“EFFUSI PLEURA
Et Causa
DENGUE SHOCK SYNDROME”
Diajukan Kepada :
Pembimbing : dr. Lilis Untari Soerono, Sp.Rad
Disusun Oleh :
Siti Hardiyanti - H3A021076
Dimas Pratama H.S - H3A021043
1
BAB I
PENDAHULUAN
Efusi pleura adalah keadaan dimana terjadi penumpukan cairan melebihi normal
di dalam cavum pleura diantara pleura parietalis dan visceralis dapat berupa transudat
atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan
sebanyak 10- 20 m.l. Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah dhf,
tuberkulosis, infeksi paru non tuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus atau
tumpul pada daerah ada, infark paru, serta gagal jantung kongestif. Di Negara-negara
barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati,
keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di.
Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, dipsneu. Nyeri bisa timbul akibat
efusi yang banyak berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Diagnosis efusi pleura
dapat ditegakkan melalui anamnesis serta pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis yang
pasti melalui pungsi percobaan, biopsy dan analisa cairan pleura4. Penatalaksanaan efusi
pleura dapat dilakukan dengan cara pengobatan kausal, thorakosintesis, Water Sealed
Drainage (WSD), dan pleurodesis.
Dengue Hemoragik Fever (DHF) adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari
dengan dua atau lebih manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah, nyeri
retro orbital, myalgia, atralgia, ruam kulit, hepatomegali, manifestasi perdarahan,
lekopenia. dengan kecenderungan perdarahan dan manifestasi kebocoran plasma disertai
dengan pembesara hati
Demam Berdarah Dengue (BDB) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah
suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family Flaviviride, dengan genusnya
adalah Flavivirus. Virus mempunyai empat serotype yang dikenal dengan DEN-1, DEN-
2, DEN-3, dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang
berbeda-beda tergantung dari sterotipe virus dengue. Mordibitas penyakit DBD menyebar
di negara-negara tropis dan sub tropis. Di setiap Negara penyakit DBD mempunyai
manifestasi klinik yang berbeda. Dengue Shock Syndrome (SSD)/ Dengue Syok Sindrom
(DSS) adalah kasus deman berdarah dengue disertai dengan manifestasi kegagalan
sirkulasi/ syok/ renjatan. Dengue Shok Syndrome (DSS) adalah sindroma syok yang
terjadi pada penderita Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue
(DBD) menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan permasalahan klinis.
Karena 30 – 50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami renjatan dan
berakhir dengan suatu kematian terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.
2
Penanganan renjatan pada DBD merupakan suatu masalah yang sangat penting
diperhatikan, oleh karena angka kematian akan meninggi bila renjatan tidak ditanggulangi
secara dini dan adekuat. Dasar penangani renjatan DBD ialah volume replacement atau
penggantian cairan intravascular yang hilang, sebagai akibat dari kerusakan dinding
kapiler yang menimbulkan peninggian permeabilitas sehingga mengakibatkan plasma
leakage. 6 Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak
teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama An. Elia Putra W
Umur : 11 th 2bl
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Kalipancur
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Tanggal Periksa : 18 juni 2022
No RM :63-00-77
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : DHF dan penurunan kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Tugurejo Semarang pada tanggal 18 Juni 2022
pukul 17.00 WIB. Pasien datang dengan penurunan kesadaran
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat Penyakit Ginjal : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Operasi : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Sakit Serupa : Disangkal
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat Penyakit Ginjal : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
4
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Biaya pengobatan menggunakan BPJS. Kesan ekonomi cukup
h. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea Midclavicula
sinistra
Perkusi : dalam batas normal
Auskultasi : BJ I dan BJ II normal, bising jantung (-)
i. Abdomen
Inspeksi : tampak datar, bekas operasi (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : tidak nyeri
j. Ekstremitas
Dextra Sinistra
Ekstremitas Superior
Akral pucat + +
Akral dingin + +
Deformitas - -
Ekstremitas Inferior
Akral pucat + +
Akral dingin + +
Deformitas - -
6
- Trombosit : 114 x 103 / ul (Menurun)
- Neutrofil : 61,8 % (Meningkat)
22 Juni 2022
Hasil pembacaan X Foto Thorax AP supine (19 Juni 2022 Jam 07.01)
Klinis : Gagal Nafas
Di bandingkan x foto tanggal 18 juni 2022
Tampak terpasang ETT dengan ujing distal setinggi v Thoracal I-II
Effusi pleura kanan bertambah
Cor :Ukuran tak membesar, sedikit bergeser kekiri
Pulmo :Corakan bronkovaskular kasar,
8
Tampak gambaran infiltrat kedua parahiler
Diafragma dan sinus costofrenicus kiri baik
Diafragma dan sinus costofrenicus kanan tertutup perselubungan opaq
Kesan :
Ujung distal ETT setinggi v Thoracal I-II
Effusi pleura kanan bertambah
Cor tidak membesar.
