Anda di halaman 1dari 15

REFERAT / NON CASE

ASMA BRONKIAL

Disusun Oleh :
dr. Evan Albert

Pembimbing :
dr. Tubagus Yuli Rohmawanur, Sp.An
dr. Eling Andayani

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMKIT TK. IV 03.07.01 KENCANA SERANG
BATCH IV PERIODE AGUSTUS 2020 – NOVEMBER 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Evan Albert


Asal Universitas : Universitas Tarumanagara
Judul kasus : Gastroenteritis Akut dengan Hematoskezia
Diajukan : 25 Oktober 2020
Dipresentasikan : 25 Oktober 2020

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal …………………………………..

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Tubagus Yuli, Sp.An


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan atas kasih karunia dan rahmatNya kepada penulis
sehingga laporan kasus ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi UKP yang di seminarkan dalam
rangkaian kegiatan Program Internship Dokter Indonesia.

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis telah mendapat banyak bantuan,
bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak maka pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan banyak terima kasih kepada :

1. dr. Tubagus Yuli, Sp.An dan dr. Eling Handayani selaku pembimbing dokter
internship di Rumkit Tk. IV Kencana Serang.

2. Rekan – rekan dokter intership yang hadir dalam presentasi kasus.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus yang disusun ini juga tidak luput dari
kekurangan karena kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.

Serang, 25 Oktober 2020

Penulis
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi & Prevalensi Asma Bronkial


Asma adalah penyakit inflamasi saluran pernapasan yang timbul secara
spontan dan hilang secara spontan dengan pengobatan. Hal ini dihubungkan dengan
reaksi hiperresponsif yang menyebabkan aliran udara yang terbatas akibat
bronkokonstriksi, penumpukan mukus, dan proses inflamasi. Yang menyebabkan
dypsnea dan wheezing.1

Pada asma bronkial, umumnya terdapat periode dimana fungsi paru normal dan
diikuti dengan periode obstruksi bronkus yang bersifat intermitten. Prevealensi
penderita asma meningkat dalam 30 tahun terakhir. Terutama pada negera
berkembang, sekitar 10% orang dewasa dan 15% anak – anak menderita asma.1

Sebagian besar onset asma diderita semasa kanak – kanak. Umumnya juga penderita
asma memiliki riwayat atopi seperti dermatitis atopik dan atau rhinitis alergi. Pada
asma seringkali timbul akibat terpicu / sensitasi oleh debu rumah tangga
Dermatophagoides pteronyssinus dan alergen yang ada di lingkungan sekitar seperti
bulu binatang dan pollen / serbuk sari. 2

Asma dapat terjadi pada usia berapa saja. Asma pada anak – anak timbul puncaknya
pada usia 3 tahun dan relatif tenang pada masa pertumbuhan. Dan kembali timbul
ketika memasuki usia dewasa dengan serangan asma jauh lebih sering dan bersifat
berat. 2

Pada penderita asma tanpa memiliki riwayat atopi ( skin prick tes negatif & serum IgE
normal ) disebut Intrinsic Asthamatic. Yang umumnya onset asma muncul pada masa
dewasa. Hal ini sering dikaitkan dengan faktor paparan bahan kimia akibat pekerjaan /
occupational asthma. 1,2
1.2 Faktor Resiko dan Pemicu (Triggers)

Asma adalah penyakit yang bersifat heterogenus yang dipengaruhi oleh faktor
genetik/ endogen dan faktor lingkungan.1,2 Beberapa faktor resiko presdiposisi
terhadap asma dapat di identifikasi pada tabel berikut, antara lain :

Faktor Endogen Faktor Lingkungan


Tabel Predisposisi Genetik Alergen Indoor 1.
Faktor Atopik Alergen Outdoor

Hiperresponsif Saluran Nafas Sensitasi Okupasi

Jenis Jelamin Perokok pasif

Etnis Infeksi Saluran Nafas

Obesitas Diet

Pemicu / Triggers
Alergen
ISPA akibat infeksi virus
Aktifitas dan Hyperventilasi
Udara Dingin
Sulfur Dioksida / iritasi gas
Obat ( b-blocker, aspirin )
Stress
Iritan sehari hari ( Semprotan, cat dan tungau )

