Anda di halaman 1dari 23

5.

Penyakit Sifilis

a. definisi
Sifilis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum yang
bersifat akut dan kronis ditandai dengan lesi primer diikuti dengan erupsi sekunder pada kulit
dan selaput lendir kemudian masuk ke dalam periode laten diikuti dengan lesi pada kulit, lesi
pada tulang, saluran pencernaan, sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Menurut Centre
of Disease Conrol (CDC) pada tahun 2010 mendefinisikan sifilis sebagai penyakit sistemik
yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Berdasarkan temuan klinis, penyakit dibagi ke
dalam serangkaian kumpulan staging yang digunakan untuk membantu dalampanduan
pengobatan dan tindak lanjut.
b. Etiologi

Penyebab sifilis adalah bakteri dari famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales dan
Genus Treponema spesies Treponema pallidum. Pada Tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan
oleh Schaudinn dan Hoffman yaitu Treponema pallidum. Treponema berupa spiral halus,
panjang 5-15 mikron dan diameter 0,009-0,5 mikron, setiap lekukan gelombang berjarak 1
mikron dan rata-rata setiap bakteriterdiri dari 814 gelombang dan bergerak secara aktif, karena
spiralnya sangat halus maka hanya dapat dilihat pada mikroskop lapangan gelap dengan
menggunakan teknik immunofluoresensi. Kuman ini bersifat anaerob dan diantaranya bersifat
patogen pada manusia (CDC, 2010).

Ada tiga macam antigen Treponema pallidum yaitu protein tidak tahan panas,
polisakarida, dan antigen lipoid. Dalam keadaan anaerob pada suhu 25°C, Treponema pallidum
dapat bergerak secara aktif dan tetap hidup selama 4-7 hari dalam perbenihan cair yang
mengandung albumin, natrium karbonat, piruvat, sistein, ultrafiltrat serum sapi. Kuman ini
sukar diwarnaidengan zat warna lilin tetapi dapat mereduksi perak nitrat menjadi logam perak
yang tinggal melekat pada permukaan sel kuman. Kuman berkembang biak dengan cara
pembelahan melintang. Waktu pembelahan kuman ini kira-kira 30 jam (J Todd et.al, 2001).

c. Patogenesis dan Gejala Klinis

Treponema dapat masuk (porte d’entrée) ke tubuh calon penderita melalui selaput
lendir yang utuh atau kulit dengan lesi. Kemudian masuk ke peredaran darah dari semua organ
dalam tubuh.Penularan terjadi setelah kontak langsung dengan lesi yang mengandung
treponema.3–4 minggu terjadi infeksi, pada tempat masuk Treponema pallidum timbul lesi
primer (chancre primer) yang bertahan 1–5 minggu dan sembuh sendiri.

Tes serologik klasik positif setelah 1–4 minggu. Kurang lebih 6 minggu (2– 6 minggu)
setelah lesi primer terdapat kelainan selaput lendir dan kulit yang pada awalnya menyeluruh
kemudian mengadakan konfluensi dan berbentuk khas. Penyembuhan sendiri biasanya terjadi
dalam 2–6 minggu. Keadaan tidak timbul kelainan kulit dan selaput dengan tes serologik sifilis
positif disebut Sifilis Laten. Pada seperempat kasus sifilis akan relaps. Penderita tanpa
pengobatan akan mengalami sifilis lanjut (Sifilis III 17%, kordiovaskular 10%, Neurosifilis
8%). Banyak orang terinfeksi sifilis tidak memiliki gejala selama bertahun- tahun, namun tetap
berisiko untuk terjadinya komplikasi akhir jika tidak dirawat.

Gejala-gejala yang timbul jika terkena penyakit ini adalah benjolan-benjolan di sekitar
alat kelamin. Timbulnya benjolan sering pula disertai pusing-pusing dan rasa nyeri pada tulang,
mirip seperti gejala flu. Anehnya, gejala-gejala yang timbul ini dapat menghilang dengan
sendirinya tanpa pengobatan. Sifilis dapat dikatakan sebagai musuh dalam selimut karena
selama jangka waktu 2-3 tahun pertama tidak akan menampakkan gejala mengkhawatirkan.
Namun, setelah 5-10 tahun sifilis baru akan memperlihatkan keganasannya dengan menyerang
sistem saraf, pembuluh darah, dan jantung.
Gejala klinis penyakit sifilis menurut klasifikasi WHO sebagai berikut (CDC, 2010) :
a. Sifilis Dini
1. Sifilis Primer

Sifilis stadium I (Sifilis primer), timbul 10-90 hari setelah terjadi infeksi. Lesi pertama
berupa makula atau papula merah yang kemudian menjadi ulkus (chancre), dengan pinggir
keras, dasar ulkus biasanya merah dan tidak sakit bila dipalpasi. Sering disertai dengan
pembengkakan kelenjar getah bening regional. Lokalisasi chancre sering pada genitalia tetapi
bisa juga ditempat lain seperti bibir, ujung lidah, tonsil, jari tangan dan puting susu.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas berupa chancre serta
ditemuiTreponema pallidum pada pemeriksaan stadium langsung dengan mikroskop lapangan
gelap. Apabila pada hari pertama hasil pemeriksaan sediaan langsung negatif, pemeriksaan
harus diulangi lagi selama tiga hari berturut-turut dan bila tetap negatif, diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan serologis. Selamadalam pemeriksaan sebaiknya ulkus
dibersihkan atau dikompres dengan larutan garam faal fisiologis.

2. Sifilis Sekunder (S II)

Timbul setelah 6-8 minggu sejak S I. Pada beberapa kasus keadaan S II ini sering masih
disertai S I. Pada S II dimulai dengan gejala konsistensi seperti anoreksia, demam, athralgia,
angina. Pada stasium ini kelainan pada kulit, rambut, selaput lendir mulut dan genitalia,
kelenjar getah bening dan alat dalam. Kelainan pada kulit yang kita jumpai pada S II ini hampir
menyerupai penyakit kulit yang lain, bisa berupa roseola, papel-papel, papulo skuamosa,
papulokrustosa dan pustula. Pada SII yang dini biasanya kelainan kulit yang khas pada telapak
tangan dan kaki. Kelainan selaput lendir berupa plakula atau plak merah (mucous patch) yang
disertai perasaan sakit pada tenggorokan (angina sifilitica eritematosa).