Oedema Pulmo
4. Pemeriksaan foto thorax (20 Juni 2022 Jam 10.40)
10
Pulmo : corakan bronkovaskular normal, Tidak tampak infiltrat pada
kedua paru
Hilus tak menebal
Diafragma dan sinus costofrenicus kanan tertutup perselubungan opaq
Diafragma dan sinus costofrenicus kiri baik
Tulang dan jaringan lunak baik
Kesan :
Effusi pleura kanan masif
Effusi Pleura kiri
Kollaps sebagian paru kanan
Cor tidak membesar
CVP dengan ujung distal pada proyeksi V.Kava Superior (terpasang baik)
ETT terpasang baik
V. DIAGNOSIS
a. Non Medikamentosa
- Pemantauan respirasi :
• Monitor pola nafas
• Monitor saturasi oksigen
- Pencegahan syok
• Berikan oksigenasi
• Kolaborasi pemberian cairan IV
- Monitor status kaardiopulmonal
Frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi napas, tekanan darah, dan respon pupil
- Posisikan semifowler
b. Medikamentosa
- Infus Nacl 0,9%
- Infus Ringer Laktat Infus
- Infus Gelafusal
- Inj Ondansetron
- Inj Omeprazole
- S/P midazolam
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Etiologi
Efusi pleura didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana terdapatnya cairan yang
berlebih jumlahnya di dalam cavum pleura, yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara pembentukan dan reabsorbsi (penyerapan) cairan pleura
ataupun adanya cairan di cavum pleura yang volumenya melebihi normal. Dalam
keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-20 ml. Cairan
pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura
mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl. Cairan dalam jumlah
yang berlebih dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan paru
selama inhalasi. Dalam keadaan normal, rongga pleura berisi sedikit cairan untuk
sekedar melicinkan permukaan pleura parietalis dan visceralis yang saling
bergerak karena pernapasan. Cairan masuk ke dalam rongga melalui pleura
parieatalis yang bertekanan tinggi dan diserap oleh sirkulasi di pleura visceralis
yang bertekanan rendah dan diserap juga oleh kelenjar limfe dalam pleura
parietalis dan pleura visceralis.
Akumulasi cairan melebihi volume normal dan menimbulkan gangguan jika
cairan yang diproduksi oleh pleura parietalis dan visceralis tidak mampu diserap
oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah mikropleura visceral atau sebaliknya
yaitu produksi cairan melebihi kemampuan penyerapan. Akumulasi cairan pleura
melebihi normal dapat disebabkan oleh beberapa kelainan, antara lain infeksi dan
kasus keganasan di paru atau organ luar paru.
Pada seseorang yang mengalami efusi pleura, gejala klinis dapat berupa keluhan
sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak
berupa nyeri pleuritik atau nyeri tumpul yang terlokalisir, pada beberapa penderita
dapat timbul batuk-batuk kering. Keluhan berat badan menurun dapat dikaitkan
dengan neoplasma dan tuberkulosis, batuk berdarah dikaitkan dengan neoplasma,
emboli paru dan tuberkulosa yang berat. Demam subfebris pada tuberkulosis,
demam menggigil pada empiema, ascites pada sirosis hepatis.
B. Anatomi Pleura
Pleura adalah membran tipis yang membungkus paru – paru.Pleura yang melekat
12
pada paru - paru adalah pleura visceralis , yang berjalan dari pangkal masing-
masing paru ( hilus )menuju permukaan dalam dinding toraks membentuk pleura
parietalis.Pleura parietalis membatasi dinding toraks , meliputi permukaan torakal
diafragma dan permukaan lateral mediastinum , meluas sampai ke pangkal leher
untuk membatasi permukaan membran suprapleura pada apertura toraksis superior
. Pleural viscera membungkus seluruh permukaan luar paru-paru dan meluas ke
dalam fissura interlobaris.Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel
metholial dan jaringan ikat.
Ruangan yang terbentuk diantara pleura parietalis dan pleura visceralis dinamakan
kavum pleura,dimana didalamnya terdapat cairan pleura ( surfaktan )yang menjadi
lubrikans pada permukaan pleura saat respirasi .Dalam keadaan normal ,jumlah
cairan pleura ( surfaktan ) sekitar 1- 5 cc.
