Anda di halaman 1dari 26

CASE REPORT

“KEJANG DEMAM SIMPLEKS”

Oleh:

dr. Trias Retmayanti

Pembimbing:
dr. Mohammad Taufik H Sp. A

dr. Pendamping :

dr. Endang Sulastri

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RS ISLAM BONTANG
2021

i
2

BAB I
STATUS PENDERITA

I. Identitas Pasien:
Nama : An. R
Umur : 1 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : hindu
Alamat :
No. RM :129262
Tanggal MRS : 06 September 2021
Tanggal Pemeriksaan : 06 September 2021

II. Heteroanamnesis (Ibu Pasien)


Keluhan Utama
Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak subuh pagi ini pasien mengalami demam, demam dirasakan terus menerus.
Orang tua pasien kerja sehingga anak dititipkan dipenitipan anak. Saat di penitipan anak
pasien tiba-tiba kejang, saat kejang anak tidak menangis, kedua mata melirik keatas,
kedua tangan dan kaki kelojotoan dalam waktu ± 5-10 menit, lalu pasien dibawa ke IGD
RS Islam Bontang.
Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah 1 hari sebelum masuk rumah sakit
pasien mengalami pilek (+) batuk (-). BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat
trauma kepala (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
Ini merupakan keluhan kejang pertama kali pasien. Riwayat kelainan
bawaan dan penyakit lain dikatakan tidak ada.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa seperti yang
dialami pasien. Riwayat penyakit sistemik seperti epilepsi, hipertensi, diabetes
mellitus atau penyakit jantung pada keluarga dikatakan tidak ada.
3

Riwayat Pengobatan
Sebelum dibawa ke rumah sakit pasien belum dapat diberikan obat
apapun. Hanya diberikan susu formula dan ASI jika anak mau.
Riwayat Pribadi/Sosial/Lingkungan
Pasien merupakan anak pertama. Dalam lingkungan rumah tidak ada yang
mengalami keluhan seperti pasien. Pasien biasanya bermain dengan ibu, nenek
dan kakeknya.

Riwayat Persalinan
Selama kehamilan dikatakan ibu pasien tidak pernah menderita penyakit
maupun menggunakan obat-obatan. Pasien lahir melalui persalinan spontan,
segera menangis, berat badan lahir 3000 gram, panjang badan 51 cm, lingkar
kepala dikatakan lupa oleh ibu pasien dan tanpa kelainan bawaan.
Riwayat Imunisasi
Pasien sudah dilakukan pemberian imunisasi dasar di puskesmas, yaitu
imunisasi :
BCG : 1 kali
Polio : 4 kali
Hepatitis B : 4 kali
Hib : 3 kali
DPT : 4 kali
MMR : 1 kali
Kesan imunisasi pada pasien lengkap berdasarkan usia pasien sesuai
dengan ketentuan imunisasi dasar yang berlaku berdasarkan KEMENKES Tahun
2017.
Riwayat Nutrisi
- ASI : Sejak lahir – 6 bulan on demand
- Susu formula : Sejak 6 bulan
- Bubur saring : Sejak usia 6 bulan, frekuensi 2-3 kali/hari
- Nasi tim : Sejak usia 9 bulan, frekuensi 2-3 kali/hari
- Makanan dewasa : Sejak usia 12 bulan, frekuensi 2-3 kali/hari
4

Riwayat Tumbuh Kembang


Menegakkan kepala : Sejak usia 3 bulan
Membalik badan : Sejak usia 4 bulan
Duduk : Sejak usia 6 bulan
Merangkak : Sejak usia 7 bulan
Berdiri : Sejak usia 9 bulan
Berjalan : belum
Bicara : belum bisa mengatakan kalimat lengkap
Kesan : sesuai perkembangan

Riwayat Alergi
Pasien dikatakan selama ini tidak memiliki riwayat alergi makanan
maupun obat-obatan. Pada keluarga pasien, baik ayah dan ibu pasien juga
dikatakan tidak ada yang memiliki alergi terhadap makanan maupun obat-obatan.
5

III. Pemeriksaan Fisik


Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4V5M6)
Nadi : 120 kali/menit, reguler, kuat
angkat Laju respirasi : 26kali/menit, reguler
Suhu : 39.0C
Saturasi : 98% RA
Status Generalis
Kepala : Normocephali, UUK/UUB tertutup
Mata : Konjungtiva pucat -/- , ikterus -/- , reflek pupil +/+
isokor, edema palpebra -/-, mata cowong -/-,
produksi air mata +/+
THT :
Telinga : sekret -/-, deformitas (-)
Hidung : sekret -/-, napas cuping hidung (-), sianosis (-),
deformitas (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), T1/ T1
Lidah : sianosis (-)
Bibir : sianosis (-), mukosa bibir
basah Leher : pembesaran kelenjar (-)
Thoraks : simetris (+), retraksi (-)
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis teraba di ICS V MCL Sinistra
Austkultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
6

