Anda di halaman 1dari 34

PORTOFOLIO KASUS

An. AD, 6 Bulan dengan Syok Hipovolemik ec Diare Akut Dehidrasi Berat

dan Pneumonia Aspirasi

Disusun Oleh:

dr. Dita Mauliana Prabiwi

Pembimbing Internship:

dr. Hj. Evi Mutia Afriyeti

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RSUD Dr. A. DADI TJOKRODIPO

KOTA BANDAR LAMPUNG

2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-

Nya lah penulis dapat menyelesaikan Portofolio Kasus ini. Adapun penulisan

Portofolio kasus ini merupakan bagian dari tugas program internsip dokter

indonesia di RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo, Provinsi Lampung.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Evi Mutia Afriyeti selaku

pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam menyelesaikan tugas ini.

Penulis menyadari banyak sekali kekurangan dalam penulisan Portofolio Kasus

ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan

demi kesempurnaan Laporan kasus ini dan semoga dapat bermanfaat bagi

pembaca.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung, 15 Februari 2022

Penulis
I. PENDAHULUAN

Syok merupakan keadaan ketika sel mengalami hipoksia sehingga terjadi

ketidakseimbangan antara oksigen yang diedarkan ke seluruh tubuh dan oksigen

yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini sering disebabkan karena penurunan perfusi

jaringan dan kegagalan sirkulasi. Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi

akibat berkurangnya volume plasma di intravaskuler. Salah satu etiologi syok

hipovolemik adalah karena kurangnya sirkulasi plasma darah secara kritis tanpa

adanya perdarahan, contohnya pada diare akut dehidrasi berat yang tidak

tertangani. Pasien datang dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan tidak sadar

sejak 2 jam SMRS, terlihat sesak dan biru, terutama pada bibir dan ujung jari,

kaki kanan dan kiri pasien teraba dingin. Pasien riwayat BAB cair >20x/hari sejak

2 hari SMRS. Pasien tidak sadar, namun ibu pasien tetap menyusui pasien. Nafas

pasien berbunyi grok-grok saat sampai di rumah sakit, dan botol susu masih

menempel di mulut pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak

sakit berat, kesadaran stupor, nadi 160x/ menit , nafas 32x/ menit, mata cekung

(+/+), thorax ves(+/+), rhonki kasar (+/+), perkusi paru redup (+/+), retraksi

dalam, turgor kembali sangat lambat, CRT>5dtk, akral sianosis (+), dingin,

kering. Pasien di diagnosis penurunan kesadaran karena syok hipovolemik ec

diare akut dehidrasi berat, serta pneumonia aspirasi dan di tatalaksana lebih lanjut.
II. STATUS PASIEN

No. Rekam Medik : 001847-22

Masuk RS : 15 Februari 2022, pukul 08.23 wib

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An. AD

Tempat / Tanggal Lahir : Bandar Lampung, 17 Juli 2021

Usia : 6 bulan 29 hari

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama : Penurunan kesadaran sejak 2 jam SMRS

Keluhan Tambahan : Sesak (+), biru (+) dan ujung kaki dingin.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan tidak sadar sejak

2 jam SMRS. Pasien juga terlihat sesak dan biru, terutama pada sekitar

bibir dan ujung-ujung jari. Ibu pasien juga mengeluhkan kaki kanan dan

kiri pasien teraba dingin.

Pasien sebelumnya mengeluhkan BAB cair >20x/hari sejak 2 hari SMRS.

BAB cair dengan ampas (+), lendir (+) dan darah (-). Pasien telah berobat

ke RS PBH 1 hari sebelumnya dan menolak untuk dirawat sehingga pasien


pulang atas permintaan sendiri. Ibu pasien mengaku sejak tadi malam,

pasien tidak mau menyusu dan terlihat lemas. Pasien kemudian tidak sadar

sejak 2 jam yang lalu, namun ibu pasien tetap menyusui pasien. Ibu pasien

juga mengeluhkan nafas pasien berbunyi grok-grok dalam perjalanan ke

rumah sakit. Saat sampai di rumah sakit, pasien dalam kondisi tidak sadar

dan botol susu masih ada di mulut pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Alergi/asthma (-), Alergi obat (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Alergi/asthma (-),

Riwayat Makanan

0 –6 bulan : ASI dan susu formula

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present

Keadaan umum : Tampak Sakit Berat

Kesadaran : Stupor

Suhu : 35.6°C

Frekuensi nadi : 160x/ menit

Frekuensi nafas : 32x/ menit

Berat Badan : 9 kg
Status Generalis

Kepala

Ekspresi Wajah : Tampak sakit berat

Simetri Muka : Simetris

Jejas : Tidak ada

Perdarahan : Tidak ada

Kelenjar Getah Bening

Submandibula : Pembesaran (-)

Supraklavikula : Pembesaran (-)

Leher : Pembesaran (-)

Ketiak : Pembesaran (-)

Mata

Konjungtiva : Anemis (-/-)

