Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Tifus abdominalis atau demam tifoid merupakan infeksi demam sistemik

akut. Demam ini disebabkan oleh bakteri patogen enterik Salmonellae typhi yang

secara morfologi identik dengan Escherichia coli. Sinonim demam tifoid dan

demam paratifoid : Typhoid fever dan paratyphoid fever, Enteric fever, Typhus

dan paratyphus abdominalis. Walaupun patogen kuat, kuman ini tidak bersifat

piogenik, namun bersifat menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan

eosinofil(Behrman, RE; Vaughan, VC,2002).

Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang

sehat yang dapat menjadi pembawa kuman. Infeksi umumnya disebarkan melalui

jalur fekal-oral dan berhubungan dengan higienis dan sanitasi yang buruk yaitu

melalui makanan yang terkontaminasi kuman yang berasal dari tinja, kemih atau

pus yang positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya karena bakteri dapat

berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi melalui air atau

kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus diusahakan melalui perbaikan

sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan, proyek MCK (Mandi, Cuci, Kakus), dan

pendidikan kesehatan di puskesmas dan posyandu(.Soedarmo, Sumarmo S.,

dkk.2008)

Oleh karena penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonella

yang beradaptasi pada manusia maka sebagian besar kasus dapat ditelusuri pada

karier manusia. Penyebab yang terdekat kemungkinan adalah air (jalur yang

paling sering) atau makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia. Carrier

1
adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi

Salmonella typhi dalam feses dan urine selama > 1 tahun. Karier menahun

umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih sering pada perempuan, dan sering

menderita batu empedu. S. typhi sering berdiam di batu empedu, bahkan di bagian

dalam batu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan diekskresikan ke

feses, sehingga mengkontaminasi air atau makanan(Richard E dkk.2000)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan rendah,

cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi

pada daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin. Sumber penularan

penyakit demam tifoid adalah penderita yang aktif, penderita dalam fase

konvalesen, dan kronik karier. Demam Tifoid juga dikenali dengan nama lain

yaitu Typhus Abdominalis, Typhoid fever atau Entericfever. Demam tifoid adalah

penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteritik demam, sakit kepala

dan nyeri perut berlangsung lebih kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-

gejala perut, pembesaran limpa dan erupsi kulit. Demam tifoid(termasuk para-

tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, S paratyphi B dan

S paratyphi C(Behrman, RE; Vaughan, VC,2002).

2.2 Etiologi

Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella

berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu

motil dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih

bentuk antigen H. S. typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica,

subspesies enterica. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan yang

3
membantu mengkarakteristikan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O

somatik yang terlibat dalam serogrouping (S. typhi termasuk serogrouping D) dan

antigen yang satu lagi adalah antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan

dengan resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi

terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang lain. / melindungi O antigen

terhadap fagositosis. Etiologi lainnya : Salmonella paratyphi A, B, C(Alan R.

Tumbelaka,2003).

2.3 Patogenesis

Setelah tertelan inokulum yang sesuai, S. typhi melintasi sawar lambung

mencapai usus halus. Infeksi manusia secara eksperimental dengan strain Quailes

telah menyatakan bahwa 103 kuman tidak dapat menyebabkan penyakit

simtomatik tetapi 105 bakteri dapat menyebabkan gejala pada 27 persen relawan.

Dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan penyakit yang lebih sering, terutama

jika kuman menghasilkan antigen polisakarida . Kuman ditelan oleh fagosit

mononuklear, lalu bertahan hidup dan memperbanyak diri dalam sel sehingga

menimbulkan penyakit (Prasetyo dkk,2010).

Masa inkubasi bervariasi dan tergantung pada ukuran inokulum dan keadaan

pertahanan pejamu. Variasi masa inkubasi antara 3 sampai 60 hari telah

dilaporkan. Ketiadaan antibodi bakterisid memungkinkan kuman untuk

difagositosis dalam keadaan hidup. Daya tahan dalam sel tergantung pada faktor

mikroba yang menunjang resistensi terhadap pembinasaan dan pada imunitas yang

diaktifkan oleh sel limfosit T pejamu, yang berada di bawah kendali genetik(Alan

R. Tumbelaka,2003).

4
.