Pada genitalia sering kita jumpai adanya papul atau plak yang datar dan basah yang
disebut kondilomata lata. Kelainan rambut berupa kerontokan rambut setempat disebut
alopesia areata. Kelainan kuku berupa onikia sifilitaka, kuku rapuh berwarna putih, suram
ataupun terjadi peradangan (paronikia sifilitaka). Kelainanmata berupa uveitis
anterior.Kelainan pada hati bisa terjadi hepatitis dengan pembesaran hati dan ikterus ringan.
Kelainan selaput otak berupa meningitis dengan keluhan sakit kepala, muntah dan pada
pemeriksaan cairan serebro spinalis didapati peninggian jumlah sel dan protein. Untuk
menegakkan diagnosis, disamping kelainan fisik juga diperlukan pemeriksaan serologis.
3. Sifilis Laten Dini

Gejala klinis tidak tampak, tetapi hasil pemeriksaan tes serologi untuk sifilis positif.Tes
yang dilanjutkan adalah VDRL dan TPHA.
b. Sifilis Lanjut (CDC, 2010)

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sikatrik bekas S I pada genitalia atau makula
atrofi bekas papul-papul S II. Pemeriksaan tes serologi sifilis positif.
1. Sifilis Tersier (S III)

Lesi pertama timbul 3-10 tahun setelah S I berupa gumma yang sirkumskrip. Gumma
sering perlunakan dan mengeluarkan cairan seropurulen dan kadang-kadang disertai jaringan
nekrotik sehingga terbentuk ulkus. Gumma ditemukan pada kulit, mukosa mulut, dan organ
dalam terutama hati. Dapat pula dijumpai kelainan pada tulang dengan keluhan, nyeri pada
malam hari. Pada pemeriksaan radiologi terlihat kelainan pada tibia, fibula, humerus, dan
tengkorak berupa periostitis atau osteitis gummatosa. Pemeriksaan TSS positif.
2. Sifilis Kardiovaskuler
Timbul 10-40 tahun setelah infeksi primer dan terdapat pada sekitar 10% kasus lanjut
dan 40% dapat bersama neurosifilis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan berdasar gejala klinis,
foto sinar X dan pemerikasaan pembantu lainnya. Sifilis kardiovaskuler dapat dibagi dalam 3
tipe: Sifilis pada jantung, pada pembuluh darah, pada pembuluh darah sedang. Sifilis pada
jantung jarang ditemukan dan dapat menimbulkan miokarditis difus atau guma pada jantung.
Pada pembuluh darah besar, lesi dapat timbul di aorta, arteri pulmonalis dan pembuluh darah
besar yang berasal dari aorta. Aneurisma umumnya terdapat pada aorta asendens, selain itu
juga pada aorta torakalis dan abdominalis. Pembuluh darah sedang, misalnya aorta serebralis
dan aorta medulla spinalis paling sering terkena. Selain itu aorta hepatitis dan aorta femoralis
juga dapat diserang (J Todd, 2001).
3. Sifilis Kongenital Dini

Gambaran klinis sifilis kongenital dini sangat bervarasi, dan menyerupai sifilis stadium
II.Karena infeksi pada janin melalui aliran darah maka tidak dijumpai kelainan sifilis primer.
Pada saat lahir bayi dapat tampak sehat dan kelainan timbul setelah beberapa minggu, tetapi
dapat pulakelainan sejak lahir. Pada bayi dapat dijumpai kelainan berupa (Saravanamurthy,
2010):
a. Pertumbuhan intrauterine yang terlambat

b. Kelainan membra mukosa: mucous patch dapat ditemukan di bibir, mulut, farings, larings
dan mukosa genital. Rinitis sifilitika (snuffles) dengan gambaran yang khas berupa cairan
hidung yang mula-mula encer kemudian menjadi bertambah pekat, purulen dan hemoragik.
c. Kelainan kulit: makula, papuloskuamosa dan bula. Bula dapat sudah ada sejak lahir, tersebar
secara simetris, terutama pada telapak tangan dan kaki, makula, papula atau papuloskuamosa
tersebar secara generalisata dan simetris.

d. Kelainan tulang: osteokondritis, periostitis dan osteitis pada tulang- tulang panjang
merupakan gambaran yang khas.
e. Kelenjar getah bening: limfadenitis generalisata.
f. Alat-alat dalam.
g. Mata : koreoretinitis, galukoma dan uveitis.
h. Susunan saraf pusat: meningitis sifilitika akuta.

4.Sifilis Kongenital Lanjut


Kelainan umumnya timbul setelah 7–20 tahun. Kelainan yang timbul :
a. Keratitis interstisial
b. Gumma
c. Neurosifilis
d. Kelainan sendi: yaitu artralgia difusa dan hidatrosis bilateral (clutton’s joint).
5. Stigmata
Lesi sifilis kongenital dapat meninggalkan sisa, berupa jaringan parut dan
deformitas yang karakteristik yaitu (Saravanamurthy, 2009) :
1. Muka: saddle nose terjadi akibat gangguan pertumbuhan septum nasi dan tulang
tulang hidung. Buldog jawakibat maksila tidak berkembang secara normal
sedangkan mandibula tidak terkena.
2. Gigi: pada gigi seri bagian tengah lebih pendek dari pada bagian tepi dan jarak
antara gigi lebih besar (Hutchinson’s teeth).
3. Regade: terdapat disekitar mulut
4. Tulang: osteoperiostitis yang menyembuh akan menimbulkan kelainan klinis dan
radiologis, pada tibia berupa sabre tibia dan pada daerah frontal berupa frontal
bossing.
5. Tuli: kerusakan N.VIII akibat labirintitis progresif
6. Mata: keratitis interstisialis

d. Klasifikasi
Pembagian penyakit Sifilis menurut WHO terdiri dari sifilis dini dan sifilis lanjut
dengan waktu diantaranya 2-4 tahun.Sifilis Dini dapat menularkan penyakit karena terdapat
Treponema pallidum pada lesi kulitnya, sedangkan Sifilis Lanjut tidak dapat menular karena
Treponema pallidum tidak ada.
Sifilis Dini dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
a. Sifilis primer (Stadium I)
b. Sifilis sekunder (Stadium II)
c. Sifilis laten dini
Sifilis Lanjut dikelompokkan menjadi 4 yaitu :
a. Sifilis laten lanjut
b. Sifilis tertier (Stadium III)
c. Sifilis kardiovaskuler
d. Neurosifilis
Secara klinis ada beberapa stadium sifilis yaitu stadium primer, sekunder,
laten dan tersier. Stadium primer dan sekunder termasuk dalam sifilis early sementara
stadium tersier termasuk dalam sifilis laten atau stadium late latent (CDC, 2010).

e. Diagnosis
Diagnosis terhadap penyakit sifilis sangat penting untuk dilakukan karena penyakit ini
merupakan penyakit yang menular.Studi menyebutkan bahwa diagnosis dini dapat membantu
pencegahan dan pengobatan suatu penyakit. Pada umumnya dilakukan dengan 3 cara yaitu:
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan mewawancarai pasien dengan menanyakan
keluhan dan gejala pasien.
b. Pemeriksaan secara Klinis

Pemeriksaan ini dilakukan dengan melihat gejala klinis yang muncul pada penderita yang
dikenal dengan pemeriksaan sindromik. Penggunaan manajemen sindromik ini terutama
dirancang untuk keterbatasan sumber daya dan telah terbukti layak diterima di beberapa
negara (Lambert et al, 2005, Brown et al, 2010).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis laboratorium penyakit sifilis pada umumnya dilakukan melalui pemeriksaan
mikroskopik langsung maupun pemeriksaan serologik.
d. Pemeriksaan Mikroskopik
Dalam sediaan segar tanpa pewarnaan, gerak kuman Treponema dapat dilihat dengan
menggunakan mikroskop lapangan gelap. Pemeriksaan Treponema secara mikroskopik dilihat
dengan teknik imunnofluoresensi dengan membuat usapan cairan jaringan atau eksudat pada
kaca objek kemudian difiksasi dan diwarnai dengan serum anti treponema yang dilabel
fluoresein sehingga pada lapangan pandang gelap akan terlihat fluoresensi yang khas dari
kuman Treponema (CDC, 2010).
e. Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan Serologis Tes darah adalah cara lain untuk menentukan apakah seseorang
memiliki sifilis. Tak lama setelah infeksi terjadi, tubuh memproduksi antibodi sifilis yang dapat
dideteksi oleh tes darah. Pemeriksaan Serologis Sifilis penting untuk diagnosis dan pengamatan
hasil pengobatan. Pemeriksaan ini dapat diklasifikasikan :
1. Tes Non Treponema : kardiolipin, lesitin dan kolesterol
2. Tes Treponema : Treponema pallidum hidup / mati
Ketepatan hasil STS dinilai berdasarkan :
1. Sensitivitas : % individu yang terinfeksi yangmemberi hasil positif
2. Spesifivitas : % individu yang tidak infeksi yang memberikan hasilnegatif
Menurut Irwin, et. al., (2003) Pemeriksaan kuantitatif Serologi Sifilis
memungkinkan dokter untuk :
1. Mengevaluasi efektivitas pengobatan
2. Menemukan potensi kambuh (relaps) sebelum menjadi menular
3. Membedakan antara kambuh dan infeksi ulang
4. Melihat adanya reaksi sebagai jenis seroresistant
5. Membedakan antara benar dan biologis positif palsu reaksi serologis.
Secara garis besar ada 2 macam Tes Serologi Sifilis yaitu :
a. Non Treponemal Test atau Reagin Test

