Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

ANEMIA PADA CKD (Chronic Kidney Disease)

Disusun Oleh:
Meggy Dwi Mellinda, dr

Dokter Pembimbing:
dr. Zulfan, Sp.PD

Dokter Pendamping:
dr. Hj. Titin Ning Prihatini, MH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


KABUPATEN INDRAMAYU
2020

1
PORTOFOLIO KASUS

Nama Peserta: Meggy Dwi Mellinda, dr

Nama Wahana: RSUD Indramayu

Topik: Anemia pada Gagal Ginjal Kronik

Tanggal (kasus) : Maret 2020

Tanggal Presentasi : Pembimbing : dr. Zulfan,Sp.PD

Pendamping: dr. Hj. Titin Ning Prihatini, MH

Tempat Presentasi : RSUD Indramayu

Obyek presentasi :

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi: Pasien datang ke IGD Rumah Sakit dengan keluhan lemas dan mual.

Tujuan:

1. Mengetahui penyebab anemia pada pasien CKD (Chronic Kidney Disease)

Bahan Bahasan: Tinjauan pustaka Riset Kasus Audit

Cara Membahas: Diskusi Presentasi dan diskusi E-mail Pos

Data Pasien: Nama: Tn. B, Laki-laki, 51 tahun No.Registrasi:

Nama klinik IGD RSUD Indramayu

Data utama untuk vahan diskusi:

• KeteranganUmum

 Nama : Tn. B

 Jenis Kelamin : Laki-laki

 Tanggal Lahir : 09 Juli 1968

2
 Umur : 51 tahun

 Alamat : Desa Tambi Lor kec. Sliyeg

 Pendidikan Terakhir : S1

 Pekerjaan : Tidak bekerja

 Status Perkawinan : Kawin

 Agama : Islam

 Suku : Jawa

 Tanggal MRS : 11 Maret 2020

 Tanggal Pemeriksaan : 13 Maret 2020

3
BAB I

LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS

Nama : Tn. B

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal Lahir : 09 Juli 1968

Umur : 51 tahun

Alamat : Desa Tambi Lor kec. Sliyeg

Pendidikan Terakhir : S1

Pekerjaan : Tidak bekerja

Status Perkawinan : Kawin

Agama : Islam

Suku : Jawa

Tanggal MRS : 11 Maret 2020

Tanggal Pemeriksaan : 13 Maret 2020

2. ANAMNESIS

Keluhan utama : Lemas dan mual

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Indramayu dengan keluhan lemas sejak 2 hari yang

lalu dan mual. Sebelumnya pasien sudah cek darah dan didapatkan Hb:5,9 g/dL.

Pasien sudah menderita gagal ginjal kronik sejak Januari 2015, pasien rutin

melakukan hemodialisa 2 kali dalam satu minggu setiap hari rabu dan sabtu.

4
Pasien mengeluhkan BAK yang kurang lancar, pasien juga mengeluhkan tidak

bisa melakukan aktivitas yang terlalu berat karena akan mudah lelah. Bengkak

pada kaki kanan dan perut membesar.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien mengaku sebelum terkena gagal ginjal kronik pasien menderita asam urat,

lalu sering mengkonsumsi obat untuk asam uratnya selama beberapa tahun. Pasien

mengaku sebelumnya tidak bisa berjalan selama 1,5 tahun dan setelah rutin

hemodialisa selama 2 bulan pasien bisa berjalan kembali. Hipertensi di alami

pasien saat sebelum melakukan hemodialisa namun setelah hemodialisa tekanan

darah kembali normal. Riwayat diabetes melitus, asma dan alergi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat hipertensi, diabetes melitus, asma, penyakit jantung dan paru pada

keluarga disangkal.

Riwayat Kebiasaan :

Pasien tidak merokok, riwayat menggunakan obat-obatan terlarang di sangkal,

kebiasaan minum alkohol disangkal.

3. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : Sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4M6V5

Tanda Vital : TD : 140/90 mmHg

Nadi : 88 x/ menit

5
RR : 22x/ menit

Suhu : 36,7 C

Berat Badan : 67 kg

Tinggi Badan : 163cm

Kepala : normosefal, conjungtiva anemis +/+, sklera ikterik

-/-.