Paru :
Inspeksi : bentuk normal, simetris
Palpasi : gerakan dada simetris
Auskultasi : vesikuler +/+, rales -/-, wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-), meteorismus (-), nyeri tekan (-), ascites
(-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, massa (-)
Ekstremitas : akral hangat + + , edema - -
+ + - -
CRT < 2 detik
Kulit : Petekie (-), Purpura (-), sianosis (-), ikterus (-),
turgor kembali dengan cepat.
Genitalia : laki-laki, fimosis (+), parafimosis (-)
Pemeriksaan Khusus
a. Status Neurologis :
Kaku kuduk : Negatif
Kernig sign : Negatif
Brudzinzki I : Negatif
Brudzinski II : Negatif
Tonus :N N
N N

Tenaga : Sulit dievaluasi


Trofi : N/N
Reflek Fisiologis : ++ ++
++ ++

Reflek Patologis : - -
- -
b. Status antropometri

Berat badan : 9 kg

Panjang badan : 70 cm
7

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Lengkap

Parameter Hasil Remark Satuan Rujukan

WBC 9.000 Tinggi 103/μL 6.0 – 14.0


NE% 75 Tinggi % 18.30 – 47.10
LYM% 20 Rendah % 30.0 – 64.30
MONO% 2 % 0.00 – 7.10
EO% 2.00 % 0.0 – 5.0
BA% 1.00 % 0.0 – 0.70
RBC 4.80 103/μL 4.10 – 5.3

HGB 12.2 g/dl 12.0 – 16.0

HCT 36 % 36,00-49,00

MCV 69 Fl 78,00 - 102,0

MCH 24 Pg 25,00-35,00

MCHC 34 g/dl 31 – 36

PLT 227 103/μL 140 – 440

Elektrolit

Parameter Hasil Satuan Rujukan

Natrium (Na) - Serum 139 mmol/L 135 – 145

Kalium (K) – Serum 4.4 mmol/L 3.50 – 5.10

Klorida (Cl) – serum 106 mmol/L 94 – 110

Glukosa Darah Acak 101 mg/dL 60 – 120


8

Diagnosis
Kejang Demam Simples (KDS)

Phimosis
Penatalaksanaan
 MRS Ruang Perawatan Utama Multazam 1
 IVFD DS ½ NS 900 cc/ 24 jam mikro
 Stesolid sup 5 mg bila kejang
 Paracetamol drip 10-20mg/kgBB 100 mg diulang tiap 4 jam
 Injeksi ceftriaxon 2 x 350 mg
KIE

- Menjelaskan kepada orangtua tentang keadaan pasien, penyakit yang dialami,


pengobatan, komplikasi, dan cara pencegahan dari penyakitnya.
- Menjelaskan kepada orangtua pasien untuk turut serta memantau kondisi pasien.
- Menjelaskan kepada orangtua pasien untuk lebih waspada jika terjadi peningkatan
suhu pada pasien. Orang tua dihimbau untuk menyediakan obat antikejang per rektal
di rumah untuk digunakan jika terjadi kejang.

PROGRESS NOTE
Tanggal Hasil Pemeriksaan
06-9-2021 S:Kejang(-), demam (+), pilek (+), batuk (-) berdahak, darah (-), mual (-)
muntah (+) 2 kali, BAB dan BAK normal
9

23.00

O:Kesadaran: Compos mentis


KU : baik
Tanda vital :
BB : 9 kg
HR: 100 x/menit
RR: 26 x/menit
Suhu: 39.9 oC
Kepala:Mesosefal
Mata:Conjungtiva anemis (-/-), sklera Ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
Hidung:Sekret (-), darah (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : bibir kering (-) lidah typhoid (-) bibir sianosis (-)
Thorax:Cor : BJ I>II reguler,
Pulmo: SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: Supel, BU (+) meningkat, turgor kulit normal
Ekstremitas: Akral hangat,CRT <2 detik
A:KDS , Bronkopneumonia

P : IVFD DS ½ NS 900 cc/ 24 jam mikro


Inj ampicilin 4x200 mg
Inj ceftriaxon 2 x 350 mg
Inj PCT 100 mg
Injeksi Ondansetron 1 mg
Propiretik 160 (k/p)
Seka dengan air hangat

07-9-2021 S:Kejang (-), demam mulai menurun, pilek (-), batuk (-) berdahak, mual (-)
muntah (-), BAK dan BAB normal
O:Kesadaran: Compos mentis
KU : baik, aktif (+)
Tanda vital :
BB : 9 kg
HR: 128 x/menit
RR: 28 x/menit
Suhu: 36,3oC
Kepala:Mesosefal
Mata:Conjungtiva anemis (-/-), sklera Ikterik (-/-), mata cekung (-/-)
Hidung:Sekret (-), darah (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : bibir kering (-) lidah typhoid (-) bibir sianosis (-)
Thorax:Cor : BJ I>II reguler,
Pulmo: SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: Supel, BU (+) normal, turgor kulit normal
1
0