Tes Reagin terdiri dari antibodi Ig M dan Ig A yang ditujukan terhadap beberapa
antigen yang tersebar luas dalam jaringan normal. Dapat ditemukan pada serum penderita sifilis
yang belum mendapat pengobatan , 2-3 minggu setelah infeksi. Contohnya adalah Tes
Flokulasi dan Tes Fiksasi Komplemen. Kedua tes ini dapat memberikan hasil secara kuantitatif
yaitu dengan menentukan kadar reagin dalam serum yang secara berturut-turut diencerkan 2
kali. Pengenceran tertinggi yang masih menunjukkan hasil positif merupakan titer serum yang
bersangkutan. Positif palsu dapat terjadi pada infeksi lain seperti Malaria, Lepra, Morbili,
Mononukleosis infeksiosa, vaksinasi dan penyakit kolagen SLE (Systemic Lupus
Erythematosus, Polyarteritis Nodosa).
Tes Flokulasi

Tes ini didasarkan atas kenyataan bahwa partikel antigen yang berupa lipid mengalami
flokulasi dalam beberapa menit setelah dikocok dengan reagin. Tes flokulasi yang positif dapat
menjadi negatif pada 6- 24 bulan setelah pengobatan yang efektif pada sifilis early. Contoh tes
flokulasi adalah VDRL (Venereal Disease Research Laboratory test) dan RPR (Rapid Plama
Reagin Test).
Tes Fiksasi Komplemen

Didasarkan pada kenyataan bahwa serum yang mengandung reagin dapat mengikat
komplemen bila ada cardiolipin pada antigen.Jika serum yang diperiksa bersifat
antikomplemen dapat mengakibatkan terjadinya positif palsu. Contoh Tes Wassermann,
dimana digunakan eritrosit domba sebagai indikator dan hasil tes positif jika tidak terjadi
hemolisis dan negatif bila ada hemolisis.
b. Treponemal Antibodi Test
Pada Tes digunakan antigen yang berasal dari kuman Treponemal yang masih hidup
maupun yang sudah dimatikan atau salah satu fraksi dari kuman treponema sehingga diperoleh
hasil tes yang spesifik. Yang termasuk dalam tes ini adalah Tes Fluoresensi Antibodi
Treponema (FTA Abs), TPHA (Treponemal pallidum Passive Hemagglutination Assay), Tes
Imobilisasi Treponema pallidum (TPI) dan Tes Pengikatan Komplemen Treponema pallidum
atau RPCF (Reiter Protein Complement Fixation Test).
f. Penilaian terhadap Tes Serologi

Apabila kedua tes Treponemal dan Non Treponemal memberikan hasil positif maka
dilakukan penilaian secara kuantitatif, jika hanya satu yang memberikan hasil positif maka
dilakukan pemeriksaan ulang.
Pada Tes Serologis Non Treponema:

a. Hasil Tes Serologis Non Treponema menjadi negatif (-) dalam 3-8 bulan setelah
pengobatanadekuat.
b. Penilaian : kualitatif & kuantitatif
6. Penularan

Secara umum periode masa inkubasi dari 10 hari sampai 3 (tiga) minggu dari biasanya.
WHO menyatakan ada perbedaan waktu antara sifilis dini dan sifilis laten yakni selama 2-4
tahun. Sifilis primer terjadi antara 9 sampai 10 hari setelah terinfeksi dan gejalanya timbul
berupa luka nyeri pada alat kelamin. Penularan Sifilis diketahui dapat terjadi melalui (WHO,
1999) :

a. Penularan secara langsung yaitu melalui kontak seksual, kebanyakan 95%- 98% infeksi
terjadi melalui jalur ini, penularan terjadi melalui lesi penderita sifilis.

b. Penularan tidak langsung kebanyakan terjadi pada orang yang tinggal bersama penderita
sifilis. Kontak terjadi melalui penggunaan barang pribadi secara bersama-sama seperti handuk,
selimut, pisau cukur, bak mandi, toilet yang terkontaminasi oleh kuman Treponema pallidum.

c. Melalui Kongenital yaitu penularan pada wanita hamil penderita sifilis yang tidak diobati
dimana kuman treponema dalam tubuh ibu hamil akan masuk ke dalam janin melalui sirkulasi
darah.
d. Melalui darah yaitu penularan terjadi melalui transfusi darah dari penderita sifilis
laten pada donor darah pasien, namun demikian penularan melalui darah ini sangat
jarang terjadi.

f. Pencegahan
Pada prinsipnya pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah penularan sifilis
melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Adapun bentuk pencegahan yang dapa
dilakukan sebagai berikut :
a. Pencegahan Primer
Sasaran pencegahan terutama ditujukan kepada kelompok orang yang memiliki resiko tinggi
tertular sifilis. Bentuk pencegahan primer yang dilakukan
adalah dengan prinsip ABC yaitu :
1. A (Abstinensia), tidak melakukan Pengaruh seks secara bebas dan berganti ganti pasangan.
2. B (Be Faithful), bersikap saling setia dengan pasangan dalam Pengaruh perkawinan atau
Pengaruh perkawinan atau Pengaruh jangka panjang tetap.

3. C (Condom), cegah dengan memakai kondom yang benar dan konsisten untuk orang yang
tidak mampu melaksanakan A dan B.
4. D (Drug), tidak menggunakan narkoba/napza.

5. E (Education), pemberian informasi kepada kelompok yang memiliki resiko tinggi untuk
tertular sifilis dengan memberikan leaflet,brosur, dan stiker.
b. Pencegahan Sekunder

Sasaran pencegahan terutama ditujukan pada mereka yang menderita (dianggap suspect) atau
terancam akan menderita. Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat dilakukan dengan
cara mencari penderita sifilis, meningkatkan usaha surveilans, dan melakukan pemeriksaan
berkala kepada kelompok orang yang memilik resiko untuk terinfeksi sifilis. Bentuk
pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara :
1. Melakukan cek darah untuk mengetahui infeksi sifilis.
2. Pengobatan injeksi antibiotik benzatin benzil penicilin untuk menyembuhkan infeksi sifilis.
c. Pencegahan Tersier

Sasaran tingkat ketiga ditujukan kepada penderita tertentu dengan tujuan mencegah jangan
sampai mengalami cacat/kelainan permanen, mencegah agar jangan bertambah parah/
mencegah kematian karena penyakit tersebut. Bentuk pencegahan tersier yang dapat dilakukan
adalah :

1. Melakukan pengobatan (injeksi antibiotik) yang bertujuan untuk menurunkan kadar titer
sifilis dalam darah.
2. Melakukan tes HIVuntuk mengetahui status kemungkinan terkena HIV.