Ketergantungan dosis pada penyakit klinis tampaknya diatur oleh

keseimbangan antara perbanyakan diri bakteri dan pertahanan ekstraselular dan

intraseluar penjamu yang didapat. Jika jumlah bakteri intraselular melampaui

ambang batas kritis, bakteremia sekunder dapat terjadi dan menimbulkan invasi

pada kelenjar empedu dan Plaque Peyeri pada usus halus. Bakteremia yang

menetap menjadi penyebab demam yang menetap pada tifoid klinis, sementara

reaksi radang terhadap invasi jaringan menentukan pola pengungkapan klinis

(kolesistitis, perdarahan usus atau perforasi). Dengan invasi kelenjar empedu dan

Plaque Peyeri, kuman kembali masuk ke dalam lumen usus, dan dapat ditemukan

pada biakan feses pada awal minggu kedua penyakit klinis(Richard E dkk.2000)

Pertumbuhan dalam ginjal menyebabkan biakan urin positif, tetapi dalam

jumlah yang jauh lebih kecil daripada biakan darah yang positif. Endotoksin

liposakarida pada S. typhi dapat menyebabkan demam, leukopenia dan gejala

sistemik lain, tetapi kejadian gejala ini pada individu yang dibuat toleran terhadap

endotoksin menunjang peranan untuk faktor lain, seperti sitokin yang dilepaskan

dari fagosit mononuklear yang terinfeksi, yang dapat memperantarai peradangan

(Prasetyo dkk,2010).

2.3.1. Bakteriemi I (1-7 hari)

Melalui mulut makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (10 6-109)

masuk ke dalam tubuh manusia  melalui esofagus, kuman masuk ke dalam

lambung dan sebagian lagi kuman masuk ke dalam usus halus  Di usus halus,

kuman mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang sudah

5
mengalami hipertrofi (ditempat ini sering terjadi perdarahan dan perforasi) 

Kuman menembus lamina propia, kemudian masuk ke dalam aliran limfe dan

mencapai kelenjar mesenterial yang mengalami hipertrofi  melalui ductus

thoracicus, sebagian kuman masuk ke dalam aliran darah yang menimbulkan

bakteriemi I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus, dan masuk kembali ke

dalam hati (Pawitro UE,dkk.2002).

2.3.2. Bakteriemi II (6 hari – 6 minggu)

Melalui sirkulasi portal dan usus halus, sebagian lagi masuk ke dalam hati 

kuman ditangkap dan bersarang di bagian RES : plaque peyeri di ileum

terminalis, hati, lien, bagian lain sistem RES  kemudian masuk kembali ke

aliran darah  menimbulkan bakteriemia II  dan menyebar ke seluruh tubuh.

Penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid

adalah disebabkan oleh endotoksin Salmonella typhi yang berperan pada

patogenesis demam tifoid karena Salmonella typhi membantu terjadinya proses

inflamasi lokal pada jaringan tempat Salmonella typhi berkembang biak dan

endotoksin Salmonella typhi merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh

leukosit pada jaringan yang meradang(Pawitro UE,dkk.2002).

2.4 Patofisiogi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti

organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri

bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus

6
mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri

bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang

meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas

membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal (Pawitro UE,dkk.2002).

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh

manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak

yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak

dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan

dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja

meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria,

post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton

Pump Inhibitor(Pawitro UE,dkk.2002).

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan

ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman

akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang

melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke

lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-

sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam

makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika(Pawitro UE,dkk.2002).

7
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini

masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya

asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama

hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan

kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya

kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua

dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik(Pawitro UE,dkk.2002).

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu,

berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara

“intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama

feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.

Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi

dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi

beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan

gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit

kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental

dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini

biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari

berturut- turut(Soedarmo, Sumarmo S., dkk 2008)..

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hiperplasi jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi

hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).

8
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar

peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat

akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus(Soedarmo, Sumarmo S.,

dkk 2008)..

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke

lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin

dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya

komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan

gangguan organ lainnya(Soedarmo, Sumarmo S., dkk 2008)..

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal

tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi

penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella

typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan

kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.

Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis

seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi

sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem

imunologis (Soedarmo, Sumarmo S., dkk 2008).

9
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid

2.5 Manifestasi klinik

10
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi

bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala

atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada

anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital

ataupun tifoid pada bayi(Prasetyo dkk,2010).

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi

terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi

mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status

gizi serta status imunologis penderita(Prasetyo dkk,2010).

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis

besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

 Demam satu minggu atau lebih.

 Gangguan saluran pencernaan

 Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi

akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,

konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.

Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam

remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai

ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat(Prasetyo dkk,2010).

11
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada

orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise

pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula

bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital(Prasetyo dkk,2010).