Ekstremitas: Akral hangat,CRT <2 detik


A: KDS, bronkopneumonia

P : IVFD DS ½ NS 500 cc/ 24 jam mikro


Inj ampicilin 4x200 mg
Inj ceftriaxon 2 x 350 mg
Inj PCT 100 mg
Injeksi Ondansetron 1 mg
Stesolis 10 mg (k/p)
Propiretik 160 (k/p)
Seka dengan air hangat

08-4-2021 S:Kejang (-), demam naik turun, BAB (-) pilek (-), batuk (-)berdahak, mual (-)
muntah (-), BAK dan BAB normal,
O:Kesadaran: Compos mentis
KU : baik, aktif (+)
Tanda vital :
BB : 9 kg
HR: 102 x/menit
RR: 24 x/menit
Suhu: 37,1 oC
Kepala:Mesosefal
Mata:Conjungtiva anemis (-/-), sklera Ikterik (-/-), mata cekung (-/-)
Hidung:Sekret (-), darah (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : bibir kering (-) lidah typhoid (-) bibir sianosis (-)
Thorax:Cor : BJ I>II reguler,
Pulmo: SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen: Supel, BU (+) normal, turgor kulit normal
Ekstremitas: Akral hangat,CRT <2 detik
A: KDS, Bronkopneumonia
P : BLPL
PO Paracetamol syr 4 x 1 cth
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kejang Demam
Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun disertai peningkatan suhu tubuh mencapai 38°C atau lebih
tanpa disebabkan oleh proses intrakranial maupun ketidakseimbangan metabolik,
serta terjadi tanpa adanya riwayat kejang tanpa demam. 1,2 Kejang yang terjadi
disebabkan oleh kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau
metabolik lainnya. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya, maka tidak
disebut dengan kejang demam.1
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang dapat diklasifikasikan sebagai
kejang demam sederhana jika memenuhi semua kriteria klinis, sedangkan
dikatakan kejang demam kompleks jika memenuhi salah satu dari ketiga kriteria
pada Tabel 2.1.3
Tabel 2.1. Klasifikasi Kejang Demam3
Kejang Demam Kejang Demam
Klinis Sederhana (memenuhi Kompleks (memenuhi
semua kriteria klinis) salah satu kriteria klinis)
Durasi ≤ 15 menit > 15 menit
Tipe Kejang Umum Fokal/Parsial
Frekuensi dalam 24 jam 1 kali > 1 kali

Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun. 3,4
Puncak insiden kejang demam pada anak terjadi pada usia 12-18 bulan pertama
kehidupan.4,5 Mayoritas merupakan kejang demam sederhana, hanya sekitar 20-
30% kasus bermanifestasi sebagai kejang demam kompleks.3
Penelitian menunjukkan berbagai variasi insiden kejang demam dengan
faktor risiko yang bervariasi pula. Jika dilihat berdasarkan perbedaan gender,
penelitian melaporkan kejang demam lebih dominan terjadi pada laki-laki. Rasio
insiden anak laki-laki dan perempuan kira-kira yaitu 1,6 banding 1 (1,6:1).5

8
9

Terdapat variasi musiman dan diurnal dalam terjadinya kejang demam yang
diamati oleh para peneliti di Amerika Serikat, Finlandia, & Jepang. Penelitian
tersebut memukan pada dasarnya sebagian besar kejang demam terjadi pada
bulan-bulan musim dingin dan saat sore hari.5 Lebih lanjut lagi penelitian di
Jepang melaporkan dua puncak insiden kejang demam yaitu November-Januari,
dan Juni-Agustus, yang berkaitan dengan puncak infeksi saluran napas atas dan
infeksi gastrointestinal.4 Meskipun kejang demam terlihat pada semua kelompok
etnis, kejang demam lebih sering terlihat pada populasi Asia dengan insiden
sekitar 5-10% pada anak-anak India dan 6-9% anak-anak Jepang.5 Penelitian lain
di Amerika juga melaporkan pengaruh perbedaan ras pada insiden kejang demam
yaitu 3,5% pada kulit putih dan 4,2% pada kulit hitam.4 Insiden kejang demam
lebih sering terjadi pada anak-anak dengan status sosial ekonomi yang lebih
rendah, salah satu faktornya mungkin karena akses yang tidak memadai ke
perawatan medis.5
Risiko rekurensi kejang demam secara keseluruhan adalah 34,3%. Ikatan
dokter Anak Indonesia menyebutkan beberapa faktor risiko yang menyebabkan
kejang demam berulang yaitu usia dini (≤1 tahun) saat onset, riwayat keluarga
memiliki kejang demam atau epilepsi, suhu tubuh <39ºC saat kejang, interval
waktu singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang dan apabila kejang
demam pertama merupakan kejang demam kompleks. Jika seluruh faktor risiko
tersebut ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan
jika tidak terdapat faktor risiko tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam
hanya 10-15%. Kemuningkinan ulangan kejang demam paling besar terjadi pada
tahun pertama.1 Anak dengan kejang demam sederhana tidak menunjukkan
adanya risiko mortalitas, hemiplegia, atau retardasi mental. Pemantauan jangka
panjang pada kasus kejang demam sederhana memiliki risiko terjadinya epilepsi
sedikit lebih tinggi daripada populasi umum.1
Etiologi
Penyebab kejang demam bersifat multifaktorial. 3,5 Secara umum diyakini
bahwa kejang demam disebabkan oleh fulnerabilitas sistem saraf pusat (SSP)
yang sedang berkembang terhadap efek demam, yang berkombinasi dengan faktor
10

