Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN KASUS

BRONKOPNEUMONIA + GASTROENTRITIS

Laporan kasus ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti

Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

RSU. Haji Medan

Pembimbing :

dr. Sevina Marisya, M. ked (Ped), Sp. A

Disusun Oleh :

Sri Bayu Ibrati HB

20360156

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat ra

hmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan Lapora

n Kasus ini dengan judul “Bronkopneumonia + GE ”. Penyelesaian referat ini banyak ba

ntuan dari berbagai pihak, oleh karena itu adanya kesempatan ini penulis menyampaika

n rasa terimakasih yang sangat tulus kepada dr. Sevina Marisya, M. Ked (Ped), Sp.A sel

aku pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan kesempata

n kepada kami untuk menyelesaikan Laporan Kasus ini.

Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini tentu tidak lepas dari kekuran

gan karena kebatasan waktu, tenaga dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan

masukan dan saran yang membangun. Semoga Laporan Kasus ini dapat memberikan ma

nfaat.

Medan, 30 September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

LAPORAN KASUS................................................................................................4

RESUME...............................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................41

iii
PENGKAJIAN AWAL MEDIS RAWAT INAP
PENYAKIT ANAK

I. IDENTITAS PRIBADI
Nama Pasien : Hilyatul Jannah
Umur : 10 bulan 23 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Dusun X Jl. Raharjo
Ruangan : An-Nissa
Tgl Masuk RS : 11 September 2021

II. Riwayat Penyakit saat ini


Keluhan utama : Demam
Telaah : Os datang dibawa orangtuanya ke IGD RSU Haji Medan dengan
keluhan demam sejak ± 2 minggu yang lalu yang bersifat naik turun kadang naik pada
pagi atau malam hari. Ibu Os mengeluh Os Mencret ± 1 minggu yang lalu, BAB
berisikan ampas dan air dengan frekuensi ± 4-5 x BAB per hari. Ibu Os juga
mengatakan OS mengalami sesak. Ibu Os juga mengeluhkan perut Os kembung, mual
(+), muntah (+)BAK (+)
• BAB: (+) Ampas dan air
• BAK: (+) Jernih
• RPT : GE dehidrasi ringan sedang
• RPO : PCT drip, Zinc, Nifural
• RPK : Ayah (Pneumonia), Ibu (TBC+Hipotensi)

- Riwayat kehamilan:
Ibu Rutin control secara teratur ke dokter, G1P1A0, menderita hipertensi
(-), DM (-) Asma (-), Minum obat-obatan (-) & jamu-jamuan (-)
- Riwayat Persalinan: Os lahir SC ditolong Dokter, Segera menangis
BBL: 2.800gram, PBL: 52cm
- Riwayat tumbuh kembang : tumbuh kembang baik sudah bisa duduk dibantu

4
- Kesan : tumbuh kembang sesuai usia
- Riwayat imunisasi: Hepatitis B dan Vit. K (pada saat lahir)
- Kesan : imunisasi tidak lengkap
- Riwayat pemberian makan : Masih diberikan ASI sampai sekarang
III. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak Sakit Sedang, Sesak (+) Retraksi (+)
Sensorium : - Kualitatif : Compos Mentis
- Kuantitatif : GCS 15 (E=4, V=5, M=6)
- Nadi : 181 x/I (Normal : 100-150 x/i)
- Pernafasan : 48 x/i (Normal : 20-30 x/i)
- Temperatur : 38,70C (Normal : 36,5 oC – 37,5oC)
- SPO2 : 98%
Data Antropometri
Berat Badan : 9,5 kg
Panjang Badan : 57 cm
Lingkar Kepala : 44 cm
Kesan : Normochepali

BB : 9,5 kg
U : 10 bulan
Z Score : diantara +2 SD sampai -2 SD
Kesan : BB cukup

5
BB : 9,5 kg
PB : 57cm
BB/TB : +3 SD
 Gizi Lebih
Status Gizi
BB/U : diantara -2SD sampai +2 SD = BB cukup
TB/U : < -3 SD = Sangat Pendek
BB/TB : +3 SD = Gizi Lebih
KESAN : Gizi lebih
• Kepala : Normochepali, deformitas (-)
• Rambut : Hitam, lebat dan tidak mudah dicabut
• Mata : Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-), mata cekung
(-/-), RC(+/+), pupil isokor
• Telinga : DBN, tidak ada sekret
• Hidung : DBN, Sekret (-), napas cuping hidung (+), perdarahan (-)
• Mulut : DBN, bibir kering (-), sianosis (-)
• Lidah : Lidah kotor (-)
• Leher : Pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
• Thorax
Jantung : Bunyi jantung murni I dan II, gallop (-), murmur (-)
Paru- Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, Retraksi (+)
Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri normal
Perkusi : sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Ronkhi Basah halus +/+, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : Datar, tidak ada benjolan
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel, Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani di keempat kuadran abdomen

6
Esktremitas : Akral Hangat, Capillary refill time < 2”
Refleks fisiologis : +N/+N
Refleks patologis : -/-
Rangsang meningeal : Kernig (-), Brudzinsky I/I

IV. Diagnosis Banding : - Bronkopneumonia +GE


- Bronkhiolitis+GE
-Tubcolosis + GE
V. Diagnosis Kerja : Bronkopneumonia+GE
VI. Terapi :
• O2 nasal Canue 2 l/i
• IVFD Ringer Lactat 500 cc dalam 4 jam
• KA-EN 3B 20 gtt/i
• Inj. Ceftriaxon 500 mg / hari
• Inj. Ranitidin 8 mg / 12 jam
• Inj. Dexametason 1,5 mg /8 jam
• Inj. Omeprazole 5 mg / 12 jam
• Syr Paracetamol 3 X 1 Cth
• Ventolin Nebul 1mg / 8 jam
• Zinc 1 X 20mg

VII. Pemeriksaan Penunjang

• Darah Rutin, SGOT/SGPT, Faal ginjal, Faal Hati


• Foto thorax
VIII. Pemeriksan Covid-19 : -IgG Covid-19 : Non- Reaktif
-IgM Covid-19 : Non- Reaktif
IX. Hasil laboratorium
Hematologi
Darah lengkap

Hasil Satuan Nilai Rujukan

Haemoglobin 6,7 g/dL 10,8 – 15,6

7
Leukosit 11,70 /mm³ 4.500 – 13.500

Laju Endap Darah 9 mm/1 jam 0 – 10

Jumlah trombosit 236.000 /uL 150.000 – 440.000

Hematokrit 23,0 % 33 – 45

Eritrosit 3,79 juta/mm³ 4,5 – 6,5

MCV 61 Fl 69 – 93

MCH 18 Pg 22 – 34

MCHC 29 g/dl 32 – 36

RDW 20,1 % 11 – 15

MPV 9,1 Fl 6,5 – 9,5

Hitung Jenis Leukosit Hasil Satuan Nilai Rujukan

Eosinofil 0 % 1–5

Basofil 0 % 0–1

Neutrofil 75 % 25 – 60

Limfosit 17 % 25 – 50

Monosit 4 % 1–6

8
X. FOLLOW UP PASIEN SELAMA RAWAT INAP

Hari/ Ta Evaluasi Terapi


nggal
Sabtu S : Sesak (+), Demam (+), P:
11/09/21 Batuk (+)  IVFD Ringer Lactat 20
O : Sensorium: CM gtt/I mikro
HR : 120x/menit  O2 Nasal Canul 2L/i
RR : 48x/menit  Inj. Ceftriaxone
T : 38,7ºC 500mg/hari
BB : 9,5 kg
 Inj. Dexametasone
SpO2 : 98%
1/2amp/8jam
A : Bronkopneumonia + GE
Dd :- bronkopneumonia +GE  Inj. Novalgin 0,5cc
- Bronkhiolitis+ GE  Ambroxole syr 3x cth1
-tbc+ GE  Diet Asi/Pasi 60-90/4jam
oral

Minggu S : Sesak (+) Batuk (+) Demam (+)  IVFD Ringer Lactat
12/09/21 O: Sensorium: CM 20gtt/I mikro
HR: 122x/menit  O2 Nasal Canul 2L/i
RR: 38x/menit  Inj. Ceftriaxone
T : 38,7ºC 500mg/hari

9
BB : 9,5 kg  Inj. Dexametasone
SpO2 : 98% 1/2amp/8jam
A : Bronkopneumonia + GE  Inj. Novalgin 0,5cc
Dd :- bronkopneumonia +GE  Ambroxole syr 3x
- Bronkhiolitis+ GE
cth1
-tbc+ GE
 Diet Asi/Pasi
60-90cc/4jam oral