Leher : tidak ada pembesaran KGB, JVP 5+0H2O

Thoraks : Bentuk dan pergerakan simetris

Cor : BJ I – II reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : VBS kanan = kiri, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen : Distensi, Bising usus (+) Normal, Acites (+)

Ekstremitas Atas : Akral hangat, capillary refill time< 2 detik,

edema (-/-)

Ekstremitas Bawah : Akral hangat, capillary refill time< 2 detik,

edema (+/-)

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik

Jenis Pemeriksaan Hasil Hasil Rujukan

HEMATOLOGI

Hematologi Rutin

Hemoglobin 5.9 11.7 -15.5 g/dL

Hematokrit 18.3 35 – 47 %

Eritrosit 2.2 3.8 – 5.2 juta/µL

6
Leukosit 4800 4300 – 11300 /µL

Trombosit 142000 150000 – 400000 /µL

MCV 82 80 – 100 IL

MCH 26.7 28-33 pg

MCHC 32.4 33 -36 g/dL

KIMIA KLINIK

Ureum 134 13 – 43 mg/dL

Kreatinin 11.50 0.6 – 1.2 mg/dL

Glukosa Darah (Sewaktu) 219 74 – 180 mg/dL

SGOT (AST) 39 <31 U/L

SGPT (ALT) 33 <31 U/L

5. DIAGNOSIS

Anemia pada CKD (Chronic Kidney Disease)

6. TERAPI

1. Medikamentosa :

- IVFD Nacl 0,9% 20 tetes per menit

- Valsartan 1x160mg tab

- Amlodipine 1x10 mg tab

- Furosemid 1x40mg tab (pagi)

- Asam folat 1x1 tab

7
2. Non-Medikamentosa :

- Tansfusi PRC 500cc

- Pro hemodialisa

7. PROGNOSIS

 Ad vitam : dubia ad malam

 Ad functionam : dubia ad malam

 Ad sanactionam : dubia ad malam

8. EDUKASI

 Memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit yang


diderita oleh pasien.
 Memberi penjelasan untuk membatasi cairan dan elektrolit.

 Memberi penjelasan untuk melakukan diet rendah fosfat sejalan dengan

diet pada pasien dengan diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah

garam.

FOLLOW UP

Jumat, 13 maret 2020 Sabtu, 14 Maret 2020

S : lemas(+), pucat (+), mual(+) S: lemas(-), mual(+)

O : kesadaran : Composmentis O : kesadaran : Compos mentis

TD : 140/90mmHg TD : 120/90mmHg

N :88 x/mnt N :84x/mnt

RR:22x/mnt RR:22x/mnt

8
S:36,7oC S:36,5oC

kepala : normocephal, conjungtiva anemis +/+ kepala: normocephal, conjungtiva anemis+/+

abdomen : Bising usus (+) Normal, Acites (+) abdomen : Bising usus (+) Normal, Acites (+)

A: Anemia pada Gagal Ginjal Kronik A: Anemia pada Gagal Ginjal Kronik

P: P: - Hemodialisa

- IVFD Nacl 0,9% 20 tetes per menit Jam 15.00 wib pasien pulang setelah

- Transfusi PRC 500cc labu ke-2 selesai melakukan hemodialisa.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Definisi

Chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai kelainan struktural

atau fungsional dari ginjal, awalnya tanpa penurunan GFR, yang dari waktu ke

waktu dapat menyebabkan penurunan GFR <60 mL / min / 1.73m2 ≥ 3 bulan,

yang ditandai dengan kelainan patologi dan adanya pertanda kerusakan ginjal,

dapat berupa kelainan laboratorium darah atau urine atau kelainan radiologi.

Bagian ini akan menekankan proteinuria sebagai penanda kerusakan ginjal.1

2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, National Institute of Diabetes and Digestive and

Kidney Diseases (NIDDK) melaporkan bahwa satu dari 10 orang dewasa Amerika

memiliki beberapa tingkat penyakit ginjal kronis (CKD). Prevalensi CKD di AS

meningkat drastis dengan usia (29-39 tahun sebanyak 4%; usia> 70 tahun 47%),

dan perkembangan paling cepat pada usia 60 tahun atau lebih tua. Dalam

(NHANES), prevalensi CKD stage 3 pada kelompok usia meningkat dari 18,8%

pada tahun 1988 ̶ 1994 menjadi 24,5% selama tahun 2003 - 2006. Selama periode

yang sama, prevalensi CKD pada orang berusia 20-39 tahun tetap konsisten di

bawah 0,5%.2

Sedangkan jumlah penderita gagal ginjal di indonesia saat ini terbilang

tinggi, mencapai 300.000 orang tetapi belum semua pasien dapat ditangani,

artinya terdapat 80% pasien tak tersentuh pengobatan sama sekali. Berdasarkan

10
dari data survei yang dilakukan oleh pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia)

pada tahun 2009, prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%, yang

bearti terdapat 18 juta orang dewasa di indonesia menderita penyakit ginjal

kronik.3

3. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis CKD sangat bervariasi, tergantung pada penyakit yang

