Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

SUBDURAL HEMORRHAGE (SDH)

Disusun Oleh :
dr. Nurwahidin Wishnu Adi Subroto

Dokter Pendamping :
Hj. dr. Sumarmi

RSUD 45 KUNINGAN
KABUPATEN KUNINGAN
2021
BAB I PENDAHULUAN
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah disfungsi neurologi fokal yang akut dan
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan, bukan oleh karena
trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler. Perdarahan
intraserebral merupakan 10% dari semua jenis stroke, tetapi persentase kematian lebih tinggi
disebabkan oleh stroke. Sekitar 60% terjadi di putamen dan kapsula interna, dan masing-masing
10% pada substansia alba, batang otak, serebelum dan talamus. Pada usia 60 tahun, PIS lebih
sering terjadi dibandingkan subarachnoid hemorrhage (PSA).1

Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis
sehingga melemahkan arteri kecil dan menyebabkannya robek. Penggunakan kokain atau
amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah tinggi dan perdarahan sementara. Pada
beberapa orangtua, sebuah protein abnormal yang disebut amiloid terakumulasi di arteri otak.
Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid) melemahkan arteri dan dapat menyebabkan
perdarahan.1

Umumnya tidak banyak penyebabnya, termasuk ketidaknormalan pembuluh darah yang


ada ketika lahir, luka, tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan
perdarahan, dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi. Gangguan
perdarahan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko kematian dari perdarahan
intraserebral.1

Perdarahan subdural secara umum dibagi menjadi bentuk akut dan bentuk kronis atau
subakut. Kasus akut untuk kasus – kasus perdarahan subdural yang dioperasi dalam waktu 24
jam. Tetapi perdarahan subdural yang manifes dalam waktu 48 – 72 jam oleh kelompok lain
masih disebut sebagai perdarahan akut.

BAB II LAPORAN KASUS


2.1. Identitas Pasien
 Nama : Tn. A.H
 Usia : 78 tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Alamat : Citamba, Purwawinangun
 Tanggal masuk RS : 24 Maret 2021
 Tanggal pemeriksaan : 24 Maret 2021
 Jam masuk RS : 08.15
 Jam pemeriksaan : 08.16

2.2 Anamnesis
2.2.1. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
2.2.2. Anamnesis (Alloanamnesis)
OS datang ke IGD RSUD 45 Kuningan dengan penurunan kesadaran
sejak 3 jam yang lalu. Sebelum pasien mengalami penurunan kesadaran, pasien
sempat mengeluh mual dan muntah sebanyak 1 x, berisi makanan, darah (-).
Mengeluh nyeri kepala sebelum mengalami penurunan kesadaran disangkal oleh
keluarga pasien. Pasien diduga mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba
hanya saat sedang berbaring di tempat tidur, ketika dipanggil oleh keluarga
pasien, pasien tidak memberikan respon apapun. Os sempat kejang 1 x saat di
IGD. Riwayat adanya trauma atau benturan pada daerah sekitar kepala disangkal
oleh keluarga pasien. Keluhan sebelumnya seperti demam (-), batuk (-), nyeri
perut (-), BAB dan BAK disangkal oleh keluarga. Riwayat penurunan kesadaran
sebelumnya disangkal oleh keluarga, riwayat penyakit hipertensi dan DM
disangkal, riwayat stroke disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal, riwayat
kejang disangkal, riwayat kontak dengan pasien COVID disangkal, riwayat
bepergian jauh disangkal. Riwayat vaksinasi COVID disangkal, riwayat terpapar
COVID disangkal. Keluarga os (kakak) sebelumnya pernah mengalami keluhan
yang sama.