Resiko dan Pemicu / Triggers Asma 2

Faktor Resiko harus dibedakan dengan pemicu / triggers. Yang dimaksud dengan
pemicu adalah faktor yang ditemukan di lingkungan yang memperburuk serangan
asma yang terjadi. Selain itu yang dapat memicu timbulnya serangan asma adalah
aktifitas fisik. Serangan asma mulai timbul ketika istirahat sesaat setelah aktifitas
fisik. Polusi udara, udara dingin, paparan pekerjaan (occupational exposure) dan
stress juga dapat memicu timbulnya serangan asma. 1
1.3 Patofisiologi Asma

Asma diasosiasikan dengan inflamasi kronik spesifik terhadap mukosa sistem


pernafasan bawah. Sehingga salah satu target terapi pada asma adalah mencegah
terjadinya peradangan. 1

1.3.1 Histopatologi 2

Patologi asma diketahui berdasarkan pemeriksaan histopatologi pada sediaan pasien


asma yang telah meninggal. Diketahui bahwa inflamasi mukosa bronkus akibat
infiltasi dari eosinofil dan Limfosit T, yang mengaktifasi sel mast mukosa. Derajat
perburukan inflamasi semakin berat pada pasien dengan riwayat atopi. Sehingga
penggunaan Kortikosteroid Inhalasi mampu meredam inflamasi ini.

Selain itu ditemukan juga perubahan struktural pada saluran pernafasan / remodeling
akibat inflamasi kronik yang terjadi. Ditemukan penebalan pada dasar membran
bronkus akibat deposit kolagen pada lapisan subepitelial bronkus. Akibat dari
penebalan ini lebih banyak sel sel inflamatori yang akan terlekat pada lapisan ini.
Sehingga terjadi penebalan dinding lumen bronkus dan edema yang memperberat
ketika serangan asma terjadi.

Ditemukan juga adanya mucous plug yang menyebabkan oklusi pada lumen jalan
nafas (bronkus) yang disekresikan oleh sel goblet dan kebocoran protein plasma dari
pembuluh darah bronkiolus. Penebalan pembuluh darah saat vasodilatasi dan
angiogenesis menyebabkan bronkus yang menyempit, eritema dan edema.

Gambar 1. Histopatologi Asma


1.3.2 Efek inflamasi 2

Pada asma, sebagai respon imunologis maka proses inflamasi yang terjadi bersifat
respon kronik. Hal ini berdampak pada target sel saluran nafas yang akan mengalami
proses remodeling. Karena asma dikenal sebagai penyakit dengan respon inflamasi
yang berkelanjutan maka dapat ditemukan terjadinya penipisan epitelium bronkus
akibat respon inflamasi. Akibatnya bronkus akan lebih mudah terpapar alergen.
Fibrosis / jaringan parut juga terbentuk pada dasar membran bronkus pasien asma
sehingga terjadi penebalan subepitelial oleh karena endapan kolagen tipe III dan tipe
V. Hal ini terjadi karena proses infiltrasi eosinofil yang melepaskan mediator pro-
fibrotik seperti perubahan growth factor beta.

1.3.3 Airways / Bronkus Remodeling 2


Beberapa perubahan karakteristik struktural pada bronkus yang ditemukan pada asma,
merupakan proses penyempitan jalan nafas yang irreversible. Pada akhirnya jika
proses ini terus berlanjut maka dapat terjadi kegagalan pernafasan. Kegagalan
pernafasan dapat ditunda kejadianya dengan pemberian Kortikosteroid Inhalasi lebih
dini. Karakteristik struktural yang dapat terjadi akibat adanya proses fibrosis,
angiogenesis, dan hiperplasia mukus.

