Disusun Oleh :
dr. Nurwahidin Wishnu Adi Subroto
Dokter Pendamping :
Hj. dr. Sumarmi
RSUD 45 KUNINGAN
KABUPATEN KUNINGAN
2021
BAB I PENDAHULUAN
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah disfungsi neurologi fokal yang akut dan
disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan, bukan oleh karena
trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler. Perdarahan
intraserebral merupakan 10% dari semua jenis stroke, tetapi persentase kematian lebih tinggi
disebabkan oleh stroke. Sekitar 60% terjadi di putamen dan kapsula interna, dan masing-masing
10% pada substansia alba, batang otak, serebelum dan talamus. Pada usia 60 tahun, PIS lebih
sering terjadi dibandingkan subarachnoid hemorrhage (PSA).1
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis
sehingga melemahkan arteri kecil dan menyebabkannya robek. Penggunakan kokain atau
amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah tinggi dan perdarahan sementara. Pada
beberapa orangtua, sebuah protein abnormal yang disebut amiloid terakumulasi di arteri otak.
Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid) melemahkan arteri dan dapat menyebabkan
perdarahan.1
Perdarahan subdural secara umum dibagi menjadi bentuk akut dan bentuk kronis atau
subakut. Kasus akut untuk kasus – kasus perdarahan subdural yang dioperasi dalam waktu 24
jam. Tetapi perdarahan subdural yang manifes dalam waktu 48 – 72 jam oleh kelompok lain
masih disebut sebagai perdarahan akut.
2.2 Anamnesis
2.2.1. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
2.2.2. Anamnesis (Alloanamnesis)
OS datang ke IGD RSUD 45 Kuningan dengan penurunan kesadaran
sejak 3 jam yang lalu. Sebelum pasien mengalami penurunan kesadaran, pasien
sempat mengeluh mual dan muntah sebanyak 1 x, berisi makanan, darah (-).
Mengeluh nyeri kepala sebelum mengalami penurunan kesadaran disangkal oleh
keluarga pasien. Pasien diduga mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba
hanya saat sedang berbaring di tempat tidur, ketika dipanggil oleh keluarga
pasien, pasien tidak memberikan respon apapun. Os sempat kejang 1 x saat di
IGD. Riwayat adanya trauma atau benturan pada daerah sekitar kepala disangkal
oleh keluarga pasien. Keluhan sebelumnya seperti demam (-), batuk (-), nyeri
perut (-), BAB dan BAK disangkal oleh keluarga. Riwayat penurunan kesadaran
sebelumnya disangkal oleh keluarga, riwayat penyakit hipertensi dan DM
disangkal, riwayat stroke disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal, riwayat
kejang disangkal, riwayat kontak dengan pasien COVID disangkal, riwayat
bepergian jauh disangkal. Riwayat vaksinasi COVID disangkal, riwayat terpapar
COVID disangkal. Keluarga os (kakak) sebelumnya pernah mengalami keluhan
yang sama.
2.6. Tatalaksana/Instruksi
Citicolin 4 x 250 mg IV
Mannitol 4 x 125 mg IV
Omeprazole 1 x 1 g IV
Phenitoin 3 x 2 caps PO H-1 ~ 3 x 1 caps H-selanjutnya
Kalnex 3 x 500 mg IV
Ceftriaxone 2 x 1 g IV
Rujuk ke RS Waled
2.7. Prognosis
3.1. Anatomi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya.
Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut akan mudah sekali terkena cedera dan
mengalami kerusakan. Selain itu, begitu rusak, neuron tidak dapat diperbaiki lagi. Tepat
di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, yaitu jaringan fibrosa padat, dapat
digerakkan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di
antara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membran dalam yang
mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek, pembuluh-pembuluh ini sukar
mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah bermakna pada
penderita laserasi kulit kepala.