Cara paling pasti untuk menghindari penularan penyakit menular seksual, termasuk
sifilis, adalah untuk menjauhkan diri dari kontak seksual atau berada dalam Pengaruh jangka
panjang yang saling monogami dengan pasangan yang telah diuji dan diketahui tidak terinfeksi.
Menghindari penggunaan alkohol dan obat juga dapat membantu mencegah penularan sifilis
karena kegiatan ini dapat menyebabkan perilaku seksual berisiko.
6. Herpes Simpleks
a. Definisi Herpes Simpleks

Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus (HSV)
tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang
sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan (Mohammed TT, et al 2008 ).
b. Epidemiologi

Herpes Simpleks Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik
pria maupun wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh herpes simpleks
virus (HSV) tipe I biasa pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasa terjadi pada
dekade II atau III dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual . Infeksi genital yang
berulang 6 kali lebih sering daripada infeksi berulang pada oral-labial; infeksi HSV tipe II pada
daerah genital lebih sering kambuh daripada infeksi HSV tipe I di daerah genital; dan infeksi
HSV tipe I pada oral-labial lebih sering kambuh daripada infeksi HSV tipe II di daerah
oral.Walaupun begitu infeksi dapat terjadi di mana saja pada kulit dan infeksi pada satu area
tidak menutup kemungkinan bahwa infeksi dapat menyebar ke bagian lain (Sahastrabuddhe, et
al, 2012).

c. Etiologi Herpes Simpleks

Herpes simpleks virus (HSV) tipe I dan II merupakan virus herpes hominis yang
merupakan virus DNA. Pembagian tipe I dan II berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada
media kultur, antigenic marker dan lokasi klinis tempat predileksi . HSV tipe I sering
dihubungkan dengan infeksi oral sedangkan HSV tipe II dihubungkan dengan infeksi genital.
Semakin seringnya infeksi HSV tipe I di daerah genital dan infeksi HSV tipe II di daerah oral
kemungkinan disebabkan oleh kontak seksual dengan cara oral-genital .Infeksi HSV tipe I pada
daerah labialis 80-90%, urogenital 10-30%, herpetic whitlow pada usia< 20 tahun, dan neonatal
30%. Sedangkan HSV tipe II di daerah labialis 10-20%, urogenital 70-90%, herpetic whitlow
pada usia> 20 tahun, dan neonatal 70%. (P.S. Saravanamurthy, et al. 2010.)

d. Patogenesis Herpes Simpleks

Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa dan bereplikasi
lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan terus bereplikasi. Dengan
penyebaran sentrifugal oleh saraf-saraf lainnya menginfeksi daerah yang lebih luas. Setelah
infeksi primer HSV masuk dalam masa laten di ganglia sensoris . Infeksi rekuren: pengaktifan
kembali HSV oleh berbagai macam rangsangan (sinar UV, demam) sehingga menyebabkan
gejala klinis .Infeksi HSV ada dua tahap: infeksi primer, virus menyerang ganglion saraf; dan
tahap kedua, dengan karakteristik kambuhnya penyakit di tempat yang sama.

Pada infeksi primer kebanyakan tanpa gejala dan hanya dapat dideteksi dengan
kenanikan titer antibody IgG. Seperti kebanyakan infeksi virus, keparahan penyakit meningkat
seiring bertambahnya usia. Virus dapat menyebar melalui udara via droplets, kontak langsung
dengan lesi, atau kontak dengan cairan yang mengandung virus seperti ludah. Gejala yang
timbul 3 sampai 7 hari atau lebih setelah kontak yaitu: kulit yang lembek disertai nyeri,
parestesia ringan, atau rasa terbakar akan timbul sebelum terjadi lesi pada daerah yang
terinfeksi. Nyeri lokal, pusing, rasa gatal, dan demam adalah karakteristik gejala prodormal.
(Notoatmodjo, Soekidjo, 2003)
Vesikel pada infeksi primer HSV lebih banyak dan menyebar dibandingkan infeksi
yang rekuren. Setiap vesikel tersebut berukuran sama besar, berlawanan dengan vesikel pada
herpes zoster yang beragam ukurannya. Mukosa membran pada daerah yang lesi mengeluarkan
eksudat yang dapat mengakibatkan terjadinya krusta. Lesi tersebut akan bertahan selama 2
sampai 4 minggu kecuali terjadi infeksi sekunder dan akan sembuh tanpa jaringan parut . Virus
akan bereplikasi di tempat infeksi primer lalu viron akan ditransportasikan oleh saraf via
retrograde axonal flow ke ganglia dorsal dan masuk masa laten di ganglion.( Hall, C John, C.
Gordon, 2000)
Trauma kulit lokal (misalnya: paparan sinar ultraviolet, abrasi) atau perubahan
sistemik (misalnya: menstruasi, kelelahan, demam) akan mengaktifasi kembali virus tersebut
yang akan berjalan turun melalui saraf perifer ke tempat yang telah terinfeksi sehingga terjadi
infeksi rekuren. Gejala berupa rasa gatal atau terbakar terjadi selama 2 sampai 24 jam dan
dalam 12 jam lesi tersebut berubah dari kulit yang eritem menjadi papula hingga terbentuk
vesikel berbentuk kubah yang kemudian akan ruptur menjadi erosi pada daerah mulut dan
vagina atau erosi yang ditutupi oleh krusta pada bibir dan kulit.

Krusta tersebut akan meluruh dalam waktu sekitar 8 hari lalu kulit tersebut akan
reepitelisasi dan berwarna merah muda . Infeksi HSV dapat menyebar ke bagian kulit mana
saja, misalnya: mengenai jari-jari tangan (herpetic whitlow) terutama pada dokter gigi dan
perawat yang melakukan kontak kulit dengan penderita. Tenaga kesehatan yang sering terpapar
dengan sekresi oral merupakan orang yang paling sering terinfeksi . Bisa juga mengenai para
pegulat (herpes gladiatorum) maupun olahraga lain yang melakukan kontak tubuh (misalnya
rugby) yang dapat menyebar ke seluruh anggota tim (Sahastrabuddhe, et al, 2012).

e. Gejala Klinis Herpes Simpleks


Infeksi herpes simpleks virus berlangsung dalam tiga tahap: infeksi primer, fase laten
dan infeksi rekuren. Pada infeksi primer herpes simpleks tipe I tempat predileksinya pada
daerah mulut dan hidung pada usia anak-anak. Sedangkan infeksi primer herpes simpleks virus
tipe II tempat predileksinya daerah pinggang ke bawah terutama daerah genital.Infeksi primer
berlangsung lebih lama dan lebih berat sekitar tiga minggu dan sering disertai gejala sistemik,
misalnya demam, malaise dan anoreksia

Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab
dan eritematosa, berisi cairan jernih dan menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan dapat
mengalami ulserasi. Pada fase laten penderita tidak ditemukan kelainan klinis, tetapi herpes
simpleks virus dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis . Pada tahap
infeksi rekuren herpes simpleks virus yang semula tidak aktif di ganglia dorsalis menjadi aktif
oleh mekanisme pacu (misalnya: demam, infeksi, hubungan seksual) lalu mencapai kulit
sehingga menimbulkan gejala klinis yang lebih ringan dan berlangsung sekitar tujuh sampai
sepuluh hari disertai gejala prodormal lokal berupa rasa panas, gatal dan nyeri. Infeksi rekuren
dapat timbul pada tempat yang sama atau tempat lain di sekitarnya . (Bonita R, et al. 2006)

f.Pemeriksaan Penunjang Herpes


Simpleks Herpes simpleks virus (HSV) dapat ditemukan pada vesikel dan dapat
dibiakkan.Pada keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi HSV.Dengan tes Tzanck
dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi
intranuklear. Tes Tzanck dapat diselesaikan dalam waktu 30 menit atau kurang.Caranya
dengan membuka vesikel dan korek dengan lembut pada dasar vesikel tersebut lalu letakkan
pada gelas obyek kemudian biarkan mongering sambil difiksasi dengan alkohol atau
dipanaskan.Selanjutnya beri pewarnaan (5% methylene blue, Wright, Giemsa) selama
beberapa detik, cuci dan keringkan, beri minyak emersi dan tutupi dengan gelas penutup.
Jika positif terinfeksi hasilnya berupa keratinosit yang multinuklear dan berukuran
besar berwarna biru (Frankel, 2006). Identifikasi virus dengan PCR, mikroskop elektron, atau
kultur . Tes serologi menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) spesifik
HSV tipe II dapat membedakan siapa yang telah terinfeksi dan siapa yang berpotensi besar
menularkan infeksi (Junior WB et al,2009 ).

f.Penatalaksanaan Herpes Simpleks


Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang mengandung
preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) atau preparat asiklovir
(zovirax).Pengobatan oral preparat asiklovir dengan dosis 5x200mg per hari selama 5 hari
mempersingkat kelangsungan penyakit dan memperpanjang masa rekuren.Pemberian
parenteral asiklovir atau preparat adenine arabinosid (vitarabin) dengan tujuan penyakit yang
lebih berat atau terjadi komplikasi pada organ dalam . Untuk terapi sistemik digunakan
asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Jika pasien mengalami rekuren enam kali dalam
setahun, pertimbangkan untuk menggunakan asiklovir 400 mg atau valasiklovir 1000 mg oral
setiap hari selama satu tahun. Untuk obat oles digunakan lotion zinc oxide atau calamine.Pada
wanita hamil diberi vaksin HSV sedangkan pada bayi yang terinfeksi HSV disuntikkan
asiklovir intra vena . (P.S. Saravanamurthy, et al. 2010.)

g. Komplikasi Herpes Simpleks

Komplikasinya yaitu: pioderma, ekzema herpetikum, herpeticwhithlow, herpes


gladiatorum (pada pegulat yang menular melalui kontak), esophagitis, infeksi neonatus,
keratitis, dan ensefalitis .Komplikasi herpes simpleks adalah herpes ensefalitis atau meningitis
tanpa ada kelainan kulit dahulu, vesikel yang menyebar luas ke seluruh tubuh, ekzema
herpeticum, jaringan parut, dan eritema multiforme.

Prognosis Herpes Simpleks Pengobatan dini dan tepat memberi prognosis yang lebih
baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekuren lebih jarang.Pada orang
dengan gangguan imunitas, infeksi dapat menyebar ke organ-organ dalam dan dapat berakibat
fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa.
Penderita HSV harus menghindari kontak dengan orang lain saat tahap akut sampai lesi sembuh
sempurna. Infeksi di daerah genital pada wanita hamil dapat menyerang bayinya, dan wanita
tersebut harus memberi tahu pada dokter kandungannya jika mereka mempunyai gejala atau
tanda infeksi HSV pada daerah genitalnya (Murtiastitik, Dwi. 2008 ).
7. kondiloma akuminata
a. Definisi

Kondiloma akuminata atau disebut juga dengan kutil kelamin merupakan IMS yang
disebabkan oleh HPV yang sering disebabkan oleh tipe 6 dan 11.
b.. Etiologi

Penyebab kondiloma akuminata adalah HPV yang merupakan virus deoxy nucleic
acid (DNA) kecil dari famili pavoviridae. HPV virion tidak mempunyai envelope, berdiameter
55 nm, mempunyai kapsid ikosahedral. Genom HPV berbentuk sirkuler dan panjangnya 8 kb.
Lebih dari 100 genotipe HPV telah diisolasi dan diketahui dan lebih dari 40 jenis HPV yang
menginfeksi genitalia.2,19 HPV tipe 6 dan 11 adalah tipe yang paling sering menyebabkan
kondiloma akuminata,namun dapat juga disebabkan oleh tipe lain.Infeksi HPV pada genital ini
terutama ditularkan melalui kontak seksual.

Penularan melalui kontak seksual non penetrasi dapat terjadi.1,20 Pada sebuah
penelitian terhadap pria dan wanita penderita kondiloma akuminata, 27% subjek memiliki
DNA HPV yang sama dengan yang terdeteksi pada sampel genital dan sampel sekaan jari.
Penularan HPV melalui darah tidak pernah dilaporkan.( Azariah S, Perkins N. 2010.)

c.Patogenesis
HPV bersifat epiteliotropik dan replikasi yang menghasilkan progeni penginfeksi
terjadi dalam epitel skuamosa yang sedang berdiferensiasi.1 HPV menginfeksi keratinosit
basal melalui mikroabrasi pada kulit atau mukosa dengan replikasi DNA virus, jumlah salinan
virus diamplifikasikan sebanyak 50-100 kopi sel tiap sel. Keratinosit merupakan target sel
pada infeksi HPV dan ekspresi gen HPV ini tergantung pada program diferensiasi keratinosit.
Saat ini masih kontroversi bagaimana mekanisme HPV masuk kedalam sel, sebagian bukti
menunjukkan bahwa virus masuk kedalam sel melalui reseptor α6-integrin dan heparin sulfat
serta laminin 5 dan kemudian terjadi internalisasi virion ke dalam sel.Amplifikasi genom awal
diikuti oleh fase pemeliharaan episomal. Sel basal yang terinfeksi kemudian memasuki bagian
suprabasal, dimana gen late (L) dan early (E) diekspresikan melimpah dan terjadi produksi
genom dalam jumlah salinan yang tinggi pada bagian diferensiasi terminal.
Perakitan virus terjadi pada lapisan atas epitel skuamosa dan virion kemudian
dilepaskan dan menginfeksi jaringan yang berdekatan. Sel-sel basal yang terinfeksi bergerak
ke arah lapisan permukaan yang akhirnya menimbulkan kutil genital. Sebagian besar infeksi
HPV sifatnya asimptomatik atau subklinik dan clearance virus selanjutnya dilakukan oleh
sistem imun. Secara klinis biasanya lesi terjadi antara 3 minggu sampai dengan 8 bulan setelah
infeksi awal.Genom HPV terdiri dari delapan open reading frame (ORFs) dan terdapat dua tipe
gen yang diekspresikan yaitu gen E dan L. Gen E mensintesis 6 protein yaitu E1, E2, E4, E5,
E6 dan E7, yang banyak terkait dalam proses replikasi virus dan onkogen. Sedangkan gen L
mensintesis 2 protein L yaitu L1 dan L2 yang terkait (Azariah S, Perkins N. 2010.)