1.3.4 Fungsi Paru 2


Fungsi paru dapat diukur dengan pemeriksaan spirometri. Pada pasien asma terjadi
penurunan fungsi paru. Hal ini dibuktikan dengan adanya proses remodeling jalan
nafas dan fibrosis yang terjadi menyebabkan penurunan volume ekspirasi paksa dalam
satu detik ( FEV1)

1.4 Gejala Klinis & Pemeriksaan Fisik Asma Bronkial 1

Pada asma bronkial dapat ditemukan gejala klinisnya:

- Mengi / Wheezing saat ekspirasi


- Rasa sesak seperti terikat pada dada, sulit bernapas, batuk berat malam.
- Timbul / memberat pada malam hari & musim tertentu (hujan / salju)
- Riwayat atopi, riwayat asma pada keluarga
- Rasa sesak yang timbul ketika terpapan alergen / setelah aktifitas / stress
- Perbaikan / rasa sesak hilang setelah pemberian obat anti – asma

Pemeriksaan fisik ditemukan tanda tanda distress pernafasan. Takipneu, pengunaan


otot tambahan pernafasan yang ditandai dengan retraksi dinding dada dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik paru auskulasi ditemukan wheezing dan ronkhi pada akhir
ekspirasi dibanding inspirasi. Wheezing yang terlokalisir menandakan adanya lesi
endobronkial. 2
1.5 Diagnosis & Pemeriksaan Fungsi Paru1

Penemuan gejala klinis & pemeriksaan fisik merupakan hal dasar dalam penegakan
diagnosa Asma Bronkial. Serta diperkuat berdasarkan anamnesa terkait riwayat
perjalanan penyakit dan riwayat penyakit pada keluarga.

Selain itu Perbaikan kondisi umum dan fungsi paru setelah pemberian obat anti asma
dinilai pada severity, repairability, variability fungsi paru untuk mengkonfirmasi
diagnosa asma. 2

1
1.5.1 Spirometri / Force External Volume
Menilai hambatan udara dan reversibilitas. Jika peningkatan FEV1 > 12% dan >
200cc setelah pemeberian bronkodilator maka hasilnya dinyatakan reversible.
Pemeriksaan bertujuan untuk menegakan diagnosis dilakukan pada saat awal dan
setelah stabil pasca pemberian bronkodilator.

Penilaian diulang setiap 1 – 2 tahun untuk menilai perjalanan penyakit / derajat


penyakit. Pemeriksaan spirometri hanya dilakukan pada usia diatas 5 tahun / dianggap
sudah dapat mengikuti instruksi. 2

1.5.2 PEF ( Peak Expiratory Flow ) 1


Digunakan untuk mengegakan diagnosis dan monitoring penyakit. Dilakukan dengan
peak flow meter. Diagnosis asma jika didapatkan hasil Peningkatan 60cc / menit
setelah inhalasi bronkodilator atau > 20% dibandingkan PEF sebelum pemberian
bronkodilator.

1.5.3 Pemeriksaan Skin test 1


Skin test dengan mengukur IgE spesifik di serum untuk menentukan ada alergi dan
identifikasi faktor resiko.

1.6 Pemeriksaan Penunjang 2

Pada pemeriksaan darah lengkap, ditemukan eosinofilia. Pada pemeriksaan foto


rontgen Thorax PA dalam ekserbasi akut umumnya normal.

1.7 Klasifikasi Asma Bronkial

1.7.1 Derajat Beratnya Asma 1

Derajat berat asma untuk menentukan terapi rawat jalan untul penderita asma
bronkial. Derajatnya dibedakan atas Intermitten / Persisten Ringan / Persisten
Sedang / Persisten Berat. Hal ini dibedakan atas gejala, gejala malam, fungsi
faal paru.