Senin S : Sesak (+)  IVFD Ringer Lactat


13/09/21 O: Sensorium: CM 20gtt/I mikro
HR: 120x/menit  O2 Nasal Canul 2Liter/
RR: 42x/menit menit
T : 37,3ºC  Inj. Ceftriaxone
BB : 9,5 kg 500mg/hari
SpO2 : 98%  Inj. Novalgin 0,5cc
A : Bronkopneumonia + GE  Ambroxole syr 3x
Dd :- bronkopneumonia +GE cth1
- Bronkhiolitis+ GE
-tbc+ GE  Diet Asi/Pasi
60-90cc/4jam oral

Selasa S : Sesak (+), Batuk (+)  IVFD Ringer Lactat


14/09/21 O: Sensorium: CM 20gtt/I mikro
HR: 126x/menit  O2 Nasal Canul 2L/i
RR: 46x/menit  Inj. Ceftriaxone
T : 37ºC 500mg/hari
BB : 9,5 kg  Ambroxole syr 3x cth1
SpO2 : 99%  Diet Asi/Pasi 60-
A : Bronkopneumonia + GE 90cc/4jam oral
Dd :- bronkopneumonia +GE
- Bronkhiolitis+ GE
-tbc+ GE

Rabu S : Sesak berkurang, Batuk (+)  IVFD Ringer Lactat

10
15/09/21 O: Sensorium: CM 20gtt/I mikro
HR: 120x/menit  Inj. Ceftriaxone
RR: 42x/menit 500mg/hari
T : 36,7ºC  Inj. Novalgin 0,5cc
BB : 9, 5 kg  Ambroxole syr 3x
SpO2 : 99% cth1
A : Bronkopneumonia + GE
 Diet Asi/Pasi 90cc/4jam
Dd :- bronkopneumonia +GE
oral
- Bronkhiolitis+ GE
-tbc+ GE

Kamis S : Sudah tidak sesak batuk (-)  IVFD Ringer Lactat


16/09/21 O: Sensorium: CM 20gtt/I mikro
HR: 110x/menit  Inj. Ceftriaxone
RR: 40x/menit 500mg/hari
T : 36,7ºC  Inj. Novalgin 0,5cc
BB : 9,5 kg  Ambroxole syr 3x
SpO2 : 95% cth1
A : Bronkopneumonia + GE
 Diet Asi/Pasi 90cc/4jam
Dd :- bronkopneumonia +GE
oral
- Bronkhiolitis+ GE
-tbc+ GE

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang

Pneumonia masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas a

nak berusia dibawah lima tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diselu

ruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia

(Afrika dan Asia Tenggara). Insiden penyakit ini pada negara berkembang termasuk i

ndonesia hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan risiko kematian

11
yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh

penyakit pada anak di bawah umur 2 tahun. Insiden pneumonia pada anak ≤5 tahun di

negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20

kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun p

ada anak balita dinegara berkembang.

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru, yang sebagian be

sar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil oleh karena ha

l lain (aspirasi). Pneuomonia oleh karena bakteri biasanya awitannya cepat, batuk pro

duktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan rad

iologis. Bakteri yang paling sering sebagai penyebab pneumonia di negara berkemban

g adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus.

Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalita

s pneumonia pada anak balita di negara berkembang, diantaranya: pneumoni yang terj

adi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tida

k mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens k

olonisasibakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara

(polusi industri atau asap rokok).

Pada umumnya pneumoniapada masa anak digambarkan sebagai bronkopneu

monia yang mana merupakan suatu kombinasi dari penyebaran pneumonia lobular ata

u adanya infiltrat pada sebagian area pada kedua lapangan atau bidang paru dan sekita

r bronkhi. Melihat banyaknya faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian bronk

opneumonia dan tingginya angka kematian akibat bronkopneumonia pada balita,maka

strategi penanggulangan bronkopneumonia penting dilakukan oleh setiap negara untu

k mendukung tercapainya tujuan keempat dari Milenium Development Goals(MDGs)

12
tahun 2015 yaitu mengurangikematian balita hingga 2/3 dari angkakematian tahun 19

90

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klini

s, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi, dan prognosis bronkopneumonia.

1.3 Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai pe

nyakit bronkopneumonia

13
BAB III

LANDASAN TEORI

I. Bronkopneumonia

2.1 Definisi

Bronkopneumonia adalah istilah medis yang digunakan untuk menyataka

n peradangan yang terjadi pada dinding bronkiolus dan jaringan paru sekitarnya.

Bronkopneumonia dapat disebut sebagai pneumonia lobularis karena peradangan

yang terjadi parenkim paru bersifat terlokalisir pada bronkiolus beserta alveolus d

i sekitarnya

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu perada

ngan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus

dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan

balita, yang disebabkan oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, j

amur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroor

ganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimban

gkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berb

agai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infek

si primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibat

kan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (p

atchy distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru

yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan ol

eh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan


gangguan pertukaran gas setempat

2.2 Anatomi

ANATOMI

Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama

neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap

usia tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk d

an jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabka

n implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan

resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau pa

rtikel yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan u

kuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus. Bronkhiol

us terminalis membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.

Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap

dari epitel kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia

pada area tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan muku

s dari pinggir jalan nafas ke faring. Sistem transport mukosilier ini berperan pe

nting dalam mekanisme pertahanan paru. Sel goblet pada trakhea dan bronkhus

15
memproduksi musin dalam retikulum endoplasma kasar dan apparatus golgi. S

el goblet meningkat jumlahnya pada beberapa gangguan seperti bronkhitis kron

is yang hasilnya terjadi hipersekresi mukus dan peningkatan produksi sputum.

Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari bronkhiolus dis

tal sampai terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli.

Pada pemeriksaan luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat diba

nding pulmo sinistra. Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang disebut i

ncissura interlobaris dalam beberapa Lobus Pulmonis. Pulmo dekstra dibagi m

enjadi 3 lobi, yaitu:

1. Lobus Superior

Dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior

2. Lobus Medius

Dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis

3. Lobus Inferior

Dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal, laterobasal, p

osterobasal Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:

1. Lobus Superior

Dibagi menjadi segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior, lingulari

s inferior.

2. Lobus Inferior

Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal, dan posterob

asal

2.3 Epidemiologi

16
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-ana

k di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Am

erika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada an

ak di bawah umur 2 tahun

2.4 Etiologi

Penyebab pneumonia adalah berbagai macam virus, bakteri atau jamur. Bakt

eri penyebab pneumonia yang tersering adalah penumokokus (Streptococcus pne

umonia), HiB (Haemophilus influenza type b), dan stafilokokus (Staphylococcus

aureus). Virus penyebab pneumonia sangat banyak, misalnya rhinovirus, respira

tory syncytial virus (RSV) atau virus influenza. Virus campak (morbili) juga dap

at menyebabkan komplikasi berupa pneumonia.

Bronkopneumonia pada umumnya disebabkan oleh penurunan mekanism

e pertahanan tubuh terhadap virulensi Organisme patogen. Penyebab bronkopneu

monia yang biasa ditemukan antara lain

1. Bakteri

Bakteri yang menyebabkan terjadinya bronchopneumonia adalah: streptococc

us pneumonia, streptococcus aerous, streptococcus pyogenesis, haemophilus i

nfluenza, klebsiella pneumonia, pseudomonas aeruginosa.

2. Virus

Virus yang menyebabkan terjadinya bronchopneumonia adalah virus influenza

yang menyebar melalui transmisi droplet. Penyebab utama pneumonia adalah

adalah Cytomegalo virus.

3. Jamur

Jamur yang menyebakan terjadinya infeksi adalah histoplasmosis yang menye

17
bar melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemuk

an pada kotoran burung, tanah, dan kompos (Ulan, 2019).

Pada bayi dan anak kecil ditemukan Staphylococcus aureus sebagai pe

nyebab berar, serius dan sangat progresif (Setyanto, Supriyanto, & Bambang,

2010).

Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang

bersumber dari data di negara maju :

Usia Etiologi tersering Etiologi terjarang

Lahir – 20 hari Bakteri : E.colli, Bakteri : Bkateri anaerob,

Streptococcus grup B, Listeria Streptococcus grup D,

Haemophilus influenza,
monocytogenes
Streptococcus pneumoniae

Virus : CMV, HMV

3 minggu – 3 bulan Bakteri : Clamydia Bakteri : Bordetella pertusis,

trachomatis, Streptococcus Haemophilus influenza tipe B,

pneumoniae Moraxella catharalis,

Staphylococcus aureus
Virus : Adenovirus, Influenza,
Virus : CMV
Parainfluenza 1, 2, 3

4 bulan – 5 tahun Bakteri : Clamydia Bakteri : Haemophilus

pneumoniae, Mycoplasma influenza tipe B, Moraxella

pneumoniae, Streptococcus catharalis, Staphylococcus

pneumoniae aureus, Neisseria meningitidis

Virus : Varicela zoster


Virus : Adenovirus, Rinovirus,

18
Influenza, Parainfluenza

5 tahun - remaja Bakteri : Clamydia Bakteri : Haemophilus

pneumoniae, Mycoplasma influenza, Legionella sp.

pneumoniae

2.5 Manifestasi Klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan

hingga sedang, schingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang

berat,mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga

memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi

gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik dan

imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang-

kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur

diagnostic invasive, etiologi noninfeksi yang relative lebih sering, dan faktor

patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting

yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda,sehingga perlu

dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat

ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :

- Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan

nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti : mual, muntah atau diare ; kadang-

kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

-Gejala gangguan respiratori, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,

napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis

19
Manifestasi klinis dari bronchopneumonia yaitu :

1. Biasanya didahului dengan infeksi saluran pernafasan atas selama beberapa

hari

2. Demam (390-400C) kadang-kadang disertai dengan kejang karena demam

yang tinggi

3. Anak sangat gelisah, adanya nyeri dada yang terasa

ditusuk-tusuk, yang dicetuskan oleh bernafas dan batuk

4. Pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan

sianosis sekitar hidung dan mulut

5. Kadang-kadang disertai muntah dan diare

6. Adanya bunyi tambahan pernafasan seperti ronchi (Ulan, 2019).

2.6 Patogenesis

Bronchopnuemonia adalah infeksi sekunder yang biasanya disebabkan ole

h virus, jamur, bakteri penyebab bronchopneumonia yang masuk ke saluran pern

afasan sehingga terjadi peradangan pada bronkus, alveolus, dan jaringan sekitarn

ya. Peradangan pada bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga tejad

i demam, batuk produktif, ronchi positif, mual dan muntah, setelah. itu mikroorga

nisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat st

adium, yaitu:

1. Stadium I/Hiperemia (4-12 jam pertama/kongesti)

Hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pa

da daerah yang baru terinfeksi. Hiperemia di tandai dengan peningkatan aliran

darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia terjadi akibat pel

epasan mediator- mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan se

20
l imun dan cedera jaringan. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasm

a ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan, edema antara k

apiler dan alveolus.

2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)

Hepatisasi merah, terjadi ketika alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat d

an fibrin yang dihasilkan oleh pejamu (host) sebagai bagian dari reaksi perada

ngan. Lobus yang terkena menjadi padat karena adanya penumpukan leukosit,

eritrosit, dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan se

perti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal yang

mengakibatkan anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat si

ngkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3-8 hari)

Hepatisasi kelabu terjadi ketika sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah par

u yang terinfeksi. Endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera d

an terjadi fagositostis sisa-sisa sel. Pada tadium ini eritrosit di dalam alveol

i mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, w

arna pucat kelabu serta kailer darah tidak lagi kongesti.

4. Stadium IV/ Resolusi (7-12 hari)

Stadium resolusi terjadi ketika respon imun dan peradangan mereda, sisa- sisa

sel fibrin dan eksudat lisis diabsorbsi oleh magrofag sehingga jaringan kembal

i ke struktrunya semula. Peradangan pada bronkus di tandai adanya penumpuk

an sekret, sehingga terjadi demam, batuk produkif, ronchi positif, mual dan m

untah, bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka akan terjadi ko

mplikasi kolaps alveoli, fibrosis, empisema dan atelektasis (Ulan, 2019).

21
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru dimana beberapa a

tau seluruh alveoli terisi dengan cairan dan sel-sel darah. Jenis pneumonia yang um

um adalah pneumonia bakterialis yang paling sering disebabkan oleh pneumokoku

s. Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru mengalami per

adangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah dan sel

darah putih keluar dari darah masuk kedalam alveoli. Dengan demikian, alveoli ya

ng terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi d

isebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus.

Dalam keadaan normal, saluran respiratorik mulai dari area sublaring samp

ai parenkim paru adalah steril. Saluran napas bawah ini dijaga tetap steril oleh mek

anisme pertahanan bersihan mukosiliar, sekresi imunoglobulin A, dan batuk. Meka

nisme pertahanan imunologik yang membatasi invasi mikroorganisme patogen adal

ah makrofag yang terdapat di alveolus dan bronkiolus, IgA sekretori, dan imunoglo

bunlin lain.

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melal

ui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang memper

mudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang

terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cai

ran edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepati

sasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leu

kosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut

stadium hepatisasi kelabu. Berikutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, dim

ana sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang.

Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang ti

22
dak terkena akan tetap normal. Pneumonia viral biasanya berasal dari penyebaran i

nfeksi di sepanjang jalan napas atas yang diikuti oleh kerusakan epitel respiratorius,

menyebabkan obstruksi jalan napas akibat bengkak, sekresi abnormal, dan debris s

eluler. Diameter jalan napas yang kecil pada bayi menyebabkan bayi rentan terhada

p infeksi berat. Atelektasis, edema intersitial, dan ventilation-perfusition mismatch

menyebabkan hipoksemia yang sering disertai obstruksi jalan napas. Infeksi viral p

ada traktus respiratorius juga dapat meningkatkan risiko terhadap infeksi bekteri se

kunder dengan mengganggu mekanisme pertahanan normal pejamu, mengubah sek

resi normal, dan memodifikasi flora bakterial. Ketika infeksi bakteri terjadi pada pa

renkim paru, proses patologik bervariasi tergantung organisme yang menginvasi.

M. penumoniae menempel pada epitel respiratorius, menghambat kerja silier, dan

menyebabkan destruksi seluler dan memicu respons inflamasi di submukosa. Keti

ka infeksi berlanjut, debris seluler yang terlepas, sel-sel inflamasi, dan mukus men

yebabkan onstruksi jalan napas, dengan penyebaran infeksi terjadi di sepanjang cab

ang-cabang bronkial, seperti pada pneumonia viral. S. pneumoniae menyebabkan e

dema lokal yang membantu proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke bagi

an paru lain, biasanya menghasilkan karakteristik sebagai bercak-bercak konsolidas

i merata di seluruh lapangan paru.

Infeksi streptokokus grup A pada saluran napas bawah menyebabkan infeks

i yang lebih difus dengan pneumonia intersitial. Pneumonia lobar tidak lazim. Lesi

terdiri atas nekrosis mukosa trakeobronkial dengan pembentukan ulkus yang comp

ang-camping dan sejumlah besar eksudat, edema, dan perdarahan terlokalisasi. Pro

ses ini dapat meluas ke sekat interalveolar dan melibatkan fasa limfatika. Pneumon

ia yang disebabkan S.aureus adalah berat dan infeksi dengan cepat menjadi jelek y

23
ang disertai dengan morbiditas yang lama dan mortalitas yang tinggi, kecuali bila d

iobati lebih awal. Stafilokokus menyebabkan penggabungan bronkopneumoni yang

sering unilateral atau lebih mencolok pada sati sisi ditandai adanya daerah nekrosis

perdarahan yang luas dan kaverna tidak teratur.

2.7 Diagnosis

Diagnosis berdasarkan anamnesia, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunj

ang

Anamnesis

Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi

saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-

menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan

nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda

sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang

atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai

muntah.

1. Pemeriksaan fisik

Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil yang semakin menguatkan pne

umonia, yakni takipnu, takikardi, suhu aksila 38,50C, nafas cuping hidung, r

etraksi suprasternal dan substernal, suara nafas vesikuler melemah, dan ronk

hi basah halus nyaring di kedua paru. Adanya retraksi dinding dada dan atau

respiratory rate (RR) >50x/menit pada bayi adalah nilai prediktif positif pneu

monia dari 45% bayi yang kemudian terbukti terdapat konsolidasi pada rontg

en thoraksnya.Gejala-gejala pneumonia bakteri pada bayi adalah demam >38

24
50C, RR >50x/menit, dan adanya retraksi. Prediktor paling kuat adanya pneu

monia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori, yaitu ta

kipnu, batuk, nafas cuping hidung, retraksi, ronkhi, dan suara nafas melemah

2. Pemeriksaan Penunjang

A. Darah Perifer Lengkap

Pada pneumoia virus dan juga mikoplasma umumnya ditemukan leukos

it dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakt

eri didapatkan leukositosis ( 15.000 – 40.000/mm 3 ). Dengan prdominan PMN.

Leukopenia ( < 5000/mm3 ) menunjukkan prognosis yang buruk. Pada infeksi

Chlamydia kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Pada efusi pleura didapatka

n sel PMN pada cairan eksudat berkisar 300-100.000/mm 3, protein > 2,5 g/dl, d

an glukosa relatigf lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang – kadang terda

pat anemia ringan dan LED yang meningkat. Secara umum hasil peneriksaan d

arah perifer lengkap tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri s

ecara pasti.

B. C- Reaktif Protein ( CRP )

CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit. Sebagai

respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh

sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, C

RP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel rusak.

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan an

tara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis

atau profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus atau infeksi sup

25
erfisialis daripada profunda.

