Disusun Oleh :
dr. Kurnia Halim
Narasumber :
dr. Nurul Aliyah, Sp.PD
Pembimbing :
dr. Tubagus Yuli Rohmawanur, Sp.An
Mengetahui,
Pembimbing Narasumber
Puji syukur kepada Tuhan atas kasih karunia dan rahmatNya kepada penulis
sehingga laporan kasus ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya. Laporan
kasus ini disusun dalam rangka memenuhi UKP yang di seminarkan dalam rangkaian
kegiatan Program Internship Dokter Indonesia.
Dalam penulisan laporan kasus ini penulis telah mendapat banyak bantuan,
bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak maka pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan banyak terima kasih kepada :
1. dr. Nurul Aliyah, Sp.PD selaku DPJP Kasus dan Narasumber dalam laporan
kasus ini.
2. dr. Tubagus Yuli, Sp.An dan dr. Eling Handayani selaku pembimbing dokter
internship di Rumkit Tk. IV Kencana Serang.
3. Rekan – rekan dokter intership yang hadir dalam presentasi kasus.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus yang disusun ini juga tidak luput dari
kekurangan karena kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS
Tanda Vital :
• TD : 120/70mmHg
• HR : 96 x / menit
• RR : 19 x / menit
• Suhu : 36,6 °C
STATUS GENERALIS
• Kepala
- Inspeksi : Dinding dada simetris baik saat diam maupun pergerakan nafas,
tidak ditemukan deformitas
Jantung :
- Palpasi : Distensi, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), Pembesaran hepar (-),
pembesaran lien (-), kandung kemih tidak teraba, Fluid wave (+)
- Perkusi : Redup (+), shifting dullness (+), nyeri ketok CVA (-/-), nyeri
perkusi(-)
• Ekstremitas : Deformitas (-), sianosis (-), akral hangat, edema (-/-), CRT <2”
Ht 18 35 – 47 %
HITUNG JENIS
Basofil 0 0 - 1%
Eosinofil 2 1-3%
Neutrofil Segmen 42 50 - 70 %
Limfosit 48 20 - 40 %
Monosit 6 2-8%
Ht 29 35 – 47 %
Interpretasi:
1.6 Diagnosa
Diagnosis Masuk : DM Tipe II dengan Anemia
Hipertensi grade II
Dasar Diagnosa :
- Pasien mengalami lemas sampai tidak mampu beraktivitas disertai rasa mual
- Ditemukan konjungtiva anemis, perut tampak distensi dan membuncit, fluid wave dan
shifting dullness, dan perkusi abdomen redup
Tatalaksana IGD
1.9 Follow Up
Non medikamentosa
• Rujuk Pro HD
• Observasi
perbaikan klinis
23/03/21 Lemas (+) KU : TSB • CKD grade V Medikamentosa
namun sudah Kes : CM • Anemia • IVFD NaCl
mulai membaik TD : 180/100 • Hipertensi 0,9%/24j
setelah N:93 grade 2 • OMZ inj
mendapatkan RR:20 2x40mg
o
transfusi prc S : 36,7 c • Ondansetron inj
sebanyak 2 Spo2 : 96% 3x4mg
pack, mual (-), Mata : CA +/+, SI -/-, • Furosemid
muntah(-) Perut tampak distensi inj1x10 mg
dan membuncit, • Asam folat 1x1
ascites (+), Fluid wave tab
(+), nyeri tekan • Prorenal 3x1 tab
epigastrium (-), • Bicnat 3x1 tab
perkusi redup
• Amlodipin 2 x
(+),shifting dullness
10 mg
(+), kulit nampak
Non medikamentosa
kering dan terkelupas
• Rujuk Pro HD
• Observasi
perbaikan klinis
24/03/21 Mual (+), KU : TSB • CKD grade V Medikamentosa
muntah (-), Kes : E4V5M6 CM • Anemia • IVFD NaCl
lemas (+), TD : 160/70 • Hipertensi 0,9%/24j
pasien mulai N:89 grade 2 • OMZ inj
mengalami RR:20 2x40mg
kesulitan untuk S : 36,6oc • Ondansetron inj
diajak Spo2 : 96% 3x4mg
berkomunikasi Mata : CA +/+, SI -/-, • Furosemid
(+) Perut tampak distensi inj1x10 mg
dan membuncit, • Asam folat 1x1
ascites (+), Fluid wave tab
(+), nyeri tekan • Prorenal 3x1 tab
epigastrium (-), • Bicnat 3x1 tab
perkusi redup
(+),shifting dullness • Amlodipin 2 x
(+), kulit nampak 10 mg
kering dan terkelupas Non medikamentosa
• Rujuk Pro HD
• Observasi