Derajat Asma Durasi & Gejala Malam Fungsi Paru Terapi Pulang
Mild <1x/ minggu  Peak Flow
< 2x / bln SABA
Intermiten Ekserbasi ringan < 20 %
Mild 1x/bln – 1x/ minggu  Peak Flow SABA
> 2 / bln
Persistent Aktifitas terganggu 20 – 30 % ICS low dose
Moderate Setiap hari > 1x /  Peak Flow SABA+LABA
Persistent Butuh reliever minggu > 30 % ICS Low dose
Severe Setiap hari  Peak Flow SABA+LABA
Sering
Persistent Aktifitas terbatas > 30 % ICS High Dose
SABA = Short Act β2-Agonis ICS = Inhaled CorticoSteroid LABA = Long Act β2-Agonis

Tabel 2. Derajat Beratnya Asma & Terapi Pulang ( GINA, 2012 )

1.8 Klasifikasi Kendali Asma Bronkial 1

Klasifikasi asma yang kedua adalah asma sesudah mendapatkan terapi /


kendali asma. Dibedakan antara Asma terkontrol / terkontrol sebagian / tidak
terkontrol. Penilainan ini dilakukan setelah 4 minggu mendapatkan terapi.

Terkontrol
Karakteristik Terkontrol Tidak Terkontrol
Sebagian
Gejala Harian ≤ 2x / minggu > 2x / minggu Bila ≥ 3 kriteria
Aktifitas terbatas Tidak ada Ada
Gejala Malam Tidak ada Ada Asma Terkontrol
Kebutuhan reliever ≤ 2x / minggu > 2x / minggu sebagian
Fungsi Paru / FEV1 Normal < 80% prediksi

Tabel 3. Level of Asthma Controler Criteria (GINA,2012)

1.9 Tatalaksana Asma Bronkial Kronik


Menghindari paparan pemicu / alergen adalah cara terbaik. Karena hal ini
merupakan bagian penting dalam tatalaksana asma. Maka perlu diketahui oleh setiap
penderita asma terkait alergen pencetus asma.

Namun sebagian besar kasus asma memerlukan tatalaksana famakologis. Terapi


famakologis asma terdiri atas 2 kelompok besar obat, yaitu :

1.9.1 Reliever ( Broncodilator ) 2


Reliver asma adalah golongan obat Bronkodilator. Yang berfungsi merelaksasi
otot polos saluran pernafasan. Sehingga bekerja dengan cepat mengatasi rasa
sesak pada serangan asma.

Bronkodilator yang sering digunakan adalah β2 –adrenergic Agonist. Bekerja


dengan merelaksasi otot polos saluran nafas dengan mengaktifasi β2 –
adrenergik reseptor. Sediaan inhalasi untuk pengobatan asma terdiri atas
SABA ( Short Act β2 –adrenergic Agonis ) dan LABA ( Long Act β2 –
adrenergic Agonis ).

- SABA : Salbutamol Sulfat / Ventolin = rapid onset kerja dan bertahan


hingga 6 jam. Cocok sbg reliever. Dapat mencegah asma yang dipicu oleh
aktifitas jika diberikaan sesaat sebelum melakukan aktifitas.

- LABA : Budesonid / Pulmicort = Onset kerja lambat tetapi bertahan lama


lebih dari 12 jam. Golongan ini hanya diberikan bersamaan dengan pemberian
Kortikosteroid Inhalasi. Kombinasi ICS dengan LABA digunakan untuk
mecegah eksaserbasi asma dan memberikan efek terapi yang baik pada tingkat
moderate persistent. Efek samping, berupa tremor dan palpitasi. Meningkat
pada sediaan oral. Pemberiaan sediaan oral tanpa disertai pemberian ICS
meningkatkan angka kematian,
- ANTIKOLINERGIK : Ipratropium Bromide / Combivent tersedia dalam
sediaan Long-act & Short-Act Inhalation. Sering diberikan pada PPOK.
Kurang bermanfaat scr klinis pada asma.

- TEOFILIN: bronkodilator + anti-inflamasi efek. Batas toxic tinggi.


Kombinasi dengan ICS cocok untuk asma derajat berat.

1.9.2 Controller ( Inhaled Cortico-Steroid / ICS ) 2

Controller asma paling efektif adalah golongan obat Kortikosteroid Inhalasi.