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan

tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian

belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila

penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih

prominen(Prasetyo dkk,2010).

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal

minggu kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan

diameter 2 – 4 mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan.

Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung

kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-

kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu

pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran

limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak(Prasetyo

dkk,2010).

Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran

1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan

12
punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak

Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3

hari(Prasetyo dkk,2010).

2.6 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

 Demam yang tinggi.

 Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5

mm terdapat pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose

spot tersebut agak meninggi dan dapat menghilang jika ditekan.

Kelainan yang berjumlah kurang lebih 20 buah ini hanya tampak

selama dua sampai empat hari pada minggu pertama. Bintik merah

muda juga dapat berubah menjadi perdarahan kecil yang tidak mudah

menghilang yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap (jarang

ditemukan pada orang Indonesia).

 Lidah kotor

 Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.

 Bradikardia relatif.

 Hepatosplenomegali.

13
2.7 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :


2.7.1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang

dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,

yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus.

Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi

leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas

normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain.

Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis

relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung

pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan

kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak

memerlukan penanganan khusus (Soedarmo, Sumarmo S., dkk,2008).

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid

sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.

2.7.2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi

maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji

serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan(Richard E.dkk,2000).

14
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai

penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan

adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen

spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang

diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang

digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit) (Richard

E.dkk,2000).

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi

terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.

Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan

antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan

pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama.

Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam

serum(Alan R. Tumbelaka,2003).

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin

dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;

1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2. Aglutinin H (flagel kuman)

15
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan

untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar

kemungkinan terinfeksi kuman ini(Alan R. Tumbelaka,2003).

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.

Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa

tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah

sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin

H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat

dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap

S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai

untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan

pengidap S.typhi. (Soedarmo, Sumarmo S., dkk,2008).

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai

uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)

menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus

benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan.

Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200

atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid

dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau

infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S.

typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang

16
dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang

terbukti biakan darah positif(Soedarmo, Sumarmo S., dkk,2008)..

Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan

dengan penderita dan faktor teknis.

 Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu

1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian

kortikosteroid.

2. Gangguan pembentukan antibodi.

3. Saat pengambilan darah.

4. Daerah endemik atau non endemik.

5. Riwayat vaksinasi.

6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada

infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa

lalu atau vaksinasi.

 Faktor teknik, yaitu

1. Akibat aglutinin silang.

2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

17
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:

 Negatif Palsu

Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian

paling sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –>

nggak sembuh dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon

antibodi.

Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

 Positif Palsu

Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S.

paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga

menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan

bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).

Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan

tifoid) (Soedarmo, Sumarmo S., dkk,2008)..

b) Tes TUBEX

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang

berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan

menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada

Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena

hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam

waktu beberapa menit(Alan R. Tumbelaka,2003).

18
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,

beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal..

Ada 4 interpretasi hasil :

 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi

demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari

kemudian.

 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid

 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :

 Mendeteksi infeksi akut Salmonella

 Muncul pada hari ke 3 demam

 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella

 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit

 Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik

IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM

menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi

19
terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.

(Alan R. Tumbelaka,2003).

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak

antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap

antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang

sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis

adalah double antibody sandwich ELISA(Alan R. Tumbelaka,2003).

.
e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana

dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan

menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai

pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.

Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak

memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap(Soedarmo, Sumarmo S.,

dkk,2008)..

2.7.3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.

typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau

dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih

20
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan

pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses(Alan R. Tumbelaka,2003).

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif

tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa

faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah

yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu

pengambilan darah.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media

yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat

minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu

pengambilan spesimen yang tidak tepat(Richard E.dkk,2000)..

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas

yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7

hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak

praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam

pelayanan penderita(Prasetyo dkk,2010). .

2.7.4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan

teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase

chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S.

typhi(Richard E.dkk,2000)..

21
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi

risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila

prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam

spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam

spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya

yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari

spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat

ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian(Richard

E.dkk,2000).

2.8 Diagnosis

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan

bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang

timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran

pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya

bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri

kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati

dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan

gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya

terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang

terjadi(Soedarmo, Sumarmo S., dkk,2008)..

Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,

penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai

depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih

sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular)

22
ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-

80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi

dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi

menetap sampai 1-2 bulan(Prasetyo dkk,2010). .

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala

klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam

menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk

menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium

yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan

diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan

bakteriologis(Prasetyo dkk,2010).