d.Gambaran klinis
Pasien yang datang berobat biasanya mengeluhkan adanya benjolan baru pada
genitalia yang terkadang disertai rasa gatal, panas, nyeri atau perdarahan. Sebagian besar
penderita kondiloma akuminata sering tidak menyadari keberadaan lesi.Sebagian besar
kondiloma akuminata terjadi pada penis, skrotum, meatus eksterna dan daerah perianal pada
pria dan terjadi pada introitus vagina, vulva, perineum dan daerah perianal pada wanita. Kutil
kelamin ini juga dapat ditemukan pada serviks dan dinding vagina pada wanita, sedangkan
pada daerah pubis, paha atas atau lipatan krural dapat terjadi pada pria maupun wanita. Pada
sebagian besar pasien kutil kelamin dengan riwayat seks oral dapat memiliki lesi pada bibir,
lidah dan palatum (Fauziah, Fitri. 2003)
Terdapat beberapa morfologi kondiloma akuminata , antara lain:
1. Bentuk akuminata

Bentuk ini memiliki tampilan seperti bunga kol dengan permukaan yang berjonjot-
jonjot seperti jari. Bentuk ini terutama dijumpai pada daerah lipatan dan lembab.
2. Bentuk papul

Bentuk ini memiliki tampilan papul berbentuk kubah, berwarna seperti daging, dan
berukuran diameter 1-4 mm dengan permukaan yang halus dan licin, multipel dan tersebar
secara diskret. Lesi ini biasanya didapati didaerah dengan keratinisasi sempurna, seperti batang
penis, vulva bagian lateral, daerah perianal, dan perineum.
3. Bentuk keratotik

Bentuk ini memiliki tampilan seperti krusta tebal, dapat tampak seperti kutil biasa atau
keratosis seboroik.
4. Bentuk datar

Bentuk ini memiliki tampilan makula atau sedikit meninggi atau dapat tidak tampak
dengan mata telanjang (infeksi subklinis). Infeksi subklinis ini diduga terjadi oleh karena
respon imun host yang baik.

Selain bentuk klinis diatas, dijumpai pula bentuk klinis lain bentuk giant condyloma
atau Busche-Lowenstein yang merupakan lesi kondiloma jinak yang luas, agresif dan destruktif
yang sering ditemukan pada keadaan imunosupresi seperti infeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV), kehamilan, diabetes, penggunaan steroid jangka panjang (Karen C, Anthony C,
Bakhao N,et al, 2012.)

f.Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Acetowhite

Tes ini menggunakan larutan asam asetat 3-5%, yang dapat digunakan untuk
mendeteksi infeksi HPV subklinis.Dalam waktu 1-5 menit lesi akan berubah warna menjadi
putih.Derajat perbedaan pemeriksaan acetowhite terhadap berbagai tipe kondiloma beervariasi
oleh karena hidrasi dari epidermis. Pada lesi kondiloma yang lembab, dapat memudahkan
penetrasi asam asetat dan kemudian terjadi koagulasi protein (sitokeratin) dan kemudian lesi
menjadi berwarna putih. Namun penetrasi pada lesi yang lebih kering akan menurun.
Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan acetowhite rendah dalam mendeteksi infeksi subklinis.
.2. Histopatologi

Pada epitel yang terinfeksi HPV pada pemeriksaan histopatologi akan tampak
adanyaakantosis, papilomatosis, hiperkeratosis, parakeratosis dan koilositosit.Koilosit yang
merupakan sel skuamosa matur dengan daerah perinukleus besar dan bening, mungkin tersebar
diseluruh lapisan sel. Nukleus koilosit mungkin membesar dan hiperkromatik.

3. Deteksi DNA HPV

Beberapa uji yang dapat digunakan untuk mendeteksi DNA HPV seperti southern blot,
dot blot, hibridisasi insitu, polymerase chain reaction (PCR) dan hybrid capture assay. Dari
semuanya, PCR merupakan teknik yang paling sensitif untuk mendeteksi DNA HPV.2
splantasi organ.( Notoatmodjo, Soekidjo, 2003)

g.Penatalaksanaan
Pengobatan kondiloma akuminata biasanya efektif dalam memicu keadaan bebas kutil
dan mungkin mengurangi jumlah virus penginfeksi yang ada. Walaupun manifestasi klinis dan
morfologi dari infeksi HPV biasanya dapat hilang dengan pengobatan, namun tetap ada
kemungkinan bahwa virus akan tetap bertahan pada sel epitel. Lesi dapat menghilang, tetap
sama atau bertambah jumlah dan ukuran tanpa pengobatan. Sebagian besar kondiloma
akuminata diterapi oleh karena tidak menyenangkan secara estetis.Pasien dengan kondiloma
akuminata juga diperiksa dan diterapi untuk penyakit infeksi menular lainnya. Pasangan
seksual mereka juga diperiksa dan diobati untuk kutil yang tampak secara makroskopis dan
infeksi menular seksual lainnya.

Pilihan pengobatan ditentukan oleh pilihan pasien dengan pertimbangan terhadap usia
dan kemampuan pasien mematuhi petunjuk-petunjuk yang cukup rumit, lokasi, jumlah kutil
dan kemampuan ahli klinis. Pengobatan diklasifikasikan atas terapi yang dilakukan oleh pasien
sendiri dan dilakukan oleh ahli klinis. Pengobatan yang dilakukan oleh pasien sediri berupa
larutan dan gel podofilox dan krim imiquimod, sedangkan pengobatan yang dilakukan oleh
ahli klinis meliputi krioterapi, podofilin, trichloroacetic acid, eksisi, bedah listrik, injeksi
interferon dan gel 5-Flouro Uracyl (FU).( Adolf, R. et al. 2012)

8. Ulkus Mole
a. Definisi

Ulkus mole adalah penyakit infeksi pada alat kelamin yang akut, setempat, disebabkan
oleh Streptobacillus ducrey (Haemophilus ducrey) dengan gejala klinis yang khas berupa
ulkus nekrotik yang nyeri pada tempat inokulasi, dengan sering disertai pernahanan kelenjar
getah bening regional.

Nama lain dari ulkus mole ini ialah soft chancre, chancroid, dan soft sore. Ulkus mole
merupakan suatu penyakit ulkus akut yang biasanya muncul didaerah genital atau
anogenital, dan biasanya disertai dengan limfadenitis yang tampak meluas (bubo).
Haemophilus ducreyi,gram negatif fakultatif anaerobik cocobasil, memerlukan darah untuk
pertumbuhannya, menyebabkan ulkus superfisial dari ulkus mole dan itu berhubungan
dengan limfadenitis regional.Ulkus mole juga bisa menyebar ke bagian tubuh lainnya
dengan cara autoinokulasi, pertama kali dibuktikan secara ekperimental oleh Ducrey pada
tahun 1899 (,Judanarso, J. 2010)

b. Etiologi
Basil H. Ducrey berbentuk batang pendek, ramping dengan ujung membulat, tidak
bergerak dan tidak membentuk spora, Gram-negatif , anaerob fakultatif yang
membutuhkan hemin (faktor X) untuk pertumbuhan, meredukasi nitrat menjadi nitrit, dan
mempunyai DNA berisi guanosine plus-cytosine fraksi 0,38 mole. Basil sering kali
berkelompok, berderet membentuk rantai, terutama dapat di lihat pada biakan, sehingga
di sebut juga Streptobacillius. Basil ini pada lesi terbuka di daerah genital sukar ditemukan
karena tertutup oleh infeksi sekunder, lebih mudah di cari bila bahan pemeriksaan berupa
nanah yang di ambil dengan cara aspirasi abses kelenjar inguinal. Kuman inisukar dibiak
(Judanarso, J. 2010).