Secara umum terdapat perbedaan antara pleura visceralis dan pleura parietalis
yaitu :
a. Pleura visceralis Permukaan luar dari pleura visceralis terdiri dari selapis sel
metholial yang tipis dengan ukuran < 3 mm. Diantara celah – celah ini terdapat
sel limfosit , dibawah sel – sel metholial ini terdapat endopleura yang berisi
fibrosit dan histiosit.Di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan
kolagen dan serat – serat elastik.Lapisan terbawah terdapat jaringan interstisial
subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari arteri
pulmonalis dan arteri brakhialis serta pembuluh limfe.Pleura visceralis ini
menempel kuat pada jaringan paru , yang berfungsi untuk mengabsorpsi cairan
pleura.
b. Pleura Parietalis Pleura parietalis merupakan jaringan terdiri darisel-sel
metholial , jaringan ikat kolagen dan serat – serat elastis.Dalam jaringan ikat
tersebut banyak mengandung kapiler dari a. Intercostalis dan a. Mamaria
Interna , pembuluh limfe,dan banyak sel reseptor saraf sensoris yang peka
terhadap rasa sakit dan perbadaan tempertur.Seluruhpersyarafannya berasal
dari n. Intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dermatom dada.Pleura
parietalis ini mudah menempel dan lepas dari dinding dada dan berfungsi untuk
memproduksi cairan pleura.
C. Patofisiologi
Efusi cairan dapat berbentuk transudat dan eksudat. Efusi transudat terjadi karena
penyakit lain bukan primer paru seperti pada gagal jantung kongestif, sirosis hati,
13
sindroma nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan,
perikarditis konstriktiva, mikaedema, glomerulonefritis, obstruksi vena kava
superior, emboli pulmonal, atelektasis paru, hidrotoraks, dan pneumotoraks.
Sedangkan pada efusi eksudat, terjadi bila ada proses peradangan yang
menyebabkan permabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke
dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah
akibat M. tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab
lain seperti parapneumonia, parasit (amuba, paragonimiosis, ekinokokus), jamur,
pneumonia atipik (virus, mikoplasma, legionella), keganasan paru, proses
imunologik seperti pleuritis lupus (karena Systemic Lupus Eritematous), pleuritis
rematoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis
uremia, dan akibat radiasi
D. Gejala dan Tanda
Pleura efusi merupakan keadaan yang mendasari suatu gangguan. Penyakit dasar
menentukan gejala sistemik yang muncul. Pleura efusi bisa bersifat asimtomatis
sampai akumulasi cairan dalam rongga pleura tersebut menyebabkan gangguan
kardiorespirasi (dispnea, ortopnea) gejala langsung yang melibatkan pleura seperti
nyeri dada, rasa tertekan, dan dispnea. Anak yang lebih besar akan mengeluhkan
nyeri yang tajam pada saat inspirasi atau batuk yang diakibatkan karena
peregangan pada pleura parieta. Nyeri yang hebat menghambat pergerakan nafas
dan menyebabkan dipsnea. Pemeriksaan fisik penting terutama pada cairan pleura
yang sedikit. Pleura rub yang diakibatkan oleh kekasaran permukaan pleura
merupakan gejala awal yang dapat ditemukan pada saat inspirasi dan ekspirasi.
Jika cairan pleura bertambah, pleura rub akan hilang. Pelebaran rongga
interkostal, perkusi pekak, fremitus menurun dan suara nafas yang berkurang.
Tanda lainnya dari pleura efusi adalah pendorongan trakea dan apek jantung kesisi
kontralateral.
E. Gambaran Radiologi
Pada foto PA dengan penderita berdiri tegak, maka cairan dalam pleura dengan
jumlah 100-200 cc dapat tersembunyi dibelakang diphragma atau sebagai
encysted effusion yang tersenbunyi di belakang jantung. POSTERIOR
MEDIASTINAL PLEURAL REFLECTION dapat terlihat sebagai garis tebal
yang menjulang dari hilus ke diphragma, persis disebelah lateral dari columna
14
vertebralis, lebih sering terlihat pada sisi yang kiri daripada yang kanan. Pleural
effusion adalah kelainan dimana terdapat cairan (effusion) di dalam cavum pleura.
Pada posisi lateral decubitus cairan akan bergerak ke daerah yang lebih rendah.