perbaikan klinis
25/03/21 Pasien KU : TSB • Koma Medikamentosa
mengalami Kes : E1V1M3 uremikum • IVFD D10%
penurunan Soporkoma • CKD grade V • IVFD NaCl
kesadaran TD : 120/80 • Hipoglikemia 0,9% asnet
N:89 • OMZ inj
RR:24 2x40mg
o
S : 36,6 c • Ondansetron inj
Spo2 : 97% 3x4mg
Mata : CA +/+, SI -/-, • Furosemid
Perut tampak distensi inj1x10 mg
dan membuncit, • Asam folat 1x1
ascites (+), Fluid wave tab
(+), nyeri tekan • Prorenal 3x1 tab
epigastrium (-),
• Bicnat 3x1 tab
perkusi redup
• Amlodipin 2 x
(+),shifting dullness
10 mg
(+), kulit nampak
Non medikamentosa
kering dan terkelupas
• Rujuk Pro HD
• Pemasangan
NGT
• Observasi
perbaikan klinis
26/03/2021 Pasien KU : TSB • Anemia berat Medikamentosa
mengalami Kes : E1V1M3 • CKD grade V • IVFD NaCl
penurunan Soporkoma • Asidosis 0,9%
kesadaran TD : 100/60 metabolik
N:61
RR:22 • OMZ inj
S : 36oc 2x40mg
Spo2 : 96% • Ondansetron inj
Mata : CA +/+, SI -/-, 3x4mg
Perut tampak distensi • Furosemid inj
dan membuncit, 3x2 ampul
ascites (+), Fluid wave • Bicnat 1 ampul
(+), nyeri tekan dalam NaCl 50
epigastrium (-), cc/8 jam
perkusi redup • Asam folat 1x1
(+),shifting dullness tab
(+), kulit nampak • Prorenal 3x1 tab
kering dan terkelupas • Amlodipin 2 x
10 mg
Non medikamentosa
• Rujuk Pro HD
• Diet cair 3x200
cc/NGT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika
tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai
laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m². Batasan penyakit ginjal
kronik.2,3
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
§ Kelainan patologik
§ Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi
glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik
dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang
masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan,
stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4
kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal
ginjal.
Derajat Penjelasan LFG
(mL/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
atau ↑
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
2.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800
kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta penduduk pertahun.1,2
Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis
sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK di negara-negara
lain. Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun
dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih
tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat
perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah
bawah masing-masing 0,3%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah
Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-
masing 0,4 %.5
2.3 Etiologi
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR)
pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%).
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian penyakit ginjal di mana mekanisme
kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau endotelium kapiler.
Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu
juga oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian
mampu menggambarkan perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar
penelitian asli berfokus pada pasien pasca-streptococcus. Glomerulonefritis akut
didefinisikan sebagai serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria,
proteinuria, dan silinder sel darah merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan
hipertensi, edema, dan fungsi ginjal terganggu.