3.1.1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan
suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang
melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah
untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di
antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di
antara bagian-bagian otak.2
3.1.2. Arachnoidea
Membran arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi
spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis
dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu
anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
3.1.3. Piamater
3.2. Definisi
3.3. Epidemiologi
Prevalensi terjadinya subdural hematoma pada cedera kepala berat bergeser 30%.
Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan perdarahan epidural. Perdarahan ini
sering terjadi akibat robekan pembuluh darah atau vena-vena kecil di permukaan korteks
serebri. Subdural hematoma akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan
cedera kepala berat. Kejadian tahunan hematoma subdural kronis telah dilaporkan 1-5,3
kasus per 100.000 penduduk. Penelitian terbaru telah menunjukkan insiden yang lebih
tinggi. Hal itu disebabkan teknik pencitraan yang lebih baik. Tingkat mortalitas SDH akut
berkisar 45-63%. Kematian terjadi 74% pada pasien dengan Glasgow Coma Scale Score
(GCS) 3-5 kurang dari 6 jam, namun jika GCS 6-8 tingkat kematiannya menurun hingga
39%.6,7,8
3.4. Klasifikasi
Subdural hematom dibagi tiga, yaitu subdural hematom akut, subakut, dan kronis.
Ketiganya dibedakan berdasarkan lamanya kejadian. Subdural hematom akut terjadi
selama 48-72 jam setelah cedera, subdural hematom subakut terjadi 3-20 hari setelah
cedera, dan subdural hematom kronis terjadi dari tiga minggu sampai beberapa bulan
setelah cedera. Subdural hematom akut adalah tipe hematom intrakranial dimana 24 %
pasien mengalami koma. Jika sudah terjadi koma maka angka kematian meningkat
menjadi 60%.7
Perdarahan akut dimana gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah
trauma. Terjadi pada cedera bentur kepala yang cukup berat. Hal ini dapat mengakibatkan
perburukan lebih lanjut pada pasien yang sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran
scanning tomografinya, didapatkan lesi hiperdens berbentuk cekung.7,8,9
Perdarahan sub akut dapat berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 -
14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah
dan cairan darah. Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di
sekitarnya. Pada gambaran scanning tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens
berbentuk cekung. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah
dan resorbsi dari hemoglobin.7,8,9
Perdarahan kronik terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.
Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu-minggu
ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya
terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, kita
harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara
perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi.7,8,9
3.5. Etiologi
Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala
hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi
dalam ruangan subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik
dan memutuskan vena-vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu
akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan
dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan
bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi
kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi,
maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.
3.6.1. Usia
3.6.2. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko yang paling penting dan merupakan faktor
risiko yang dapat dimodifikasi pada perdarahan intraserebral. Penderita hipertensi yang
tidak mendapatkan terapi, lebih berat dibandingkan penderita hipertensi yang
mendapatkan terapi. Diantara faktor risiko perdarahan intraserebral, hipertensi
diperkirakan sebagai faktor risiko perdarahan pada daerah deep hemisfer dan brainstem.
Cerebral Amiloid Angiopati merupakan faktor risiko yang jarang terjadi dari
perdarahan intraserebral, akan tetapi sekarang menjadi pertimbangan faktor risiko dari
perdarahan intraserebral khususnya perdarahan lobar pada penderita usia lanjut.
Gambaran patologi yang utama adalah deposit protein amiloid pada media dan adventitia
dari arteri leptomeningeal, arteriol, kapiler dan paling sedikit pada vena. Patogenesis
CAA pada perdarahan intraserebral adalah destruksi pada struktur vaskular yang normal
melalui deposisi amiloid pada media dan adventitia dan rangkaian formasi aneurisma.
Pembuluh darah yang rapuh dan mikroaneurisma menjadi pemicu rupturnya pembuluh
darah.
Pada beberapa percobaan, warfarin sebagai terapi atrial fibrillasi dan infark
miokard merupakan penyebab terbanyak anticoagulant associated intracerebral
hemorrhage (AAICH).