mendasarinya. Bila glomerulonefritis merupakan penyebab CKD, maka akan

didapatkan edema, hipertensi, hematuria, dan proteinuria. Pada umumnya

penderita CKD stadium 1-3 tidak mengalami gejala apapun atau tidak mengalami

gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, endokrin dan metabolik yang tampak

secara klinis (asimtomatik). Gangguan yang tampak secara klinis biasanya baru

terlihat pada CKD stadium 4 dan 5. Beberapa gangguan yang sering muncul pada

pasien CKD anak adalah: gangguan pertumbuhan, kekurangan gizi dan protein,

gangguan elektrolit, asidosis, osteodistrofi ginjal, anemia dan hipertensi.4

4. Klasifikasi

Ginjal dapat menyesuaikan diri dengan perubahan mendadak terhadap

natrium, kalium dan asupan cairan. Sebelum penerimaan terapi pengganti

ginjal,nafsu makan pasien dapat menurunkan, disertai dengan penurunan berat

badan dan penurunan albumin serum. Dalam klinik CKD, dengan pasien dilihat

pada interval yang sering, tujuannya adalah untuk memulai dialisis sebelum

pasien mengalami kurang gizi.5

Stages Of Chronic Kidney Description GFR (ml/min/1.73m2)

11
Disease (CKD) Stage

1 Kerusakan ginjal dengan ≥ 90

normal atau peningkatan ↑

GFR

2 Kerusakan ginjal dengan 60-89

penurunan ↓ GFR

3 Kerusakan gingal dengan 3A 45 – 59

penurunan ↓ GFR yang 3B 30 – 44

Moderate

4 Kerusakan gingal dengan 15-29

penurunan ↓ GFR yang

berat

5 Gagal ginjal terminal < 15 atau Dialisis

Rumus yang biasa di gunakan untuk menghitung kreatinin adalah rumus


Cockcroft-Gault.
Rumus Cockcroft-Gault :
GFR = (140−𝐴𝑔𝑒) × 𝑀𝑎𝑠𝑠 (𝐾𝑔𝑠) 𝑋 (0.85 𝑖𝑓 𝑓𝑒𝑚𝑎𝑙𝑒) : 72 ×𝑆𝑒𝑟𝑢𝑚 𝐶𝑟.

5. Etiologi

Saat ini etiologi dasar yang lebih sering ditemukan adalah diabetes dan

hipertensi. Di Amerika Serikat, sebagian besar kasus CKD (hingga 80%)

disebabkan oleh diabetes atau hipertensi (Raghavan and Eknoyan, 2014). Penyakit

ginjal kronik bisa disebabkan oleh penyakit ginjal hipertensi,nefropati diabetika,

glomerulopati primer, nefropati obstruktif, pielonefritis kronik, nefropati asam

urat,ginjal polikistikdan nefropati lupus / SLE, tidak diketahui dan lain -lain.

12
Faktor resiko klinis pada Chronic Kidney Disease yaitu : diabetes,

hipertensi ,penyakit glomerular primer, penyakit autoimun, infeksi sistemik,

infeksi saluran kemih, nefrolitiasis, obstruksi saluran kemih bawah, penyakit

ginjal keturunan (autosomal dominan, penyakit ginjal polikistik, yang

alportsindroma), Obat-obat tertentu (sisplatin, protonpump inhibitor). Pada

individu peningkatan risiko Chronic Kidney Disease termasuk mereka yang lebih

tua > 55 tahun; antaralain hipertensi atau diabetes; dan kelompok suku tertentu,

seperti Afrika Amerika, penduduk asli Amerika, Hispanik, Asia, dan Kepulauan

Pasifik.6

6. Patofisiologi

Pada ginjal yang normal terdapat sekitar 1 juta nefron, yang masing-

masing memberikan kontribusi terhadap total laju filtrasi glomerulus. Dalam

kerusakan ginjal (terlepas dari etiologi), ginjal memiliki kemampuan bawaan

untuk mempertahankan laju filtrasi glomerulus, meskipun terjadi kerusakan

progresif nefron, dengan cara hiperfiltrasi dan hipertrofi kompensasi dari nefron-

nefron yang masih sehat. Kemampuan adaptasi ini terus berlangsung sampai

ginjal mengalami kelelahan dan akan tampak peningkatan kadar ureum dan

kreatinin dalam plasma. Peningkatan kadar kreatinin plasma dari nilai dasar 0,6

mg/dl menjadi 1,2 mg/dl, meskipun masih dalam rentang normal, sebetulnya hal

ini merepresentasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 50%. Hiperfiltrasi

dan hipertrofi dari nefron yang tersisa, meskipun tampak sebagai hal yang

menguntungkan, namun ternyata diduga sebagai penyebab utama progresifitas

disfungsi ginjal, karena pada keadaan ini terjadi peningkatan tekanan pada kapiler

13
glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan kapiler-kapiler dan menuju ke

keadaan glomerulosklerosis fokal dan segmental hingga glomerulosklerosis global

faktor.