2.9 Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara

klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis,

bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh

mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur,dengue fever dan

malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia,

limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding(Behrman, RE;

Vaughan, VC,2002).

2.10 Penatalaksanaan

2.10.1 Non Medika Mentosa


a) Tirah baring

23
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien

harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai

pemulihan(Richard E.dkk,2000).

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat

adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak

memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk

mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya

diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa(Richard

E.dkk,2000).

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada

komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus

mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus

setara dengan kebutuhan cairan rumatannya(Behrman, RE; Vaughan, VC,2002)..

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu

tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan

memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika

reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor

mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.

24
Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla

oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior

sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan

pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),

diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal

kembali. (Richard E.dkk,2000).

2.10.2 Medika Mentosa


a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila

mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah

Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk

menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran

cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk

diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat

diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin(Behrman, RE; Vaughan, VC,2002).

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :

Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid

fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100

mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50

mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun.

Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak

dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau

didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan

25
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan

carier(Behrman, RE; Vaughan, VC,2002).

Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim

dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari

dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian

secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi

2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini

adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,

Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika

golongan ini sudah dilaporkan resisten(Behrman, RE; Vaughan, VC,2002).

Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah

dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-

anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang

diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2

minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi

chloramphenicol(Richard E.dkk,2000).

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),

merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari

Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella

typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi

dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan

cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan

26
Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari(Richard

E.dkk,2000).

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai

syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit

untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam(Richard

E.dkk,2000).

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang

diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi

harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika

metronidazo(Braunwald, Eugene, MD., et al. 2004)

2.11 Komplikasi

2.11.1 Komplikasi Intestinal

- Perdarahan usus (bila gawat harus dilakukan pembedahan

- Perforasi usus (harus dilakukan pembedahan)

- Ileus paralitik

2.11.2. Komplikasi Ekstra-Intestinal

1. Darah : Anemia hemolitik, trombositopenia, DIC, Sindroma uremia

hemolitik

2. Kadiovaskular : Syok septik, miokarditis, trombosis, tromboflebitis

27
3. Paru-paru : Empiema, pneumonia, pleuritis, bronkhitis

4. Hati dan kandung empedu : Hepatitis, kholesistitis

5. Ginjal : Glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis

6. Tulang : Osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis

7. Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,

encephalopaty, Sindrome Guillian – Barre, psikosis, impairment

of coordination, sindroma katatonia(Shils, Maurice. M. D. Sc.d. 2006).

2.12 Pencegahan

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:

 Cuci tangan.

Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk

mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan

anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum

makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet.

Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia

air(Braunwald, Eugene, MD., et al. 2004)

 Hindari minum air yang tidak dimasak.

Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah

endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka

28
seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya.

Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum

kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di

pancuran kamar mandi(Braunwald, Eugene, MD., et al. 2004)

 Pilih makanan yang masih panas.

Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu

ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan

sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh

kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang

disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di

jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi(Braunwald, Eugene, MD.,

et al. 2004)

 Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi

Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan

mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang

aman, perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin

sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa

vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik

untuk mengendalikan demam tifoid (Braunwald, Eugene, MD., et al.

2004)

2.13 Prognosis

29
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,

keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara

maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di

negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena

keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya

komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat,

meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan

mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.

Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko

menjadi karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia.

Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid

(Shils, Maurice. M. D. Sc.d. 2006).

BAB III
PENUTUP

Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella

typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan

masuk ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal.

Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa

demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang

30
terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi

hari. Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada

cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi

yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma

Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang

berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.

Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang

dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal,

atau pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.

Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat

dengan tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat,

dan Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman

Salmonella typhi.

DAFTAR PUSTAKA

Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics

Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h.

2-20.

Behrman, RE; Vaughan, VC: Nelson Textbook of Pediatrics. WB Saunders

Philadelphia 2002, 540

Braunwald, Eugene, MD., et al. 2004. Harrison’s Principles of Internal Medicine

16th Edition. New York : McGraw – Hill Medical Publishing Division.Shils,

31
Maurice. M. D. Sc.d. 1994. Modern Nutritional in Health and Disease 9 th

Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Watkins.

Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia:

A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.

Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri

tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.

Shils, Maurice. M. D. Sc.d. 2006. Modern Nutritional in Health and Disease 10th

Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Watkins.

Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.

Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10. Pawitro UE, Noorvitry M,

Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu

Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba

Medika, 2002:1-43.

32
33

Anda mungkin juga menyukai