2.3. Pemeriksaan Fisik


2.3.1. Keadaan Umum:
 Kesan sakit : Pasien tidak sadarkan diri
 GCS : E2M2V2 (6)
 Kesadaran : Sopor
 Tanda Vital
o Tekanan darah: 140/90 mmHg
o Nadi : 106 kali/menit
o Respirasi : 26 kali/menit
o Suhu : 37.5 oC
o SpO2 : 95 % (nasal canul)
2.3.2. Status Gizi
 Berat Badan : 70 kg (perkiraan)
 Tinggi Badan : 160 cm (perkiraan)
 Status gizi baik
2.3.3. Status Generalis
2.3.3.1. Kepala
o Bentuk : Normocephali
o Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor, reflek cahaya langsung dan tidak langsung +/+
o Hidung : Rhinorea (-) deviasi septum -, sekret tidak ada
o Mulut : Mukosa oral basah
o Gusi : Tidak hiperemis, tidak ada perdarahan, tidak ada edema
o Lidah : Atrofi (-)
o Faring : Tidak hiperemis
o Tonsil : T1/T1 , tidak hiperemis, kripta tidak melebar
2.3.3.2. Leher
o Massa : Tidak ada pembesaran
o Tiroid : Tidak ada pembesaran
o JVP : Tidak meningkat
2.3.3.3. Thoraks
 Paru
o Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris, retraksi (-)
o Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri sama
o Perkusi : Sonor kanan dan kiri
o Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, ronkhi -/-, wheezing-/-,
stridor -/-
 Jantung
o Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
o Perkusi : Batas jantung ;
 Dextra atas : ICS II, paraseternal line dextra
 Dextra bawah : ICS IV, parasternal line dextra
 Sinistra atas : ICS II, parasternal line sinistra
 Sinistra bawah : ICS IV, mid clavicular line sinistra
o Auskultasi : S1 dan S2 reguler, murmur -, gallop -
2.3.3.4. Abdomen
 Inspeksi : Membuncit, distensi -, jejas –
 Auskultasi : BU (+) normal
 Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar
 Perkusi : Timpani, pekak samping dan pekak pindah (-)
2.3.3.5. Ekstremitas
 Akral dingin, CRT > 2”
 Edema -/-
 Sianosis -/-
2.3.4. Pemeriksaan tambahan
 Kaku kuduk
o Brudzinski I : Negatif
o Brudzinski II : Negatif
2.4. Pemeriksaan Penunjang

2.4.1. Pemeriksaan Laboratorium

 Hemoglobin : 8.4 g/dL


 Jumlah leukosit : 18.28 10`3/uL
 Hematokrit : 23.2 %
 Jumlah trombosit : 76 rb/uL
 Jumlah eritrosit : 2.49 juta/uL
 Indeks eritrosit
o MCV : 93,3 fL
o MCH : 33,8 pg/mL
o MCHC : 36.2 g/dL
 Hitung jenis leukosit
o Basofil : 0.0 %
o Eosinofil : 0.0 %
o Neutrofil batang : 2.0 %
o Neutrofi segmen : 59.0 %
o Limfosit : 24.0 %
o Monosit : 15.0 %
o NLR : 2.5
o ALC : 4387
 Immunologi
o IgM SARS-CoV-2 : Non reaktif
o IgG SARS-CoV-2 : Non reaktif
2.4.2. Pemeriksaann EKG

2.4.3. Pemeriksaan Radiologi


2.4.5. Pemeriksaan CT-Scan
2.5. Diagnosis

Penurunan Kesadaran e.c Perdarahan Intraserebral (Subdural Hemmorhage) + Anemia

2.6. Tatalaksana/Instruksi

2.6.1. Dokter IGD (dr. Marmi)

 IVFD Ring Asetat 20 tpm


 Nasal canul O2 1-2 lpm

2.6.2. Dokter Spesialis Neurologi (dr. Awaluddin Noor, Sp.N)

 Citicolin 4 x 250 mg IV
 Mannitol 4 x 125 mg IV
 Omeprazole 1 x 1 g IV
 Phenitoin 3 x 2 caps PO H-1 ~ 3 x 1 caps H-selanjutnya

2.6.3. Dokter Spesialis Bedah Saraf (dr. Haryo, Sp.BS)

 Kalnex 3 x 500 mg IV
 Ceftriaxone 2 x 1 g IV
 Rujuk ke RS Waled

2.7. Prognosis

 Quo ad vitam : dubia ad bonam


 Quo ad functionam : dubia ad malam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi

Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat
di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa padat, dapat
digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di
antara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang
mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek, pembuluh-pembuluh ini sukar
mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah bermakna pada
penderita laserasi kulit kepala.

Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah


pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi menjadi
arachnoidea dan piamater.2,3

Gambar 1. Lapisan selaput pada otak

3.1.1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan
suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang
melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah
untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di
antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di
antara bagian-bagian otak.2

3.1.2. Arachnoidea

Membran arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi
spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis
dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu
anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.

3.1.3. Piamater

Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi


permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah di
seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissura transversalis di bawah corpus
callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis,
dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk
membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di
atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.2

3.2. Definisi

Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi secara langsung


pada bagian atau substansi otak. Perdarahan yang terjadi di otak yang disebabkan oleh
pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam dapat terjadi di bagian
manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak, ataupun diruang antara otak
dan selaput membran yang melindungi otak. Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu
hemisfer (lobar intracerebral hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada struktur dari
otak, seperti thalamus, basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep
intracerebral hemorrhage).1
Subdural hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan
araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal. Pada subdural
hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein” , karena tarikan
ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi
pada permukaan lateral dan atas hemisfer dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan
distribusi “bridging vein”.4,5

3.3. Epidemiologi

Perdarahan intraserebral diperkirakan sebanyak 10 – 15% dari seluruh kejadian


stroke di negara Barat, nyeri kepala hebat yang terjadi secara tiba – tiba, gangguan
tingkat kesadaran, defisit neurologi fokal sehubungan berkumpulnya darah secara fokal
di dalam parenkim otak yang ditemukan pada pemeriksaan neuroimejing dan otopsi otak.
Sedangkan di Asia Tenggara (ASEAN), menurut penelitian stroke menunjukkan stroke
perdarahan sebanyak 26%, terdiri dari lobus 10%, ganglionik 9%, serebellar 1%,
brainstem 2% dan perdarahan subarakhnoid 4%.

Prevalensi terjadinya subdural hematoma pada cedera kepala berat bergeser 30%.
Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan perdarahan epidural. Perdarahan ini
sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau vena-vena kecil di permukaan korteks
serebri. Subdural hematoma akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan
cedera kepala berat. Kejadian tahunan hematoma subdural kronis telah dilaporkan 1-5,3
kasus per 100.000 penduduk. Penelitian terbaru telah menunjukkan insiden yang lebih
tinggi. Hal itu disebabkan teknik pencitraan yang lebih baik. Tingkat mortalitas SDH akut
berkisar 45-63%. Kematian terjadi 74% pada pasien dengan Glasgow Coma Scale Score
(GCS) 3-5 kurang dari 6 jam, namun jika GCS 6-8 tingkat kematiannya menurun hingga
39%.6,7,8

Perbedaan jenis kelamin dan usia-terkait dalam insiden secara keseluruhan.


Subdural hematoma lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, dengan
rasio laki-perempuan sekitar 3:1. Pria juga memiliki insiden yang lebih tinggi pada
hematoma subdural kronis. Rasio laki:perempuan telah dilaporkan berkisar 2:1. Insiden
subdural hematoma kronis meningkat tinggi pada dekade kelima hingga ketujuh
kehidupan. Satu studi retrospektif melaporkan bahwa 56% kasus berada di pasien dalam
dekade kelima dan keenam mereka, studi lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari
semua kasus terlihat pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun. Insiden tertinggi, 7,35
kasus per 100.000 penduduk, terjadi pada orang dewasa berusia 70-79 tahun.9,10

3.4. Klasifikasi

Subdural hematom dibagi tiga, yaitu subdural hematom akut, subakut, dan kronis.
Ketiganya dibedakan berdasarkan lamanya kejadian. Subdural hematom akut terjadi
selama 48-72 jam setelah cedera, subdural hematom subakut terjadi 3-20 hari setelah
cedera, dan subdural hematom kronis terjadi dari tiga minggu sampai beberapa bulan
setelah cedera. Subdural hematom akut adalah tipe hematom intrakranial dimana 24 %
pasien mengalami koma. Jika sudah terjadi koma maka angka kematian meningkat
menjadi 60%.7