Faktor-faktor selain proses penyakit yang mendasarinya dan hipertensi

glomerulus yang dapat mengakibatkan kerusakan pada ginjal progresif meliputi

antaralain; hipertensi sistemik, Nefrotoksin (misalnya, obat anti-inflammatory

drugs [NSAID]), Penurunan perfusi (misalnya, dari dehidrasi berat atau episode

shock),Proteinuria (selain menjadi penanda CKD), hiperlipidemia,

hyperphosphatemia dengan deposisi kalsium fosfat, merokok, dan diabetes yang

tidak terkontrol.7

7. Komplikasi pada Chronic Kidney Disease (CKD)

a. Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit

Ginjal merupakan organ pengendali utama homeostasis cairan, elektrolit

dan asam basa dalam tubuh. Perubahan fungsi ginjal dapat mengakibatkan

homeostasis cairan, elektrolit dan asam basa terganggu.

b. Natrium (Hipernatrium) dan Air

Hipernatremia adalah masalah elektrolit umum yang didefinisikan sebagai

peningkatan konsentrasi natrium serum pada nilai yang melebihi 145 mmol / L.

Hal ini didefinisikan sebagai suatu kondisi hiperosmolar yang disebabkan oleh

penurunan kadar elektrolit cairan tubuh total.

c. Hiperkalemi

14
Hiperkalemia merupakan masalah yang penting pada gagal ginjal kronik.

Hiperkalemia merupakan komplikasi interdialitik yaitu komplikasi yang terjadi

selama periode antar hemodialisis. Keadaan hiperkalemia mempunyai resiko

untuk terjadinya kelainan jantung yaitu aritmia yang dapat memicu terjadinya

cardiac arrest yang merupakan penyebab kematian mendadak.

d. Asidosis Metabolik

Ginjal harus menghasilkan sejumlah basa untuk menetralisir beban asam

endogen dan juga menyerap kembali besar jumlah bikarbonat yang disaring oleh

glomerulus (~ 4500 mEq / hari) untuk menjaga keseimbangan asam-basa. Beban

ekskresi asam oleh ginjal terjadi melalui ekskresi ion hidrogen baik dalam bentuk

asam titratable dan amonium. Namun, mekanisme utama terjadinya asidosis

metabolik pada CKD yaitu menurun ekskresi amonium. Penurunan ekskresi

amonium ini terutama akibat dari penurunan jumlah fungsi nefron.

e. Hipertensi

Hipertensi dapat menyebabkan CKD, CKD juga dapat menyebabkan

hipertensi. Hipertensi terjadi karena berbagai macam multifaktor. Faktor-faktor ini

meliputi retensi natrium, terjadinya peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin

dan sistem saraf simpatik, dan gangguan sintesis oksida nitrat dan endotelium-

dimediasi vasodilatasi pada pasien uremik.

f. Anemia

Anemia merupakan hal yang sering terjadi pada penyakit ginjal kronik.

Sekitar 90% dari hormon erythropoietin diproduksi oleh ginjal. Dalam kondisi

fisiologis normal, hipoksia menyebabkan peningkatan produksi erythropoietin

15
oleh ginjal, yang kemudian menstimulasi eritropoiesis. Karena terjadinya

penurunan fungsional ginjal pada pasien CKD, ginjal tidak mampu memproduksi

erythropoietin dalam jumlah yang cukup untuk mangatasi kondisi hipoksia.

Penyebab lain dari anemia pada pasien dengan CKD antara lain defisiensi

zat besi, adanya inflamasi, defisiensi asam folat dan vitamin B12, dan akumulasi

uremik.

Anemia pada CKD biasanya dimulai pada CKD Tahap 3, yaitu, GFR <60

mL / menit / 1.73 m2. Anemia terjadi pada 42%, 54% dan 76% pada masing-

masing pasien CKD Tahap 3, 4 dan 5, dan lebih berat pada pasien diabetes.8

Anemia Pada Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Definisi

World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan

konsentrasi hemoglobin < 13,0 gr/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause dan

< 12,0 gr/dl pada wanita lainnya (NKF-DOQI, 2002). Sebaliknya, The European

Best Practices Guidelines for the Management of Anemia Patients with Chronic

Renal mendefinisikan anemia menurut usia dan jenis kelamin. Anemia

didefinisikan sebagai konsentrasi Hb <11,5 g / dl pada wanita, <13,5 g / dl pada

pria ≤ 70 tahun, dan <12 g / dl pada pria > 70 tahun.8

Anemia pada CKD didefinisikan sebagai Hb (hemoglobin) <12 g / dL

(wanita) atau <13,5 g / dL (pria), dengan ketersediaan besi yang memadai dengan

parameter: TSAT (Transferrin Saturation) > 20% dan ferritin > 100 ng / mL. Pada

CKD Tahap 5, target feritin adalah > 200 ng / Ml. Anemia pada CKD dapat

16
disebabkan oleh menurunnya produksi eritropoetin atau kekurangan zat besi.