Dengan menggunakan MRI Gradient Echo untuk mendeteksi lesi yang kecil,
perdarahan asimptomatik pada parenkim otak (microbleeds). Microbleeds berhubungan
dengan stroke iskemik (khususnya lakunar) dan perdarahan.microbleeds sering dijumpai
pada perdarahan intraserebral, hal ini terjadi pada 54 – 71% penderita perdarahan
intraserebral.
3.7. Patomekanisme
Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural adalah
penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi
sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam
rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-vena yang halus ) dan
orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih
panjang ) memiliki resiko yang lebih besar. 11,12
SDH akut disebabkan robekan kapiler kortikal akibat akselerasi otak dalam
kranium disebabkan benturan. Saat kepala berbenturan dengan benda keras,
menimbulkan energi yang berakibat otak berakselerasi di dalam kranium. Jika akselerasi
ini berjalan hanya sesaat, kerusakan terjadi hanya di sekitar permukaan otak dan
pembuluh darah termasuk bridging veins. Jika akselerasi dalam jangka waktu lama,
regangan dapat masuk lebih dalam menyebabkan diffuse axonal injury (DAI). Sumber
perdarahan lain subdural hematom adalah laserasi atau ruptur arteri dan vena kecil di
korteks yang berkaitan dengan kontusio. Subdural hematom biasanya berada sepanjang
konveksitas cerebral. Tempat paling sering kontusio cerebral yang menyebabkan
subdural hematom adalah di bagian temporal dan berikutnya di bagian frontal dan
cerebral konveksitas. Subdural hematom juga dapat terjadi antara falx dan permukaan
medial hemisfer cerebral. Ini sering disebut parafalcine subdural hematom yang
dikarakterisasikan dengan hemiparese kontralateral pada ekstremitas bawah dibanding
ekstremitas atas (falx syndrome).6
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” .
Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang
terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade
hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan
terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya
pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas
hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil
dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga mekanisme. 11,12
3.8.1. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas
dikepala atau tidak. Jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran
atau pingsan. Jika diketahui pasien pingsan atau memiliki riwayat pingsan sebelumnya,
apakah penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula? Selanjutnya apakah pasien
tetap sadar seperti semula atau turun lagi kesadaran pasien? Perhatikanlah lamanya
periode sadar atau lucid interval pada pasien tersebut. Untuk tambahan informasi perlu
ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma kepala.
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari penyebab utama
penderita tidak sadar, apakah karena aspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses
intrakranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya
sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang
tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, demikian pula
obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, serta apakah pasien dalam pengaruh
alkohol.9,13,14
SDH akut dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan lalu lintas atau penganiayaan.
Pasien dengan SDH akut mengalami benturan benda tumpul di kepala baik sedang
maupun berat. Gambaran klinis tergantung letak lokasi dan luasnya perdarahan. Pasien
dengan SDH akut biasanya berusia lebih tua dibanding cedera tanpa SDH akut.15
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48
jam setelah cedera. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.7,9,10
Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai
suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam
(inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah
parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium
serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung, unilateral dan terbatasi oleh garis sutura.
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran
tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width.
Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang
sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa
kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang
mendasarinya.
Tidak seperti EDH, SDH terjadi pada lokasi countercoup. Karena SDH berkaitan
dengan cedera parenkim, derajat efek masa dapat muncul lebih hebat dibanding ukuran
SDH. Dibandingkan otak normal 20-30 HU, densitas SDH akut 50-60 HU lebih tinggi
karena bekuan darah. Densitas SDH akan akan berkurang secara progresif karena
degradasi protein. Ini mungkin sulit dibedakan dengan subarakhnoid pada cerebri yang
atrofi. Pada kondisi subakut, biasanya antara 1-3 minggu bergantung pada tingkat
hematokrit, faktor pembekuan, dan ada atau tidaknya perdarahan berulang, terjadilah fase
isodens. Selama fase akut ke kronis, lapisan tipis konveksitas isodens SDH sulit
diidentifikasi.8,9,14,16
3.9. Penatalaksanaan
Pada kondisi lain, tekanan darah rata – rata lebih dari 110 mmHg dapat
menimbulkan edema otak dan risiko ekstensi dari penyumbatan. Diperkirakan pada saat
hipertensi akut menggunakan obat beta blocker (esmolol, labetalol), atau ACE inhibitor
dianjurkan. Calcium channel blocking drugs jarang digunakan dikarenakan laporan efek
samping dari tekanan.