Yang berfungsi dengan mengurangi inflamasi pada saluran nafas. Sehingga
mencegah timbulnya serangan asma dengan mereduksi hiperresponsif jalan
nafas.

- INHALED CORTICO STEROID: Fluticasone Propionate / Seretide =


Pemberiaan ICS bukan untuk kondisi serangan akut. Namun menunjukan
perbaikan peningkatan fungsi setelah beberapa hari terapi. Selain itu juga,
bermanfaat untuk mencegah serangan malam dan eksaserbasi akut. Pemberian
secara parenteral steroid pada asma berat sebisa mungkin dihindari mengingat
efek samping yang jauh lebih beresiko.

- ANTILEUKOTRIN: montelukast = Bersifat memblokade antibody dan


menetralkan IgE. Akan tetapi harganya yang mahal dan keterbatasan
kesediaanya membuat obat ini menjadi pilihan terapi bagi sebagian orang yang
mebmbutuhkan efek terapi peredaman IgE.

OCS
LABA LABA
LABA
ICS High Dose ICS High Dose
ICS Low Dose ICS Low Dose
Short – Acting β2 Agonist ( SABA ) as required for symptom relief
Mild Mild Moderate Severe Very Severe
Intermittent Persistent persisten Persistent Persistent

Tabel 3. Stepwise approach to asthma therapy according to severity asma and


ability to control symptom ( Harrison’s Manual of Medicine Ed.19, 2016 )
Jenis Obat Daily Low Dose Daily High Dose
Salbutamol Sulfat ( Tab ) 4mg 12mg – 16mg
Salbutamol Sulfat (Inhaler) 100 – 200 mcg 200 – 800 mcg
Budesonide 200 – 400 mcg 500 – 1000 mcg
Flukitason Propionat 100 – 250 mcg 250 – 500 mcg
Tabel 4. Dosis Obat

1.9.3 Overall Treatment Approach 3


Sebagai tambahan untuk menghindari paparan terhadap lingkungan pemicu asma,
pasien harus menerima stepwise theraphy. Asma dengan intermitten sedang umumnya
dikontrol dengan SABA 3 kali / minggu + ICS 2x1 sebagai controller.

Apabila hendak melakukan aktifitas berat / challenge, sebagai preventif mencegah


serangan asma maka sesaat sebelum aktifitas dapat menggunakan SABA Inhaler
200mcg ( 2 puff ).

Sediaan obat controler yang tersedia saat ini umumnya merupakan kombinasi SABA
dan ICS Dosis Ringan dalam bentuk Discuss. Seperti halnya Seretide Discuss 100,
yang mengandung Salmeterol 50mcg + Fluticasone Propionat 100mcg / puff.
Sehingga penggunaan untuk controller harian dapat digunakan 2 x 1 puff / hari.

1.10 Eksaserbasi Asma / Status Asmatikus 2

Eksaserbasi asma adalah periode akut dimana terjadi perburukan gejala asma yang
bersifat mengancam nyawa. Eksaserbasi umumnya terjadi dipicu oleh adanya infeksi
virus pada saluran nafas atas. Namun pemicu / trigger lainnya juga dapat
menimbulkan kondisi serupa.

Gejala yang sering ditemukan saat eksaserbasi adalah peningkatan dypsnea, wheezing
berat, dada terasa terikat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya peningkatan
kecepatan pernapasan / takipneu, takikardi, hiperinflasmi paru.
Pada pemeriksaan fungsi paru ditemukan penurunan Volume ekspirasi paksa (FEV1)
dan Peak Expiration Flow (PEF). Pada kondisi ini dapat juga ditemukan Hipoksemia
akibat reduksi PCO2 akibat adanya hiperventilasi. Bila ditemukan PCO2 normal /
meningkat dapat menunjukan gejala kegagalan pernafasan. 3

1.10.1 Derajat Asma Eksaserbasi 1

Eksaserbasi asma terdiri atas Ringan / Sedang / Berat. Hal ini dinilai
berdasarkan keterbatasan aktifitas, bicara, kegelisahan serta temuan
pemeriksaan fisik : kecepatan pernapasan, retraksi suprasternal dan otot
tambahan, Wheezing / Mengi, dan Nadi saat serangan berlangsung.

