DEMAM TIFOID
Oleh :
dr. Siti Munawaroh
Pembimbing :
dr. Rendy Revandana B SpPD
Pendamping :
dr. Endang Sulastri
Pendamping Mengetahui,
2 18
3 19
4 20
5 21
6 22
7 23
8 24
9 25
10 26
11 27
12 28
13 29
14 30
15 31
16 32
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk,
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan
insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum
memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang
memenuhi syarat kesehatan lingkungan.
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1.08% dari
seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demam
tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit mortalitas tertinggi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi. Bakteri ini merupakan gram
negatif, berflagela, bersifat anaerobik fakultatif, tidak berspora, berkemampuan
untuk invasi, hidup dan berkembang biak di dalam sel kariotik. Di samping itu,
bakteri ini mempunyai beberapa antigen, yaitu: antigen O, antigen H, antigen Vi
dan Outer Membrane Protein terutama porin OMP. Antigen O merupakan somatik
yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari
lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam,
alkohol dan asam yang encer. 1,2
2. Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung. Bila respon imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik makan kuman akan menembus sel-sel
epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
meseterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit
dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
3. Diagnosis
3.1 Manifestasi Klinis
Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid.
Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya adalah10:
a. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama demam tifoid. Pada awitan awal,
demam dirasakan samar kemudian suhu tubuh sering turun naik. Pagi
lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi (demam
intermittent). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang
disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering
dirasakan di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia,
mual dan muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin tinggi,
terkadang berlangsung terus-menerus (kontinyuu). Bila pasien membaik
maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal
Kembali pada akhir minggu ke 3. Perlu diperhatikan terhdapa laporan,
bahwa demam yang khas tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe demam
menjadi tidak beraturan. Hal ini kemungkinan terjadi karena intervensi
dari tatalaksana atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada balita,
demam tinggi dapat menimbulkan kejang.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa
penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan
kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, tak jarang penderita sampai
somnolen dan koma atau dengan gejala psikosis (Organic
BrainSyndrome). Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih
menonjol.
d. Hepatosplenomegali
Hati atau limpa ditemukan sering membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri
tekan.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang
bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai
hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan
dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat.
pada organisme lain. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi
akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
memdeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit Hasil positif pada
tes anti S. typhi IgM menunjukkan terjadinya infeksi salmonella,
sedangkan infeksi yang disebabkan oleh serotipe lain seperti S. paratyphi
A, akan memberikan hasil negatif.4
Uji tubex merupakan uji yang subjektif dan semi kuantitatif dengan
cara membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan tubex
color scale yang tersedia. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang
interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Interpretasi hasil uji tubex 5,6
Skor Nilai Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
pengujian, apabila masih meragukan lakukan
pengulangan beberapa hari kemudian
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
4.3.1 Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama
untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah
4x500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena.
Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan
intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari
pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-
rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat
terjadi rata-rata setelah hari ke-5.
4.3.2 Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol, akan tetap komplikasi hematologi seperti
kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah
4x500mh, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
4.3.3 Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dnegan kloramfenikol.
Dosis untuk orang dewsa adalah 2x2 tablet (1 tabelet mengandung
sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama
2 minggu.
4.3.8 Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau
demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3x5mg.
4.3.9 Pengobatan Demam Tifoid Pada Wanita Hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan
karena dikhawatirkan dapat terjadi partus prematur, kematian fetus
intrauterin dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak
dianjurkan digunakan pada trimester pertama kehamilan karena
kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum
dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat
digunakan. Demikian juga obat golongan fluorokuinolon maupun
kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk mengobat demam
tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin dan
seftriakson.
Penyebab KID pada demam tifoid belumlah jelas. Hal-hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik,
koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin , prostaglandin dan histamin
menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi; baik KID
kompensata maupun dekompensata.
5.2.4 Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan
miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa
keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok
kardiogenik. Sedangkan pericarditis sangat jarang terjadi. Perubahan
elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis
yang buruk. Kelainan ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman
S. typhi dan miokarditis sering sebagai penyebab kematian. Biasanya
dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan fulminan.
Daerah endemic
o Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standar prosedur Kesehatan (perebusan>57oC, iodisasi, dan
klorinisasi)
o Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui
pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/buah)
o Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung.
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. D
Usia : 26 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Belum Bekerja
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : S1
II. ANAMNESIS
Selama ini pasien sering makan telur setengah matang (+), riwayat jajan
sembarangan (-).
RIWAYAT PENYAKIT TERDAHULU
Pasien memiliki riwayat rawat inap karena penyakit lambung pada februari
2021, dan beberapa kali tahun lalu. Penyakit diabetes melitus dan hipertensi
disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi obat maupun makanan.