Penyebab lain dari anemia pada pasien dengan CKD antara lain defisiensi zat besi,

adanya inflamasi, defisiensi asam folat dan vitamin B12, dan akumulasi uremik.9

2. Epidemiologi

Anemia merupakan temuan yang umum pada pasien CKD, dengan

prevalensi yang meningkat secara bertahap pada saat penuruna eGFR (estimated

Glomerular Filtration Rate). Pada tahun 2007-2010 sekitar 14,0% dari populasi

orang dewasa AS ditemukan dengan status CKD. Umumnya anemia pada

populasi dengan CKD dua kali lipat (15,4%) dari pada populasi anemia tanpa

CKD (7,6%). Prevalensi anemia meningkat dengan tahap CKD, dari 8,4% pada

stage 1 sampai 53,4% pada stage 5. Sebanyak 22,8% dari pasien CKD dengan

anemia dilaporkan dirawat karena anemia selama 3 bulan sebelumnya, 14,6% dari

pasien pada tahap CKD 1-2 dan 26,4% dari pasien pada tahap 3-4.10

Anemia sering terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Studi

landmark yang dilakukan oleh Obrador et al, menunjukkan bahwa di antara pasien

dialisis, 68% dari pasien dengan CKD stadium lanjut yang diharuskan terapi

pengganti ginjal dengan hematokrit < 30 mg / dL; di antaranya, 51% dari pasien

dengan hematokrit < 28 mg / dL. Selain itu, meskipun anemia tidak ditemukan

pada tahap awal CKD, pasien dengan CKD stage 3 memiliki prevalensi anemia

5,2%, sedangkan pasien dengan CKD stage 4 memiliki prevalensi anemia 44,1%.2

3. Etiologi

17
Anemia biasanya dikelompokkan menjadi tiga kategori etiologi:

penurunan produksi RBC (Red Blood Cell), peningkatan kerusakan RBC, dan

kehilangan darah. Anemia penyakit kronis dan anemia CKD keduanya dikaitkan

dengan kategori penurunan produksi RBC. Ketika klasifikasi anemia didasarkan

pada morfologi sel darah merah, baik anemia penyakit kronis dan penyakit ginjal

kronis biasanya dikaitkan dengan klasifikasi anemia normositik normokrom.2

Anemia pada CKD terutama disebabkan karena defisiensi relatif dari

eritropoietin, namun ada faktor-faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya

anemia, antara lain memendeknya umur sel darah merah, inhibisi sumsum tulang,

dan paling sering defisiensi zat besi dan folat. Selain itu, kondisi komorbid seperti

hemoglobinopati dapat memperburuk anemia pada pasien CKD.

Etiologi Anemia Pada Chronic Kidney Penjabaran Etiologi

Disease (CKD)

Penyebab utama Defisiensi relatif dari eritropoietin

Penyebab tambahan - Kekurangan zat besi

- Inflamasi akut dan

- Kronik Pendeknya masa hidup eritrosit

- Bleeding diathesis

- Hiperparatiroidisme/ fibrosis sumsum tulang

Kondisi komorbiditas Hemoglobinopati, hipotiroid, hipertiroid,

kehamilan, HIV, autoimun, obat imunosupresif

4. Patofisologi

18
Sementara anemia pada CKD dihasilkan dari beberapa mekanisme

(defisiensi besi, folat, vitamin B12; perdarahan gastrointestinal;

hiperparatiroidisme parah; inflamasi sistemik; dan memendeknya umur sel darah

merah), penurunan sintesis erythropoietin adalah etiologi yang paling penting dan

spesifik penyebab anemia pada CKD. Erythropoietin adalah glikoprotein yang

disekresi oleh ginjal fibroblas interstitial dan sangat penting untuk pertumbuhan

dan diferensiasi sel-sel darah merah pada sumsum tulang. Pada pasien CKD,

atrofi tubular menghasilkan fibrosis tubulointerstitial, yang mengahambat sintetis

erythropo yang sudah tua dan dihancurkan oleh makrofag. Ada beberapa umpan

balik siklus yang mengontrol kadar hepcidin, termasuk besi dan erythropoietin.