Gambar 3.1 : Radiologi Efusi Pleura
PA Lateral Decubitus
15
pleura.10,11 Ultrasonografi thoraks juga memiliki peran yang semakin penting
dalam evaluasi efusi pleura karena sensitivitasnya yang lebih tinggi dalam
mendeteksi cairan pleura daripada pemeriksaan klinis atau radiografi toraks.
Karakteristik yang juga dapat dilihat pada USG dapat membantu menentukan
apakah terjadi efusi sederhana atau kompleks. Efusi sederhana dapat diidentifikasi
sebagai cairan dalam rongga pleura dengan echotexture homogen seperti yang
terlihat pada sebagian besar efusi transudatif, sedangkan efusi yang kompleks
bersifat echogenic, sering terlihat septasi di dalam cairan, dan selalu eksudat.
Bedside Ultrasound dianjurkan saat melakukan thoracentesis untuk meningkatkan
akurasi dan keamanan prosedural.
Diagnosis banding dari efusi pleura antara lain :
a. Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan paru-paru
yang disebabkan oleh
infeksi. Pneumonia bisa menimbulkan
gejala yang ringan hingga berat.
Pneumonia dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri, virus, dan jamur.
BeberapaGambar
virus 3.2yang umum menyebabkan pneumonia adalah virus
influenza, respiratory syncytial virus (RSV), dan SARS-CoV-2. Sementara
jenis bakteri yang umum menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus
pneumonia.
Gejala pneumonia cukup bervariasi. Namun, umumnya pneumonia ditandai
dengan batuk berdahak, demam, menggigil, sesak napas, nyeri dada ketika
bernapas atau batuk, mual dan muntah, nafsu makan menghilang, serta tubuh
yang mudah lelah.
b. Pulmonary edema
Edema paru adalah suatu kondisi yang
ditandai dengan gejala sulit bernapas akibat
terjadinya penumpukan cairan di dalam
kantong paru-paru (alveoli). Edema
paru terbagi menjadi edema paru akut, edema
paru kronis, dan high-altitude pulmonary
edema (HAPE).
16
Gambar 3.3
17
c. Tumor paru
Tumor paru adalah jaringan yang tumbuh
secara abnormal dan bisa bersifat jinak
atau ganas. Keberadaan tumor pada paru-
paru biasanya dideteksi dari pemeriksaan
rontgen dada atau CT scan yang tampak
dalam bentuk nodul.
Gambar 3.4
G. Tatalaksana Efusi Pleura
Penatalaksanaan efusi pleura dapat dilakukan dengan cara pengobatan kausal,
thorakosintesis, Water Sealed Drainage (WSD), dan pleurodesis. Pada kasus ini
karena pasien mengalami efusi pleura maka dilakukan thorakosintesis yaitu
berupa evakuasi cairan pleura sebanyak 600 cc yang berguna sebagai terapi
terapeutik dan diagnostik. Sebagai terapi terapeutik evakuasi ini bertujuan
mengeluarkan sebanyak mungkin cairan patologis yang tertimbun dalam rongga
pleura (sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap kali aspirasi), sehingga
diharapkan paru pada sisi yang sakit dapat mengembang lagi dengan baik, serta
jantung dan mediastinum tidak lagi terdesak ke sisi yang sehat, dan penderita
dapat bernapas dengan lega kembali. Sebagai terapi diagnostik dilakukan dengan
mengambil sedikit cairan pleura untuk dilihat secara fisik (warna cairan) dan
untuk pemeriksaan biokimia (uji Rivalta), serta sitologi.
Pada pasien sudah terpasang WSD yang mana WSD ini merupakan suatu sistem
drainage yang menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari
cavum pleura. Adapun indikasi pemasangan WSD pada pasien ini adalah adanya
efusi pleura yang massif. Pada pasien sudah direncanakan dilakukan tindakan
pleurodesis untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi.
Pleurodesis merupakan tindakan melengketkan pleura parietalis dengan pleura
visceralis dengan zat kimia (tetracycline, bleomisin, thiotepa, corynebacterium
parvum) atau tindakan pembedahan. Tindakan dilakukan bila cairan sangat
banyak dan selalu terakumulasi kembali.
18
3.2 DHF
A. Definisi
D engue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan
oleh Arbovirus (Arthropod Borne Virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes (Aedes Albopictus dan Aedes Aegypt). Dengue Haemorragic Fever
(DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan adanya manifestasi
perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan
kematian.