Ringan Sedang Berat


Saat berjalan / aktifitas Saat berbicara Saat istirahat
Sulit Bernafas
( Mampu Berbaring ) ( Memilih duduk ) ( Membungkuk )
Bicara 1 – 2 Kalimat Per Frase Per Kata
Kewaspadaan Baik Gelisah Gelisah
RR  21 – 23 x / menit 24 – 29 x / menit > 30 x / menit
Retraksi dada (-) (+) (+)
Wheezing Akhir Ekspirasi Keras Nyaring - Keras
Pulse / Nadi Normal 100 – 120 BPM > 120 BPM
SaO2 > 95 % 91 – 95 % < 90%
Pulsus paradoxus ( - ) / < 10mmHg 10 – 25 mmHg > 25 mmHg
Tabel 1. Derajat Eksaserbasi Akut Asma (GINA update 2012) 1

1.11 Tatalaksana Eksaserbasi Asma 2

Pada kondisis eksaserbasi asma digunakan SABA dosis tinggi dan kortikosteroid
sistemik.

Tatalaksana awal : dengan SABA dosis tinggi menggunakan nebulizier setiap 1 jam
sekali. Atau dengan sediaan inhaler dimulai dengan 2-4 puff / 20 menit dalam 1 jam
pertama. Diikuti dengan 2-4 puff dalam 3 jam untuk ekserbasi ringan. 6-10 puff
dalam 1 – 2 jam untuk ekserbasi sedang & berat.

- Pemberian antikolinergik inhalasi & bronkodilator inhalasi dapat ditambahkan jika


diperlukan.

- Pemberian kortikosteroid parenteral : methylprednisolon 80mg IV / 8jam.


- Pemberian kortikosteroid oral : prednisolon 1mg/kgBB selama 24 jam.
- Pemberian oksigen harus adekuat dengan menjaga saturasi oksigen > 90%.

Pada kasus eksaserbasi asma berat, dimana tidak merespon terhadap penggunaan
bronkodilator dan glukokortikosteroid sistemik, maka penggunaan MgSO4 IV 2gram
dapat dipertimbangkan. Secara statistik terbukti menurunkan angka hospitalisasi. 1

Apabila terjadi kegagalan pernafasan, penggunaan alat bantu pernafasan seperti


ventilator mekanik harus dilakukan sedini mungkin. Apabila dicurigai kegagalan
pernafasan akibat dari pneumonia maka pemberian antibiotik parenteral spektrum luas
dapat diberikan. 2

1.12 Kontraindikasi pada Eksaserbasi Asma 3

Beberapa terapi yang tidak direkomendasikan pemberiannya pada asma dengan


eksaserbasi berat adalah:
- Sedatif, merupakan kontraindikasi mutlak pada asma eksaserbasi
- Mukolitik, karena Dapat memperberat batuk / kondisi.
- Fisioterapi dada, akan meningkatkan rasa tidak nyaman ketika diberikan saat akut
- Hidrasi dengan volume cairan banyak pada dewasa / anak ( > 5 tahun )
- Antibiotika tanpa indikasi / tanda pneumonia
- Epinefrin / Adrenalin, diindikasikan pada terapi akut akibat anafilaksis dan
angioedema. Tidak pada eksaserbasi akut

DAFTAR PUSTAKA

1. Dyah PW, Anna U. Asma. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Edisi IV. FKUI.
2014. Jakarta : Media Aesculapius. P805-9
2. Chapter 129 : Asthma. Handbook Harrison’s Principles of Internal Medicine:
Manual of Medicine. International Edition Ed.19th. New York : Mc Grow Hill
Education. 2016. P711-5

3. Barnes PJ. Chapter 309: Asthma. Textbook Harrison’s Principles of Internal


Medicine: Manual of Medicine. Ed.19th. New York : Mc Grow Hill Education.
2016. P1669-80

Anda mungkin juga menyukai