Pada pasien CKD (terutama pada pasien penyakit ginjal stadium akhir

hemodialisis), kadar hepcidin ditemukan sangat tinggi, diduga karena penurunan

klirens ginjal dan induksi akibat inflamasi, yang mengarah pada terbatasnya

eritropoiesis besi. CKD juga menghambat produksi EPO diginjal, dan juga dapat

menyebabkan inhibitor sirkulasi uremik-diinduksi eritropoiesis) memendeknya

umur sel darah merah, dan kehilangan darah.11

5. Komplikasi

Anemia merupakan salah satu temuan laboratorium dan klinis pada

penyakit ginjal kronis (CKD). Kehadiran anemia pada pasien CKD memiliki

berbagai dampak penting secara klinis. Anemia berkontribusi terhadap

peningkatan cardiac output, pengembangan hipertrofi ventrikel kiri, angina, dan

gagal jantung kongestif. Menurut pengetahuan saat ini, anemia juga berkontribusi

19
terhadap perkembangan CKD dan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi

terhadap morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada pasien CKD.12

a. Hipoksia

Hipoksia adalah stimulus yang paling ampuh untuk produksi

erythropoietin oleh ginjal. Pada Orang yang sehat, erythropoietin membantu

meningkatkan produksi sel darah merah, sehingga meningkatkan konsentrasi

oksigen dalam darah, sehingga memperbaiki kondisi hipoksia tersebut.2

b. Sindrom Anemia Cardiorenal

Anemia jika dalam kondisi berat, akan mengarah pada kompensasi

hipertrofi ventrikel kiri. kompensasi LVH (left ventricular hypertrophy) pada

akhirnya akan mengarah pada gagal jantung kongestif, yang menyebabkan

penurunan perfusi darah ke ginjal, yang mengakibatkan kerusakan ginjal lebih

lanjut. Levin et al, memperkirakan bahwa untuk setiap 1 g penurunan konsentrasi

hemoglobin, ada peningkatan risiko 6% dari Hipertrofi ventrikel kiri pada pasien

dengan penyakit ginjal kronis.

c. Penyakit kardiovaskular

Anemia telah terbukti menjadi faktor risiko independen untuk peningkatan

morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Dalam studi hasil parktek dialisi atau

The Dialysis Outcomes Practice Pattern Study (DOPPS) yang melibatkan

beberapa negara dan menujukan penurunakan konsentrasi Hb kurang < 11g / dL,

terjadi peningkatan terkait dalam tingkat rawat inap dan kematian pada pasien

dengan penyakit ginjal kronis. Ofsthun et al menganalisa database dari Fresenius

Medical Care of North America (FMCNA) (seleksi dibatasi untuk pasien dalam

20
sensus selama 6 bulan berturut-turut dari tanggal 1 Juli 1998, sampai 30 Juni

2000) dan menunjukkan bahwa semakin lama pasien dengan gagal ginjal kronis

stadium 5 dengan konsentrasi hemoglobin yang <11 g / dL , akan lebih

meningkatkan resiko kematian akibat kardiovaskular.2

6. Penatalaksanaan Pada Pasien Chronic Kidney Disease (CKD)

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dilakukan dua tahap yaitu

dengan terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal. Tujuan dari terapi

konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, dengan

pengaturan diet protein yang berfungsi untuk mencegah atau mengurangi

azetomia, diet kalium untuk mencegah terjadinya hiperkalemi yang

membahayakan pasien, diet kalori untuk menambah energi pasien gagal ginjal

yang sering mengalami malnutrisi dan pengaturan kebutuhan cairan, mineral, dan

elektrolit berguna untuk mengurangi kelebihan beban sirkulasi dan intoksikasi

cairan. Jika penanggulangan konservatif tidak lagi dapat mempertahankan fungsi

ginjal maka dilakukan terapi pengganti ginjal yaitu hemodialisis yang merupakan

penggunan terapi pengganti ginjal terbanyak.13

Untuk pasien dengan penyakit ginjal kronis yang tidak dalam dialisis, zat

besi oral atau besi IV dapat digunakan untuk suplemen zat besi. Rekomendasi

KDOQI menyebutkan target hemoglobin 11 hingga 12 g/dL pada penderita CKD,

dan penderita dengan kadar feritin serum < 100 ng/mL harus mendapat

suplementasi besi. Terapi besi oral dengan garam besi ferro yang tidak berlapis

enterik dan sustained release, dianjurkan pada dosis harian 200 mg. Pada anemia

defisiensi vitamin B12, pemberian terapi suplemen vitamin B12 Oral tampaknya

21
sama efektif dengan parenteral. Cobalamin oral dimulai pada dosis 1 sampai 2 mg

sehari selama 1 sampai 2 minggu, diikuti dengan 1 mg setiap hari.