predisposisi genetik yang mendasari & faktor lingkungan.5 Faktor lingkungan


meliputi infeksi virus, vaksinasi dan faktor pajanan intrauterine.
a. Faktor Genetik
Penelitian pada anak kembar dan keluarga menunjukkan bahwa faktor genetik
memainkan peran penting dalam kejang demam. Sekitar sepertiga anak dengan
kejang demam memiliki riwayat keluarga yang positif (dengan kejang
demam/epilepsi/riwayat kejang sebelumnya).4,5 Riwayat kejang demam dalam
keluarga yang positif dapat ditemukan pada 25–40% kasus ketika seorang anak
datang dengan kejang demam.4 Lebih lanjut dipaparkan bahwa risiko kejang
demam pada anak dengan saudara kandung yang memiliki riwayat positif
adalah sekitar 20%, sedangkan risiko kejang demam anak meningkat jika oang
tua memiliki riwayat yang positif yaitu menjadi sekitar 33%.5 Gen yang
meningkatkan risiko kejang demam telah dipetakan ke dalam lokus kromosom
berikut: 1q31, 2q23-34, 3p24.2-23, 3q26.2-26.33, 5q14-15, 5q34, 6q22-24, q13
-21, 18p11.2, 19p13.3, 19q, dan 21q22.5
Risiko kejang demam terkait dengan ketinggian peningkatan suhu dan ambang
kejang yang bervariasi berdasarkan usia dan kerentanan individu.3 Telah
terbukti bahwa ketinggian suhu, bukan kecepatan kenaikan suhu, adalah faktor
risiko paling signifikan untuk terjadinya kejang demam pertama. Secara umum,
semakin tinggi suhunya, semakin besar kemungkinan terjadinya kejang
demam.3–5 Sementara itu, anak dengan kejang demam memiliki ambang kejang
yang lebih rendah.5
b. Faktor Risiko Intrauterine
Pajanan selama dalam rahim (intrauterine) seperti ibu yang merokok & stres
ibu, anak yang berada di unit perawatan intensif neonatal selama >28 hari
(OR=5,6), keterlambatan perkembangan (OR=4.9), memiliki kerabat tingkat
pertama dengan riwayat kejang demam (OR = 4,5), memiliki kerabat derajat
kedua dengan riwayat kejang demam (OR = 3,6); dan adanya day care
attendance (OR = 3.1) meningkatkan risiko kejang demam pada anak.3
c. Infeksi Virus
Infeksi virus terutama yang menyebabkan demam tinggi, meningkatkan risiko
kejang demam karena demam tinggi telah terbukti meningkatkan
11

eksitabilitas/rangsangan saraf dan menurunkan ambang kejang.3 80% kasus


kejang demam disebabkan oleh infeksi virus.5 Virus yang paling sering
berkorelasi dengan kejang demam yaitu Roseola infantum (exanthem subitum),
influenza A, human coronavirus HKU1, virus herpes manusia, influenza,
adenovirus, dan parainfluenza. Virus penyebab infeksi saluran pernapasan
bagian atas, faringitis, otitis media, dan gastroenteritis oleh Shigella adalah
penyebab penting lain dari kejang demam.3,5
d. Vaksinasi
Sediaan vaksin tertentu dan usia (tertentu) saat pemberian vaksin terbukti
meningkatkan risiko kejang demam.3–5 Salah satunya yaitu vaksin Mumps-
Measles-Rubella (MMR) dikaitkan dengan peningkatan risiko kejang demam.
Dipaparkan bahwa terjadi 10 kasus tambahan kejang demam per 10.000 anak
usia 16 hingga 23 bulan, namun hanya empat kasus tambahan kejang demam
per 10.000 anak usia 12 hingga 15 bulan, setelah pemberian vaksin MMR.
Karena risiko kejang demam akibat vaksin MMR lebih rendah saat vaksinasi
usia 12 hingga 15 bulan, maka CDC (Centers for Disease Control and
Prevention) merekomendasikan rentang usia tersebut untuk pemberian
imunisasi guna mengurangi potensi risiko.3 Vaksin lain yang dilaporkan
menyebabkan kejang demam pasca vaksinasi termasuk vaksin gabungan
difteri-tetanus toksoid-pertusis aseluler-inaktifasi poliovirus-Haemophilus
influenzae tipe b (DTaP-IPV-Hib), vaksin pneumokokus terkonjugasi, dan
beberapa formulasi vaksin influenza yang dilemahkan (seperti Fluvax).5
e. Defisiensi & Abnormalitas Metabolik
Beberapa studi melaporkan hubungan statistik antara anemia defisiensi besi &
defisiensi zink dengan kejang demam sederhana.4 Zat besi penting untuk fungsi
neurotransmiter tertentu, seperti monoamine oksidase dan aldehida oksidase.
Anemia defisiensi besi dapat menjadi predisposisi kejang demam. 5 Defisiensi
zink juga dikaitkan sebagai faktor risiko kejang demam.4,5 Sebuah studi
mengenai kejang demam pada anak-anak di India menemukan bahwa kadar
zink yang lebih rendah ditemukan pada pasien dengan kejang demam
dibandingkan anak yang demam tanpa kejang.4 Beberapa studi preliminary
melaporkan defisiensi nutrisi lain seperti vitamin B12, asam folat, selenium,
12