Haemophilus ducrey
c. Patogenesis

Adanya trauma atau abrasi, penting untuk organisme melakukan penetrasi epidermis.
Pada lesi, organisme terdapat dalam makrofag dan neutrofil atau bebas berkelompok
(mengumpul) dalam jaringan interstisial Pada infeksi , organisme memancing reaksi jaringan
lokal,mengakibatkan lesi intraepitel awal yang terdiri darilimfosit , makrofag , dan
granulosit . Juga terdapat perubahan vesikular endotel pembengkakan, proliferasi, dan
ekstravasasi eritrosit.Respon imun seluler basil kebanyakan mononuklear, dengan infiltrate
yang mengandung banyak CD4 + dan CD8 + T limfosit dan makrofag,dengan penurunan
limfosit-B pada lesi spesimen biopsy.Sitokin disekresikan oleh CD4 + limfosit-T. Limfadenitis
yang berhubungan dengan ulkus mole sebagian besar merupakan respon inflamasi piogenik,
dengan patogenesis yang tidak diketahui; dan berkurangnya organisme dalam nanah bubo juga
tidak bisa dijelaskan

Penentu virulensi organisme meliputi enzim superoksida dismutase dan hemolisin.


Enzim superoksida dismutase diperkirakan meningkatkan kelangsungan hidup dan lamanya
dari organisme patogen dalam host, sedangkan hemolisin berkontribusi dalam pembentukan
ulkus dan invasi sel epitel (Murtiastitik, Dwi. 2008).

d. Gejala Klinis
Masa inkubasi berkisar antara 1-14 hari, pada umumnya kurang dari 7 hari. Lesi
kebanyakan multipel, jarang soliter, biasanya pada daerah genital, jarang pada daerah
ekstragenital. Mula-mula kelainan kulit berupa papul, dalam 24-48 jam papula akan
berubah menjadi pustul, kemudian mengalami erosi dan ulserasi (,Judanarso, J. 2010).
Ulkus berukuran kecil, lunak pada perabaan, tidak terdapat indurasi, berbetuk
cawan, pinggir tidak rata, sering bergaung dan dikelilingi eritematosa. Ulkus sering
tertutup jaringan nekrotik, dasar ulkus berupa jaringan granulasi yang mudah berdarah,
dan pada perabaan terasa nyeri. Tempat predileksi pada laki-laki ialah permukaan
mukosa preputium, glans penis,sulkus koronarius, frenulum penis, dan batang penis. Dapat
juga timbul lesi dalam uretra, skrotum, perineum, atau anus. Pada wanita ialah labia,
klitoris, fourchette, vestibuli, anus, dan serviks (Judanarso, J. 2010)

Lesi ekstragenital terdapat pada lidah, jari tangan, bibir, payudara, umbilikus dan
konjungtiva. Gejala sistemik jarang timbul, kalau ada hanya demam sedikit atau malaise
ringan. Karena adanya inokulasi sendiri, dengan cepat dapat timbul lesi yang multiple, dengan
cara ini, dapat timbul lesi didaerah pubis, abdomen, dan paha (Judanarso, J. 2010 ).
a.Jenis-jenis bentuk klinis :
1)Ulkus mole folikularis

Timbul pada folikel rambut, pada permukaannya menyerupai folikulitis yang


disebabkan oleh kokus, tetapi cepat menjadi ulkus. Lesi seperti ini dapat timbul pada vulva dan
pada daerah berambut di sekitar genitalia dan sangat superfisial.
2)Dwarf chancroid

Lesi sangat kecil dan menyerupai erosi pada herpes genitalis, tetapi dasarnya tidak
teratur dan tepinya berdarah.
3)Transient chancroid (chancre mou valant)

Lesi kecil, sembuh dalam beberapa hari, tetapi 2-3 minggu kemudian diikuti timbulnya
bubo yang meradang pada daerah inguinal. Gambaran ini menyerupai limfogranuloma
venereum.
4)Papular chancroid(ulkus mole elevatum)

Dimulai dengan ulkus yang kemudian menimbul terutama pada tepinya. Gambarannya
menyerupai kondiloma lata pada sifilis stadium II.
5)Giant chancroid

Mula-mula timbul ulkus kecil, tetapi meluas dengan cepat dan menutupi satu daerah.
Sering mengikuti abses inguinal yang pecah, dan dapat meluas ke daerah paha dengan cara
autoinokulasi.
6)Phagedenic chancroid

Lesi kecil menjadi besar dan destruktif dengan jaringan nekrotikyang luas. Genitalia
eksterna dapat hancur, pada beberapa kasus disertai infeksi organisme Vincent.
7)Tipe serpiginosa

Lesi membesar karena perluasan atau autoinokulasi dari lesi pertama ke daerah lipat paha atau
paha. Ulkus jarang menyembuh, dapat menetap berbulan-bulan-bertahun-tahun

e. Diagnosis
Berdasarkan gambaran klinis dapat disingkirkan penyakit kelamin yang lain. Sebagai
pendukung diagnosis ialah :
a.Pemeriksaan sediaan hapus

Bahan pemeriksaan diambil dari tepi ulkus yang bergaung, dibuat hapusan pada gelas
alas, kemudian dibuat pewarnaan Gram, Unna-Pappenhein, Wright atau Giemsa. Basil
biasanya didapatkan dalam kelompok kecil atau rantai yang paralel dari 2 atau 3 organisme
yang tersebar sepanjang untaian mukos. Gambar ini diungkapkan sebagau school of fish atau
railroadtrack. Organisme dapat terlihat pada kira-kira 50% kasus .
b.Biakan kuman

Bahan diambil dari pus bubo atau lesi kemudian ditanam pada pelat agar khusus yang
ditambahkan darah kelinci yang sudah didefibrinasi. Inkubasi memerlukan waktu 48 jam.
Medium yang mengandung gonococcal medium base, ditambah dengan hemoglobin 1%, Iso-
Witalex 1%, dan vankomisin 3 mcg/ml akan mengurangi kontaminasi yang timbul (Judanarso,
J. 2010 ).
c.Teknik Imunofloresens
untuk menemukan antibodi
d.Biopsi
Pada gambaran histopatologik ditemukan:
1)Daerah superfisial pada dasar ulkus : neutrofil, fibrin, eritrosit, danjaringan nekrotik.
2)Daerah tengah : pembuluh-pembuluh darah kapiler baru dengan proliferasi sel-sel endotel
sehingga lumen tersumbat dan menimbulkan trombosis. Terjadi perubahan degeneratif pada
dinding pembuluh-pembuluh darah.
3)Daerah sebelah dalam : infiltrat padat terdiri atas sel-sel plasma dan sel-sel limfoid .

f.Komplikasi
a.Mixed chancre

Kalau disertai sifilis stadium I. Mula-mula lesi khas ulkus mole, tetapi setelah 15-20
hari menjadi manifes, terutama jika diobati dengan sulfonamida.
b.Abses kelenjar inguinal