C. Uji Serologis

Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tip

ik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara umum, uji serologis

tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri tipik, namun bakteri at

ipik seperti Mycoplasma dan chlamydia tampak peningkatan anibodi IgM dan IgG.

D. Pemeriksaan mikrobiologis

Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat diambil dari usap tengg

orok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, punksi pleura atau aspirasi paru. Di

agnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau

aspirasi paru. Kultur darah jarang positif pada infeksi Mycoplasma dan Chlamydia.

E. Pemeriksaan rontgen Thoraks

Secara umum gambaran oto thoraks terdiri dari :

a. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskuler,

peribronchial cuffing dan hiperaerasi.

b. Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.

Konsolidasi dapat mengenai satu lobus ( pneumonia lobaris ), atau

terlihat sebagai lei tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,

batas tidak terlalu tegas, menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai

round pneumonia.

c. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua

26
paru, berupa bercak – bercak infiltrat yang meluas hingga ke daerah

perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

d. Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada satu paru

hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu penelitian,

ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru

kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di pru kiri dan terbanyak

di olbus bawah, hal itu merupakan prediktor perjalanan penyakit yang

lebih berat dengan resiko terjadinya pleuritis lebih besar.

F. Diagnosis Banding

Pneumonia adalah inflamasi pada parenkim paru dengan konsolidasi rua

ng alveolar. Pneumonia lobaris adalah mengambarkan pneumonia yang terlokali

sir pada satu atau lebih lobus paru. Pneumonia atipikal adalah mendeskripsikan

pola selain dari pneumonia lobaris

G. Penatalaksanaan

Sebelum memberikan obat ditentukan dahulu : Berat ringannya penyakit,

riwayatpengobatan sebelumnya dan respons terhadap pengobatan tersebut, adan

ya penyakityang mendasarinya Antibiotik awal (dalam 24-72 jam pertama) :

Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

ampicillin + aminoglikosid (gentamisin) amoksisillin-asam klavulanat

moksisillin + aminoglikosid sefalosporin generasi ke-3b.

-Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

beta laktam amoksisillin. amoksisillin-amoksisillin klavulanat golongan

sefalosporin Kotrimoksazol makrolid (eritromisin)

27
Anak usia sekolah (> 5 thn)

amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error)ma

ka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jamsekali

sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkanperbai

kan yang nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebihtepat ses

uai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ad

a tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkanseolah-olah

antibiotik tidak efektif)

• Penderita imunodefisiensi atau ditemukan penyakit lain yang mendasari →

ampisilin + aminoglikosida (gentamisin), Hipersensitif dengan penisilin /

ampisilin : Eritromisin,sefalosporin (5-16% ada reaksi silang) atau

linkomisin / klindamisin

• Antibiotik selanjutnya ditentukan atas dasar pemantauan ketat terhadap

respons klinisdalam 24-72 jam pengobatan antibiotik awal Kalau penyakit

menunjukkan perbaikan → antibiotik diteruskan sampai dengan 3 hari klinis

baik (Pneumokokus biasanya cukup 5-7hari, bayi < 2 bl biasanya 10-14 hari)

Kalau penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang

nyata dalam 72 jam → antibiotik awal dihentikan dan diganti dengan

antibiotik lain yang lebih tepat (sebelumnya perlu diyakinkan dulu

tidak adanya penyulit seperti empiema, abses, dll, yang menyebabkan

seolah-olah antibiotik tidak efektif) antibiotik pengganti bergantung pada

28
kuman penyebab Pneumokokus : 3-16% sudah resisten dengan penisilin

Diganti dengan sefuroksim,sefotaksim, linkomisin atau vankomisin

influenzae: Diganti dengan sefuroksim, sefazolin, sefotaksim,

eritromisin,linkomisin atau klindamisin. S. aureus: Diganti dengan

kloksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin, sefazolin, klindamisin atau

linkomisin. Batang Gram (-) : Aminoglikosida (gentamisin, amikasin, dll)

Mikoplasma : Eritomisin, tetrasiklin (untuk anak > 8 th)

• Simtomatik (untuk panas badan dan batuk) Sebaiknya tidak diberikan

terutama pada 72 jam pertama, karena dapat mengacaukan interpretasi

reaksi terhadap antibiotik awal

• Suportif O2 lembab 40% melalui kateter hidung diberikan sampai sesak

nafas hilang(analisis gas sampai dengan PaO2≥ 60 Torr)

• Cairan, nutrisi dan kalori yang memadai : Melalui oral, intragastrik, atau

infus. Jeniscairan infus disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit. Bila

elektrolit normal berikanlarutan 1:4 (1 bagian NaCl fisiologis + 3 bagian

dekstrosa 5%), Asidosis (pH < 7,30) diatasi dengan bikarbonat i.v. Dosis

awal : 0,5 x 0,3 x defisit basa x BB (kg) → mEq,

Dosis selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan pH dan kelebihan (base e

xcess} 4-6 jam setelah dosis awal. Apabila pH dan kelebihan basa tidak dapat di

periksa, berikn bikarbonat I.V = 0,5 x 2-3 mEq x bbkg sebagai dosis awal, dosis

selanjutnya tergantung gambaran klinis 6 jam setelah dosis awal

Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawat

an trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya toksis,disters pernafa

san, tidak mau makan atau minum, atau ada penyakit dasaryang lain, komplikasi

29
dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan k

emungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan

antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi

pemeberin cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan asa basa, elektr

olit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik / antipiretik.

Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif.

Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utma keberhasilan peng

obatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang did

uga disebabkan oleh bakteri.

a. Pneumonia Rawat Jalan

Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara

oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin yang diber

ikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB TM

P-20 mg/kgBB sulfametoksazol. Makrolid, baik eritromisin maupun makroli

d baru dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta laktam untuk pengobat

an inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap

S.pneumonia dan bakteri atipik. Dosis eritromisin 30- 50 mg/kgBB/hari, dib

erikan setiap 6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2 kali sehari

dengan dosis 15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB 3-5 hari (h

ari pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari berikutnya.

b. Pneumonia Rawat Inap

Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta lakta

m, ampisilin atau amoksisislin dikombinasikan degan kloramfenikol. Antibio

30
tik yang diberikan berupa : Penisilin G intrvena ( 25.000 U/kgBB setiap 4 ja

m ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap 6 jam ), dan seftriaxon intravena

( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya diberikan selama 10 hari.

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada bronchopneumonia adalah:

1. Atelektasis

Atekektasis merupakan pengembangan paru-paru yang tidak sempu

rna atau kolaps paru akibat kurangnya mobilasi atau reflek batuk hilang

2. Empisema

Empisema merupakan keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam ron

gga pleura terdapat di satu tempat atau terdapat pada seluruh rongga pleura

3. Otitis Media Akut

4. Meningitis

Meningitis merupakan infeksi yang menyerang selaput otak

2.10Pencegahan

a. Pencegahan primer

Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhad

ap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:

a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi

DPT (Dipteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia

2, 3, dan 4 bulan.

b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI

pada bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang

bergizi pada balita. Di samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi

31
bayi dan anak-anak juga perlu mendapat perhatian.

c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam

ruangan dan polusi di luar ruangan.

d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.

b. Pencegahan sekunder

Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk men

cegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas pe

nyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pen

cegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat se

hingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan ternjadinya komplikasi

Upaya yang dapat dilakukan antara lain:

a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik

parenteral dan penambahan oksigen.

b. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin,

atau amoksisilin.

c. Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan

terapi antibiotik. Bila demam tinggi diberikan paracetamol.

Bersihkan hidung pada anak yang mengalami pilek dengan

menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika anak

mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama

10 hari ke depan.

c. Pencegahan tersier

Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak munc

32
ulnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi ba

lita, mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan

tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut

seperti perawatan dan pengobatan.

Upaya yang dilakukan dapat berupa :

a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri

antibiotik selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila

keadaan anak memburuk.

b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana

kesehatan terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak

menimbulkan kematian.

2.11 Prognosis

Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai secara

dini pada perjalanan penyakit tersebut maka mortalitas selama masa bayi dan ma

sa kanak-kanakdapat diturunkan sampai kurang 1% dan sesuai dengan kenyataa

n ini morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi rendah. Anak dalam keada

an malnutrisi energi protein dan yang dating terlambat menunjukkan mortalitas

yang lebih tinggi.

II. Gastroenteritis

3.1 Definisi

Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali per hari,

disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yan

g berlangsung kurang dari satu darah yang berlangsung kurang dari satu minggu.

33
3.2 Faktor resiko

Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal-oral yaitu melalui makan

nan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan deng

an penderita atau barang yang telah tercemar dengan tinja penderita atau tidak langsung

melalui lalat.faktor resiko yang dapat meningkatkan penularanenteropatogen antara lain.

1. Faktor umur Sebagian besar episode diare terjadi pada dua tahun pertama

kehidupan. Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 6 sampai 11  bulan

pada saat diberikan diberikan makanan makanan pendamping pendamping ASI.

Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu,

kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin

tekontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia atau

binatang pada saat bayi mulai merangkak.

2. Infeksi asimtomatik Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan

proporsi asimtomatik ini meningkat setelah umur dua tahun dikarenakan

pembentukan  pembentukan imunitas imunitas aktif. Pada infeksi infeksi

asimtomatik yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja

penderita mengandung virus, bakteri protozoa yang infeksius.

3. Faktor musim Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis,

didaerah sub tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim  panas,

sedangkan diare karena virus terutama  Rotavirus  puncaknya terjadi pada

musim dingin. Didaerah tropik (termasuk Indonesia), diare yang disebabkan

oleh  Rotavirus  dapat terjadi sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang

34
musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung meningkat pada

musim hujan.

4. Epidemi dan pandemi Vibrio Cholera  0,1 dan Shigella Dysentriae  1 dapat

menyebabkan epidemi yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan

kematian pada semua golongan usia.

3.3 Etiologi

Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis mikroorganism

e yang dapat menyebabkan diare pada anak, penyebab infeksi utama timbulnya diare u

mumnya adalah golongan virus,bakteri dan parasit, dua tipe dasar dari diare akut oleh k

arena infeksi adalah non inflamantory dan inflammatory. Enteropatogen menimbulkan n

on inflamantory diare melalui  produksi enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permuka

an villi oleh virus,  perlekatan oleh parasit, perlekatan dan atau translokasi dari bakteri.

Sebaliknya inflamantory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginvasi usus s

ecara langsung atau memproduksi sitoksin

• Infeksi

Beberapa penyebab gastroenteritis akibat infeksi dapat dibagi menjadi

virus, bakteri, dan parasit.

• Virus

Etiologi gastroenteritis terbanyak pada anak yaitu adalah rotavirus grup

A (25-65% kasus). Setelah rotavirus, penyebab tersering gastroenteritis

akut pada anak yaitu calicivirus (7-22%), dan astrovirus (2-9%).

35
Sementara itu, etiologi gastroenteritis viral tersering pada dewasa

yaitu norovirus dan rotavirus.

• Bakteri

Penyebab tersering gastroenteritis bakterial adalah Escherichia coli,

Campylobacter species, Salmonella species, Shigella species,

dan Yersinia enterocolitica. Salah satu etiologi gastroenteritis bakterial

melalui makanan laut yang tersering di Amerika Serikat yaitu Vibrio

parahaemolyticus, dengan 45.000 kasus per tahun.

• Parasit

Contoh parasit yang dapat menyebabkan gastroenteritis adalah

cryptosporidium, giardia, dan entamoeba histolytica. Umumnya

gastroenteritis yang terjadi bersifat persisten. Pada infeksi giardia,

transmisi terjadi melalui sumber air yang terkontaminasi dan ditandai

dengan diare berbau busuk disertai perut kembung.

• Non-infeksi

Penyebab gastroenteritis non-infeksi antara lain yaitu keracunan zat

kimia, obat-obatan, sindrom iritasi usus, penyakit radang usus

(termasuk penyakit Crohn, kolitis ulseratif, kolitis mikroskopis, dan

kolitis kolagen), penyakit celiac, gastroenteritis eosinofilik, keganasan

kolorektal, ischemic bowel disease, intoleransi laktosa, malabsorpsi, dan

obstruksi usus misalnya ileus obstruktif.

3.4 Faktor Risiko

Faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan seseorang terkena

gastroenteritis antara lain yaitu:

36
• Usia Bayi dan Batita

Pada bayi dan batita, sistem imun tubuh masih belum sempurna untuk

melawan patogen gastrointestinal. Selain itu, anak-anak batita cenderung

melakukan risk-taking-behaviour, seperti menggunakan tangan dan kaki

dalam mengeksplorasi benda-benda yang kurang higienis, dan secara

insidental dapat memasukkannya ke dalam mulutnya. Bayi dan anak juga

rentan mengalami dehidrasi bilamana terkena gastroenteritis.

• Konsumsi Proton Pump Inhibitor (PPI)

Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat penekan asam

PPI dapat meningkatkan risiko gastroenteritis dengan mengurangi

lingkungan asam yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan awal

melawan infeksi gastrointestinal. Peningkatan dosis terapi PPI dikaitkan

dengan peningkatan risiko infeksi.

Penggunaan PPI juga telah dikaitkan dengan risiko rawat inap

gastroenteritis yang lebih tinggi. Terapi PPI juga menjadi faktor risiko

independen terjadinya infeksi dan rekurensi C. difficile colitis serta

meningkatkan risiko gastroenteritis Campylobacter.

• Faktor Risiko Lainnya

Memiliki penyakit kronis seperti HIV/AIDS. Selain itu, pada

populasi anak-anak tidak menerima vaksin rotavirus dan bepergian ke

daerah tinggi insidensi gastroenteritis.

Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Ecollan M, et al. terdapat hubungan yang

bermakna antara usia muda, memiliki hewan peliharaan, adanya komorbid lain, dan obe

sitas terhadap terjadinya gastroenteritis akut.

37
3.5 Klasifikasi GE

• Diare dengan dehidrasi berat

1. Letargis atau tidak sadar

2. Mata cekung

3. Tidak bisa minum atau malas minum

4. Cubitan kulit perut kembalinya sangat lambat

• Diare dengan dehidrasi ringan/sedang

1. Gelisah, rewel, atau mudah marah

2. Mata cekung

3. Haus, minum dengan lahap

4. Cubitan perut kembalinya lambat

• Diare tanpa dehidrasi

Tidak cukup tanda-tanda untuk diklasifikasikan sebagai dehidrasi

berat atau ringan atau sedang.

• Diare persisten berat

1. Ada dehidrasi

2. Diare selama 14 hari atau lebih

• Diare persisten

1. Tanpa dehidrasi

2. Diare selama 14 hari atau lebih

• Disentri

Terdapat darah dalam tinja (berak campur darah)

3.6 Diagnosis

38
Diagnosis diare berdasarkan gejala klinis yang muncul, riwayat diare membutuh

kan informasi tentang kontak dengan penderita gastroenteritis, frekuensi dan konsistensi

buang air besar dan muntah, intake cairan dan urin output, riwayat perjalanan, pengguna

an antibiotik dan obat-obatan lain yang bisa menyebabkan diare. Pemeriksaan fisik pada

diare akut untuk menentukan beratnya penyakit dan derajat dehidrasi yang terjadi. Evalu

asi lanjutan berupa tes laboratorium tergantung lama dan beratnya diare, gejala sistemik,

dan adanya darah di feses. Pemeriksaan feses rutin untuk menemukan leukosit pada fese

s yang berguna untuk mendukung diagnosis diare, jika hasil tes negative, kultur feses tid

ak diperlukan.

3.7 Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium  

Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlu

kan, hanya pada keadaan tertentu dapat dilakukan untuk mengetahui etiologi diare akut t

erutama pada dehidrasi berat. Berikut pemeriksaan laboratorium yang kadang diperluka

n pada diare akut (darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kult

ur dan tes kepekaan terhadap antibiotik), urin (urin glukosa darah, kultur dan tes kepeka

an terhadap antibiotik), urin (urin lengkap, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotik)

dan tinja (makroskopis dan mikroskopis).

1. Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita

dengan diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja

yang mengandung darah atau mucus bisa menyebabkan peradangan

mukosa atau parasit usus seperti :  E. histolyca, B.coli dan T.trichiura.

39
2. Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat

memberikan informasi tentang penyebab diare, letak anatomis serta

adanya proses peradangan mukosa. Lekosit yang positif pada

pemeriksaan  pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasive

atau kuman yang memproduksi sitotoksin seperti  shigella,  salmonella,

C. jejuni, EIEC, C.difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemlyticus

Aeromonas atau P. shigelloides  P. shigelloides.

b. Rehidrasi

Pemberian rehidrasi pada gastroenteritis didasarkan pada derajat dehidrasi.

• Tanpa Dehidrasi

Pada pasien tanpa dehidrasi, rehidrasi dapat dilakukan oral sesuai dengan kebutu

han cairan harian dan ditambah cairan yang hilang. Rehidrasi oral dilakukan pada pasie

n yang dapat mentoleransi pemberian melalui oral, pada pasien yang muntah profuse, re

hidrasi dapat dilakukan melalui intravena apabila diperlukan. Tujuan rehidrasi pada pasi

en dengan derajat dehidrasi ini adalah untuk mencegah perburukan status dehidrasi.

Cara pemberian rehidrasi adalah menggunakan cairan New Oralit atau Oral rehy

dration solution (ORS) atau cairan rumah tangga yang diberikan sebanyak 5-10ml/KgB

B setiap kali diare cair. Atau pada anak dapat diberikan berdasarkan usia, yaitu 50 – 100

ml pada anak berusia < 1 tahun, dan 100-200 ml pada anak usia 1-5 tahun, sedangkan p

ada anak berusia >5tahun dapat diberikan semaunya. Pada anak yang masih minum air s

usu ibu (ASI) pemberian diteruskan.