Perdarahan akut dimana gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah
trauma. Terjadi pada cedera bentur kepala yang cukup berat. Hal ini dapat mengakibatkan
perburukan lebih lanjut pada pasien yang sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran
scanning tomografinya, didapatkan lesi hiperdens berbentuk cekung.7,8,9

Perdarahan sub akut dapat berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 -
14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah
dan cairan darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di
sekitarnya. Pada gambaran scanning tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens
berbentuk cekung. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah
dan resorbsi dari hemoglobin.7,8,9

Perdarahan kronik terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.
Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu-minggu
ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya
terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, kita
harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara
perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.7,8,9
3.5. Etiologi

Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala
hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi
dalam ruangan subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik
dan memutuskan vena-vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu
akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan
dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan
bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi
kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi,
maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.

Gambar 2. Lesi Coup dan Countercoup pada cedera kepala

3.6. Faktor Risiko

3.6.1. Usia

Usia merupakan faktor risiko terbanyak daripada perdarahan intraserebral.


Insidensinya meningkat secara dramatis pada penderita usia lebih daripada 60 tahun.

3.6.2. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko yang paling penting dan merupakan faktor
risiko yang dapat dimodifikasi pada perdarahan intraserebral. Penderita hipertensi yang
tidak mendapatkan terapi, lebih berat dibandingkan penderita hipertensi yang
mendapatkan terapi. Diantara faktor risiko perdarahan intraserebral, hipertensi
diperkirakan sebagai faktor risiko perdarahan pada daerah deep hemisfer dan brainstem.

3.6.3. Cerebral Amiloid Angiopati (CAA)

Cerebral Amiloid Angiopati merupakan faktor risiko yang jarang terjadi dari
perdarahan intraserebral, akan tetapi sekarang menjadi pertimbangan faktor risiko dari
perdarahan intraserebral khususnya perdarahan lobar pada penderita usia lanjut.
Gambaran patologi yang utama adalah deposit protein amiloid pada media dan adventitia
dari arteri leptomeningeal, arteriol, kapiler dan paling sedikit pada vena. Patogenesis
CAA pada perdarahan intraserebral adalah destruksi pada struktur vaskular yang normal
melalui deposisi amiloid pada media dan adventitia dan rangkaian formasi aneurisma.
Pembuluh darah yang rapuh dan mikroaneurisma menjadi pemicu rupturnya pembuluh
darah.

3.6.4. Aneurisma dan Malformasi Vaskular

Meskipun ruptur aneurisma Berry menjadi penyebab perdarahan subarakhnoid,


akan tetapi perdarahan secara langsung pada parenkim otak tanpa ekspansi ke
subarakhnoid dapat menyebabkan perdarahan intraserebral. Malformasi vaskular yang
berhubungan dengan perdarahan intraserebral termasuk arteriovenous malformation
(AVM), malformasi kavernosus, dural arteriovenous fistula, malformasi vena dan
capillary telengiactesis.

3.6.5. Penggunaan Antikoagulan

Pada beberapa percobaan, warfarin sebagai terapi atrial fibrillasi dan infark
miokard merupakan penyebab terbanyak anticoagulant associated intracerebral
hemorrhage (AAICH).

3.6.6. Riwayat Iskemia

Kejadian stroke iskemik sebelumnya berhubungan dengan peningkatan risiko


perdarahan intraserebral sebanyak 5 – 22 kali lipat. Hubungan yang kuat antara stroke
iskemik dan perdarahan intraserebral adalah keduanya memiliki faktor risiko yang sama
yaitu hipertensi.

Dengan menggunakan MRI Gradient Echo untuk mendeteksi lesi yang kecil,
perdarahan asimptomatik pada parenkim otak (microbleeds). Microbleeds berhubungan
dengan stroke iskemik (khususnya lakunar) dan perdarahan.microbleeds sering dijumpai
pada perdarahan intraserebral, hal ini terjadi pada 54 – 71% penderita perdarahan
intraserebral.

3.6.7. Penyakit Metabolik

Beberapa penjelasan mengenai hubungan kolesterol rendah dengan perdarahan


intraserebral adalah pengurangan agregasi platelet, peningkatan fragilitas dan
vaskularisasi serebral. Sehingga dari hasil penemuan ini, muncul teori yang berkembang
luas bahwa penggunan obat penurun kolesterol dapat meningkatkan risiko perdarahan
intraserebral.