Sklera : Ikterik (-/-)

Gerakan Mata : Normal

Jejas : Tidak ada, cekung (+/+)

Telinga

Penyumbatan : Tidak ada

Perdarahan : Tidak ada

Cairan : Tidak ada

Jejas : Tidak ada


Mulut

Bibir : Normal

Gigi : Normal

Langit-langit : Normal

Faring dan tonsil : Normal

Paru - paru

Bentuk dada : Simetris

Gerakan dada : Simetris, retraksi dalam (+)

Jejas : Tidak ada

Suara nafas : Vs (+/+), Rh (+/+) kasar, Wh (-/-)

Perkusi : Sonor (+/+), redup (+/+) Simetris

Palpasi : Massa (-), Nyeri tekan (-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat, Jejas (-)

Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas jantung kanan : SIC V linea sternalis dextra,

Batas jantung kiri : SIC VI linea mid clavicula sin

Auskultasi : BJ 1 dan 2 Normal

Abdomen

Inspeksi : Tampak cembung, jejas (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan lien tidak teraba, turgor
kembali sangat lambat

Perkusi : Timpani

Auskultasi : BU (+)

Ekstremitas – kulit

Warna : Kebiruan

Rambut : Normal

Suhu raba : Dingin

Lembab/kering : Lembab-kering

Turgor : Kembali sangat lambat

Ikterus : Tidak ada

Edema : Tidak ada

2.4 Hasil Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Darah Rutin di RS PBH (14/02/22)

Parameter Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 12.8 14-18g/dL

Eritrosit 5.340.000 4jt-5jt

Leukosit 12.800 5.000-10.000

Hit Jenis Leukosit


 Basofil 0 0-1
 Eusinofil 0 1-3
 Neutrofil Stab 0 2-6
 Neutrofil Segmen 70 50-70
 Limfosit 25 20-40
 Monosit 5 2-8

Trombosit 341.000 1504b-450rb

Hematokrit 38 40-54%
2.5 Resume

Anamnesis

 Pasien datang dibawa oleh orang tuanya dengan keluhan tidak

sadar sejak 2 jam SMRS, terlihat sesak dan biru, terutama pada

sekitar bibir dan ujung-ujung jari serta kaki kanan dan kiri pasien

teraba dingin.

 Pasien riwayat BAB cair >20x/hari sejak 2 hari SMRS, ampas (+),

lendir (+) dan darah (-). Pasien tidak sadar sejak 2 jam yang lalu,

namun ibu pasien tetap menyusui pasien. Nafas pasien berbunyi

grok-grok dalam perjalanan ke rumah sakit. Saat sampai di rumah

sakit, pasien dalam kondisi tidak sadar dan botol susu masih ada di

mulut pasien.

Pemeriksaan Fisik

 KU : Tampak Sakit Berat

 Kes : Stupor

 Suhu : 35.6°C

 Nadi : 160x/ menit

 RR : 32x/ menit

 BB : 9 kg

 Kepala : mata cekung (+/+)

 Thorax : ves(+/+), rh kasar (+/+), perkusi redup (+/+), retraksi

dalam
 Abdomen: turgor kembali sangat lambat

 Eks: CRT>3dtk, sianosis (+), dingin, kering

Pemeriksaan Penunjang

 Leukosit : 12.800/uL; Eritrosit : 5.340.000jt/uL; Hb : 12.8g/dL;

 HT : 38 %; Trombosit : 341.000/uL; GDS: 100 mg/dL

2.6 Diagnosis Klinis

1. Syok Hipovolemik

2. Pneumonia Aspirasi

3. Diare akut dehidrasi berat

2.7 Penatalaksanaan

1. Pasang IV Line  IVFD RL 180cc bolus

2. OGT dan Kateter

3. Cek DR, GDS, Elektrolit

4. Oralit 100 cc/ BAB via OGT

5. Zinc syr 1x20mg

6. Lacto B sach 1x1

2.8 Prognosis

Quo ad vitam : Dubia ad Malam

Quo ad functionam : Dubia ad Malam

Quo ad sanationam : Dubia ad Malam


2.9 Follow Up

TGL HASIL PEMERIKSAAN INSTRUKSI DOKTER


15/03/ S/ Penurunan kesadaran sejak 2 jam P/
22 SMRS, sesak, biru, dan dingin pada  Pasang IV Line  IVFD
ekstremitas. RL 180cc bolus
Pukul  Suction
RPS:  OGT dan Kateter
08.20
Pasien datang dibawa oleh orang
 Cek DR, GDS, Elektrolit
tuanya dengan keluhan tidak sadar
 Oralit 100 cc/ BAB via
sejak 2 jam SMRS, terlihat sesak
OGT
dan biru, terutama pada sekitar
 Zinc syr 1x20mg
bibir dan ujung-ujung jari serta kaki
 Lacto B sach 1x1
kanan dan kiri pasien teraba dingin.
Pasien riwayat BAB cair >20x/hari
sejak 2 hari SMRS, ampas (+),
lendir (+) dan darah (-). Pasien
tidak sadar sejak 2 jam yang lalu,
namun ibu pasien tetap menyusui
pasien. Nafas pasien berbunyi grok-
grok dalam perjalanan ke rumah
sakit. Saat sampai di rumah sakit,
pasien dalam kondisi tidak sadar
dan botol susu masih ada di mulut
pasien.