B. Epiemiologi
Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan 50 hingga
100 juta infeksi demam berdarah terjadi setiap tahun. Dari kasus-kasus ini
500.000 kemajuan menjadi DBD mengakibatkan 22.000 kematian,
kebanyakan anak- anak. Berdasarkan data resmi yang dikirim ke WHO,
kasus demam berdarah di seluruh Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat
melampaui 1,2 juta pada tahun 2008 dan lebih dari 3 juta pada tahun 2013.
Pada tahun 2013, 2,35 juta kasus demam berdarah dilaporkan di Amerika saja,
dimana 37, 687 kasus adalah DBD. Setelah epidemi DBD pertama yang
diketahui pada tahun 1953 hingga 1954 di Filipina, penyakit ini terus
menyebar ke seluruh Asia Tenggara.
Menurut WHO, sekarang ada lebih dari 2,5 miliar orang yang tinggal
D. PATOGENESIS
21
menimbulkan berbagai kelainan yang akhirnya menimbulkan berbagai bentuk
tanda dan gejala infeksi virus dengue.
22
a. Respon imun humoral
23
Respon imun selular yang berperan yaitu limfosit T (sel T). Sama
dengan respon imun humoral, respons sel T terhadap infeksi virus dengue
dapat menguntungkan sehingga tidak menimbulkan penyakit atau hanya
berupa infeksi ringan, namun juga sebaliknya dapat terjadi hal yang
merugikan bagi pejamu. Sel T spesifik untuk virus dengue dapat
mengenali sel yang terinfeksi virus dengue dan menimbulkan respons
beragam berupa proliferasi sel T, menghancurkan (lisis) sel terinfeksi
dengue, serta memproduksi berbagai sitokin. Pada penelitian in vitro,
diketahui bahwa baik sel T CD4 maupun sel T CD8 dapat menyebabkan
lisis sel target yang terinfeksi dengue. Dalam menjalankan fungsinya sel
T CD4 lebih banyak sebagai penghasil sitokin dibandingkan dengan
fungsi menghancurkan sel terinfeksi virus dengue. Sebaliknya, sel T
CD8 lebih berperan untuk lisis sel target dibandingkan dengan produksi
sitokin.
c. Mekanisme autoimun
24
sehingga menyebabkan trombositopenia dan pada sel endotel terjadi
peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan perembesar plasma.
25
aktivitas biologic sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a. komplemen
C5a menginduksi produksi beberapa sitokin proinflamasi (seperti TNF-α,
IL-1, IL-6, dan IL-8) dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi baik
pada neutrophil maupun sel endotel, sehingga peran C5a dalam
peningkatan permeabilitas vascular sangat besar.
26
akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi dengan menghasilkan titer tinggi antibody IgG anti dengue.
E. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Virus memasuki
tubuh manusia melalui gigitan nyamuk yang menembus kulit. Setelah itu
disusul oleh periode tenang selama kurang lebih 4 hari, dimana virus
27
melakukan replikasi secara cepat dalam tubuh manusia. Apabila jumlah
virus sudah cukup maka virus akan memasuki sirkulasi darah (viraemia), dan
pada saat ini manusia yang terinfeksi akan mengalami gejala panas. Dengan
adanya virus dengue dalam tubuh manusia, maka tubuh akan memberi reaksi.
Bentuk reaksi tubuh terhadap virus ini antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain dapat berbeda, dimana perbedaan reaksi ini akan
memanifestasikan perbedaan penampilan gejala klinis dan perjalanan
penyakit. Pada prinsipnya, bentuk reaksi tubuh manusia terhadap keberadaan
virus dengue adalah sebagai berikut :
Gambar 3.7
28
bentuk reaksi terjadi maka orang tersebut akan mengalami demam berdarah
dengue.
Dengue Fever
unta).
Gejala panas pada penderita infeksi virus dengue akan segera disusul
dengan timbulnya keluhan nyeri pada seluruh tubuh. Pada umumnya yang
dikeluhkan adalah nyeri otot, nyeri sendi, nyeri punggung, dan nyeri pada
bola mata yang semakin meningkat apabila digerakkan. Karena adanya gejala
nyeri ini, di kalangan masyarakat awam ada istilah flu tulang. Dengan
sembuhnya penderita gejala-gejala nyeri pada seluruh tubuh ini juga akan
hilang.
Ruam yang terjadi pada infeksi virus dengue ini dapat timbul pada saat
awal panas yang berupa flushing, yaitu berupa kemerahan pada daerah muka,
leher, dan dada. Ruam juga dapat timbul pada hari ke-4 sakit berupa bercak-
bercak merah kecil seperti bercak pada penyakit campak. Kadang-kadang
ruam tersebut hanya timbul pada daerah tangan atau kaki saja sehingga
29
memberi bentuk spesifik seperti kaos tangan dan kaki. Yang terakhir ini
biasanya timbul setelah panas turun atau setelah hari ke-5.