Bila tidak diobati dapat memecah menimbulkan sinus yang kemudian menjadi ulkus.
Ulkus kemudian menbesar membentuk giant chancroid.
c.Fimosis/parafimosis
Kalau lesi mengenai preputium, akibat sikatriks yang berbentuk pada lesi .
d.Fistula uretra

Timbulnya karena ulkus pada glans penis yang bersifat destruktif. Dapat
mengakibatkan nyeri pada waktu buang air kecil dan pada keadaan lanjut dapat menjadi
striktura uretra.
e.Infeksi campuran

Dapat disertai infeksi organisme Vincent sehingga ulkus makin parah dan bersifat
destruktif. Disamping itu juga dapat disertai penyakit limfogranuloma venereum atau
granuloma inguinale .

g. Pengobatan
a.Sistemik

Central of disease control(1998) merekomendasikan pengobatan chancroid pengobatan


chancroid dengan (Murtiastitik, Dwi. 2008):
1)Azythromycin 1 g PO dosis tunggal atau
2)Seftriakson 250 mg IM dosis tunggal atau
3)Siprofloksasin dosis 500 mg PO 2x sehari selama 3 hari atau
4)Eritromisin 500 mg 4x sehari selama 7 hari
Selain obat-obatan tersebut diatas yang juga efektif adalah:
1)Sulfonamida
Tablet kotrimoksazol, ialah kombinasi sulfametoksazol 400 mg dengan trimetroprim 80 mg,
diberikan dengan dosis 2 x 2 tablet selama 10 hari.
2)Streptomisin

Efektif tanpa mengganggu diagnosa sifilis. Disuntikkan tiap hari 1 gram selama 7-14 hari,
dapat dikombinasikan dengan sulfonamida. Kombinasi perlu kalau terdapat bubo, atau kalau
lesi genitalia tidak sembuh hanya dengan pemberian sulfonamida.
3)Penisilin
Sedikit efektifterutama diberikan kalau terdapat organismeVincent .
4)Tetrasiklin & oksitetrasiklin

Efektif kalau diberikan dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 10-20 hari, antibiotik golongan
ini menutupi gejala-gejala sifilis stadium I.
5)Kanamisin
Disuntikkan i.m 2 x 500 mg selama 6-14 hari. Obat ini tidak mempunyai efek terhadap
T.pallidum.
6)Eritromisin
Diberikan 4 x 500 mg sehari, selama seminggu.
7)Kuinolon
Ofloksasin : cukup dosis tunggal 400 mg.
b.) .Lokal

Jangan diberikan antiseptik topikal karena akan mengganggu pemeriksaan mikroskop lapangan
gelap untuk kemungkinan diagnosis sifilis stadium I. Lesi dini yang kecil dapat sembuh setelah
diberi NaCl fisiologik
h. Prognosis

Penyakit tidak menyebar secara sistemik. Tanpa pengobatan, ulkus genital dan abses inguinal
dilaporkan kadang-kadang menetap beberapa tahun. Infeksi tidak menimbulkan imunitas dan
dapat terjadi infeksi ulang. Penderita diinstruksikan sebaiknya memakai kondom untuk
menghindari infeksi ulang(Amiruddin, Dali. 2004 )

REFERENSI
1.Junior WB, Chiacchio NG, Romiti R, et al. A Comparative Study of Single-Dose Treatment
of Chancroid Using Thiamphenicol versus Azithromycin. BJID 2009; 13(3): 218-220.
2.Judanarso, J. 2010. Ulkus Mole. Dalam Adhi Djuanda (Ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi ke-5. Jakarta : FKUI. Hal: 418-422

3.Mohammed TT, Olumide YM. Chancroid and Human Immunodeficiency Virus –a review.
International Journal of Dermatology 2008; 47: 1-8.

4.Kemp M, Christensen JJ, Lautenschlager S, et al. European guideline for the management of
chancroid. International Journal of STD and AIDS 2011; 22: 241-244.
5.Amiruddin, Dali. 2004. Penyakit Menular seksual. Makassar: Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. Hal: 111-122.

6.Murtiastitik, Dwi. 2008. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya : Airlangga
University Press.

7. Adolf, R. et al. 2012. Prevalence and Risk factors associated with Syphilis in a cohort of
HIV positive individuals in Brazil. AIDS Care Vol 24. No.2. pp. 252-258.

8. Azariah S, Perkins N. 2010. Prevalence of sexually transmitted infections in men who have
sex with men presenting to Auckland Sexual Health Service. New Zealand Medical Journal,
123:46–54.
9. Bonita R, et al. 2006. Basic Epidemiology (2nd edition), World Health Organization, India.

10. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Meeting summary: Consultation
on serosorting practices among men who have sex with men.
http://www.cdc.gov/hiv/topics/research/resources/other/serosorting.htm.

11. Fauziah, Fitri. 2003. Bahan Ajar Mata Kuliah Psikologi Abnormal (Klinis Dewasa).
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Depok.

12. Hall, C John, C. Gordon, 2000. Sauer's Manual of Skin Diseases 8th edition, 2000.
Lippincott Williams & Wilkins Publishers.

13.Harper KN, Ocampo PS, Steiner BM, George RW, et al. 2008. On the Origin of the
Treponematoses: A Phylogenetic Approach. PloS Negl Trop Dis 2008 , e148. doi:10.1371.

14. Hogan, Garth, 2011. An electron photomicrograph of two spiral-shaped Treponema


pallidum bacteria, http://www.microbeworld.org submitted March 03, 2011, source:
http://phil.cdc.gov

15.Irwin M, Freedberg, Z.Arthur, et al, 2003. Fitzpatrick's Dermatology In General


Medicine,McGraw-Hill.
16.J Todd, K Munguti, H Grosskurth et al, 2001. Risk factors for active syphilis and TPHA
seroconversion in a rural African population, Sex Transm Infect 2001;77:37-45:
doi:10.1136/sti.77.1.37.

18. Karen C, Anthony C, Bakhao N,et al, 2012. Risk Factors for Syphilis infection in MSM :
Resultofcase-controlstudyinLille,France, STIBMJ;050523).
19. Kementerian Kesehatan RI, 2007. Laporan Survei Biologis Perilaku Terpadu 2007
(Integrated Biological and Behavioral Surveillance), Direktorat Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Jakarta.

20.Lambert N.L et al. 2005. Community based syphilis screening: feasibility, acceptability,
and effectiveness in case finding. Sexually Transmitted Infections, 81:213–216.
21.Notoatmodjo, Soekidjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta.
22. P.S. Saravanamurthy, et al. 2010. A Cross-sectional study of sexual practices, Sexually
Transmitted Infections and Human Immunodeficiency Virus among male to female
transgender people, American Medical Journal 1 (2):87-93.

23.Sahastrabuddhe, et al, 2012. Sexually transmitted infections and Risk behaviors among
persons (Hijras) of Pune, India, Journal of Acquired Immune Deficiency

24. Thomas, Sarah, 2011.Syphilis Co-Infection in Maricopa County, University of Arizona


Collegeof Medicine Phoenix.

25. World Health Organization, 2010.Regional Office for the Western Pacific. STI/HIV status
and trends of STI,HIV and AIDS at the end of the Millennium, WHO/WPO.

Anda mungkin juga menyukai