Pilihan cairan untuk rehidrasi selain dari ORS atau oralit, dapat diberikan minu

man seperti yoghurt, sup atau sayur yang ditambah garam. Dapat juga diberikan cairan r

40
umah tangga, yaitu larutan gula garam buatan sendiri di rumah dengan mencampurkan s

etengah sendok teh garam dapur dan 8 sendok teh gula pasir ke dalam satu liter air minu

m, namun larutan tersebut tidak direkomendasikan diberikan, hanya untuk keadaan daru

rat saja bilamana cairan lain tidak tersedia

Cairan lain yang bisa diberikan untuk rehidrasi adalah cairan yang tidak mengan

dung garam, seperti air minum biasa, sup, yoghurt, air kelapa muda, teh tawar, ataupun j

us buah.

Cairan yang tidak sesuai untuk gastroenteritis khususnya adalah minuman komer

sial berkarbonat, minuman komersial jus buah, atau teh yang dimaniskan. Selain itu, cai

ran yang bersifat stimulan, diuretik, atau memiliki efek purgatif juga tidak cocok untuk r

ehidrasi, misalnya kopi, teh herbal, minuman herbal lainnya.

• Dehidrasi Ringan-Sedang

Pada pasien dengan dehidrasi ringan-sedang dapat diberikan New Oralit atau Or

al rehydration solution (ORS) hipoosmolar sebanyak 75 ml/kgBB dalam 3 jam untuk m

engganti kehilangan cairan yang telah terjadi dan tambahan 5-10 ml/kgBB setiap kali di

are. Cara pemberian adalah sedikit-sedikit tapi sering, sesuai kemampuan pasien agar ti

dak menginduksi mual.

Rehidrasi parenteral dibutuhkan pada pasien yang muntah setiap diberi minum, s

ehingga rehidrasi oral dianggap gagal. Pemberian cairan intravena didasarkan pada bera

t badan, dengan menggunakan Ringer Laktat, NaCl, ataupun KaEN 3B. Dosis cairan pa

da anak berat badan 3-10 kg adalah 200 ml/kgBB/hari, pada anak berat badan 10-15 kg

adalah 175 ml/kgBB/hari, dan pada anak berat badan >15 kg adalah 135 ml/kgBB/hari.

41
• Dehidrasi Berat

Pada pasien dengan dehidrasi berat diberikan cairan parenteral berupa ringer laktat a

tau ringer asetat dengan dosis 100 ml/kgBB. Pada anak, pemberian cairan didasarkan pa

da umur, yaitu :

 Pada usia kurang dari 12 bulan diberikan 30 ml/kgBB dalam 1 jam pertama

dilanjutkan 70 ml/kgBB diberikan dalam 5 jam berikutnya

 Pada usia lebih dari 12 bulan diberikan 30 ml/kgBB dalam 30 menit

dilanjutkan 70 ml/kgBB diberikan dalam 2.5 jam berikutnya

 Cairan peroral diberikan setelah muntah berkurang dan pasien sudah mulai

bisa minum sebanyak 5 ml/kgBB

 Gangguan elektrolit dikoreksi

c. Medikamentosa

Medikamentosa yang umum digunakan adalah Zinc/seng yang terbukti bermanfa

at untuk gastroenteritis. Terkadang diperlukan antibiotik pada gastroenteritis bakterialis.

Obat lainnya adalah obat yang bersifat suportif, seperti antiemetik dan antidiare. Pada a

nak, tidak disarankan memberikan antidiare.

• Zinc/Seng

42
Berikan 10-20 mg Zink kepada anak diare tiap hari untuk 10-14 hari. Zink dapat

diberikan sebagai sirup atau tablet terlarut, disesuaikan dengan keinginan ibu memilih m

ana yang mudah diberikan, tersedia dan ekonomis. Dengan pemberian Zink ini diharapk

an lama dan keparahan diare akan cepat menurun, begitu pula risiko dehidrasinya akan

menurun

• Antiemetik

Berikan Ondansetron sekali saja untuk bayi usia >6 bulan, atau berat badan >8 kg. D

engan pemberian ondansetron, muntah dapat berhenti sehingga ORS dapat dilanjutkan d

an menurunkan angka rujukan ke rumah sakit. Dosis pemberian ondansentron adalah :

 Bayi/anak dengan berat badan 8-15 kg, berikan 2 mg

 Bayi/anak dengan berat badan 15-30 kg, berikan 4 mg

 Bayi/anak dengan berat badan >30 kg, berikan 8 mg

 Pada dewasa dapat diberikan 4-8 mg/ hari, dengan dosis maksimal 8 mg/hari

• Antibiotik

Antibiotik kadang diperlukan pada gastroenteritis bakterial. Dosis dan antibiotik

yang digunakan bergantung pada jenis bakteri kausalnya.

 Kolera

Tiap kasus suspek kolera dengan dehidrasi berat semestinya

diberikan oral antimikrobial yang efektif terhadap strain Vibrio

cholera. Tindakan ini akan menurunkan volume total diare, hingga

menghentikan diare dalam waktu 48 jam, dan memperpendek periode

43
ekskresi kuman Vibrio cholera di feses. Dosis pertama mesti diberikan

segera setelah muntah berhenti, biasanya 4-6 jam setelah memulai terapi

rehidrasi. Antibiotik pilihan adalah:

 Doksisiklin, untuk orang dewasa, dosis sekali minum 300 mg

 Tetrasiklin, untuk anak-anak, dosis 12,5 mg/kgBB, 4 kali per hari

untuk 3 hari, maksimal 2 g/hari

 Tetrasiklin, untuk orang dewasa, dosis 500 mg, 4 kali per hari untuk 3

hari, maksimal 4 g/hari

Antibiotik alternatif yang dapat digunakan adalah eritromisin dengan dosis sebagai beri

kut:

 Untuk anak-anak, dosis 12,5 mg/kgBB, 4 kali per hari untuk 3 hari, maksimal 1

g/hari

 Untuk orang dewasa, dosis 250 mg, 4 kali per hari untuk 3 hari, maksimal 1.5

g/hari

 Disentri Shigella atau Shigellosis

Antibiotik pilihan untuk disentri akibat Shigella adalah ciprofloxacin dengan dosis:

 Untuk anak-anak, dosis 15 mg/kgBB, 2 kali per hari untuk 3 hari, maksimal 1

g/hari

 Untuk orang dewasa, dosis 500 mg, 2 kali per hari untuk 3 hari, maksimal 1.5

g/hari

Antibiotik alternatif yang dapat digunakan adalah:

44
 Eritromicin, untuk orang dewasa, dosis 400 mg, 4 kali per hari untuk 5 hari,

maksimal 1.5 g/hari

 Ceftriaxone, untuk anak-anak, dosis 50-100 mg/kgBB sekali sehari

intramuskular untuk 2 hingga 5 hari, maksimal 4 gr/hari

 Disentri Amuba, atau Amoebiasis

Antibiotik pilihan adalah metronidazole dengan dosis sebagai berikut:

 Untuk anak-anak, dosis 10 mg/kgBB, 3 kali per hari untuk 5 hari, sedangkan

untuk kasus yang parah diteruskan untuk 10 hari, maksimal 2.25 g/hari

 Untuk orang dewasa, dosis 750 mg, 3 kali per hari untuk 5 hari, diteruskan

sampai 10 hari pada kasus yang parah, maksimal 4 g/hari

 Giardiasis

Antibiotik pilihan adalah metronidazole dengan dosis berikut:

 Untuk anak-anak, dosis 5 mg/kgBB, 3 kali per hari untuk 5 hari, maksimal 2.25

g/hari

 Untuk orang dewasa, dosis 250 mg, 3 kali per hari untuk 5 hari, maksimal 4

g/hari

 Dapat juga diberikan tinidazole sebagai single dosis 50 mg/kgBB oral.

d. Nutrisi

Makanan rutin bayi seyogyanya dilanjutkan, meski bayi sedang mengalami diare.

Pemberian ASI tetap mesti dilanjutkan sebanyak yang bayi/anak inginkan. Makanan ini

juga diharapkan akan mempercepat penyembuhan fungsi normal usus halus, termasuk k

emampuan untuk mencerna dan mengabsoprsi beragam nutrisi. Anak yang makanannya

45
dibatasi, atau diencerkan akan kehilangan berat badannya, diarenya akan lebih lama, da

n fungsi intestinal lambat menjadi sembuh.