O/
KU : Tampak Sakit Berat
Kes : Stupor
Suhu : 35.6°C
Nadi : 160x/ menit
RR : 32x/ menit
BB : 9 kg
Kepala: mata cekung (+/+), CA
(-/-), SI (-/-)
Thorax : ves(+/+), rh kasar
(+/+), perkusi redup (+/+), retraksi
dalam, wh(-/-)
Abdomen: turgor kembali sangat
lambat, BU(+), nyeri tekan(-)
Eks: CRT>3dtk, sianosis (+),
dingin, kering

A/
Syok Hipovolemik ec Diare Akut
Dehidrasi Berat
Pneumonia Aspirasi

08.30 V line belum dapat terpasang P/


• Oralit 180cc via OGT
08.50 IV line belum dapat terpasang P/
• Terapi lanjut sementara
mengusahakan pasang IV
line
09.00 Pasien henti nafas dan henti jantung P/
• Dilakukan RJP + epinefrin
09.30 S/ P/
Pasien tidak respon  EKG  asistol

 Pasien dinyatakan
O/ meninggal dihadapan
Mata: midriasis maksimal (+/+), perawat dan keluarga
refleks kornea (-/-)  Informed consent dan
Leher: a.carotis tidak teraba breaking bad news(+).
Thorax: bunyi jantung(-)
Eks: akral dingin, CRT memanjang,
sianosis, SpO2 tidak terukur, TD
tidak terukur, nadi tidak teraba
III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Syok Hipovolemik

3.1.1 Definisi

Syok merupakan keadaan ketika sel mengalami hipoksia sehingga

terjadi ketidakseimbangan antara oksigen yang diedarkan ke seluruh

tubuh dan oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini sering

disebabkan karena penurunan perfusi jaringan dan kegagalan sirkulasi

(Simmons and Ventetuolo, 2017).

Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya

volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat

perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan

perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan

dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat

(Kolecki and Menckhoff, 2016).

3.1.2 Etiologi

Menurut Standl et al. (2018) penyebab dari syok hipovolemi dibagi

dalam 4 bagian, yaitu:

a. Syok hemoragik, dikarenakan adanya perdarahan akut tanpa


terjadi cedera pada jaringan lunak.

b. Syok hemoragik traumatik, dikarenakan adanya perdarahan akut

yang disertai cedera pada jaringan lunak ditambah dengan adanya

pelepasan aktivasi sistem imun.

c. Syok hipovolemik karena kurangnya sirkulasi plasma darah

secara kritis tanpa adanya perdarahan.

d. Syok hipovolemik traumatik, karena kurangnya sirkulasi plasma

darah secara kritis tanpa adanya perdarahan, terjadi cedera pada

jaringan lunak serta adanya pelepasan aktivasi sistem imun.

3.1.3 Patofisiologi

Secara klinis, syok hemoragik terjadi karena adanya perdarahan pada

pembuluh darah besar seperti perdarahan gastrointestinal, aneurisma

aorta, atonia uteri, perdarahan pada telinga, hidung, tenggorokan.

Syok terjadi karena adanya penurunan secara drastis volume darah di

sirkulasi darah, kehilangan sel darah merah secara massif sehingga

meningkatkan hipoksia pada jaringan. Perdarahan difus, hipotermia (<

340C) dan asidosis merupakan tanda yang mengancam jiwa (Gänsslen

et al., 2016.).

Cedera pada jaringan lunak menyebabkan peradangan post akut,

sehingga semakin menguatkan proses dari terjadinya syok. Pada

tingkat sirkulasi mikro, interaksi leukosit-endotel dan penghancuran

proteoglikan dan glikosaminoglycan yang terikat dengan membrane

endotel menyebabkan adanya disfungsi mikro vascular dan terjadi


sindrom kebocoran kapiler (Standl et al., 2018). Di intraseluler tingkat

ketidakseimbangan metabolise terjadi karena kerusakan mitokondria

dan pengaruh negatif pada sistem vasomotor (Standl et al., 2018).

Syok hypovolemia maupun syok hypovolemia traumatik menunjukan

tanda terjadinya kehilangan cairan tanpa adanya perdarahan. Syok

hypovolemia dalam arti yang lebih sempit muncul karena adanya

kehilangan cairan baik dari internal maupun eksternal dengan

ketidakadekuatan intake cairan ke tubuh. Hal ini dapat disebabkan

oleh hipertermi, muntah atau diare persisten, masalah pada ginjal.