RIWAYAT PENGOBATAN
Kepala: Normocephali
Wajah : Penampakan muka normal, hemi paresis (-), mulut sianotik (-)
THT :
Mulut: Gusi berdarah(-), ulkus lidah(-), papil lidah atrofi(-), Typhoid tongue (+)
Cor :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Auskultasi : S1 S2 normal, regular, murmur tidak ada
Pulmo:
Palpasi: Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+) pada daerah epigastric dan
suprapubik
MCV 88 Fl 80-94
MCH 31 pg 28-32
MCHC 35 % 32-36
Eos 2 1-3
Bas 1 2-6
Stab 0 2-6
Segment 73 50-70
Lymphocyte 20 20-40
Monocyte 4 2-8
DENGUE IGG/IGM
Rujukan
Kejernihan Agak Jernih
Keruh
Warna Kuning Kuning
Muda
Berat Jenis 1.015
Ph 5 6-7
Protein -
Glukosa -
Ketone (+)2
Urobilinogen -
Bilirubin -
Nitrite -
Sedimen Kristal -
Bakteri (+)
Lain-Lain -
V. DIAGNOSIS
- Demam Tifoid
- ISK
VI. PLANNING
TERAPI
• MRS
• IVFD PZ : Futrolit (2:1)
• Inj Ciprofloxacin 2x400mg
• Inj. Omz 2x1
• Inj. Ondansetron 3x4mg
• Erdomax syr 3x1
• PCT 3x1
• Tremenza 3x1
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
8 September 2021
S: O: A: P:
Pasien mengatakan St. Present : - Typhoid fever -IVFD
keluhan nyeri TD : 102/66 - ISK PZ:Futrolit:D10%
perut sudah mmHg (1:1:1) 20 tpm
berkurang, namun RR : 20 kali/ menit -Inj. Ciprofloxacin
masih terasa lemas N : 88 kali/menit, 2x400mg
dan tidak nafsu regular -Inj. OMZ 2x1
makan. BAB (-) T : 36,7 ºC -Inj. Ondansetron
Pasien masih St. General : 3x4mg
merasakan demam Mata : Anemis -/-, -Erdomax Syr 3x1
di sore hari. edema palpebral -PCT 3x1
-/-, ikterik -/- -Tremenza 3x1 tab
Mulut : sianosis – -Disflatyl 2x1
Leher : Pemb. -Tracetat 2x1
KGB (-)
Thorax :
pergerakan
simetris
Cor : Iktus kordis
tidak tampak dan
tidak teraba.
S1S2 tunggal,
regular, murmur -.
Pulmo : Ves ++
+/+++; rh-/-; wh
-/-
Abdomen : BU +
Normal. Nyeri
Tekan (+)
suprapubik dan
epigastrik
Ekstremitas :
Hangat ++/++,
edema(-), CRT < 2
detik.
9 September 2021
S: O: A: P:
Pasien mengatakan St. Present : - Typhoid fever -IVFD
tidak ada keluhan TD : 102/66 - ISK PZ:Futrolit:D10%
mmHg (1:1:1) 20 tpm
RR : 20 kali/ menit -Inj. Ciprofloxacin
N : 88 kali/menit, 2x400mg
regular -Inj. OMZ 2x1
T : 36,7 ºC -Inj. Ondansetron
St. General : 3x4mg
Mata : Anemis -/-, -Erdomax Syr 3x1
edema palpebral -PCT 3x1
-/-, ikterik -/- -Disflatyl 2x1
Mulut : sianosis – -Tracetat 2x1
Leher : Pemb. -Lactulosa 3x1
KGB (-)
Thorax :
pergerakan
simetris
Cor : Iktus kordis
tidak tampak dan
tidak teraba.
S1S2 tunggal,
regular, murmur -.
Pulmo : Ves ++
+/+++; rh-/-; wh
-/-
Abdomen : BU +
Normal. Nyeri
Tekan (-)
Ekstremitas :
Hangat ++/++,
edema(-), CRT < 2
detik.
10 September 2021
S: O: A: P:
Pasien mengatakan St. Present : - Typhoid fever -IVFD
tidak ada keluhan. TD : 102/66 - ISK PZ:Futrolit:D10%
mmHg (1:1:1) 20 tpm
RR : 20 kali/ menit -Inj. Ciprofloxacin
N : 88 kali/menit, 2x400mg
regular -Inj. OMZ 2x1
T : 36,7 ºC -Inj. Ondansetron
St. General : 3x4mg
Mata : Anemis -/-, -Erdomax Syr 3x1
edema palpebral -PCT 3x1
-/-, ikterik -/- -Disflatyl 2x1
Mulut : sianosis – -Tracetat 2x1
Leher : Pemb. -Lactulosa 3x1
KGB (-)
Thorax :
pergerakan
simetris
Cor : Iktus kordis
tidak tampak dan
tidak teraba.
S1S2 tunggal,
regular, murmur -.
Pulmo : Ves ++
+/+++; rh-/-; wh
-/-
Abdomen : BU +
Normal. Nyeri
Tekan (-)
Ekstremitas :
Hangat ++/++,
edema(-), CRT < 2
detik.
BAB IV
PEMBAHASAN
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S.
paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik makan kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria dimana kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening meseterika. Lalu, melalui duktus
torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu ,
berkembang biak dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke
dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi
kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman
Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah penyakit endemik di Indonesia yang disebabkan oleh
Salmonella typhi, bakteri gram negative, berflagella, bersifat anaerobic fakultatif,
tidak berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan berkembang biak di dalam sel
kariotik. Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan demam sejak 10 hari lalu,
cenderung sekitar siang dan sore hari, disertai nyeri kepala tanpa menggigil. Pasien
juga mengeluhkan mual sejak 2 hari terakhir tanpa muntah dan ditemukan nafsu
makan menurun . Didapatkan kesulitan BAB pada pasien, dengan BAB terakhir 3
hari yang lalu, selama ini pasien BAB tidak rutin setiap hari. Tidak ditemukan
adanya BAB cair , berdarah maupun kehitaman, BAK tidak ada keluhan. Pasien
juga mengeluhkan adanya batuk dan pilek sejak 2 hari terakhir. Kontak erat dengan
pasien konfirmasi COVID-19 tidak ditemukan. Pada pemeriksaan fisik, gangguan
pada system pencernaan didukung oleh adanya nyeri tekan pada palpasi abdomen.
Penegakan demam tifoid diperkuat dengan adanya hasil Tubex TF dengan skor 6
yang mengindikasikan kuat adanya infeksi Salmonella typhi. Disamping adanya
demam tifoid, pada pasien didapatkan adanya indikasi infeksi saluran kemih yang
ditandai dengan ditemukannya sedimen eritrosit, leukosit dan epitel pada
pemeriksaan urin lengkap.