Anemia defisiensi asam folat diberi terapi, Oral asam folat 1 mg setiap

hari selama 4 bulan biasanya cukup untuk pengobatan anemia karena defisiensi

asam folat, kecuali etiologi tidak dapat diperbaiki. Jika terjadi malabsorpsi, maka

dosis harian harus ditingkatkan sampai 5 mg. Pemberian epoetin alfa dengan dosis

awal adalah 50 sampai 100 unit / kg tiga kali seminggu. Jika Hb tidak meningkat

setelah 6 sampai 8 minggu, dosis dapat meningkat menjadi 150 unit / kg tiga kali

seminggu.

Berikut algoritma penatalaksanaan anemia khususnya pemberian ESA

(erythropoiesis-stimulating agents) pada PGK. Kidney Disease Improving Global

Outcomes (KDIGO) 2012 merekomendasikan pada pasien anemia yang tidak

dalam terapi ESA, pemeriksaan Hb dilakukan bila ada indikasi klinik atau

minimal setiap 3 bulan pada pasien dengan PGK stadium 3-5-non dialisis (PGK3-

5-ND) dan minimal setiap bulan pada PGK stadium 5 yang menjalani

hemodialisis (PGK 5-HD).

22
Anemia pada PGK

Singkirkan Penyebab lain


selain defisiensi EPO

Jika feritin < 100 μg/l,


pertimbangkan pemberian
besi IV saja, 200-500 mg

Jika feritin > 100 μg/l atau tidak respon


dengan terapi besi IV, mulai pemberian
EPO dengan dosis 4000-6000 IU/minggu
atau darbepoetin alfa 20-30 μg/minggu

Sesuaikan dosis ESA 25%-50% perbulan


sampai target Hb 11-13 g/dl

Pertahankan status besi

Manajemen Besi

Sebelum terapi ESA harus dilakukan pemeriksaan status besi terlebih

dahulu. Agar respon eritropoiesis optimal, maka status besi harus cukup. Status

besi yang diperiksa meliputi Serum Iron (SI), total iron binding capacity (TIBC),

saturasi transferin (ST) dan feritin serum (FS). Terapi besi dilakukan bila anemia

defisiensi besi absolut, anemia defisiensi besi fungsional dan tahap pemeliharaan

23
status besi. Terapi besi tidak diberikan pada kondisi : hipersensitifitas terhadap

besi, gangguan fungsi hati berat, kandungan besi tubuh berlebih (iron overload).

Terapi Erythropoietin Stimulating Agent (ESA).

Terapi ESA dimulai setelah identifikasi dan koreksi faktor lain yang

memperberat anemia, dan pastikan bahwa status besi cukup. Dalam pemberian

ESA hendaknya dipertimbangkan antara potensi manfaat pemberian ESA untuk

mengurangi kebutuhan transfusi dan memperbaiki simtom anemia dengan potensi

risiko seperti stroke, trombosis akses vaskuler dan hipertensi.

Indikasi Terapi ESA Bila Hb <10 g/dl dan penyebab lain anemia sudah

disingkirkan dengan syarat pemberian tidak ada anemia defisiensi besi absolut dan

juga tidak ada infeksi yang berat. Kontraindikasi terapi ESA bila hipersensitivitas

terhadap ESA. Perlu diperhatikan pada terapi ESA adalah tekanan darah tinggi

dan hiperkoagulasi.

Efek Samping Terapi ESA

Efek Samping Terapi ESA adalah hipertensi, trombosis, kejang dan

terjadinya PRCA. Terapi ESA berpotensi meningkatkan tekanan darah terutama

bila kenaikan Hb terlalu cepat atau menggunakan ESA dosis tinggi. Selama terapi

ESA perlu perhatian khusus terhadap tekanan darah terutama pada fase koreksi.

Trombosis dapat terjadi jika Hb meningkat secara cepat melebihi target. Kejang

walaupun sangat jarang dijumpai perlu dipertimbangkan bila terjadi peningkatan

yang cepat Hb >10 g disertai tekanan darah yang tidak terkontrol. Terutama

terjadi pada terapi ESA fase koreksi. Pure red cell aplasia dicurigai bila pasien

dalam terapi ESA >4 minggu ditemukan semua gejala berikut: penurunan Hb

24
mendadak 0.5-1 g/dl/minggu atau membutuhkan transfusi 1-2 kali/minggu,

Hitung leukosit dan trombosit normal, Hitung retikulosit absolut <10.000/μL.

Target hemoglobin pada koreksi anemia renal

Target level HB pada koreksi anemia renal sampai saat ini masih

kontroversi. Berikut ini adalah rekomendasi dari KDIGO 2013 mengenai inisiasi

terapi ESA dan target kadar HB pada pasien PGK yang memakai ESA, baik yang

menjalani dialisis maupun yang tidak menjalani dialisis regular.