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita
harus memperhatikan kondisi klinis dengan gambaran radiologisnya. Didalam masa
mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan
dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakrania (PTIK).
Seperti pemberian manitol 0,25gr/gr BB, atau furosemid 10 mg intravena dan
hiperventilasi. 9,10,14,16
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) edema otak
yang minimal dan midline shift kurang dari 5 mm dilakukan Tindakan konservatif. Tetapi
pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti
oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. 9,10,14,16
Pada pasien yang dibahas dalam kasus diatas, ditemukan pada anamnesis pasien
mengalami penurunan kesadaran dengan onset secara tiba-tiba, didahului dengan gejala mual dan
muntah namun tanpa didahului dengan nyeri kepala. Dari anamnesis yang dilakukan terhadap
keluarga pasien, pasien tidak memberikan respon apapun saat berbaring di tempat tidur setelah
pasien mengeluh mual dan muntah sebanyak satu kali. Keluarga menyangkal pasien sebelum
mengalami penurunan kesadaran, mengalami suatu kejadian yang menyebabkan adanya trauma
atau benturan pada kepala atau anggota tubuh lainnya. Keluarga juga menyangkal pasien
memiliki riwayat hipertensi, DM dan penyakit jantung. Keluarga juga mengatakan pasien tidak
pernah mengalami penurunan kesadaran seperti ini sebelumnya, serta riwayat penyakit lainnya
seperti stroke atau kejang disangkal oleh keluarga pasien.
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan di IGD, pada pasien didapatkan tingkat kesadaran
pasien sopor dengan GCS 6. Pada pemeriksaan tanda vital tidak ditemukan adanya tanda
patologis, hanya pada pasien didapatkan hasil tekanan darah 140/90 mmHg yang merupakan
hipertensi grade 1 dan SpO2 95 % dengan bantuan nasal kanul. Dari pemeriksaan status generalis
juga tidak ditemukan tanda patologis. Namun pada pemeriksaan ekstremitas, pada pasien
didapatkan akrak yang dingin dan CRT yang meningkat, menandakan adanya gangguan perfusi.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan antara lain pemeriksaan Brudzinski I dan II, tidak
ditemukan adanya kaku kuduk pada pasien.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil kada hemoglobin 8,4 g/dL dan
hematokrit 23 %, yang menandakan bahwa pasien mengalami proses hemolisis, mengarah
kepada salah satu tanda anemia. Jumlah leukosit pada pasien sebesar 18.280 yang menandakan
adanya proses infeksi atau inflamasi pada tubuh pasien. Pasien juga memiliki jumlah trombosit
yang rendah, hanya 76.000, merupakan suatu tanda trombositopenia. Pemeriksaan rapid antibody
pada pasien didapatkan hasil IgM dan IgG non reaktif, menyingkirkan adanya kemungkinan
infeksi COVID 19. Pada pemeriksaan EKG dan rontgen thorax PA, tidak ditemukan adanya
kelainan yang bermakna. Namun, pada pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras, didapatkan
adanya suatu gambaran hiperdens pada cerebral hemisfer kiri, menandakan suatu gambaran
pendarahan aktif atau akut pada pasien.