Penyerapan sejumlah besar cairan ke dalam abdomen dapat menjadi

penyebab utama berkurangnya sirkulasi volume plasma. Secara

patologis peningkatan hematokrit, leukosit dan trombosit dapat

merusak sifat reologi darah dan dapat merusak organ secara persisten

walaupun pasien telah mendapatkan terapi untuk syok (Standl et al.,

2018). Syok hypovolemia traumatic terjadi karena luka bakar yang

luas, luka bakar kimiawi, dan luka pada kulit bagian dalam. Trauma

yang terjadi juga mengaktivasi koagulasi dan sistem imun, dan

memungkinkan perburukan pada makro-mikro sirkulasi. Reaksi

peradangan menyebabkan kerusakan pada endothelium, meningkatkan

sindrom kebocoran kapiler, dan beberapa karena koagulopati (Standl

et al., 2018).

3.1.4 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala Menurut (Hardisman, 2013), tanda dan gejala syok
hypovolemia ditentukan berdasar stadium yaitu:

a. Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan

darah hingga maksimal 15% dari total volume darah. Pada

stadium ini tubuh mengkompensai dengan dengan vasokontriksi

perifer sehingga terjadi penurunan refiling kapiler. Pada saat ini

pasien juga menjadi sedkit cemas atau gelisah, namun tekanan

darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi nadi dan nafas masih

dalam kedaan normal.

b. Stadium-II adalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%. Pada

stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu menkompensasi

fungsi kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi, penurunan

tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling kapiler

yang melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi

lebih cemas.

c. Stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-

gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat.

Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit,

peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit,

tekanan nadi dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling

kapiler yang sangat lambat.

d. Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih

dari 40%. Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit

dengan pengisian lemah sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala

klinis pada stadium-III terus memburuk. Kehilangan volume


sirkulasi lebih dari 40% menyebabkan terjadinya hipotensi berat,

tekanan nadi semakin kecil dan disertai dengan penurunan

kesadaran atau letargik.

3.1.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis syok

(Kowalak, 2011) yaitu:

a. Nilai hematokrit dapat menurun pada perdarahan atau meninggi

pada jenis syok lain yang disebabkan hypovolemia.

b. Pemeriksaan koagulasi dapat mendeteksi koagulopati akibat DIC

(Diseminata Intravascular Coagulation).

c. Pemeriksaan laboratorium dapat mengungkapkan kenaikan

jumlah sel darah putih dan laju endap darah yang disebabkan

cedera dan inflamasi, kenaikan kadar ureum dan kreatinin akibat

penurunan perfusi renal, peningkatan serum laktat yang terjadi

sekunder karena metabolism anaerob, kenaikan kadar glukosa

serum pada stadium dini syok karena hati melepas cadangan

glikogen sebagai respon terhadap stimulasi saraf simpatik.

d. Analisis gas darah arteri dapat mengungkapkan alkalosis

respiratorik pada syok dalam stadium dini yang berkaitan dengan

takipnea, asidosis respiratorik pada stadium selanjutnya yang

berkaitan dengan depresi pernapasan, dan asidosis metabolik pada

stadium selanjutnya yang terjadi sekunder karena metabolism

anaerob.
3.1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan

tandatanda vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas

normal. Selanjutnya kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga agar

tetap pada kondisi satabil. Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut

yang utama terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah

yang hilang (Kolecki and Menckhoff, 2016). Standl et al. (2018)

menyatakan bahwa penanganan syok hipovolemik terdiri dari

resusitasi cairan menggunakan cairan kristaloid dengan akses vena

perifer, dan pada pasien karena perdarahan, segera kontrol perdarahan

(tranfusi). Dalam mencegah terjadinya hipoksia, disarankan untuk

dilakukan intubasi dengan normal ventilasi. Menurut Kolecki &

Menckhoff (2016) Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan

isotonik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan

tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada

orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan

pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan

hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus dilanjutkan.

Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan volume darah

yang hilang dalam waktu satu jam, karena distribusi cairan kristaloid

lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika tidak

terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan


pemberian koloid, dan dipersiapkan pemberian darah segera.

3.2 Diare Akut

3.2.1 Definisi

Pengertian Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau

cair, bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih sering dari

biasanya (tiga kali atau lebih) dalam satu hari (Depkes RI 2011). Diare

adalah buang air besar pada balita lebih dari 3 kali sehari disertai

perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan

darah yang berlangsung kurang dari satu minggu (Juffrie dan Soenarto,

2012).

Diare adalah perubahan konsistensi tinja yang terjadi tiba-tiba akibat

kandungan air di dalam tinja melebihi normal (10ml/kg/hari) dengan

peningkatan frekuensi defekasi lebih dari 3 kali dalam 24 jam dan

berlangsung kurang dari 14 hari (Tanto dan Liwang, 2014).

Berdasarkan ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa diare

adalah buang air besar dengan bertambahnya frekuensi yang lebih dari

biasanya 3 kali sehari atau lebih dengan konsistensi cair.