Dalam hal diare memburuk karena pemberian susu formula, dapat diganti denga

n susu formula bebas laktosa. Berikan anak makanan tiap 3 atau 4 jam, enam kali sehari,

atau sesering mungkin sebagaimana anak dapat mentoleransi dengan baik, dibandingkan

porsi besar dan jarang. Setelah diare anak berhenti, lanjutkan memberi makanan kaya en

ergi yang sama dan berikan satu atau lebih makanan tambahan untuk sedikitnya dua min

ggu. Anak yang malnutrisi, makanan ekstra semestinya diberikan hingga anak tersebut

mendapatkan kembali ratio berat dan tinggi yang normal.

e. Monitoring

Pengawasan atau monitoring dilakukan pada rehidrasi oral dan parenteral.

• Monitoring Rehidrasi Oral

Periksa keadaan anak secara berkala selama terapi rehidrasi, untuk memastikan
larutan oralit ditoleransi secara baik, dan tanda dehidrasi tidak memburuk. Setelah 4
jam, lakukan penilaian kembali tingkat dehidrasi anak, untuk memutuskan tindakan apa
yang selanjutnya mesti dilakukan.

Pasien anak yang berobat jalan mesti dinilai kembali setelah 7 hari, atau lebih
dini bila diarenya memburuk, atau masalah kesehatan lain muncul. Pasien yang telah
bertambah berat badannya, dan BAB <3 kali per hari, dapat memulai diet normal sesuai
usia.

Bila anak tidak bertambah berat badannya, atau diare tidak ada perbaikan, rujuk
ke rumah sakit. Namun dalam kondisi dehidrasi berat, lakukan terlebih dahulu
penanganan pertolongan pertama untuk dehidrasi berat sebelum merujuk ke rumah
sakit.

• Monitoring Rehidrasi Intravena

46
Pasien mesti dievaluasi tiap 15-30 menit sampai nadi radial teraba kuat. Setelah
itu, penilaian dilakukan tiap jam untuk memastikan bahwa terapi hidrasi berhasil. Bila
tidak, berikan IV drip lebih cepat lagi.

Setelah sejumlah rencana cairan IV drip telah diberikan, yaitu 6 jam untuk
infant, 3 jam untuk pasien yang lebih besar, maka lakukan penilaian kembali tingkat
dehidrasi anak. Bilamana masih terdapat tanda dehidrasi berat, ulangi cairan IV drip
dalam jumlah seperti sebelumnya. Namun, keadaan tersebut di atas sangat jarang
terjadi, hanya terjadi pada pasien anak yang terus-menerus diare selama terapi rehidrasi
ini.

Kondisi anak yang ada perbaikan, misalnya mampu dan mau minum, namun
masih menunjukkan tanda dehidrasi ringan atau moderat, maka hentikan pemberian
cairan IV drip, lalu berikan ORS atau larutan oralit untuk jangka waktu 4 jam kemudian.
Bilamana tidak ada dehidrasi, maka berikan terapi hidrasi tanpa/minimal dehidrasi.

f. Persiapan Rujukan

Berikut adalah kondisi-kondisi yang membutuhkan rujukan ke rumah sakit:

• Gastroenteritis yang terjadi pada bayi usia <1 tahun


• Bayi dengan riwayat berat badan lahir rendah
• Anak dengan komorbiditas, khususnya berhubungan dengan kemampuan
merespon rasa haus dan dehidrasi.
• Pasien dengan dehidrasi berat
• Pasien dengan dehidrasi moderat tapi keadaan umum tidak baik, seperti
malnutrisi, tidak mau makan atau minum, atau disertai penyakit lain
• Anak dengan diare berdarah dan malnutrisi berat
• Bayi/anak dengan diare yang persisten

Yaitu dengan/tanpa darah, onset akut dan berakhir 14 hari, biasanya terjadi
kehilangan berat badan, dan infeksi serius non-intestinal, seperti pneumonia, sepsis,
infeksi saluran kemih, dan otitis media

Persiapan rujukan dilakukan pada pasien yang memenuhi indikasi rujuk di atas.
Pada pasien bayi/anak dalam keadaan dehidrasi ringan sampai moderat dapat diberikan
ORS atau oralit. Berikan larutan oralit sebanyak 75 mL x berat badan anak, dalam
waktu 4 jam pertama. Bila berat badan anak tidak diketahui, berikan secara perkiraaan
menurut usia anak (lihat tabel 1)

47
Tabel 1. Perkiraan larutan oralit atau ORS, diberikan dalam 4 jam pertama

Umur <4 bulan 4-11 bulan 12-23 bulan 2-4 tahun 5-14 tahun ≥15 tahun
in mL 200-400 400-600 600-800 800-1200 1200-2200 2200-4000
Selama fase awal terapi, ketika anak masih memperlihatkan tanda-tanda
dehidrasi, larutan oralit dapat diberikan hingga 20 mL/kg BB per jam, dan pada orang
dewasa dapat mengonsumsi hingga 750 mL per jam. Anak di bawah usia 2 tahun
dianjurkan diberikan satu sendok teh, tiap 1-2 menit. Anak lebih besar dan orang
dewasa dapat mengonsumsi seteguk secara frekuen. Muntah sering terjadi selama jam
pertama, khususnya ketika anak minum larutan oralit terlalu cepat. Namun, hal ini
jarang menghambat terapi rehidrasi oral karena larutan oralit akan terlebih dahulu
diabsorpsi. Setelah itu, biasanya muntah akan berhenti. Bila anak muntah, tunggu 5-10
menit, kemudian mulai berikan larutan oralit kembali secara lebih perlahan, contohnya
sesendok makan tiap 2-3 menit

 Pertolongan pertama pada dehidrasi berat

Lakukan pemberian cairan melalui pemasangan intravenous- line. Bayi/anak


tetap diberikan rehidrasi oral sampai IV line drip terpasang. Larutan oralit yang
diberikan sekitar 5 mL/kgBB/jam bilamana bayi/anak masih mau dan dapat minum
dalam jangka waktu 3-4 jam, atau 1-2 jam untuk pasien dewasa. Oralit ini sebagai suplai
basa dan kalium, dimana dalam cairan IV biasanya tidak adekuat.

Pemberian larutan rehidrasi IV pada bayi <1 tahun (infant) berikan RL solution
per drip 30 mL/kgBB dalam waktu satu jam, kemudian 70 mL/kgBB untuk 5 jam
kemudian. Anak yang lebih besar berikan RL solution per drip 30 mL/kgBB dalam 30
menit, kemudian 70 mL/kgBB untuk 2,5 jam kemudian berikan RL 20 mL/kgBB
sampai tanda-tanda vital dan kesadaran umum kembali normal.

Pada bayi dengan kondisi buruk, atau malnutrisi berikan 10 mL/kgBB RL,
karena bayi tersebut kemungkinan tidak mampu untuk meningkatkan cardiac
output sebagai respon terhadap rehidrasi. Evaluasi kembali pasien tiap 1-2 jam.

48
Bila drip hidrasi ini tidak ada perbaikan, berikan lebih cepat. Setelah 6 jam pada
infant, atau 3 jam pada pasien yang lebih besar, evaluasi kembali tingkat dehidrasi
untuk menentukan kelanjutan terapi. Ulangi pemberian bilamana nadi radial masih
lemah, atau tidak teraba. Bila Ringer Laktat tidak tersedia, normal saline dapat
digunakan.

 Pemasangan NGT pada pasien dehidrasi berat

Pemasangan NGT dapat dilakukan pada pasien dehidrasi berat bila terapi IV
tidak tersedia dan fasilitas terdekat yang memiliki terapi IV berjarak jauh, lebih dari 30
menit. Tenaga medis yang terlatih dapat memasang NGT, kemudian memberikan
larutan oralit 20 mL/kgBB per jam selama 6 jam, total 120 mL/kgBB. Bila tampak perut
anak distensi, berikan lebih perlahan hingga perutnya berkurang distensinya. Bila
pemasangan NGT tidak memungkinkan, tapi anak dapat minum, berikan larutan oralit
20 mL/kgBB per jam untuk 6 jam kemudian, total 120 mL/kgBB.

Bila pemberian tersebut terlalu cepat, anak dapat muntah berulang sehingga
pemberian larutan oralit dilakukan secara perlahan hingga muntah berhenti. Anak yang
menerima oral rehidrasi terapi, mesti dinilai tiap jam akan tingkat dehidrasinya. Bila
tanda dehidrasi tidak ada perbaikan setelah 3 jam, anak mesti segera dibawa ke fasilitas
perawatan terdekat yang memiliki terapi IV line. Bila terapi tersebut memuaskan,
penilaian dilakukan setelah 6 jam dan tatalaksana selanjutnya mengikuti tata laksana
terapi IV.

g. Proses Pemulihan

Observasi anak sedikitnya 6 jam sebelum dipulangkan dari perawatan rumah


sakit. Ibu masih dianjurkan untuk memberikan oralit sampai diare anak berhenti serta
melanjutkan pemberian ASI. Diet lemak rendah juga dapat diberikan pada pasien yang
sedang dalam masa penyembuhan dari gastroenteritis ini.