kalsium, dan magnesium meningkatkan risiko kejang demam.4,5 Namun


penelitian lanjutan mengenai laporan ini belum tersedia.
Patofisiologi
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang ditandai hiper-
eksitabilitas neuron sebagai akibat dari peningkatan suhu inti tubuh selama
demam akibat infeksi sistemik yang mendasari. Seperti yang dijelaskan diatas
bahwa kejang demam dihasilkan oleh fulnerabilitas genetik yang berinteraksi
dengan faktor lingkungan. Faktor lingkungan seperti paparan infeksi perifer
termasuk infeksi bakteri di telinga tengah & tenggorokan ataupun infeksi virus
influenza, dilaporkan merangsang respons inflamasi yang mengakibatkan
peningkatan suhu inti tubuh dan selanjutnya memicu kejang demam. Infeksi
semacam itu menyebabkan sistem imunitas menghasilkan respons inflamasi yang
merangsang pelepasan sitokin dari makrofag. Sitokin proinflamasi seperti
interleukin (IL)-1β, IL-6, & tumor necrosis factor-α (TNF-α) yang berfungsi
memerangi infeksi di area lokal akhirnya tumpah ke sirkulasi sehingga
menyebabkan peningkatan kadar sitokin sistemik. Sitokin bersama
lipopolisakarida (LPS) yaitu pola molekuler terkait patogen (pathogen associated
molecular pattern/PAMP) yang diekspresikan patogen, berinteraksi dengan sawar
darah otak (blood brain barrier/BBB) dan menyebabkan BBB 'kebocoran' yang
menyebabkan masuknya sitokin dan LPS ke sistem saraf pusat (SSP). Sitokin
yang melewati sawar darah otak akan mengaktifkan mikroglia untuk melepaskan
sitokinnya sendiri, khususnya IL-1β. IL-1β berinteraksi dengan endotel otak
menghasilkan aktivasi siklooksigenase 2 yang mengkatalisis produksi
prostaglandin 2 (PGE2). PGE2 kemudian memasuki wilayah hipotalamus dan
menyebabkan demam. Kadar IL-1β yang meningkat secara abnormal juga secara
progresif meningkatkan neurotransmisi eksitatorik/glutamatergik, dan
menurunkan neurotransmisi inhibitorik/GABAergic sehingga terjadilah kejang
yang disertai dengan demam.6
Banyak studi yang menghubungkan kejang dengan inflamasi &
peningkatan konsentrasi sitokin. Sitokin memiliki peran dalam plastisitas sinaptik
pada area hipokampus otak dan efek sinaptik pada neuron SSP termasuk yang
terlibat dalam kontrol otonom pusat demam & kontrol gastrointestinal. Sitokin
13

seprti IL-1β terbukti memiliki efek ekstensif dalam menimbulkan kejang,


terutama kejang demam. Sitokin IL-1β dan IL-1Ra dilepaskan secara bersamaan
dilepaskan dan bersaing untuk berikatan dengan situs yang sama yaitu reseptor IL-
1 tipe 1 (IL-1RI). Secara afinitas IL-1RI lebih kuat berikatan dengan sitokin IL-
1β, daripada IL1Ra, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara IL-1β dan
IL -1Ra. IL-1β bekerja pada sirkuit eksitatori (glutamatergik) dan inhibitorik
(GABAergic) di otak. IL-1β dan IL-1Ra merangsang interaksi reseptor glutamat
ionotropik antara glutamat dan reseptor AMPA. Pengikatan glutamat ke reseptor
AMPA menghasilkan masuknya banyak ion natrium ke dalam sel dan beberapa
ion kalium keluar dari sel yang mengakibatkan depolarisasi membran. Ion
magnesium ditemukan pada pori saluran ion reseptor NMDA, Mg dieskspulsi ke
dalam sel ketika depolarisasi membran. Pengikatan glutamat ke reseptor NMDA
bersama dengan ekspulsi magnesium ke saluran ion menyebabkan masuknya
kalsium dan natrium ke dalam sel. Peningkatan ion kalsium ke dalam sel memicu
serangkaian reaksi dan perubahan transkripsi yang menyebabkan timbulnya
kejang. Peningkatan kadar IL-1β telah terbukti menurunkan influx kalsium dan
meningkatkan efflux kalium. Hal ini disebabkan peningkatan konsentrasi IL-1β
menurunkan kadar GABA terhadap interaksi reseptor GABAA yang
mengakibatkan penurunan arus yang dimediasi reseptor GABAA. Beberapa
penelitian juga menunjukkan bahwa penurunan arus yang dimediasi reseptor
GABAA dapat disebabkan oleh hipertermia akibat infeksi. Oleh karena itu,
eksitasi dan disregulasi inhibitorik bersama dengan demam yang ditimbulkan
selama peradangan menyebabkan timbulnya kejang bersama-sama yang dikenal
sebagai kejang demam.
Setiap kenaikan 1°C pada kondisi demam mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan O2 meningkat 20%. Karena pada anak
sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa (hanya 15%). Kenaikan suhu dapat mengubah keseimbangan sel neuron
dan dengan cepat terjadinya difusi ion kalium dan natrium.5 Jika suhu tubuh
meningkat maka dapat berdampak pada gangguan fungsi otak dan keseimbangan
potensial membran terganggu sehingga dapat menimbulkan lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
14