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),
mieloma multipel, atau amiloidosis. 2,3
b. Diabetes melitus
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya
sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien
tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak,
buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Terjadinya diabetes
ditandai dengan gangguan metabolisme dan hemodinamik yang meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah sistemik, dan mengubah
pengaturan tekanan inrakapiler. Di ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan
munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit
ginjal diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular
yang pada akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat
antara proteinuria dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa
peningkatan ekskresi protein urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang
mempengaruhi banyak organ, termasuk mata, jantung, dan sistem saraf .3,6
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau
hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi
sekunder atau disebut juga hipertensi renal. Target tekanan darah pada terapi pasien
dengan CKD atau diabetes adalah <130/80 mmHg. 6,7
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista kista
yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena
kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi
ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain
yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic
kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30
tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga
istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik
dewasa.2,3
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan peningkatan
fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi yang diperantai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif. Walaupun penyakit pada dasarnya sudah tidak
aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
ikut membeikan kontrinbusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sclerosis, dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka Panjang aksis RAA, Sebagian diperantai oleh
growth factor seperti transforming growth factor b (TGF-b). Perubahan fungsi nefron
yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat,
sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi
sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus.
Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir
dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik,
nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.2,6
2.6 Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.2,3
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan
rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar
hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan
urinanalisi meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.2
2.7 Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif 3,9
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit.
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan
keseimbangan negatif nitrogen. Diet protein terkontrol (0.80-1.0g/kg/hari)
direkomendasikan untuk orang dewasa dengan penyakit ginjal kronis, pembatasan
asupan natrium makanan mereka hingga 65- 100 mmol/hari.
a. Hemodialisis11
The National Kidney Foundation's Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(KDOQI) memberikan guidelines untuk kebutuhan hemodialisa :
c. Transplantasi ginjal3,9
Jika memang membutuhkan transplantasi ginjal dengan eGFR <30ml/min/m2, pasien
mendapatkan perawatan multidisiplin mencakup dokter, perawat, ahli diet, dan pekerja
social. Program edukasi predialysis harus mencakupi modifikasi gaya hidup,
managemen obat, pemilihan modalitas dan akses vascular serta pilihan transplantasi
ginjal.
Pasien dengan eGFR <20ml/min/m2 memerlukan tranplantasi ginjal jika ada penyakit
berikut : gejala uremia, komplikasi metabolic refraktori (hyperkalemia asidosis),
volume berlebih (edema atau hipertensi resisten), penurunan status gizi (serum
albumin, massa tubuh tanpa lemak). transplantasi ginjal tidak boleh dilakukan sampai
GFR <20 ml/min/m2 dan terdapat bukti perkembangan kerusakan ginjal dan
irreversible 6-12 bulan sebelumnya.
2.8 Komplikasi
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut:2,3
- Hiperkalemia
- Asidosis metabolik
- Komplikasi kardiovaskuler (hipertensi dan CHF )
- Anemia
- Osteodistrofi renal
- Gangguan neurologi (neuropati perifer dan ensefalopati)
- Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik
2.9 Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya buruk,
kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan sekarang ini,
bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri. Selain itu,
biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan
menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat.2
KESIMPULAN
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Gagal ginjal kronik dapat berlanjut menjadi gagal
ginjal terminal atau end stage renal disease dimana ginjal sudah tidak mampu lagi untuk
mempertahankan substansi tubuh, sehingga membutuhkan penanganan lebih lanjut
berupa tindakan dialisis atau pencangkokan ginjal sebagai terapi pengganti ginjal. Salah
satu faktor resiko gagal ginjal kronik adalah diabetes melitus yang berkomplikasi
menjadi nefropati diabetik. Nefropati diabetik atau penyakit ginjal diabetik, adalah
suatu komplikasi penyakit diabetes melitus yang tidak terkendali dengan baik.
Nefropati diabetik terjadi karena kadar gula darah yang tinggi pada penderita diabetes
melitus tidak terkontrol dengan baik. Kondisi ini yang mengakibatkan kelainan pada
pembuluh darah halus ginjal. Apabila berada pada stadiu lanjut, kondisi nefropati
diabetik ini akan mengakibatkan penderita GGK memerlukan pengobatan pengganti
dengan cuci darah (hemodialsis). Hampir 20-30 persen penderita diabetes melitus akan
mengalami nefropati diabetik yang selanjutnya menjadi gagal ginjal kronik.
DAFTAR PUSTAKA