Hubungan diabetes dengan perdarahan intraserebral bervariasi berdasarkan usia


dan lokasi perdarahan.

3.7. Patomekanisme

Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid,


kedalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak
(hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri.11,12

Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural adalah
penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi
sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam
rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan
orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih
panjang ) memiliki resiko yang lebih besar. 11,12

SDH akut disebabkan robekan kapiler kortikal akibat akselerasi otak dalam
kranium disebabkan benturan. Saat kepala berbenturan dengan benda keras,
menimbulkan energi yang berakibat otak berakselerasi di dalam kranium. Jika akselerasi
ini berjalan hanya sesaat, kerusakan terjadi hanya di sekitar permukaan otak dan
pembuluh darah termasuk bridging veins. Jika akselerasi dalam jangka waktu lama,
regangan dapat masuk lebih dalam menyebabkan diffuse axonal injury (DAI). Sumber
perdarahan lain subdural hematom adalah laserasi atau ruptur arteri dan vena kecil di
korteks yang berkaitan dengan kontusio. Subdural hematom biasanya berada sepanjang
konveksitas cerebral. Tempat paling sering kontusio cerebral yang menyebabkan
subdural hematom adalah di bagian temporal dan berikutnya di bagian frontal dan
cerebral konveksitas. Subdural hematom juga dapat terjadi antara falx dan permukaan
medial hemisfer cerebral. Ini sering disebut parafalcine subdural hematom yang
dikarakterisasikan dengan hemiparese kontralateral pada ekstremitas bawah dibanding
ekstremitas atas (falx syndrome).6

Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” .
Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang
terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade
hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya
pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas
hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil
dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme. 11,12

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu


teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair
sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari
subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul
subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan
pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner
ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural
kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. 11,12
Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat
mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga
ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut
memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan subdural kronik. 11,12

3.8. Pemeriksaan Umum

3.8.1. Anamnesis

Pada anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas
dikepala atau tidak. Jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran
atau pingsan. Jika diketahui pasien pingsan atau memiliki riwayat pingsan sebelumnya,
apakah penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula? Selanjutnya apakah pasien
tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadaran pasien? Perhatikanlah lamanya
periode sadar atau lucid interval pada pasien tersebut. Untuk tambahan informasi perlu
ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma kepala.
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab utama
penderita tidak sadar, apakah karena aspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses
intrakranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya
sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang
tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, demikian pula
obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, serta apakah pasien dalam pengaruh
alkohol.9,13,14

SDH akut dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan lalu lintas atau penganiayaan.
Pasien dengan SDH akut mengalami benturan benda tumpul di kepala baik sedang
maupun berat. Gambaran klinis tergantung letak lokasi dan luasnya perdarahan. Pasien
dengan SDH akut biasanya berusia lebih tua dibanding cedera tanpa SDH akut.15
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48
jam setelah cedera. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.7,9,10

Gejala klinis SDH akut tergantung peningkatan tekanan intrakranial dan


keparahan cedera difus pada otak. Perubahan kesadaran ditentukan oleh keparahan
perkembangan hematom dan waktu terjadinya cedera. Gejala klinis dan tanda pasien
dengan SDH akut supratentorial, yaitu pupil abnormal, hemiparese, kejang, afasia,
deserebrasi dan lateralisasi yaitu, ditemukannya dilatasi pupil ipsilateral dan kelemahan
motorik kontralateral. Dapat juga terjadi Kernohan’s notch dimana kelemahan motorik
ipsilateral dan dilatasi pupil kontralateral.6

3.8.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup


jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), tekanan darah atau nadi (circulation),
derajat kesadaran (disability) dalam skala koma glasgow (GCS) serta apakah adakah jejas
atau luka yang mengancam jiwa (eksposure). Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi
sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu
diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan
oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk
memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah
memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan
untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea.8,10,16

Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan


menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan tanda-tanda
defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma Glasgow menilai
kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik pasien terdapat stimulasi
verbal atau nyeri. Pemeriksaan diamter kedua pupil dan adanya defisit neurologi fokal
menilai apakah telah terjadi herniasi di intrakranial dan terganggunya system
kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula spinalis.9,14,15

Gambar 3. Tabel Skala Koma Glasgow (GCS)

3.8.3. Pemeriksaan Penunjang

Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai
suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam
(inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah
parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium
serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung, unilateral dan terbatasi oleh garis sutura.

Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran
tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width.
Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang
sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa
kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang
mendasarinya.

Tidak seperti EDH, SDH terjadi pada lokasi countercoup. Karena SDH berkaitan
dengan cedera parenkim, derajat efek masa dapat muncul lebih hebat dibanding ukuran
SDH. Dibandingkan otak normal 20-30 HU, densitas SDH akut 50-60 HU lebih tinggi
karena bekuan darah. Densitas SDH akan akan berkurang secara progresif karena
degradasi protein. Ini mungkin sulit dibedakan dengan subarakhnoid pada cerebri yang
atrofi. Pada kondisi subakut, biasanya antara 1-3 minggu bergantung pada tingkat
hematokrit, faktor pembekuan, dan ada atau tidaknya perdarahan berulang, terjadilah fase
isodens. Selama fase akut ke kronis, lapisan tipis konveksitas isodens SDH sulit
diidentifikasi.8,9,14,16

3.9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita dengan perdarahan intraserebral yang luas dan koma


antara lain mempertahankan ventilasi yang adekuat, dengan mengkontrol hiperventilasi
mencapai PCO2 25 – 30 mmHg, mengawasi peningkatan tekanan intrakranial pada
beberapa kasus dengan melakukan pemberian cairan Mannitol (osmolaritas
dipertahankan 295 – 305 mosmol/L. Pengurangan secara cepat tekanan darah dengan
harapan dapat mengurangi perdarahan pada otak tidak dianjurkan, setelah ditemukan
adanya risiko perfusi serebral pada kasus peningkatan tekanan intrakranial.

Pada kondisi lain, tekanan darah rata – rata lebih dari 110 mmHg dapat
menimbulkan edema otak dan risiko ekstensi dari penyumbatan. Diperkirakan pada saat
hipertensi akut menggunakan obat beta blocker (esmolol, labetalol), atau ACE inhibitor
dianjurkan. Calcium channel blocking drugs jarang digunakan dikarenakan laporan efek
samping dari tekanan.

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita
harus memperhatikan kondisi klinis dengan gambaran radiologisnya. Didalam masa
mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan
dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakrania (PTIK).
Seperti pemberian manitol 0,25gr/gr BB, atau furosemid 10 mg intravena dan
hiperventilasi. 9,10,14,16

Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) edema otak
yang minimal dan midline shift kurang dari 5 mm dilakukan Tindakan konservatif. Tetapi
pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti
oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. 9,10,14,16

Strategi tanpa pembedahan terfokus pada pencegahan secondary injury setelah


cedera kepala. Intervensi medis ditargetkan pada tekanan intrakranial yang terkontrol,
memastikan aliran darah dan oksigen, meminimalkan edema cerebri. Dua pertiga pasien
dengan cedera kepala berat, tidak ditemukan gambaran CT Scan lesi massa yang
signifikan. Terdapat 25% pasien dengan lesi massa akan mengalami perubahan kondisi
klinis dalam 2-3 hari setelah cedera. Paling sulit manajemen pada pasien neurotrauma
dengan GCS 8-14 dan memiliki lesi massa ukuran sedang. Pertimbangan apakah harus
operasi atau tidak berdasarkan tekanan intrakranial, jika tekanan intrakranial lebih dari 20
mmHg, segera lakukan operasi dekompresi sebab walaupun lesi massa kecil, tapi
pembengkakan otak yang hebat dapat ditemukan. 9,10,14,16