Transfusi Darah

Dalam penatalaksanaan anemia renal direkomendasikan untuk

menghindari transfusi sel darah merah untuk meminimalkan risiko. Transfusi juga

harus dihindarkan pada pasien yang akan dilakukan transplantasi ginjal untuk

meminimalkan terjadinya risiko allosensitization dan penularan virus hepatitis.

Transfusi dipertimbangkan bila manfaatnya lebih besar dari risiko yang

ditimbulkannya misalnya pada pasien yang terapi ESAnya tidak efektif, pasien

yang sebelumnya ada riwayat stroke atau menderita keganasan, pasien yang

memerlukan koreksi anemia yang cepat untuk menstabilkan hemodinamik

(perdarahan akut, unstable coronary artery disease) dan pada pasien peroperatif

yang memerlukan koreksi Hb cepat.14

7. Prognosis

Prognosis pasien CKD berdasarkan data epidemiologi dan angka kematian

meningkat sejalan dengan fungsi ginjal yang memburuk. Penyebab kematian

utama pada CKD adalah penyakit kardiovaskular. Dengan adanya renal

replacement therapy dapat meningkatkan angka harapan hidup pada CKD stadium

25
5. Transplantasi ginjal dapat menimbulkan komplikasi akibat pembedahan. CAPD

meningkatkan angka harapan hidup dan quality of life dibandingkan hemodialisis

dan dialisis peritoneal.15

26
DAFTAR PUSTAKA

1. NKF-DOQI, 2002. For Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification


and Stratification, Clinical Practice Guidelines. Vol. , National Kidney
Foundation, New York, pp. 44-137.
2. Lerma, E.V., 2015. Anemia of Chronic Disease and Renal Failure. In: Besa,
E.C., (Ed.). Medscape. Feb 15, 2015 (Updated).
http://emedicine.medscape.com/article/1389854-overview#a1. Diakses Tanggal
16 April 2017.
3. Siallagan, H., 2012.Karakteristik Penderita Gagal Ginjal Kronik yang Dirawat
Inap di RS Martha Friska MedanTahun 2011. Medan: Universitas Sumatera
Utara.
4. Mahesa,. Rachmadi, D., 2010. Penyakit Ginjal Kronis (Chronic Kidney
Disease).http://repository.unpad.ac.id/18206/1/pustaka_unpad_penyakit_ginjal_kr
oni s.pdf. Diakses tanggal 6 maret 2017.
5. Ahmed, S. Lowder, G., 2012. Severity and Stages of Chronic Kidney
Disease. In: Göoz, M (Ed.). Chronic Kidney Disease. InTech, Rijeka-Croati., pp.
14.
6. Drawz, P., and Rahman, M., 2009. In The Clinic Chronic Kidney Disease.
Annals of Internal Medicine, 2, pp. 2-3
7. Arora, P., 2016. Chronic Kidney Disease. In: Batuman, V., (Ed.). Medscape.
Jul 24, 2016 (Update). http://emedicine.medscape.com/article/238798-
overview#a3. Diakses tanggal 2 April 2017.
8. O’Mara, N.B., 2008. Anemia in Patients With Chronic Kidney Disease. Diabetes

Spectrum, Vol. 21 No. 1, pp. 12-17.

9. Hassan, K., 2015. Association Of Low Potassium Diet And Folic Acid
Deficiency In Patients With CKD. Therapeutics and Clinical Risk
Management, Vol. 11, pp. 824
10. Stauffer, M.E., and Fan, T., 2014. Prevalence of Anemia in Chronic Kidney
Disease in the United States. Plos One, Vol. 9 No. 1, p 1.

27
11. Babitt, J.L., and Lin, H.Y., 2012. Mechanisms of Anemia in CKD, Science In
Renal Medicine. J Am Soc Nephrol, Vol. 23, pp 1631.
12. Zadrazil, J., and Horak, P., 2015. Pathophysiology of Anemia In Chronic
Kidney Diseases: A review. Biomed Pap Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech
Repub, Vol. 159 No. 2, pp 197.
13. Haryanti, I.A.P., dan Nisa. K., 2015. Terapi Konservatif dan Terapi
Pengganti Ginjal sebagai Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik.
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung, Vol. 4. Hal 49-52.
14. PERNEFRI, 2011. Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal
Kronik. Jakarta; PB PERNEFRI.
15. Nahas ME. The patient with failing renal failure. Dalam: Cameron JS,
DavisonAM. Oxford Textbook of Clinical Nephrology. Edisi ke-3. Oxford
University Press.2003; hal 1648-98

28

Anda mungkin juga menyukai