pemberian adrenalin. Kalsium ini juga diperlukan bila henti jantung
disebabkan oleh karena obat-obatan yang menekan otot jantung.10,11
Sumber lain mengatakan pemberian kalsium pada kasus henti jantung
tidak dapat mengembalikan sirkulasi spontan dan juga tidak meningkatkan
angka survival rate di rumah sakit sehingga pemberian kalsium pada kasus
henti jantung tidak direkomendasikan. Efek samping dari pemberian
kalsium ini adalah kemungkinan meningkatkan cedera miokardiak dan
otak dengan kematian sel-sel miokardiak dan otak serta dapat
mengakibatkan nekrosis jaringan dengan ekstravasasi.9, Dosis yang
biasanya digunakan pada resusitasi orang dewasa adalah 5-10 ml dari 10%
kalsium klorida dihidrat. Atau dapat juga menggunakan sediaan kalsium
glukonas dengan dosis 10 ml dari 10% kalsium glukonas.11
25
BAB III
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
27
28