Indikasi pembedahan antara lain : 1) Suatu subdural hematoma akut dengan


ketebalan lebih besar dari 10 mm atau dengan pergeseran garis tengah otak lebih besar
dari 5 mm pada gambaran CT Scan, harus dilakukan tindakan operasi, tanpa melihat
derajat kesadaran pasien (GCS). 2) Semua pasien dengan subdural hematoma akut dalam .
keadaan koma (nilai GCS lebih rendah daripada 9) harus menjalani pemantauan tekanan
intrakranial. 3) Pasien koma (nilai GCS lebih rendah daripada 9) dengan ketebalan SDH
kurang dari 10 mm dan pergeseran garis tengah otak kurang dari 5 mm, harus menjalani
tindakan operasi untuk evakuasi hematoma, bilamana nilai GCS menurun 2 angka atau
lebih pada waktu antara masa trauma dan ketika masuk rumah sakit. Demikian pula bila
pada pasien ditemukan pupil yang asimetris atau dilatasi dan atau tekanan intrakranial
lebih dari 20 mmHg.
BAB IV ANALISIS KASUS

Pasien dengan penurunan kesadaran memiliki banyak kemungkinan yang menjadi


penyebab terjadinya kondisi klinis tersebut, antara lain adanya keterkaitan dengan tiga organ
yang menjadi komponen utama yang berhubungan dengan pengaturan proses kesadaran ; sistem
saraf pusat, jantung dan paru-paru. Dengan melakukan pemeriksaan yang tepat, penyebab
penurunan kesadaran pada seseorang dapat diidentifikasi dengan baik.

Pada pasien yang dibahas dalam kasus diatas, ditemukan pada anamnesis pasien
mengalami penurunan kesadaran dengan onset secara tiba-tiba, didahului dengan gejala mual dan
muntah namun tanpa didahului dengan nyeri kepala. Dari anamnesis yang dilakukan terhadap
keluarga pasien, pasien tidak memberikan respon apapun saat berbaring di tempat tidur setelah
pasien mengeluh mual dan muntah sebanyak satu kali. Keluarga menyangkal pasien sebelum
mengalami penurunan kesadaran, mengalami suatu kejadian yang menyebabkan adanya trauma
atau benturan pada kepala atau anggota tubuh lainnya. Keluarga juga menyangkal pasien
memiliki riwayat hipertensi, DM dan penyakit jantung. Keluarga juga mengatakan pasien tidak
pernah mengalami penurunan kesadaran seperti ini sebelumnya, serta riwayat penyakit lainnya
seperti stroke atau kejang disangkal oleh keluarga pasien.

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan di IGD, pada pasien didapatkan tingkat kesadaran
pasien sopor dengan GCS 6. Pada pemeriksaan tanda vital tidak ditemukan adanya tanda
patologis, hanya pada pasien didapatkan hasil tekanan darah 140/90 mmHg yang merupakan
hipertensi grade 1 dan SpO2 95 % dengan bantuan nasal kanul. Dari pemeriksaan status generalis
juga tidak ditemukan tanda patologis. Namun pada pemeriksaan ekstremitas, pada pasien
didapatkan akrak yang dingin dan CRT yang meningkat, menandakan adanya gangguan perfusi.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan antara lain pemeriksaan Brudzinski I dan II, tidak
ditemukan adanya kaku kuduk pada pasien.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil kada hemoglobin 8,4 g/dL dan
hematokrit 23 %, yang menandakan bahwa pasien mengalami proses hemolisis, mengarah
kepada salah satu tanda anemia. Jumlah leukosit pada pasien sebesar 18.280 yang menandakan
adanya proses infeksi atau inflamasi pada tubuh pasien. Pasien juga memiliki jumlah trombosit
yang rendah, hanya 76.000, merupakan suatu tanda trombositopenia. Pemeriksaan rapid antibody
pada pasien didapatkan hasil IgM dan IgG non reaktif, menyingkirkan adanya kemungkinan
infeksi COVID 19. Pada pemeriksaan EKG dan rontgen thorax PA, tidak ditemukan adanya
kelainan yang bermakna. Namun, pada pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras, didapatkan
adanya suatu gambaran hiperdens pada cerebral hemisfer kiri, menandakan suatu gambaran
pendarahan aktif atau akut pada pasien.