3.2.2 Etiologi

Etiologi menurut Ngastiyah (2014) antara lain:

a. Faktor Infeksi

1. Infeksi enternal: infeksi saluran pencernaan makanan yang

merupakan penyebab utama diare pada anak.


2. Infeksi eksternal sebagai berikut : a) Infeksi bakteri: Vibrio’ E

coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia,

aeromonas, dan sebagainya. b) Infeksi virus: Enterovirus (virus

ECHO, Coxsacki, Poliomyelitis) Adeno-virus, Rotavirus,

astrovirus, dan lain-lain. c) Infeksi parasit: cacing (Ascaris,

Trichuris, Oxcyuris, Strongyloides) protozoa (Entamoeba

histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur

(Candida albicans).

3. Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan

seperti: otitits media akut (OMA), tonsillitis/tonsilofaringitis,

bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya. Keadaan ini

terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2

tahun.

b. Faktor malabsorbsi

1. Malabsorbsi karbohidrat disakarida (intoleransi laktosa,

maltose dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa,

fruktosa,dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting

dan tersering (intoleransi laktosa).

2. Malabsorbsi lemak

3. Malabsornsi protein

c. Faktor makanan

Makanan basi, beracun, alergi, terhadap makanan.

d. Faktor psikologis

Rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak yang
lebih besar).

3.2.3 Faktor Resiko

Menurut jufrri dan Soenarto (2012), ada beberapa faktor resiko diare

yaitu :

a. Faktor umur yaitu diare terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan

pada saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini

menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibody ibu,

kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang

mungkin terkontaminasi bakteri tinja.

b. Faktor musim : variasi pola musim diare dapat terjdadi menurut

letak geografis. Di Indonesia diare yang disebabkan oleh rotavirus

dapat terjadi sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang

musim kemarau, dan diare karena bakteri cenderung meningkat

pada musim hujan.

c. Faktor lingkungan meliputi kepadatan perumahan, kesediaan

sarana air bersih (SAB), pemanfaatan SAB, kualitas air bersih.

3.2.4 Patogenesis Diare

Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare menurut

Ngastiyah (2014) : a. Gangguan osmotik Akibat terdapatnya makanan

atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic

dalam rongga usus meninggi sehingga terjadi pergeseran air dan

elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan
merangsang usus untuk mengeluarkanya sehingga timbul diare. b.

Gangguan sekresi Akibat terangsang tertentu (misalnya toksin) pada

dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke

dalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat

peningkatan isi rongga usus. c. Ganggua motilitas usus Hiperperistaltik

akan mengkkpuakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk

menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik

usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan,

selanjutnya timbul diare pula.

3.2.5 Patofisiologi

Menurut Tanto dan Liwang (2006) dan Suraatmaja (2007), proses

terjadinya diare disebabkan oleh berbagai factor diantaranya 1) Faktor

infeksi Proses ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang

masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam

usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah

permukaan usus. Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang

akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorpsi cairan

dan elektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin bakteri akan

menyebabkan transpor aktif dalam usus sehingga sel mukosa

mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan

meningkat. 2) Faktor malabsorpsi Merupakan kegagalan dalam

melakukan absorpsi yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat

sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat
meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadilah diare. 3) Faktor

makanan Faktor ini dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu

diserap dengan baik. Sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus yang

mengakibatkan penurunan kesempatan untukmenyerap makan yang

kemudian menyebabkan diare. 4) Faktor psikologis Faktor ini dapat

mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus yang akhirnya

mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan

diare.

3.2.6 Tanda dan Gejala Diare

Tanda dan gejala awal diare ditandai dengan anak menjadi cengeng,

gelisah, suhu meningkat, nafsu makan menurun, tinja cair (lendir dan

tidak menutup kemungkinan diikuti keluarnya darah, anus lecet,

dehidrasi (bila terjadi dehidrasi berat maka volume darah berkurang,

nadi cepat dan kecil, denyut jantung cepat, tekanan darah turun,

keadaan menurun diakhiri dengan syok), berat badan menurun, turgor

kulit menurun, mata dan ubun-ubun cekung, mulut dan kulit menjadi

kering (Octa dkk, 2014).

3.2.7 Pemeriksaan Penunjang atau Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang intensif perlu dilakukan untuk

mengetahui adanya diare yang disertai kompikasi dan dehidrasi.

Menurut William (2005), pemeriksaan darah perlu dilakukan untuk

mengetahui Analisa Gas Darah (AGD) yang menunjukan asidosis


metabolic. Pemeriksaan feses juga dilakukan untuk mengetahui :

a. Lekosit polimorfonuklear, yang membedakan antara infeksi bakteri

dan infeksi virus.

b. Kultur feses positif terhadap organisme yang merugikan.

c. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat menegaskan

keberatan rotavirus dalam feses.

d. Nilai pH feses dibaah 6 dan adanya substansi yang berkurang dapat

diketahui adanya malaborbsi karbohidrat.