Edukasi kepada ibu untuk memastikan bahwa ibu mengerti dan mampu untuk
memberikan adekuat hidrasi pada anak di rumah bilamana terjadi diare lagi pada anak.
Berikan ibu paket oralit yang adekuat untuk dua hari di rumah serta ajarkan untuk

49
mengenali tanda-tanda anak jatuh ke dalam dehidrasi, di mana ibu mesti segera
membawa anak ke rumah sakit.

h. Follow-up

Penting untuk menjelaskan kepada ibu untuk mengetahui kondisi di mana


follow-up perlu dilakukan, yaitu:

 Pasien anak yang mengalami dehidrasi


 Pasien berusia <1 tahun
 Pasien dengan riwayat terkena campak dalam waktu 6 minggu
sebelumnya

Tanda perbaikan adalah demam hilang, darah berkurang pada feses, diare
berkurang, mau makan dan dapat kembali ke aktivitas normal.

3.8 Edukasi

Gastroenteritis adalah pentingnya vaksinasi. Vaksinasi rotavirus  belum


termasuk dalam imunisasi wajib namun merupakan pilihan untuk upaya promosi
kesehatan gastroenteritis. Masyarakat juga perlu mendapat edukasi untuk menjaga
sanitasi dan higiene air dan makanan yang dikonsumsi untuk mencegah gastroenteritis.

3.9 Upaya pencegahan

Pengenalan dan penanganan dini terhadap dehidrasi merupakan upaya dalam


mencegah kematian balita akibat diare yang berlanjut. Bayi/anak yang telah
mendapatkan vaksinasi campak menurunkan risiko insiden dan tingkat keparahan diare.
Kasus diare yang menjadi penyebab kedua kematian pada anak-anak di bawah usia 5
tahun merupakan kondisi yang dapat dicegah dan diobati

50
BAB IV

KESIMPULAN

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan

pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga

mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang

disebabkan oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda

asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada

juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia

lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang

melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya

kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa

Penyebab pneumonia adalah berbagai macam virus, bakteri atau jamur.

Bakteri penyebab pneumonia yang tersering adalah penumokokus (Streptococcus

pneumonia), HiB (Haemophilus influenza type b), dan stafilokokus (Staphylococcus

aureus). Virus penyebab pneumonia sangat banyak, misalnya rhinovirus, respiratory

syncytial virus (RSV) atau virus influenza. Virus campak (morbili) juga dapat

menyebabkan komplikasi berupa pneumonia.

Gold standar pengobatan bronkopneumonia adalah penggunaan 2 antibiotik.

Antibiotik diberikan secara intravena. Selain itu pada bayi kecil terapi awal antibiotik

intravena harus dimulai segera mungkin karena pada neonatus dan bayi kecil sering

terjadi sepsis dan meningitis. Antibiotik yang direkomendasikan antibiotik spektrum

luas seperti kombinasi beta laktam/klavulanat dengan aminoglikkosid atau

51
sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan stabil, antibiotik dapat diganti dengan

antibiotik oral selama 10 hari.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Supriyatno B. Infeksi Respiratori Akut pada Anak. September 2006. Diunduh dari :

Sari Pediatri, Vol.8, No.2. h.100-6

2. Ulan, N. L. P. D., 2019. Gambaran asuhan keperawatan pada balita bronkopneumoni

a dengan defisit nutrisi di ruang abimayu rsud sanjiwani gianyar tahun 2019.

Polteknik Kesehatan Kemenkes. Despasar

3. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC. Jakarta :

1997. Hal 633.

4. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.

Jakarta: 1999. hal: 695-705.

5. Pedoman Diganosis dan Terapi Kesehatan Anak, UNPAD, Bandung: 2005

6. Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter Anaka

Indonesia. Jakarta: 2008.h.350-64.

7. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia. Bandung: 2005.

8. Pedoman Pelayan Medis. Jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2010.

9. Definisi Pneumoni. Diunduh dari : Chapter II.pdf

10. Hood A, Wibisono MJ, Winariani. Buku ajar ilmu penyakit paru. Surabaya: Graha

Masyarakat Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga; 2004.

11. Latief A. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit standar WHO. Jakarta: Depkes;

2009.

12. Rahajoe, Nastini N. Buku ajar respirologi anak. Edisi ke- 1. Jakarta: Badan Penerbit

IDAI; 2010

13. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson: ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Volume 2.

Jakarta: EGC; 2000.

53
14. Nelson .2000.Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15,Volume 2.Jakarta :EGC.

15. Bambang Subagyo, Nurthjahyo Budi Santoso. 2015 Bambang Subagyo, Nurthjahyo

Budi Santoso. 2015 Buku Ajar  Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1

Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak . Badan

Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia Indonesia

16. Yanti Soenarto .2015 Yanti Soenarto .2015 Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi

Jilid 1  Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1 Badan Penerbit Ikatan Dokter

Anak Indonesia Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

17. Zulfiqar Ahmed Bhutta Zulfiqar Ahmed Bhutta. Nelson of Pediatric. Acute

Gastroenteritis in . Nelson of Pediatric. Acute Gastroenteritis in Childreen Childreen,

18. Department of Child and Adolescent Health and Development THE Department of

Child and Adolescent Health and Development THE TREATMENT OF

TREATMENT OF DIARRHOEA

DIARRHOEAhttp://apps.who.int/iris/bitstream/10665/43209/1/9241593180.pdf 

http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/43209/1/9241593180.pdf     55..   Strategi

Terapi Cairan pada Dehidrasi Eri

19. Strategi Terapi Cairan pada Dehidrasi Eri Leksan

Leksanaahttp://www.kahttp://www.kalbemed.com

lbemed.com/Portals/6/23_224Pra /Portals/6/23_224PraktisStrategi%20Te

ktisStrategi%20Terapi%2 rapi%20Cairan%20pada%20Dehidrasi.pdf.

20. WHO. Rotavirus. April 2010; Available from:


http://www.who.int/immunization/topics/rotavirus/en/

21. Scarcella, C., et al., An outbreak of viral gastroenteritis linked to municipal water

supply, Lombardy, Italy, June 2009. Euro Surveill, 2009. 14

22. Singh A, F.M. (July 2010) Acute Gastroenteritis--An Update. EBM: Pediatric
Emergency Medicine Practice

54
23. WHO. The treatment of diarrhoea: A manual for physicians and other senior health
workers. 2017; Available from:
http://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/9241593180/en/
24. . Canavan, A. and B.S. Arant, Jr., Diagnosis and management of dehydration in
children. Am Fam Physician, 2009. 80(7): p. 692-6
25. Webb, A. and M. Starr, Acute gastroenteritis in children. Aust Fam Physician, 2005.
34(4): p. 227-31

55
RESUME
KASUS LITERATUR
ANAMNESA;
Pada pasien ditemukan : Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi
Pasien di bawa oleh orang tua dengan keluha dapat didahului dengan infeksi saluran nafas
n demam sejak 2 minggu yang lalu. demam n akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk,
aik turun, kadang naik pada pagi atau malam demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan
hari, sesak nafas, mual dan muntah. sekitar mulut, menggigil , kejang, dan nyeri d
ada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada
sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menun
jukkan gejala non spesifik seperti hipotermi,
penurunan kesadaran, kejang atau kembung.
Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, n
yeri abdomen disertai muntah.

PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan pasien di dapatkan Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil yang
suhu 38,7’C demam bersifat naik turun, Inspe semakin menguatkan, yakni takipnu, takikard
ksi paru Simetris kanan dan kiri, Retraksi (+) i, nafas cuping hidung, suara nafas vesikuler
Auskultasi paru Ronkhi Basah halus +/+, melemah, dan ronkhi basah halus nyaring di
kedua paru. Adanya retraksi dinding dada.Ge
jala-gejala pneumonia bakteri pada bayi adal
ah demam >38,50C, RR >50x/menit, dan ada
nya retraksi..

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pasien dilakukan pemeriksaan A. Darah perifer lengkap
- darah pelifer lengkap B. C-Reaktif Protein (CRP)
- pemeriksaan rontgen thorax C. Uji serologis
D. Pemeriksaan mikrobiologis
E. Pemeriksaan rontgen thorax

TERAPI Pada rawat inap antibiotik yang diberikan ada


Pada pasien umur 10 bulan berat 9,5kg diberi lah beta laktam, ampisilin atau amoksisislin
kan terapi antibiotik dikombinasikan degan kloramfenikol. Anti
 Inj.Ceftriaxone 500mg/hari biotik yang diberikan berupa
Penisilin G (Benzipenisilin ) intrvena ( 25.00
0 U/kgBB setiap 4 jam ) dan kloramfenikol (
15 mg/kgBB setiap 6 jam ), dan ceftriaxo
n intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam
). Keduanya diberikan selama 10 hari.

56

Anda mungkin juga menyukai