Pada infeksi virus dengue apalagi pada bentuk klinis DHF selalu disertai
dengan tanda perdarahan. Hanya saja tanda perdarahan ini tidak selalu
didapat secara spontan oleh penderita, bahkan pada sebagian besar penderita
tanda perdarahan ini muncul setelah dilakukan tes tourniquet. Bentuk-bentuk
perdarahan spontan yang dapat terjadi pada penderita demam dengue dapat
berupa perdarahan kecil-kecil di kulit (petechiae), perdarahan agak besar di
kulit (echimosis), perdarahan gusi, perdarahan hidung dan kadang-kadang
dapat terjadi perdarahan yang masif yang dapat berakhir pada kematian.
30
Secara umum empat gejala yang terjadi pada demam dengue sebagai
manifestasi gejala klinis dari bentuk reaksi 1 dan 2 tubuh manusia atas
keberadaan virus dengue juga didapatkan pada DHF. Yang membedakan
DHF dengan dengue fever adalah adanya manifestasi gejala klinis sebagai
akibat adanya bentuk reaksi 3 pada tubuh manusia terhadap virus dengue,
yaitu berupa keluarnya plasma (cairan) darah dari dalam pembuluh darah
keluar dan masuk ke dalam rongga perut dan rongga selaput paru. Fenomena
ini apabila tidak segera ditanggulangi dapat mempengaruhi manifestasi gejala
perdarahan menjadi sangat masif. Yang dalam praktik kedokteran sering kali
membuat seorang dokter terpaksa memberikan transfusi darah dalam jumlah
yang tidak terbayangkan.
F. DIAGNOSIS
31
Menurut WHO 1997 yang dikutip oleh Suhendro 2009 dan IDAI 2012,
kriteria diagnosis DBD ditegakkan melalui 2 kriteria :
A. Kriteria Klinis
1. Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2 – 7 hari.
3. Pembesaran hati.
4. Syok yang di tandai dengan nadi lemah dan cepat disertai penurunan
tekanan nadi (<20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik
<80 mmHg) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama
pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul
sianosis di sekitar mulut.
B. Kriteria Laboratorium
32
Gambar 3.9 : Diagnosis DBD
33
Warning Signs pada Demam Berdarah Dengue
1. Nyeri abdomen
2. Muntah persisten
3. Akumulasi cairan; edema palpebra, perut tegang, efusi pleura, edema
ekstremitas
4. Pendarahan mukosa; epistaksis, gusi berdarah, bibir berdarah
5. Letargi atau gelisah
6. Pembesaran hati >2cm
7. Peningkatan hematokrit dengan penurunan cepat jumlah trombosit
Pemeriksaan Penunjang
- Isolasi virus
a. Isolasi Virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk, kultur sel
nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21). Pemeriksaan
ini merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya tersedia di beberapa
laboratorium besar yang terutama dilakukan untuk tujuan penelitian, sehingga
tidak tersedia laboratorium komersial. Isolasi virus hanya dapat dilakukan pada
enam hari pertama demam.
Pada saat ini tidak banyak laboratorium yang menyediakan pemeriksaan ini.
Uji HI walau sensitif namun kurang spesifik dan memerlukan sediaan serum
akut dan konvalesens, sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis dini.
Tidak hanya dipakai secara luas untuk tujuan menegakkan diagnosis, sulit
untuk dilakukan dan memerlukan dan memerlukan petugas yang sangat
terlatih.
▪ Uji Neutralisasi
Pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode yang paling sering
dipakai adalah plaque reduction neutralization test (PRNT). Pemeriksaan
ini mahal, perlu waktu, secara teknik cukup rumit, oleh karena itu jarang
dilakukan di laboratorium klinik. Sangat berguna untuk penelitian pembuatan
dari efikasi vaksin.
e. Parameter hematologi
Parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung leukosit, nilai hematokrit,
dan jumlah trombosit sangat penting dan merupakan bagian dari diagnosis klinis
demam berdarah dengue.
- Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan
peningkatan neutrofil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah leukosit dan
neutrofit, yang mencapai titik terendah pada akhir fase demam. Perubahan
jumlah leukosit (<5.000 sel/mm3 ) dan rasio antara neutorfil dan limfosit
(neutrofil <limfosit) berguna dalam memprediksi masa kritis perembesan
plasma.
- Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti oleh
penurunan. Trombositopenia di bawah 100.000/uL dapat ditemukan pada
DD, namun selalu ditemukan pada DBD. Penurunan trombosit yang
mendadak dibawah 100.000/uL terjadi pada akhir fase demam memasuki
kritis atau saat penurunan suhu. Trombositopeni pada umumnya ditemukan
antara hari sakit ketiga sampai delapan, dan sering mendahului peningkatan
hematokrit. Jumlah trombosit berhubungan dengan derajat penyakit
DBD. Disamping itu terjadi gangguan fungsi trombosit (trombositopati).
Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali normal selama fase
penyembuhan. Pada awal demam nilai hematokrit masih normal.
Peningkatan ringan pada umumnya disebabkan oleh demam tinggi anoreksia
dan muntah. Peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan tanda dari
diagnosis klinis DBD. Harus diperhatikan bahwa nilai hematokrit dapat
diakibatkan oleh penggantian cairan adanya pendarahan.
36
G. TATALAKSANA
A. Penggantian Cairan
1. Jenis cairan
2. Jumlah cairan
37
Tabel 3.1 Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal
BB Rumata Rumatan + Defisit
5% (mL)
ideal
5 n
500 750
10 1.00 1.50
15 0
1.25 0
2.00
20 0
1.50 0
2.50
25 0
1.60 0
2.85
30 0
1.70 0
3.20
0 0
Tabel 3.2 Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal
Jumlah cairan Kecepatan
½ rumatan (mL/kgBB/jam)
1,5
Rumata 3
Rumatann+ defisit 5% 5
Rumatan + deficit 7% 7
Rumatan + defisit 10
10%
B. Antipiretik
C. Nutrisi
D. Pemantauan
38
- Pemeriksaan hematokrit awal dilakukan sebelum resusitasi atau
pemberian cairan intravena (sebagai data dasar), diupayakan
dilakukan setiap 4-6 jam sekali.
- Pada pasien dengan risiko tinggi, misalnya obesitas, bayi, ibu hamil,
komorbid (diabetes mellitus, hipertensi, thalassemia, sindrom nefrotik
dan lain-lain) diperlukan pemeriksaan laboratorium atas indikasi.
- Pantau: darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan
system koagulasi sesuai indikasi.
39
Gambar 3.11 : DBD derajat I atau derajat II
DBD disertai syok (Sindrom Syok Dengue, derajat III dan IV)
40
- Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap,
hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10
ml/kgbb.
- Apabila kadar hematokrit tetap >40%, maka berikan darah dalam volume
kecil.
- Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi
gangguan koagulopati atau koagulasi intravaskular desiminata (KID) pada
syok berat yang menimbulkan perdarahan masif.
- Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai plasma
segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah perdarahan
lebih hebat.
41
H. PROGNOSIS
Prognosis demam dengue atau dengue fever (DF) umumnya baik, dengan
mortalitas kurang dari 1%. Namun pada kondisi dengue hemorrhagic fever (DHF)
dan dengue syok syndrome (DSS), mortalitas menjadi lebih buruk. DF termasuk self
limited disease yang jarang menyebabkan komplikasi.
42
3.3 CVP dan ETT
A. CVP
Tekanan vena sentral (CVP) adalah tekanan dari atrium kanan atau vena
cava superior. CVP diukur (biasanya per jam) di hampir semua pasien di
ICU di seluruh dunia, pada pasien gawat darurat, serta pada pasien yang
menjalani operasi besar. CVP sering digunakan sebagai dasar untuk
membuat keputusan mengenai pemberian cairan atau diuretik. Guideline
klinis internasional merekomendasikan penggunaan CVP sebagai titik
akhir resusitasi cairan. Dasar untuk menggunakan CVP untuk panduan
manajemen cairan berasal dari dogma bahwa CVP mencerminkan volume
intravaskular, khususnya secara luas diyakini bahwa pasien dengan CVP
rendah menggambarkan volume yang kurang sementara pasien dengan
CVP tinggi adalah volume berlebihan.
Tekanan vena sentral secara umum lebih berguna untuk membantu
menentukan penyebab dari suatu masalah daripada mendeteksi suatu
masalah pada pemantauan hemodinamik. CVP mengukur tekanan pada
atrium kanan yang bisa menggambarkan tekanan akhir diastolik atau end
diastolic pressure (EDP). Preload ventrikel lebih erat kaitannya dengan
volume akhir diastolik ventrikel atau end diastolic ventricle (EDV)
dibandingkan tekanannya, karena itu penting untuk mengetahui hubungan
antara EDP dan EDV, di mana hubungan ini tergantung dari compliance
ventrikel.