Menurut Cahyono (2014), terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium

untuk penyakit diare, diantaranya :

a. Pemeriksaan darah rutin, LED (laju endap darah), atau CPR (C-

reactive protein). memberikan informasi mengenai tanda infeksi

atau inflamasi.

b. Pemeriksaan fungsi ginjal dan elektrolit untuk menilai gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit.

c. Pemeriksaan kolonoskopi untuk mengetahui penyebab diare.

d. Pemeriksaan CT scan bagi pasien yang mengalami nyeri perut

hebat, untuk mengetahui adanya perforasi usus.

3.2.8 Klasifikasi Diare

Diare dibedakan menjadi diare akut, diare kronis dan persisiten. Diare

akut adalah buang air besar pada bayi atu anak-anak melebihi 3 kali

sehari, disertai dengan perubahan konsisitensi tinja menjadi cair dengan

atau tanpa lender dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu,
sedangkan diare kronis sering kali dianggap suatu kondisi yang sama

namun dengan waktu yang lebih lama yaitu diare melebihi satu minggu,

sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi,

diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan

diare berkelanjutan dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan

kronis biasanya ditandai dengan penurunan berat badan dan sukar untuk

naik kembali (Amabel, 2011).

Sedangkan klasifikasi diare menurut (Octa,dkk 2014) ada dua yaitu

berdasarkan lamanya dan berdasarkan mekanisme patofisiologik. a.

Berdasarkan lama diare 1) Diare akut, yautu diare yang berlangsung

kurang dari 14 hari 2) Diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih

dari 14 hari dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak

bertambah (failure to thrive) selama masa diare tersebut. b. Berdasarkan

mekanisme patofisiologik 1) Diare sekresi Diare tipe ini disebabkan

karena meningkatnya sekresi air dan elekrtolit dari usus, menurunnya

absorbs. Ciri khas pada diare ini adalah volume tinja yang banyak. 2)

Diare osmotik Diare osmotic adalah diare yang disebabkan karena

meningkatnya tekanan osmotik intralumen dari usus halus yang

disebabkan oleh obatobat/zat kimia yang hiperosmotik seperti

(magnesium sulfat, Magnesium Hidroksida), mal absorbs umum dan

defek lama absorbi usus missal pada defisiensi disakarida, malabsorbsi

glukosa/galaktosa.
3.3 Pneumonia Aspirasi

3.3.1 Definisi

Pneumonia aspirasi didefinisikan sebagai inhalasi isi orofaring atau

lambung ke dalam larynx dan saluran pernafasan bawah.Beberapa

sindrom pernafasan mungkin terjadi setelah aspirasi, tergantung pada

jumlah dan jenis material aspirasi, frekuensi aspirasi dan respon host

terhadap material aspirasi. Pneumonitis aspirasi (Mendelson’s

syndrome) adalah jejas kimia yang disebabkan oleh inhalasi isi

lambung.1Nama lain nya yaitu Anaerobic pneumonia, aspirasi vomitus,

pneumonia necrotizing, pneumonitis aspirasi, pneumonitis kimia.

3.3.2 Epidemiologi

Pada beberapa studi, 5-15% kasus pneumonia merupakan pneumonia

aspirasi.Pneumonia aspirasi terjadi paling sering pada pasien dengan

faktor predisposisi yang sudah ada seperti stroke, kejang dan disfagia

karena beberapa kasus. Pneumonia aspirasi adalah penyebab kematian

paling umum pada pasien dengan disfagia karena suatu kondisi akibat

gangguan neurologis, yang mempengaruhi sekitar 300.000 sampai

600.000 orang setiap tahun di Amerika Serikat. Sedangkan aspirasi

pneumonitis terjadi pada sekitar 10% pasien yang dirawat di rumah

sakit setelah overdosis obat. Ini juga merupakan komplikasi yang

disebabkan oleh anestesi umum, yang terjadi sekitar 1 dari 3000 operasi
dengan anesthesia umumdan merupakan 10-30% persen penyebab

kematian yang terkait dengan anestesi. Pneumonia aspirasi lebih sering

dijumpai pada pria daripada perempuan, terutama usia anak atau lanjut.

3.3.3 Etiologi

Terdapat 3 macam penyebab sindroma pneumonia aspirasi, yaitu

aspirasi asam lambung yang menyebabkan pneumonia kimiawi, aspirasi

bakteri dari oral dan oropharyngeal menyebabkan pneumonia bakterial,

Aspirasi minyak, seperti mineral oil atau vegetable oil

dapatmenyebabkan exogenous lipoid pneumonia. Apirasi benda 4 asing

merupakan kegawatdaruratan paru dan pada beberapa kasus merupakan

faktor predisposisi pneumonia bakterial.