neuron ataupun sel tetangganya sehingga dapat timbul kejang fokal ataupun
umum.1,5

Gambar 2.2 Patogensis Kejang Demam: Selama infeksi, lipopolisakarida


(LPS) dilepaskan dan menghasilkan respons inflamasi. Hal ini menyebabkan
makrofag melepaskan sitokin seperti interleukin (IL) -1β, IL-6 dan tumor necrosis
factor (TNF-α) yang bersama dengan LPS, mengganggu sawar darah-otak
sehingga menjadi bocor. Sitokin kemudian masuk melalui sawar darah-otak dan
mengaktifkan siklooksigenase-2 (COX-2) dan mikroglia. COX-2 kemudian
mengkatalisis pembentukan prostaglandin-E2 (PGE2) yang menyebabkan demam
di hipotalamus. Selain itu, aktivasi mikroglia melepaskan sitokin proinflamasi dan
antiinflamasi yang meliputi antagonis reseptor Il-1β dan interleukin 1 (IL-1Ra)
yang menyebabkan disregulasi sirkuit glutamatergic dan GABAergic yang
mengakibatkan kejang.6
Pada kondisi normal, ketika sitokin SSP yang dihasilkan mikroglia hasil
interaksi LPS dan BBB, juga akan terbentuk respon umpan balik negatif berupa
pelepasan sitokin IL1β yang mengaktifkan sinyal aferen nervus vagus ke medula
oblongata, inti batang otak, dan hipotalamus. Sinyal aferen mencapai daerah
forebrain yang berkaitan dengan integrasi informasi sensorik visceral, koordinasi
fungsi otonom dan respon perilaku. Aktivasi saraf vagus aferen kemudian
mengaktifkan sinyal kolinergik antikolinergik nervus vagus eferen seperti yang
ditunjukkan Gambar 2.2. sinyal koninergik nervus vagus eferen akan merangsang
pelepasan neurotrasmiter asetilkolin. Fungsi asetilkolin dalam hal ini yaitu
15

Asetilkolin menghambat pelepasan TNF-α, IL-1β dan IL-18 dari makrofag yang
distimulasi oleh LPS, sehingga dapat menekan produksi kadar sitokin
proinflamasi lokal & sistemik. Namun, ketika terjadi infeksi (berat) terjadi
disregulasi dari jalur umpan balik negatif tersebut. Disregulasi terjadi karena
produksi berlebihan dari LPS dan mediator pro-inflamasi yang menyebabkan
ketidakseimbangan sitokin, menyebabkan perubahan signifikan BBB dan
akhirnya menghasilkan kondisi “kebocoran” BBB.

Gambar 2.2 Menunjukkan jalur refleks anti-inflamasi kolinergik: ketika


infeksi, respon inflamasi akan menyebabkan pelepasan sitokin seperti Interleukin
(IL) -1β, IL-6 dan tumor necrosis factor α (TNF-α) dalam sirkulasi sistemik.
Peningkatan sitokin proinflamasi tersebut akan mengaktivasi sinyal aferen nervus
vagus ke otak. Proses persinyalan tersebut menghasilkan aktivasi sinyal kolinergik
anti-inflamasi nervus vagus eferen yang merangsang pelepasan neurotransmitter
asetilkolin (ACh). ACh kemudian menghambat pelepasan sitokin dari makrofag
dan akhirnya menurunkan tingkat sitokin sistemik.6
Manifestasi Klinis
Kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti dengan sendirinya. Setelah
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah
beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
neurologis. Pasien dengan kejang demam tidak meningkatkan insiden gangguan
perilaku, mengangggu kemampuan akademik, fungsi kognitif maupun perhatian.
16