Dapat disimpulkan bahwa penurunan kesadaran yang terjadi pada pasien disebabkan oleh
adanya perdarahan pada cerebral hemisfer kiri, yang ditemukan pada pemeriksaan CT Scan
kepala tanpa kontras. Penyebab terjadinya perdarahan pada cerebral pasien berdasarkan tinjauan
pustaka yang dibahas sebelumnya, diduga disebabkan oleh adanya kemungkinan riwayat
hipertensi yang tidak diketahui sehingga tidak dapat dikontrol ditambah dengan usia pasien yang
sudah tua menjadi faktor risiko kuat yang menyebabkan pembuluh darah pada cerebral pasien
mengalami kerusakan sehingga mudah untuk mengalami perdarahan.
Penanganan pasien di IGD sudah sesuai dengan guidelines. Pemberian cairan ringer
asetat yang merupakan cairan isotonis, dapat memberikan asupan cairan terhadap pasien tanpa
mempengaruhi perdarahan yang terdapat pada cerebral pasien. Pemberian oksigen menjadi salah
satu terapi utama dalam menangani pasien dengan penurunan kesadaran untuk mencegah
terjadinya hipoksia pada pasien. Pemberian citicoline, senyawa neuroprotektif, pada pasien
dengan kerusakan pada cerebral menjadi salah satu terapi medikamentosa yang penting dalam
menjaga fungsi dan sel-sel neuron yang terdapat pada daerah sekitar kerusakan serta membantu
mencegah perburukan gejala pada pasien. Pemberian mannitol memiliki fungsi menjaga TIK
pasien tidak meningkat, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya herniasi pada cerebral
pasien. Pemberian phenytoin yang merupakan terapi anti epileptic sebagai terapi pencegahan
agar pasien tidak mengalami kejang yang dapat disebabkan kerusakan pada cerebral pasien.
Penanganan lanjutan yang harus dilakukan pada pasien adalah melakukan tindakan
operasi untuk mengeluarkan serta menghentikan perdarahan yang terjadi pada cerebral pasien.
Dengan melakukan craniotomy, menjadi kunci utama membaiknya prognosis pada pasien
dengan perdarahan intraserebral.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jody Corey-Bloom, Ronald B. David . Clinical Adult of Neurology 3rd ed. New York
Demosmedical: 2009 .p. 270-279.
2. Wilson M. L, Price S. A,2002 Patofisiologi, vol.2, Edisi 6.
3. Sitorus ,S. M, 2004, Sistem Ventrikel dan liquor Cerebrospinal, USU.
4. Sidharta P, Mardjono M,2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.
5. Wilson M. L, Price S. A,2002 Patofisiologi, vol.2, Edisi 6.
6. Miller JD dan Nader R.Acute Subdural Hematoma from Bridging Vein Rupture: a
Potential Mechanism for Growth. Journal Neurosurg. 2014. 120; hal 1378-84.
7. Guyton, A.C., Hall, J.E., 1996. Textbook of Medical Physiology (9thed.). Setiawan,
Irawati et al. 1997 (alihbahasa), EGC: Jakarta
8. Guidelines for the management of severe head injury. Brain Trauma Foundation,
American Association ofNeurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and
Critical Care. J Neurotrauma 1996;13:641–734.
9. Koc RK, Akdemir H, Oktem IS, Meral M, Menku A. Acute subdural hematoma:
Outcome and outcome prediction. Neurosurg Rev 1977;20:239–44
10. Kamal R. Acute Subdural Hematoma. Textbook of Traumatic Brain Injury. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers. 2012. Hal 158-168.
11. Ersay F, Rapid spontaneous resolution of epidural hematoma,Turkish journal of trauma
& emergency surgey.
12. Gillet J, What’s the difference Between a subdural and Epidural Hematoma,
Brainline.org.
13. Guidelines for the management of severe head injury. Brain Trauma Foundation,
American Association of Neurological Surgeons, Joint Section on Neurotrauma and
Critical Care. J Neurotrauma 1996;13:641–734.
14. Megher RJ. Subdural Hematoma. Dapat diakses di
https://emedicine.medscape.com/article/1137207-overview.
15. Snell Richard S.2009.Neuroanatomi Klinik.Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal
292-303.
16. Duus, P. 2007. Diagnosis Topik Neurologi edisi IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta. Hal 310-343.