3.3.4 Patofisiologi Aspirasi

Patofisiologi merupakan hal yang dapat terjadi pada setiap orang. Disini

terdapat perananaksi mukosilier dan makrofag alveoler dalam

pembersihan material yang teraspirasi. Terdapat 3 faktor determinan

yang berperan dalam pneumonia aspirasi, yaitu sifat material yang

teraspirasi, volume aspirasi, serta faktor defensif host. Perubahan

patologis pada saluran napas pada umumnya tidak dapat dibedakan

antara berbagai penyebab pneumonia, hampir semua kasus gangguan

terjadi pada parenkim disertai bronkiolitis dan gangguan interstisial.

Perubahan patologis meliputi kerusakan epitel,pembentukan mukus dan

akhirnya terjadi penyumbatan bronkus. Selanjutnya terjadi infiltrasi


selradang peribronkial (peribronkiolitis) dan terjadi infeksi baik pada

jaringan interstisial, duktusalveolaris maupun dinding alveolus, dapat

pula disertai pembentukan membran hialin danperdarahan intra

alveolar. Gangguan paru dapat berupa restriksi, difusi dan perfusi.

Pneumonia aspirasi mengarah kepada konsekuensi patologis akibat

secret orofaringeal,nanah, atau isi lambung yang masuk ke saluran

napas bagian bawah. Penyakit ini terjadi pada orang dengan level

kesadaran yang berubah karena serangan cerebrovascular accident

(CVA), CNS lesion mass, keracunan obat atau overdosis dan cidera

kepala. Kebanyakan individumengaspirasi sedikit secret orofaringeal

selama tidur, dan secret tersebut akan dibersihkan secaranormal. Faktor

predisposisi terjadinya aspirasi berulangkali adalah:

1. Penurunan kesadaran yang mengganggu proses penutupan

glottis, reflex batuk (kejang,stroke, pembiusan, cedera kepala,

tumor otak)

2. Disfagia sekunder akibat penyakit esophagus atau saraf (kanker

nasofaring, scleroderma)

3. Kerusakan sfingter esophagus oleh selang nasogastrik. Juga

peran jumlah bahan aspirasi,hygiene gigi yang tidak baik, dan

gangguan mekanisme klirens saluran napas.

3.3.5 Diagnosis

Diagnosis pneumonia aspirasi harus dilihat dari gejala pasien dan

temuan daripemeriksaan fisik. Keterangan dari foto polos dada,


pemeriksaan darah dan kultur sputum yangjuga bermanfaat. Foto torak

biasanya digunakan untuk mendiagnosis pasien di rumah sakit

danbeberapa klinik yang ada fasilitas foto polosnya. Namun, pada

masyarakat (praktek umum), pneumonia biasanya didiagnosis

berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik saja. Mendiagnosis

pneumonia bisa menjadi sulit pada beberapa orang, khususnya mereka

dengan penyakit penyertalainnya. Adakalanya CT scan dada atau

pemeriksaan lain diperlukan untuk membedakanpneumonia dari

penyakit lain. Orang dengan gejala pneumonia memerlukan evaluasi

medis. Pemeriksaan fisik olehtenaga kesehatan menunjukkan adanya

peningkatan suhu tubuh, peningkatan laju pernapasan(tachypnea),

penurunan tekanan darah (hipotensi), denyut jantung yang cepat

(takikardi) dan rendahnya saturasi oksigen, yang merupakan jumlah

oksigen di dalam darah yang indikasikanoleh oksimetri atau analisis gas

darah. Orang dengan kesulitan bernapas, yang bingung, ataumemiliki

sianosis memerlukan perhatian segera. Pemeriksaan fisik tergantung

pada luas lesi di paru.Pada pemeriksaan terlihat bagianyang sakit

tertinggal waktu bernapas, fremitus raba meningkat disisi yang sakit.

Pada perkusiditemukan redup, pernapasan bronkial, ronki basah halus,

egofoni, bronkofoni, “whisperedpectoriloquy”. Kadang- kadang

terdengar bising gesek pleura (pleural friction rub). Distensi abdomen

terutama pada konsolidasi pada lobus bawah paru, yang perlu

dibedakan dengan kolesistitis dan peritonitis akut akibat perforasi.


3.3.6 Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap menunjukkan jumlah leukosit yang

meningkat (lebih dari10.000/mm3, kadang- kadang mencapai

30.000/mm3), yang mengindikasikan adanya infeksi atau inflamasi.

Tapi pada 20% penderita tidak terdapat leukositosis. Hitung

jenisleukosit “shift to the left”. LED selalu naik. Billirubin direct

atau indirect dapatmeningkat, oleh karena pemecahan dari sel darah

merah yang terkumpul dalam alveolidan disfungsi dari hepar oleh

karena hipoksia. Untuk menentukan diagnosa etiologic diperlukan

pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Analisis gas darah

menunjukanhipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat

terjadi asidosis respiratorik.