Kejang demam diikuti hemiparesis sementara/tood hemiparesis yang berlangsung


beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat di ikuti oleh
hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama, lebih sering
terjadi pada kejang demam yang pertama.1
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh mencapai 390C atau lebih. Kejang khas yang
menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, di ikuti dengan periode
mengantuk singat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15
menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang
memerlukan pengamatan menyeluruh.1 Kejang secara umum diklasifikasikan
menjadi 2, yaitu:1,3,5
a. Kejang parsial (fokal, lokal)
1) Kejang parsial sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini:
o Tanda-tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tanda
atau gejala otonomik : muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil
o Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa
seakan jatuh dari udara, paresthesia.
o Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik
2) Kejang Parsial komplek
oTerdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang
parsial simpleks
oDapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap-
ngecapkan bibir, mengunyah, gerakan menongkel yang berulang-ulang
pada tangan dan gerakan tangan lainnya
oDapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
oKejang umum (konvulsi atau non konvulsi)
b. Kejang absens
o Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
o Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15
detik
17

o Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kembali waspada dan konsentrasi
penuh
c. Kejang mioklonik
o Kedutan-kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi
secara mendadak
o Sering terlihat pada orang sehat selama tidur tetapi bila patologik berupa
kedutan kedutan sinkron dari bahu, leher lengan atas dan kaki
o Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
o Kehilangan kesadaran hanya sesaat
o Kejang tonik klonik
o Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot
ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
o Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
o Saat tonik diikuti klonik pada ekstremitas atas dan bawah
o Latergi, konvulsi, dan tidur dalam fase postiktal
o Kejang atonik
o Hilangnya tonus secara mendadak sehinga dapat menyebabkan kelopak
mata turun, kepala menunduk atau jatuh ke tanah
o Singkat dan terjadi tanpa peringatan
Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang baik dapat membantu menegakkan diagnosis kejang
demam. Perlu ditanyakan kepada orangtua atau pengasuh yang menyaksikan
anaknya semasa kejang yang berupa:1
1. Jenis kejang, lama kejang, kesadaran (kondisi sebelum, diantara, dan setelah
kejang)
2. Suhu sebelum atau saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan
anak selepas kejadian kejang
3. Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA), infeksi saluran kemih (ISK), otitis media akut
(OMA), dan lain-lain)
18

4. Riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah


mengalami kejang dengan demam atau tanpa demam, riwayat
perkembangan (gangguan neurologis), perlu ditanyakan pola tumbuh
kembang anak apakah sesuai dengan usianya, riwayat penyakit keluarga
perlu digali riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.
5. Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya muntah, diare, keluhan lain
yang menyertai demam, seperti batuk, pilek, sesak nafas yang menyebabkan
hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia).
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, nilai keadaan umum dan kesadaran anak, apakah
terdapat penurunan kesadaran. Setelah itu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda
vital terutamanya suhu tubuh, apakah tedapat demam, yang dapat dilakukan di
beberapa tempat seperti pada axilla, rektal dan telinga. Pada anak dengan kejang
demam penting untuk melakukan pemeriksaan neurologis, antara lain:1
1. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Kernique, Laseque, Brudzinski I
dan Brudzinski II.
2. Pemeriksaan nervus kranialis.
3. Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB) menonjol,
papil edema.
4. Tanda infeksi di luar SSP: ISPA, OMA, ISK dan lain lain.
5. Pemeriksaan neurologis: tonus, motorik, reflek patologis dan fisiologis.
Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi
kejang demam, diantaranya sebagai berikut.
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan atas indikasi seperti darah perifer,
elektrolit, dan gula darah.1
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Lumbal pungsi tidak dilakukan pada
19

anak berusia <12 bulan dengan keadaan umum baik. Indikasi lumbal pungsi
antara lain: adanya tanda rangsang meningeal, curiga infeksi SSP berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis, dipertimbangkan pada anak dengan kejang
disertai demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian
antibiotik dapat mengaburkan tanda dan gejala klinis.1
c. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak dilakukan untuk kejang demam kecuali bangkitannya
bersifat fokal untuk menentukan fokus kejang di otak yang membutuhkan
evaluasi lebih lanjut.1
d. Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala)
Pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic
resonance imaging (MRI) tidak rutin dikerjakan pada anak dengan kejang
demam sederhana. Pemeriksaan dilakukan jika terdapat indikasi, seperti
kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis
nervus kranialis.1
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk kejang demam antara lain:
a. Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan
oleh bakteri. Gejala didahului oleh infeksi saluran napas atau saluran cerna
dengan peningkatn suhu batuk, pilek, diare dan muntah-muntah yang disertai
kaku kuduk dengan atau tanpa penurunan kesadaran.
b. Ensefalitis
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbai macam mikro-organisme,
khususnya virus. Gejala berupa demam, sakit kepala, mual, muntah dan flu.
Suhu meningkat secara mendadak dan kejang berlangsung berjam-jam disertai
dengan penurunan kesadaran.
c. Abses otak
Pengumpulan cairan abnormal di dalam jaringan otak baik intraseluler maupun
ekstraseluler oleh bakteri. Gejala berupa mual dan muntah, mengantuk, kejang,
demam, mengalami gangguan fungsi otak lain, hemiparesis. Pada dasarnya
gejala yang diperngaruhi oleh lokasi dan ukuran abses pada otak.
20

Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan
cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang
diikuti hemiparesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses
intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam dan sukar dibedakan
dengan kejang demam. Anak dengan kejang demam tinggi dapat mengalami
delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam.1
Tatalaksana
Prinsip penanganan kejang demam terdiri dari 3 hal:
a. Mengatasi fase demam akut
Obat praktis yang dapat diberikan orang tua di rumah (prehospital) adalah
diazepam rektal dengan dosis 0,5 -0,75 mg/kg atau 5 mg untuk anak dengan
berat badan < 12 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat badan > 12 kg. Jika
kejang belum berhenti dapat diulangi dengan dosis yang sama dengan interval
5 menit. Jika kejang belum berhenti segera ke rumah sakit.1
b. Mengatasi demam, mencari, dan mengobati penyebab demam.
Demam harus ditangani untuk membuat anak nyaman. Memberi paracetamol
sangat efektif dibandingkan cara manual seperti mengompres dan lebih dapat
diterima oleh orang tua pasien.4 Penggunaan aspirin pada anak-anak dengan
penyakit akibat virus diketahui berhubungan dengan perkembanga Reye
Syndrome.7
c. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.
Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam. Pengobatan
profilaksis kejang demam dapat dibagi dalam profilaksis intermiten dan
profilaksis terus-menerus. Indikasi dan obat yang diberikan dijelaskan pada
Tabel 2.2.1,15
Tidak ada bukti bahwa penatalaksanaan kejang demam sederhana bisa
mencegah menjadi berkembangnya epilepsi. Kebanyakan anak tidak
memerlukan terapi apapun setelah kejang demam sederhana pertama terjadi.
Pada anak dengan risiko kejang demam berulang, antikonvulsan harus diberikan
unutk managemen pendek akut.5
21

Tabel 2.2 Indikasi Pemberian Profilaksis Pada Kejang Demam


Profilaksis intermiten pada waktu Profilaksis terus menerus
demam
- Indikasi: kelainan neurologis berat, - Indikasi: kelainan neurologis
kejang berulang 4 kali atau lebih dalam nyata sebelum atau sesudah
setahun, usia <6 bulan, kejang terjadi kejang (hemiparese, paresis
pada suhu <39C, dan pada episode Tod’s, palsi serebral, retardasi
kejang sebelumnya suhu tubuh mental, hidrosefalus, dll)
meningkat dengan cepat.
- Antipiretik: parasetamol 10-15 Kejang lama > 15 menit kejang
mg/kgbb/kali, diberikan 4-5 kali/hari. fokal.
Ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali, 3-4 Dapat dipertimbangkan pada:
kali/hari. kejang berulang > 2 kali dalam 24
- Obat antikonvulsan: diazepam oral: jam. Bayi usia < 12 bulan. Kejang
0,3 mg/kg setiap 8 jam. Diazepam demam kompleks berulang > 4
rektal: 0,5 mg/kg atau 5 mg untuk kali.
BB10 kgsetiap 8 jam. Obat: phenobarbital 4-5
mg/kg/hari, atau sodium valproat.
Lama pengobatan 1 tahun bebas
kejang.

Gambar 2.3 Algoritme penanganan kejang akut pada anak.7


22

Prognosis
Prognosis kejang demam cenderung baik, tidak mengganggu kognitif,
sebagian besar tidak berkembang menjadi epilepsi. Risiko gangguan kognitif
apabila terdapat kelainan neurologi atau perkembangan dan kejang tanpa demam
setelah episode kejang demam. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang
demam juga tidak dilaporkan, perkembangan mental dan neurologis umumnya
tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kejang demam akan berulang
kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah
riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12 tahun, temperature
yang rendah saat kejang dan cepatnya kejang setelah demam. Bila seluruh faktor
di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila
tidak terdapat factor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya
10%-15%.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang


Demam. IKatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta; 2016.
2. Laino D., Mencaroni E., Esposito S. Management of Pediatric Febrile
Seizures. Int J Enviromental Res Public Heal. 2018;15(2232):1–8.
3. Smith D.K., Sadler K.P., Benedium M. Febrile Seizures : Risks , Evaluation ,
and Prognosis. Am Fam Physician. 2019;99(7):445–50.
4. Seinfeld D.S., Pellock J.M. Recent Research on Febrile Seizure: A Review. J
Neurol Neurophysiol. 2014;4(165):1–14.
5. Leung A.K., Leung T.N. Febrile Seizure: An Overview. Drugs iI Context.
2018;7(212536):1–12.
6. Mosili P., Maikoo S., Mabandla, Musa V., Qulu L. The Pathogenesis of
Fever-Induced Febrile Seizures and Its Current State. Neurosci Insights.
2020;15:1–7.
7. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Denpasar; 2011.
8. Granado-villar D., Sautu B.Cu.-D., Granados A. Acute Gastroenteritis.
Pediatr Rev. 2021;33(11):487–95.
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes). Riset Kesehatan
Dasar 2013. Jakarta; 2013.
10. Vecchio A. Lo, Dias J.A., Berkley J.A., Boey C., Cohen M.B., Cruchet S., et
al. Europe PMC Funders Group Comparison of Recommendations in Clinical
Practice Guidelines for Acute Gastroenteritis in Children. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2016;63(2):226–35.

35

Anda mungkin juga menyukai