B. ETT
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam
trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea. Tindakan
intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan
yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara
inspirasi.
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
43
sebagai berikut :
a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi,
bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan
lain-lain.
b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka
panjang.
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan
faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal
menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi
44
BAB IV
PEMBAHASAN
An E, 11 tahun, datang dengan penurunan kesadaran, pasien diantar
keluarga datang ke IGD RSUD Tugurejo Semarang pada tanggal 18 Juni 2022
pukul 17.00 WIB. Pasien datang dengan penurunan kesadaran
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 129/90 mmHg, nadi
126x/ menit, frekuensi napas 17x/menit, suhu 370C Dan Sp02 92%. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya penurunan hematokrit dan trombosit
serta peningkatan neutrophil.
45
BAB V
KESIMPULAN
An E dibawa keluarga ke IGD RSUD Tugurejo Semarang pada tanggal 18
Juni 2022. Pasien datang dengan penurunan kesadaran dan sesak. Dan di rawat
di PICU Pada pemeriksaan fisik keadaan umum sakit berat kesadaran tampak
lemah didapatkan tekanan darah 129/90 mmHg, nadi 126x/ menit, frekuensi napas
17x/menit, suhu 370C Dan Sp02 92%. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
adanya penurunan hematokrit dan trombosit serta peningkatan neutrophil.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Halim, Hadi. 2007. Penyakit-penyakit Pleura. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Sudoyo AW, et al. Edisi 4, Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen IPD FKUI; hal. 1056-60
2. American Thoracic Society. Management of malignant pleural effusions. Am J
Respir Crit Care Med 2004; 162: 1987-2001.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Kanker paru (kanker paru karsino bukan
sel kecil). Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia.;2001.
4. McGrath E. Diagnosis of Pleural Effusion: A Systematic Approach. American
Journal of Critical Care 2011; 20: 119-128
5. Hanley, Michael E., Carolyn H. Welsh. Current Diagnosis & Treatment in
Pulmonary Medicine. 1st edition. McGraw-Hill Companies.USA:2003. E-book
6. Pranita, N. Diagnosis dan Tatalaksana Terbaru Penyakit Pleura. Wellness and
Healthy Magazine. 2020. 2(1) : 69-78.
7. Kementerian Kesehatan RI. 2016. Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI (INFODATIN). Situasi Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Jakarta Selatan.
8. Kementerian Kesehatan RI 2020. Data Kasus Terbaru DBD di Indonesia.
9. Tjin Willy. 2018. “Komplikasi Demam Berdarah.”
10. World Health Organization (WHO). 2012. Handbook for Clinical
Management of Dengue. ISBN 978 92 4 150471 3
11. Sanyaolu A, Okorie C, Badaru O, Adetona K, Ahmed M., et al. 2017. Global
Epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever: An Update. Review Article
5(6): 00179. DOI: 10.15406/jhvrv.2017.05.00179.
12. Mishra, S., Ramya, R., Sunil, K. 2016. Clinical Profile of Dengue Fever in
Children : A Study from Southern Odisha, India. Scientifica (Cairo).
2016;2016
13. Murasmita Halstead, SB. Dengue Fever and Dengue Haemorrhagic Fever.
Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
47
Textbook of Pediatrics Ed. 17. Philadelphia; 2004, h. 1092-4.
https://www.creative-diagnostics.com/Dengue-Virus.htm
14. Kusama, Y., Ken, I., Shigeru, T., Satoshi, K. 2017. A Pediatric Case of
Imported Dengue Hemorrhagic Fever in Japan. J Gen Fam Med. 2017
Dec;18(6): 414–417.
15. Akhtar, N., et al. 2016. Prevalence of Dengue Serotype (DENV-2) in
Pakistan. Department of Zoology, Abdul Wali Khan University Mardan,
Khyber Pakhtunkhwa Pakistan. Akhtar et al., 2016. Journal of Genes and
Cells, 2(1): p, 8-10
16. Rezeki, S., dkk. 2012. Update Management of Infectious Disease and
Gastrointestinal Disorders Ed. 1 hal 29-37. Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM
17. Marik PE, Baram M, Vahid B. Does Central Venous Pressure Predict Fluid
Responsiveness? chestjournal. 2007; 134: 1-7.
18. Hendi, O. Analisis Faktor yang Mempengaruhi tekanan Cuff Endotracheal
Tube pada Pasien Terpasang Ventilasi Mekanik. Jurnal Kesehatan
Aeromedika. 2019. 5(1) :33-40
48