2. Pemeriksaan Radiologi Foto Toraks

Pemeriksaan radiologi pilihan untuk pneumonia aspirasi adalah

foto toraks. Gambaran radiologi pneumonia aspirasi bervariasi

tergantung pada beratnya penyakit dan lokasinya.Lobus bawah dan

lobus tengah kanan paling sering terkena, Tetapi lobus bawah kiri

juga sering. Ditemukan area-area ireguler yang tidak berbatas tegas

yang mengalami peningkatan densitas. Pada tahap awal area

densitas tinggi tersebut hanya lokal, akan tetapi pada tahap lanjut

akan berkelompok/ menyatu (infiltrat). Pada beberapa kasus


pneumonia aspirasi bersifat akut dan akan bersih dengan cepat

ketika penyebab yang menimbulkan aspirasi telah teratasi. Pada

beberapa kasus, pneumonia disebabkan oleh penyakit kronik dan

aspirasi berulang akan mengakibatkan pneumonitis basis paru

kronik yang menampilkan bercak berawan (perselubungan

inhomogen).

3. Computed Tomography Scanning (CT scan) Toraks

Pemeriksaan CT scan lebih unggul dibanding dengan foto

konvensional dalam menentukan sifat, luas, dan komplikasi

aspirasi. Multidetektor CT (MDCT) telah terbukti efektif dalam

mengevaluasi adanya benda asing atau cairan.

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Toraks

Beberapa penelitian besar dari MRI yang didedikasikan untuk

penyakit aspirasi pneumonia ini telah dilakukan. Namun, hasil dari

studi kasus dipublikasikan untuk mengkonfirmasi akurasi

pencitraan MRI untuk kondisi-kondisi seperti peradangan akut,

granuloma, dan fibrosis. MRI berkerja baik dalam mendefinisikan

sifat aspirasi dan reaksi tubuh terhadap aspirasi. Beberapa penulis

telah menemukan bahwa MRI lebih unggul daripada CT scan

dalam diagnosis lipoid aspires

3.3.7 Penatalaksanaan

Pasien dibaringkan setengah duduk. Pada pasien dengan disfagi dan

atau gangguan reflex menelan perlu dipasang selang nasogastrik. Bila


cairan teraspirasi, trakea harus segera diisap untuk menghilangkan

obstruksinya. Lakukan maneuver Heimlich untuk mengeluarkan

aspirasi bahan padat, bila bahan yang teraspirasi tidak dapat dikeluarkan

segera lakukan trakeotomi (krikotirotomi). Pengeluaran bahan yang

tersangkut, biasanya dilakukan dengan bronkoskopi.Berikan oksigen

nasal atau masker bila ada tanda gagal napas berikan bantuan ventilasi

mekanik. Lakukan postural drainage untuk membantu pengeluaran

mukus dari paru-paru. Pneumonia aspirasi (PA) dengan tipe yang

didapat di masyarakat diberikan penisilin atau sefalosporin generasi ke

3, ataupun klindamisin 600 mg iv/ 8 jam bila penisilin tidak mempan

atau alergi terhadap penisilin. Bila PA didapatkan di rumah sakit

diberikan antibiotika spectrum luas terhadap kuman aerob dan anaerob,

misalnya aminoglikosida dikombinasikan dengan sefalosporin generasi

ke 3 atau 4, atau klindamisin. Perlu dipertimbangkan pola dan resistensi

kuman di rumah sakit bersangkutan. Dilakukan evaluasi hasil terapi dan

resolusi terhadap terapi berdasarkan gambaran klinis bakteriologis

untuk memutuskan penggantian atau penyesuaian antibiotik (AB).

Tidak ada patokan pasti lamanya terapi.Antibiotik perlu diteruskan

hingga kondisi pasien baik, gambaran radiologis bersih atau stabil

selama 2 minggu. Biasanya diperlukan terapi 3-6 minggu.


DAFTAR PUSTAKA

Annane D, Siami S, Jaber S, Martin C, Elatrous S, Declère AD, Preiser JC, et al

(2013). Effect of fluid resuscitation with colloids vs crystalloids on mortality in

critically ill patients presenting with hypovolemic shock: The cristal

randomized trial. JAMA, 310(17): 1809.

Barbara K, Dickson S, Timothy F (2009). First aid for the emergency medicine

boards. United States: McGraw-Hill, pp: 52-5.

Boulton TB, Colin E. Blogg (2012). Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC, pp:

174-5.

Bresler MJ, George LS (2006). Manual kedokteran darurat. Edisi ke 6. Jakarta:

EGC, p: 6.

Hinds CJ, David Watson (2008). Intensive care. Edisi 3. United States: Elsevier.

Leksana E (2015). Dehidrasi dan syok. CDK-228, 42(5): 394.

Pascoe S, Lynch J (2007). Management of hypovolaemic shock in the trauma

patient. Sydney: ITIM (Institute of Trauma and Injury Management) NSW

Health, p: 12.

Wijaya IP (2014). Syok hipovolemik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,

Simadibrata M, Setiyohadi B (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III.

Jakarta: InternaPublishing, pp: 4122-4.

Fluid replacement in treatment of hypovolemia and shock: Cystalloids and

colloids. Archives Medical Review Journal, 22(3): 347-61

Anda mungkin juga menyukai