Dapat disimpulkan bahwa penurunan kesadaran yang terjadi pada pasien disebabkan oleh
adanya perdarahan pada cerebral hemisfer kiri, yang ditemukan pada pemeriksaan CT Scan
kepala tanpa kontras. Penyebab terjadinya perdarahan pada cerebral pasien berdasarkan tinjauan
pustaka yang dibahas sebelumnya, diduga disebabkan oleh adanya kemungkinan riwayat
hipertensi yang tidak diketahui sehingga tidak dapat dikontrol ditambah dengan usia pasien yang
sudah tua menjadi faktor risiko kuat yang menyebabkan pembuluh darah pada cerebral pasien
mengalami kerusakan sehingga mudah untuk mengalami perdarahan.

Penanganan pasien di IGD sudah sesuai dengan guidelines. Pemberian cairan ringer
asetat yang merupakan cairan isotonis, dapat memberikan asupan cairan terhadap pasien tanpa
mempengaruhi perdarahan yang terdapat pada cerebral pasien. Pemberian oksigen menjadi salah
satu terapi utama dalam menangani pasien dengan penurunan kesadaran untuk mencegah
terjadinya hipoksia pada pasien. Pemberian citicoline, senyawa neuroprotektif, pada pasien
dengan kerusakan pada cerebral menjadi salah satu terapi medikamentosa yang penting dalam
menjaga fungsi dan sel-sel neuron yang terdapat pada daerah sekitar kerusakan serta membantu
mencegah perburukan gejala pada pasien. Pemberian mannitol memiliki fungsi menjaga TIK
pasien tidak meningkat, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya herniasi pada cerebral
pasien. Pemberian phenytoin yang merupakan terapi anti epileptic sebagai terapi pencegahan
agar pasien tidak mengalami kejang yang dapat disebabkan kerusakan pada cerebral pasien.

Penanganan lanjutan yang harus dilakukan pada pasien adalah melakukan tindakan
operasi untuk mengeluarkan serta menghentikan perdarahan yang terjadi pada cerebral pasien.
Dengan melakukan craniotomy, menjadi kunci utama membaiknya prognosis pada pasien
dengan perdarahan intraserebral.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jody Corey-Bloom, Ronald B. David . Clinical Adult of Neurology 3rd ed. New York
Demosmedical: 2009 .p. 270-279.
2. Wilson M. L, Price S. A,2002 Patofisiologi, vol.2, Edisi 6.
3. Sitorus ,S. M, 2004, Sistem Ventrikel dan liquor Cerebrospinal, USU.
4. Sidharta P, Mardjono M,2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.
5. Wilson M. L, Price S. A,2002 Patofisiologi, vol.2, Edisi 6.
6. Miller JD dan Nader R.Acute Subdural Hematoma from Bridging Vein Rupture: a
Potential Mechanism for Growth. Journal Neurosurg. 2014. 120; hal 1378-84.
7. Guyton, A.C., Hall, J.E., 1996. Textbook of Medical Physiology (9thed.). Setiawan,
Irawati et al. 1997 (alihbahasa), EGC: Jakarta
8. Guidelines for the management of severe head injury. Brain Trauma Foundation,
American Association ofNeurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and
Critical Care. J Neurotrauma 1996;13:641–734.
9. Koc RK, Akdemir H, Oktem IS, Meral M, Menku A. Acute subdural hematoma:
Outcome and outcome prediction. Neurosurg Rev 1977;20:239–44
10. Kamal R. Acute Subdural Hematoma. Textbook of Traumatic Brain Injury. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers. 2012. Hal 158-168.
11. Ersay F, Rapid spontaneous resolution of epidural hematoma,Turkish journal of trauma
& emergency surgey.
12. Gillet J, What’s the difference Between a subdural and Epidural Hematoma,
Brainline.org.
13. Guidelines for the management of severe head injury. Brain Trauma Foundation,
American Association of Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and
Critical Care. J Neurotrauma 1996;13:641–734.
14. Megher RJ. Subdural Hematoma. Dapat diakses di
https://emedicine.medscape.com/article/1137207-overview.
15. Snell Richard S.2009.Neuroanatomi Klinik.Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal
292-303.
16. Duus, P. 2007. Diagnosis Topik Neurologi edisi IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta. Hal 310-343.

Anda mungkin juga menyukai